Langit sudah hampir gelap saat Sekar kembali ke apartemennya yang sepi. Di sebelah tangannya dia menenteng paperbag dengan logo restoran terkenal. Sekar memasuki apartemennya dengan helaan nafas yang besar dan berat. Tapi dia kemudian tersenyum saat melihat sepasang sepatu laki-laki tersimpan di bagian paling atas rak sepatunya. Apalagi saat melihat seseorang yang sedang duduk di sofa membelakanginya. Cowok itu sedang fokus dengan layar televisi di depannya yang sedang menyayangkan siaran tinju.
Sekar buru-buru melepas sepatunya dan menyimpannya di sebelah sepatu cowok itu. Sekar kemudian berlari dengan kaki telanjangnya dan langsung memeluk cowok itu dari belakang. Cowok itu mengecup lengan yang melingkari pundaknya kemudian menatap Sekar dari samping. "Gimana sekolah hari ini? Kok sore banget pulangnya?" "Aaa kangeeen... Bang Kay kenapa gak bilang dulu sih kalau mau ke sini?" Sekar melepas tas di punggungnya juga paperbag nya dan meletakkannya ke atas meja. Dia kemudian bergabung menonton tv di samping Kayden. Kayden mengacak rambut Sekar sambil terkekeh. "Baru juga tadi pagi ketemu." Kayden kemudian merangkul bahu Sekar. "Asemm. Mandi sono!" Meski mulutnya berkata seperti itu, tapi sebaliknya dia malah mengeratkan pelukannya pada Sekar. "Gue wangi, ya!" Sekar mendongak. Matanya melotot dan bibirnya sudah mengerucut kesal. Sebagai perempuan, dia tidak terima dikatai bau. Kayden terkekeh melihat raut menggemaskan Sekar. "Gue udah dari siang di sini." "Salah siapa gak ngabarin. Sekar tadi tuh nyari jajan dulu makanya telat pulang. Abang nih datang gak ngabarin, tau gitu kan Sekar gak usah beli makan, minta bawain aja sama abang!" Kayden menarik dua pipi Sekar karena gemas. "Sekar mau cerita!" Sekar menegakkan tubuhnya. Dia juga menarik tubuh Kayden agar duduk tegak menghadap dirinya. Kayden menatap Sekar dan menunggunya bercerita. "Bang Kay tau gak kenapa hari ini Sekar pulang ke apartemen sore banget?" Kayden tersenyum. "Gak tau. Emangnya hari ini kamu ke mana dulu?" "Hari ini Sekar dapat temen baru. Tadi seharian Sekar jalan-jalan sama dia. Coba liat!" Sekar dengan mata berbinar menyingsingkan lengan hoodienya dan memperlihatkan sebuah gelang berbandul ekor mermaid biru muda yang melingkari pergelangan tangannya. " Bagus, kan?" Sekar meminta pendapat Kayden. Sekar berdecak puas saat melihat Kayden mengangguk. "Tadi Bella yang pilihin. Ckck... Emang bagus banget pilihan Bella!" "Jadi nama temen kamu Bella?" tanya Kayden. Tangannya mengelusi rambut gadis itu yang sudah lepek karena beraktivitas seharian. Sekar mengangguk semangat. "Bang Kay tau gak, ternyata umurnya baru tigabelas tahun taun ini tapi udah sma. Dia anak beasiswa." "Dia pasti pinter banget." Sekar menganggukkan kepalanya kuat-kuat. "Banget banget pintarnya. Tadi dia juga bantu Sekar isi tugas buat besok di kafe." Kayden tersenyum dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Alhamdulillah... Akhirnya ada juga yang bisa bawa adik hamba kembali ke jalan yang benar." Sekar menatap sinis Kayden. "Bang Kay berlebihan." Kayden terkekeh. "Gak diganggu Shaka kan tadi?" Sekar terkekeh begitu teringat Shaka. Dia membayangkan bagaimana respon Shaka setelah menghubungi nomor kontak yang diberikannya tadi pagi. "Kenapa lo senyum? Jangan bilang tuh anak deketin lo, ya!" Kayden memegang pundak Sekar. Matanya menatap tajam. "Heh, ingat, Kar, tuh cowok anak gak bener. Awas lo kalau mau-mau aja dideketin dia. Gue kawinin lo sama John!" Sekar mendekatkan wajahnya. Dia yakin tadi tidak salah dengar. "Emang Sekar udah boleh terima cinta bang Jono?" Biji mata Kayden sudah hampir lepas karena saking kagetnya. Apa maksudnya sudah? "Kagak! Ya kali gue ngerestuin lo sama si kutil kuda." Meski stok laki-laki di dunia ini tinggal John seorang juga Kayden tidak akan sudi menjodohkannya