Arabella tersenyum puas melihat reaksi Sekar. Dia bersorak riang. "Tuh kan, bener tebakan gue! Gak sia-sia dua minggu ini gue merhatiin lo!"
Sekar melongo. Bella terkekeh dan menggeser duduknya lebih dekat. "Awalnya gue heran aja di saat semua murid baru sibuk nyari temen dan bentuk circle masing-masing lo malah narik diri. Padahal ya, lo itu cantik banget, blasteran lagi. Lo tuh gampang banget kalau mau jadi famous meskipun baru kelas sepuluh."'Bahkan ada foto lo di ponsel kakak gue.' bathin Arabella."Lo jangan aneh-aneh deh. Gue gak kenal siapa itu kak Evelyn yang lo maksud." Sekar menggeleng kemudian bangkit.Arabella langsung menahan lengan Sekar. "Lo gak perlu bohong. Gue liat pas Kak Evelyn narik lo ke gudang belakang kemarin. Meskipun gue gak tau apa yang dia lakuin di sana, tapi itu pasti bukan sesuatu yang baik." Arabella menahan Sekar dan mengajaknya duduk kembali.Sekar menghela nafasnya. Dia kembali duduk di samping Arabella. "Kalaupun itu benar, gue tetep gak bisa temenan sama lo.""Tuh liat, lo udah se-care itu sama gue. Lo pasti takut kak Evelyn bully gue, kan? Gue gak mungkin ngelepas sahabat sebaik lo gini, Kar." Mata Arabella berbinar-binar.Sekar melongo. Dia yakin tadi tidak salah dengar. Arabella menyebutnya sebagai sahabat."Bell, gue--"Bella berjingkrak kesenangan. "Kyaaa... Tuh kan, lo udah manggil gue Bella aja. Itu tuh panggilan cuma buat orang terdekat gue aja. Di sekolah anak-anak biasanya manggil gue Ara doang.""Ara,"Bella menggeleng tegas sambil menggerakkan jari telunjuknya, "no no... Lo udah manggil gue Bella, berarti lo udah sah jadi orang terdekat gue. Pokoknya lo cuma boleh manggil gue Bella. Lo manggil Ara gue gak denger!" Bella melipat tangan ke dada tanda tak ingin dibantah.Sekar memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Melihat Bella malah mengingatkannya pada Shaka. Kenapa juga dia malah memikirkan cowok itu. Sekar segera memukul kepalanya."Bell, jujur gue seneng banget bisa punya temen kayak-""Sahabat!" Bella mengoreksi.Sekar meneguk ludah kasar. "Iya, maksud gue sahabat. Gue seneng banget bisa punya sahabat kayak lo. Tapi tetep gue gak bisa membahayakan keselamatan lo. Dengan lo temenan sama gue, sama aja lo udah nantang kak Evelyn. Gue gak bisa ngebahayain lo, Bella.""Dia gak akan berani ganggu gue. Tenang aja." Bella menepuk dadanya dengan bangga.Sekar menatapnya sendu. Dia lalu menggenggam sebelah tangan Bella. "Lo gak tau segimana mengerikannya Evelyn, Bella.""Apa karena ini lo selalu ngehindar tiap ada yang ngajak lo temenan? Dia ngancem lo kayak gimana, bilang sama gue. Biar gue bikin perhitungan sama dia!" Bella menyingsingkan lengan seragamnya memperlihatkan lengan atasnya yang kerempeng. Sekar tidak bisa tidak terenyuh karenanya. Dia lalu menggenggam tangan gadis itu."Makasih. Tapi lo gak perlu lakuin itu. Jangan libatin diri ke dalam bahaya, Bella."Bella cemberut. "Dan lo bakal mendorong gue jauh-jauh kayak temen-temen yang lain.""Lo gak ngerti, Bell.""Gimana gue bisa ngerti kalo lo bahkan gak ngasih gue kesempatan." Bella menatap dalam Sekar."Gue gak mau karena keegoisan gue, gue kehilangan teman sekali lagi. Gue gak mau."Bella merasakan tangan Sekar yang bergetar dalam genggamannya. Mata gadis itu juga sudah berembun. "Evelyn pernah ngusik temenlo sebelumnya?" Tanya Bella prihatin.Sekar mengangguk. "Dari dulu Evelyn selalu rebut semua yang gue punya. Termasuk teman-teman gue sampai akhirnya gue cuma punya dua teman cowok. Cuma dua orang itu yang berani temenan sama gue dan