Shaka ingin marah, tapi begitu gadis cantik berkerudung putih muncul di depannya, semua amarah Shaka hilang tak berbekas. Hatinya dipenuhi bunga-bunga. "Hi, my angel." Shaka tersenyum manis.
Sekar menunduk. Pipinya bersemu. Kayden memutar bola matanya. "Sono lo!" "Gue kan baru di sini, bang, jadi mau ikutin abang biar gak ilang." "Anak ayam lo jadi takut hilang!" Kayden melototi Shaka. Kemudian dia menggandeng tangan Sekar. Mereka berjalan paling depan. "Semoga cuaca hari ini cerah aja ya, bang. Biar nanti sampai habis sholat jumat lancar acaranya." Sekar memperhatikan awan yang berarak di atas sana. Matanya kemudian menatap tenda megah yang berdiri di depan rumah pakde. Di sebelah rumah itu juga terdapat bangunan baru. "Pakde sama yang lain udah bekerja keras buat nyiapin semua ini. Abang juga. Makasih ya." Kayden mengacak pucuk kepala Sekar. "Anak buah pakde nambah banyak tahun ini, selama nyiapin semua ini"Loh?" Andrew pura-pura kaget. "Katanya Kayden Anna sudah dijodohkan sama orang tuanya." "Kapan gue ngomong begitu?" Sambar Kayden. "Ck. Kemaren pas di bandara. Bang Elroy saksinya." Elroy mengulum senyumnya dan mengangguk kecil. Wajah Kayden langsung pias. "Papa mau jodohin Anna sama siapa, pa? Kok mama gak dikasih tau?" Sandra menatap Broto heran. *** "Mas, aku mau kamu segera ninggalin kota ini." "Kamu ini kenapa penakut sekali, sayang~ Lagipula sudah dua belas tahun berlalu. Siapa yang masih curiga? Orang-orang udah pada lupa sama kasusnya." Laki-laki itu menarik si wanita hingga duduk di pangkuannya. Dia mulai menciumi tengkuk belakangnya. "Mas~" erang si wanita sambil menahan gairah yang mulai terpancing. "Pergi, yha... Ah-aku udah pesenin kah-mu tiket buat nanti sore mhh." "Tunda saja. Kamu sudah memesankan hotel ini sampai akhir pekan. Sayang
Shaka menghela nafas berat. "Intinya dia minta aku jauhin kamu." Sekar membuang wajah. Binar di matanya meredup. "Kar, aku tau aku gak punya malu karena ngomong ini, tapi aku beneran berharap bisa milikin kamu sekali lagi. Aku gak bisa lupain kamu, Kar. Aku masih cinta kamu." Sekar menekan dadanya yang berdebar-debar. Dia takut Shaka akan mendengarnya. "Kar," panggil Shaka lagi. "A-apa?" Suara Sekar tergagap. Kepalanya semakin tertunduk dalam. "Kamu mau tunggu aku, ya? Tunggu aku buat berjuang biar dapat kepercayaan dari paman kamu. Dari Kayden juga. Mau, kan?" Sekar menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya. Kenapa dia malah jadi ingin menangis dan memeluk Shaka sekarang. "Kar," panggil Shaka lagi. "Paman Louis larang aku buat macarin kamu lagi. Tapi dia gak bisa larang hati aku buat cinta sama kamu, Kar. Gimanapun di hati
Shaka menghela nafas kasar. Bibirnya tersenyum getir. "Apa gue lompat aja?" Shaka melihat motor-motor yang terparkir di bawah sana. "Tapi bego, lompat dari lantai dua mana mati sih. Patah tulang doang yang ada." Shaka terkekeh miris. Dia kemudian menghisap lagi rokoknya kemudian terbatuk-batuk hebat. Dia menepuk dadanya sendiri. "Andai gue gak terlalu bego waktu itu, kita gak akan pisah kayak gini, sayang." Shaka menatap jauh. Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang. Saat itu di tengah acara tiba-tiba seorang pria membisikinya mengatakan bahwa Louis ingin berbicara empat mata dengannya. Shaka yang tidak tau ada apa segera mengikutinya. "Apa yang kau lakukan tadi?" tanya pria paruh baya itu begitu Shaka duduk di hadapannya. Shaka meneguk ludahnya. Tatapan Louis yang tajam membuat Shaka merasa gelisah. Ada apa? Pikirnya. "Kau apakan anak gadisku tadi setelah dia
"Halo, kamu di mana? Gak pulang lagi malam ini?" Ratna langsung mengomel begitu Shaka mengangkat panggilannya. Shaka tersenyum getir sembari melihat langit yang sudah gelap. Cahaya kemerahan di ufuk barat sudah tidak terlihat lagi. "Kamu masih nungguin pacarmu itu di rumah sakit? Pulang dulu sebentar, nanti malah kamu yang ikutan sakit." Ratna berdecak tidak puas. "Shaka lagi di markas, ma. Nginep di sini malam ini." "Terus pacarmu itu di mana?" "Sudah sama keluarganya." Jawab Shaka lirih. "Kalo gitu pulang? Ingat kamu juga masih sakit, Shaka." 'Gak sesakit hati Shaka, ma.' Andai Shaka bisa menjawab seperti itu. "Shaka udah istirahat di sini. Udah di kamar. Rasanya malas kalo harus bangun lagi. Shaka nginap sini aja." "Loh, baru habis maghrib udah mau tidur? Kamu benar baik-baik aja?" Ratna mengernyitkan dahinya.