dengan Sekar. "Tadi katanya mau dikawinin!" Sekar berdecak sebal membuat Kayden melotot sekali lagi. "Serius lo mau sama John?" Kayden menatap Sekar horor. Tidak bisa dibiarkan. Sepertinya besok dia harus mengurangi lagi jam main Sekar dengan anak Fonza. Kayden tak ingin ambil resiko. "Kenapa gak! Bang Jono kan baik suka beliin Sekar telur gulung." "Heh, lo yang gue gulung ya lama-lama! Lagian kalau mau diitung, gue yang paling sering beliin lo jajan. Dasar perampok kecil!" Kayden mengusap kasar muka Sekar dengan sebelah tangannya. Jika tidak sayang, sudah digelindingkannya gadis itu ke lantai saking emosinya. Sekar melotot penuh drama, "jadi maksud abang, yang harusnya ngawinin Sekar itu Bang Kay bukan bang Jono?" "Kawin kawin! Sekolah lo yang bener!" Kayden membawa kepala Sekar untuk ditenggelamkan di ketiaknya. Kayden berlalu ke dapur setelah melepaskan Sekar. Dia butuh asupan minuman dingin. Meladeni omongan Sekar beresiko besar membuat otaknya mendidih. Kayden kembali dengan dua botol minuman dingin dan beberapa buah-buahan segar. Dia melemparkan satu apel yang langsung ditangkap Sekar dengan sempurna. Kayden kembali duduk di samping Sekar dan menarik Sekar bersandar kembali di pundaknya. "Jadi bener Shaka deketin lo?" Sekar yang sedang minum terbatuk-batuk dengan hebat. Kayden menepuk-nepuk punggung Sekar yang terbatuk-batuk. "Sembarangan kalo ngomong!" Sekar memukul lengan Kayden begitu batuknya reda. Sekar juga menggigit lengan berotot Kayden. Meskipun tebakan Kayden benar, Sekar tidak mungkin menjawab jujur. Lagipula hanya seorang Shaka. Jangan panggil dia anak Fonza jika mengatasi satu cowok itu saja dia tidak mampu. "Gue lega kalau emang lo gak diganggu. Tapi ingat ya, lo harus cerita kalau ada apa-apa. Awas aja kalau gak. Gue jual lo ke mang Sapri!" Mata Kayden melototinya. "Mana mao mang Sapri. Yang ada nanti dia tekor miara orang kayak Sekar." Sekar berdecak kesal. Sembarangan saja dia ingin dijual. Kayden terbahak-bahak, "iya ya, porsi makan lo kan kayak Dajjal. Bisa bangkrut barang dagangan mang Sapri." "Abang gue Dajjal, jadi jangan salahin kalo adeknya juga kayak Dajjal!" Mata Sekar berkedut kesal. Daripada meladeni orang gila macam Kayden lebih baik dia ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kayden melongo setelah tersadar sesuatu. "Lah abangnya gue dong!" Kayden menunjuk dirinya sendiri.Sementara itu di tempat yang berbeda, Shaka sedang cengar-cengir menatap deretan angka di layar ponselnya. Dia menyentuh dada kirinya yang berdegup kencang. Shaka berdeham sebentar sebelum menyentuh logo telepon berwarna hijau di layar. Pemuda itu menggigit bibirnya. Tangannya naik merapikan rambutnya. Shaka tersenyum melihat panggilnya diangkat. Dia buru-buru menempelkan ponselnya ke telinga. "Hai." Shaka menyapa dengan suaranya yang paling lembut. "..." Wajah Shaka mengeras. Dia kemudian memutuskan panggilan secara sepihak. Nafasnya memburu. Kata-kata dari orang di balik telepon tadi masih terngiang-ngiang di telinganya. "Arghhh... Gue harap lo cuma becanda, Kar." Shaka melempar ponselnya ke tengah ranjang Vernon. Vernon, Bara, Ricko dan Devan yang sedang duduk di balkon kamar Vernon melongokkan kepala dari luar. "Arghhh Sekaar." Shaka menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa dengan kasar. Dia menyugar rambutnya ke belakang kemudian memejamkan mata berusaha meredam emosi. Empat sah