mengabaikan larangan Evelyn." Sekar terkekeh begitu terlintas bayangan tiga anak kecil yang selalu bergandengan tangan ke mana saja."Sampai orang-orang ngiranya sombong lah. Gak mau main sama orang miskin. Gak main sama pribumi. Gue udah biasa dianggap kayak gitu.""Padahal sebenarnya lo juga pengen kan temenan sama orang-orang?" tanya Bella. Matanya menatap sendu gadis itu.Sekar tersenyum dan mengangguk. "Gue gak bohong. Gue kesepian, Bella. Gue juga pengen punya banyak temen.""Tapi setahun lalu, ada dua anak perempuan yang nekat temenan sama gue. Mereka sering diancam Evelyn, tapi keduanya abai. Sampai kemudian," Sekar menjeda ucapannya. Tangannya menggenggam tangan Bella semakin erat. Rasanya seperti ada sebongkah batu besar yang mengimpit dadanya."Jangan diterusin kalau masih sakit." Bella menggeleng. Dia bisa merasakan rasa sedih yang dirasakan Sekar.Sekar menghirup nafas dalam setelah itu melanjutkan ceritanya. "Suatu hari mereka kecelakaan. Amanda meninggal di tempat, sementara Rosi mengalami kebutaan. Sekarang dia dibawa pindah keluarganya ke Singapura. Bahkan mereka gak ngizinin gue buat ketemu dia untuk terakhir kalinya." Sekar mengusap setetes air matanya yang jatuh."Dia gak benci lo, kan?"Sekar menggeleng tapi kemudian tersenyum kecut. "Oci gak benci gue, tapi seluruh keluarganya yang benci. Gue cuma bisa telponan sama dia diam-diam lewat perawatnya. Sampai sekarang gue nunggu donor mata yang cocok buat Oci."Bella menepuk tangan Sekar pelan. Matanya juga ikut berair. "Semoga Oci cepat dapat donor mata ya. Sahabat lo, sahabat gue juga."Sekar tersenyum berterima kasih. "Gue udah kehilangan mereka. Gue gak mau kehilangan sekali lagi, Bell.""Kar," Bella menggelengkan kepala. "Jangan dorong gue menjauh.""Gue gak mau sesuatu terjadi juga sama lo. Jangan lagi." Suara Sekar tercekat."Kar, percaya sama gue. Kak Evelyn gak akan berani ngusik gue. Gue bisa pastiin itu." Bella tersenyum dan menganggukkan kepala untuk meyakinkan Sekar."Lo gak tau semengerikan apa Evelyn, Bell."Bella tersenyum meyakinkan. "Percaya sama gue. Evelyn gak akan berani nyentuh gue."Sekar menghela nafasnya. "Janji jangan sampai lo kenapa-napa karena kak Evelyn ya."Bella tersenyum melihat tangannya yang digenggam Sekar semakin erat. "Jangan manis-manis dong, Kar. Kalau gue sampai belok tanggung jawab lo.""Bangsat." Sekar buru-buru melepas genggamannya.Mereka tertawa lepas setelahnya. Perasaan hangat menjalari hati Sekar. Akhirnya dia memiliki teman perempuan lagi. Rasanya sudah begitu lama sejak terakhir kali.Langit sudah hampir gelap saat Sekar kembali ke apartemennya yang sepi. Di sebelah tangannya dia menenteng paperbag dengan logo restoran terkenal. Sekar memasuki apartemennya dengan helaan nafas yang besar dan berat. Tapi dia kemudian tersenyum saat melihat sepatu laki-laki tersimpan di rak sepatunya. Apalagi saat melihat seseorang yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Cowok itu sedang fokus dengan layar televisi di depannya yang sedang menyayangkan siaran tinju. Sekar buru-buru melepas sepatunya dan menyimpannya di sebelah sepatu cowok itu. Sekar kemudian berlari dengan kaki telanjangnya dan langsung memeluk cowok itu dari belakang. Cowok itu mengecup lengan yang melingkari pundaknya kemudian menatap Sekar dari samping. "Gimana sekolah hari ini? Kok sore banget pulangnya?""Aaa kangeeen... Bang Kay kenapa gak bilang dulu sih kalau mau ke sini?" Sekar melepas tas di punggungnya juga paperbag nya dan meletakkan ke atas meja. Dia kemudian bergabung menonton tv di sampingnya. Kayd