"Heh, enak lu ngomong!" Ricko melototinya. "Lu kagak liat sempitnya kayak gimana. Udah kagak ada space. Kalo masih ada juga kagak sudi gue sebelahan sama lu!" Shaka terkekeh. "Ya salah lu tadi beli tendanya yang kecilan." Ricko melototkan matanya. "Heh, ini udah yang paling gede, ya! Lagian tadi belinya pake uang gue. Gue itung hutang!" Shaka terkekeh. "Iya. Besok gue ganti lima kali lipat." "Awas lu boong. Gue slepet!" Ricko memeragakan mengg-orok leher dengan tangannya. "Apa sih lo bedua. Gak siang gak tengah malam, cekcok mulu perasaan!" Vernon duduk sambil mengucek-ucek matanya. Dia menatap sebal Shaka dan Ricko. "Dia tuh duluan!" Ricko menunjuk-nunjuk Shaka. Mulutnya cemberut macam perempuan merajuk. "Kalo lu cewek sama cowok udah gue nikahin lo pada. Ribut mulu macam pasutri." Vernon menggelengkan kepalanya. "Tu
Sekar menggelengkan kepalanya. Dia semakin menundukkan kepala dalam-dalam. "Terus kenapa?" Shaka mengangkat dagu Sekar dengan pelan. Tatapan mereka bertemu lagi. Dan Shaka kembali jatuh cinta lagi. Sekar segera menolehkan kepalanya ke samping. Pipinya bersemu. "Kar~" Shaka memelas. Jantung Sekar seperti berlarian di dalam sana mendengar rengekan manja Shaka yang sudah lama tak didengarnya. "A-aku jelek. B-belum mandi." Dia menunduk dalam-dalam. Dia menatap celana selututnya yang bulukan. Warnanya sudah pudar. Kaos kedodoran yang dia kenakan juga, terdapat koyakan kecil karena terkait paku tiga bulan lalu. Sekar menangis dalam hati dengan pakaian gembelnya saat ini. Shaka tersenyum kecil. Dia lalu merangkum wajah Sekar. Mata mereka kembali bertemu. "Gimana aku gak makin cinta, kamu belum mandi aja cantiknya udah sedahsyat ini, apalagi kalau udah mandi. Aduh kamu itu selalu ngerepotin hati sama pikiran aku
"Shaka gak bermaksud seperti itu, paman. Tadi pagi-pagi sekali, waktu masih gelap, Shaka liat Sekar mau naik perahunya sendirian. Shaka takut Sekar kenapa-napa kalau sendirian. Hari kan juga masih gelap. Cuma itu, paman. Shaka gak punya niat lain." Jantung Sekar berlarian di dalam sana karena mendengar suara lembut Shaka. Juga karena Shaka telah berbohong. Mereka pergi tadi memang masih pagi, tapi sudah sama sekali tidak gelap lagi. "Benar seperti itu?" Louis menundukkan kepala menatap Sekar. Matanya memicing. Sekar meneguk ludah kasar kemudian mengangguk dua kali. "Iya. Paman bisa tanya bude. Tadi malam Sekar memang udah rencana mau ke tengah laut habis subuh." Louis lalu menatap wajahnya lamat-lamat. Tangannya menyentuh bawah mata gadis itu. "Kenapa ke laut subuh-subuh? Gak habis nangis diam-diam lagi, kan? Kamu kebiasaan suka nyembunyiin sedih sendirian." Sekar menggeleng kecil. "Sekar cuma lagi kange
Sekar mengusap air matanya dengan kasar. Dia kemudian membalikkan tubuhnya dan berjalan lunglai kembali ke kelasnya. Dia terkekeh miris. 'Apanya yang ke pelaminan.' "Kar?" Bara melongo melihat Sekar yang melewatinya begitu saja. Padahal dia sudah tiga kali memanggil nama gadis itu. "Ngapa lu?" Vernon muncul dari belokan dan menepuk bahu Bara. Di belakangnya ada Ricko dan Vernon. "Ngapa berenti di sini sih, Bar? Kata gue kan cari Shaka. Kalo dia gak jadi ke kantin sama Sekar mending kita latihan basket mumpung cuaca bagus." Ricko menatapnya sebal. "Gue barusan liat Sekar. Tapi gue panggil dia gak nyaut-nyaut. Gue panggil tiga kali padahal. Matanya juga keliatan merah kayak abis nang-" Mata Bara kemudian melotot. Dia menunjuk arah koridor Sekar datang tadi. "Jangan bilang dia abis nemuin Shaka!" Ricko menerobos dan langsung berjalan paling depan. Langkahnya panjang-panjang. "Jan