"Gak. Soalnya kemaren pak Jarwo udah cerita." Jawab Sekar. Dia terkekeh melihat wajah kesal Sadi. "Eh, itu pesenan Sekar deh kayaknya." Sekar mendekati gerbang saat melihat mamang gopud. Dia berdecak puas saat sudah menerima dua plastik besar pesanannya. Sekar kembali ke pos satpam dan mengeluarkan tiga bungkus bakso ke atas meja. "Buat bapak-bapak." "Aduh neng, jadi ngerepotin." Sadi tersenyum sungkan. "Padahal baru kemarin neng beliin kita rokok mahal, sekarang dikasih makanan gratis pula." "Gak papa. Lagian bukan duit Sekar juga." Sekar terkekeh. "Kalo gitu sampein makasih kita buat pacarnya neng, ya." Ucap Jarwo. "Iya." Sekar terkekeh saja. Dia membayangkan pasti Kayden akan mengamuk kalau Sekar mengaku-ngaku pacarnya. Sekar kemudian pamit pada bapak-bapak itu. °°°°° "Lo ternyata ada di sini? Gue udah keliling-keliling nyari lo tau." Bella mendumel saat melihat Sekar saat dia baru saja tiba di taman. Gadis itu langsung duduk di samping Sekar. Wajahnya cemberut. "Aa
Sekar membasuh wajahnya berkali-kali untuk meredamkan amarahnya. Kata Kayden, jika sedang marah Sekar harus pergi membasuh muka untuk menenangkan amarahnya. "Dia gatau apa-apa. Dia bego. Shaka bego. Shaka bajingan. Bodoh. Gak punya otak, gak punya akhlak." Sekar terus menepuk-nepuk air ke wajahnya. Air matanya sesekali masih merembes. Sekar menggigit bagian dalam bibirnya agar tangisnya tidak pecah. "Ibu orang baik." Bibir Sekar bergetar. Bayangan ibunya yang tengah senyum dari tengah laut terlintas di benaknya. Hati Sekar langsung tenggelam hingga ke dasar. "Ibu~" Ceklek. Seseorang membuka pintu toilet dari luar. Sekar melihat orang yang masuk dari kaca di depannya. Sekar menatap datar pantulan orang itu dan melihat gadis itu mendekatinya. "Gimana rasanya dihina sama cowok paling ganteng di Garuda?" Evelyn berdesis. Gadis itu juga menatap Sekar dari pantulan kaca di depan mereka. Sekar meraih tisu lalu mengusapkannya ke wajah. Gadis itu kemudian menyunggingkan senyumnya. "Segit
"Arghhh..." Shaka berteriak dan menghantamkan kepalan tangannya ke tembok di depannya. Sepatunya menginjak pecahan beling yang berserakan di lantai. "Bang-sat. Be-go. Be-go." Shaka kembali menghantamkan tinjunya sekuat tenaga. Kulit tangannya robek dan darah merembes keluar sebagian sudah mulai mengering. "Sejak kapan lo brengsek gini, ha! Bajing-an. Bang-sat. Punya mulut dijaga, anj-ing!" Shaka terus meninju ke depan. Semakin dia ingin melupakan kejadian tadi, semakin kata-kata jahatnya berputar seperti kaset rusak di kepalanya. Apalagi teringat wajah Sekar yang menangis karena kata-kata kasarnya. Shaka merasa dia begitu brengsek. Dia memang sedikit tersinggung dengan yang dikatakan Sekar, tapi tentu itu bukan salah Sekar. Perempuan mana pun pasti akan merasa risih jika terus didekati apalagi dengan paksaan seperti yang dilakukan Shaka beberapa hari ini. Tidak seharusnya Shaka marah pada gadis itu. "Gue harus apa, nyet!" Shaka menyugar rambutnya frustrasi. Tubuhnya meluruh ke l
Nafas lelaki itu menderu. Telunjuknya menunjuk Kayden tepat di muka. "Yang sopan kamu sama orang tua!" "Tua-tua bangsat kayak lo gak perlu pake sopan santun." Kayden berdecak sambil memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Dasar pemuda gak berakhlak. Dari dulu saya sudah gak suka kamu berteman dengan anak saya. Kamu itu cuma bawa pengaruh buruk untuknya!" Ucap orang itu. Suaranya yang besar membuat beberapa orang memperhatikan mereka. "Malu om, sok-sokan bawa-bawa akhlak, sendirinya jadi penipu." Kayden tersenyum miring. "Jaga mulut kamu, ya!" Telunjuk pria tua itu kembali mengacung. Matanya melotot. Mukanya merah hingga ke telinga. Kayden terkekeh dan melambaikan tangannya. Sebenarnya dia masih ingin meladeni orang tua itu, tapi seseorang berseragam satpam di dekat pintu sana membuat Kayden mengurungkan niatnya. "Gelutnya di luar aja, ya, mas Kay. Saya titip satu bogem mentah di perut." Ucap satpam itu saat Kayden melewatinya. Kayden meliriknya sebal. "Be