Sementara itu di tempat yang berbeda, Shaka sedang cengar-cengir menatap deretan angka di layar ponselnya.Dia berdeham sebentar sebelum menyentuh logo telepon berwarna hijau di layar.Shaka tersenyum melihat panggilnya diangkat. Dia buru-buru menempelkan ponselnya ke telinga."Hai." Shaka menyapa dengan suaranya yang paling merdu."..."Wajah Shaka mengeras kemudian segera memutuskan panggilan secara sepihak."Arghhh... Gue harap lo cuma becanda, Kar." Shaka melempar ponselnya ke tengah ranjang Vernon.Vernon, Bara, Ricko dan Devan yang sedang duduk di balkon kamar Vernon melongokkan kepala dari luar."Arghhh Sekaar." Shaka frustrasi. Dia menyugar rambutnya ke belakang kemudian memejamkan mata. Empat sahabat Shaka saling berinteraksi lewat mata. "Pak bos gak abis kesambet setan kamar mandi rumah lo pan?" Bara menundukkan kepala untuk berbisik-bisik di antara mereka. Vernon menggeleng polos."Tumben-tumbenan dia nyebut nama cewek sefrustrasi itu." Celetuk Bara ikut-ikutan. "Biasa dia
"Gak. Soalnya kemaren pak Jarwo udah cerita." Jawab Sekar. Dia terkekeh melihat wajah kesal Sadi. "Eh, itu pesenan Sekar deh kayaknya." Sekar mendekati gerbang saat melihat mamang gopud. Dia berdecak puas saat sudah menerima dua plastik besar pesanannya. Sekar kembali ke pos satpam dan mengeluarkan tiga bungkus bakso ke atas meja. "Buat bapak-bapak." "Aduh neng, jadi ngerepotin." Sadi tersenyum sungkan. "Padahal baru kemarin neng beliin kita rokok mahal, sekarang dikasih makanan gratis pula." "Gak papa. Lagian bukan duit Sekar juga." Sekar terkekeh. "Kalo gitu sampein makasih kita buat pacarnya neng, ya." Ucap Jarwo. "Iya." Sekar terkekeh saja. Dia membayangkan pasti Kayden akan mengamuk kalau Sekar mengaku-ngaku pacarnya. Sekar kemudian pamit pada bapak-bapak itu. °°°°° "Lo dari mana aja? Gue udah keliling-keliling nyari lo tau." Bella mendumel saat melihat Sekar baru saja tiba di taman. Bella sudah lama menunggunya. "Aak!" Sekar bersendawa. Dia mengesampingkan bungkus bening
Sekar membasuh wajahnya berkali-kali untuk meredamkan amarahnya. Kata Kayden, jika sedang marah Sekar harus pergi membasuh muka untuk menenangkan perasaannya."Dia gatau apa-apa. Dia bego. Shaka bego. Shaka ba-jingan." Sekar terus menepuk-nepuk air ke wajahnya. Air matanya sesekali masih merembes. Sekar menggigit bagian dalam bibirnya agar tangisnya tidak pecah."Ibu orang baik." Bibir Sekar bergetar. Bayangan ibunya yang tengah senyum dari tengah laut terlintar di benaknya. Hati Sekar langsung tenggelam hingga ke dasar.Ceklek.Seseorang membuka pintu toilet dari luar. Sekar melihat orang yang masuk dari kaca di depannya. Sekar menatap datar pantulan orang itu dan melihat gadis itu mendekatinya."Gimana rasanya dihina sama cowok paling ganteng di Garuda?" Evelyn berdesis. Gadis itu juga menatap Sekar dari pantulan kaca di depan mereka.Sekar menyunggingkan senyumnya. "Segitunya lo pengen ngejek gue sampai rela buntutin ke toilet." Evelyn berdecak. "Gak usah alihin pembicaraan." Seka
"Arghhh..." Shaka berteriak sambil kembali menghantamkan kepalan tangannya ke samsak tinju. Kakinya sesekali terinjak pecahan beling menimbulkan bunyi keras di ruangan sunyi itu."Bang-sat. Be-go. Be-go." Shaka kembali menghantamkan tinjunya. Kulit tangannya sudah robek dan darah merembes yang sebagian sudah mulai mengering. "Sejak kapan lo berubah brengsek gini, ha! Bajing-an. Bang-sat. Punya mulut dijaga, anj-ing!"Shaka terus meninju ke depan. Semakin dia ingin melupakan kejadian tadi, semakin kata-kata jahatnya berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Apalagi teringat wajah Sekar yang menangis karena kata-kata kasarnya. Shaka merasa begitu brengsek.Dia memang sedikit tersinggung dengan yang dikatakan Sekar, tapi tentu itu bukan salah Sekar. Perempuan mana pun pasti akan merasa risih jika terus didekati apalagi dengan paksaan seperti yang dilakukan Shaka beberapa hari ini. Tidak seharusnya Shaka marah pada gadis itu. "Gue harus apa, nyet!" Shaka menyugar rambutnya frustrasi. Tu
Nafas lelaki itu menderu. Telunjuknya menunjuk Kayden tepat di muka. "Yang sopan kamu sama orang tua!""Tua-tua bangsat kayak lo gak perlu pake sopan santun." Kayden berdecak sambil memeriksa jam yang melingkar di pergelangan kirinya."Dasar pemuda gak berakhlak. Dari dulu saya sudah gak suka kamu berteman dengan anak saya. Kamu itu cuma bawa pengaruh buruk untuknya!" Ucap orang itu. Suaranya yang besar membuat beberapa orang memperhatikan mereka. "Malu om, sok-sokan bawa-bawa akhlak, sendirinya jadi penipu." Kayden tersenyum miring. "Jaga mulut kamu, ya!" Telunjuk pria tua itu kembali mengacung. Matanya melotot. Mukanya merah sampai ke telinga. Kayden terkekeh dan melambaikan tangannya. Sebenarnya dia masih ingin meladeni orang tua itu, tapi seseorang berseragam satpam di dekat pintu sana membuat Kayden mengurungkan niatnya."Gelutnya di luar aja ya, mas Kay. Saya titip satu bogem mentah di perut." Ucap satpam itu saat Kayden melewatinya.Kayden meliriknya sebal. "Besok-besok kalo
Sekar menatap hamparan pasir putih di depannya yang sesekali diderai ombak dari laut yang tenang di depannya. Sekar menatap ke kejauhan. Ada rasa rindu yang sangat nyata di matanya. Rindu yang tak pernah bisa dicurahkannya lagi. Sekar menghirup nafas dalam dan mengeratkan genggamannya pada dua plastik besar yang ditentengnya. Dia melangkah menuju rumah kayu yang berdiri sendiri tak jauh dari pantai itu. Pohon kelapa melambai di sisi kiri kanan rumah itu. Langkah Sekar semakin dekat.Dia tersenyum melihat ayunan di halaman rumah kayu itu. Membayangkan dirinya kecil yang duduk di atas sana dengan dua anak laki-laki yang menjaganya di sisi kiri kanannya. Sekar kecil akan menjerit-jerit jika keduanya mengisenginya dengan ayunan yang besar. Sekar menghela nafas panjang. Betapa waktu cepat berlalu. Sekar tiba di depan pintu. Dia memegang hendel dan memutarnya pelan. Lalu berjingkat-jingkat saat lebih masuk ke bagian dalam rumah. Melewati dinding yang memperlihatkan sepasang orang tua dan s
Sekar berhenti mendayung perahunya. Dia sudah cukup jauh dari bibir pantai. Rumah bude terlihat kecil dari tempatnya. Sekar melihat sekelilingnya yang sunyi. Hanya ada hamparan lautan yang biru."Bu, Sekar datang." Sekar menyentuh permukaan air laut yang sedikit hangat karena paparan matahari. Tangannya mengecipak permukaan air yang tenang. Dia menghela nafas. Rasanya begitu sesak karena menahan rindu. "Ibu apa kabar?" Lirih Sekar. Dia lagi-lagi teringat ucapan Shaka. Tangannya mengepal. "Tadi ada yang ngatain ibu. Maaf Sekar gak bisa ngelakuin apa-apa buat bela ibu. Sekar gak berdaya. Sekar lemah." Sekar memandang sayu. Matanya kembali berair. Sekar tiba-tiba menggeleng. Tidak. Dia tidak boleh menangis. Ibunya akan sedih jika melihatnya seperti ini. Sekar menepuk-nepuk pipinya. Dia tidak boleh cengeng. "Ibu apa kabar? Kabar Sekar baik, tapi masih lapar." Sekar terkekeh. "Sekar makan lagi, ya." Sekar mengambil telur gulungnya dan mulai makan dengan hening. Dia makan sambil bercucur