Sekar menatap hamparan pasir putih di depannya yang sesekali diderai ombak dari laut biru di depannya. Sekar menatap ke kejauhan. Ada rasa rindu yang besar di matanya. Rindu yang tak pernah bisa dia obati. Sekar menghirup nafas dalam dan mengeratkan genggamannya pada dua plastik besar yang ditentengnya. Dia melangkah menuju rumah besar berbahan kayu yang berdiri sendiri tak jauh dari pantai itu. Pohon kelapa melambai di sisi kiri kanan rumah itu. Langkah Sekar semakin dekat. Dia tersenyum melihat ayunan di halaman rumah itu. Membayangkan dirinya kecil yang duduk di atas sana dengan dua anak laki-laki yang menjaganya di sisi kiri kanannya. Sekar kecil akan menjerit-jerit jika keduanya mengisenginya dengan lemparan ayunan yang besar. Sekar menghela nafas panjang. Betapa waktu cepat berlalu. Sekar tiba di depan pintu. Dia memegang hendel dan memutarnya pelan. Lalu berjingkat-jingkat saat memasuki lebih dalam bagian rumah itu. Sekar melewati ruang tamu. Matanya tak sengaja melihat pig
Sekar menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Gadis itu menikmati terpaan angin lembut yang menerbangkan rambutnya. Bunyi deburan ombak menenangkan pikirannya. Sekar membuka matanya dan melihat rumah Marni yang terlihat kecil dari tempatnya. Gadis itu tersenyum kecil. "Makasih ibu udah kirim bude buat Sekar." Kepalanya mendongak menghadap langit. "Ibu apa kabar?" Katanya lagi. Tangannya menyentuh permukaan air laut yang hangat karena terkena paparan sinar matahari. Sekar teringat kata-kata Shaka di sekolah tadi. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. "Tadi ada yang ngatain ibu. Maaf Sekar gak bisa ngelakuin apa-apa buat bela ibu. Sekar gak berdaya. Sekar lemah." Suaranya bergetar. Matanya mulai berembun lagi. Sekar kemudian menggelengkan kepalanya. "Gak. Sekar gak boleh cengeng." Tidak. Dia tidak boleh menangis. Ibunya akan sedih jika melihatnya seperti ini. Sekar menepuk-nepuk pipinya. Jangan sampai dia menangis lagi. Gadis itu mendongak lagi. "Ibu apa kabar? Kalo
Sekar menatap Kayden sambil menutup mulutnya dramatis, "Abang beneran mau Sekar buang, ya? Tapi badan bang Kay berat, Sekar sama bude gak akan sanggup. Tapi nanti kalau bang Kay emang pengen banget, bang Kay nanti jalan aja ke ujung dermaga, nanti Sekar bantu ikat tangan sama kaki abang, ya. Terus nanti Sekar bantu dorong juga." Sekar menepuk-nepuk punggung Kayden. Kenapa Kayden merasa seolah dialah yang ingin dibuang. Rautnya langsung berubah masam. Dia memulai makannya tanpa menghiraukan Sekar lagi. "Ngomong-ngomong nak Kayden," Marni berhenti sejenak dan melirik Sekar dengan ujung mata. Tangannya memuntir ujung baju yang dikenakannya. "Bude nolak tawaran Sekar tadi?" Sekar cemberut melihat gelagat budenya. Pasti bude ingin meminta bantuan Kayden untuk menolak tawarannya. Jangan sampai dia gagal berbisnis dengan paman tamp-, maksudnya paman baik hatinya. "Tawaran apa nih, bude kok sekarang main rahasia-rahasiaan sama Kayden? Bude udah gak anggap Kayden anak lagi, ya?" Sekar berg
Dimas terkekeh dan menyingkirkan telunjuk Dewo yang menunjuk ke arahnya. "Jangan bilang kau juga tidak tau bahwa Sekar ke Paris dua bulan yang lalu." Mata Dewo berkilat kaget sekilas. Setelahnya dia berusaha terlihat normal. Tapi Dimas menyadari reaksi awalnya. Pria itu tersenyum sinis. Dia membuka galeri di ponselnya dengan menunjukkan rekaman singkat seorang gadis yang nampak mengerucutkan bibirnya. "Ayah Dimas." Ucap gadis dalam video. Mata Kayden dan Gio berkilat mendengar suara itu. Dan mereka bisa membayangkan wajah masam Sekar yang melakukannya di bawah paksaan orang lain. Dimas menjauhkan ponselnya saat tangan Dewo ingin menjangkaunya. Dewo naik pitam melihatnya. "Kau tidak bisa memaksa anak gadis orang lain untuk memanggilmu ayah." "Kenapa tidak bisa! Lagipula dia terlihat senang-senang saja, tidak ada ketegangan. Asal kau tau saat itu dia sedang meminta ditraktir makan di restoran favoritnya, padahal sepanjang jalan dia sudah memalakku untuk membayar semua street food
"Kar~" Suara Kayden parau. Dia langsung memeluk Sekar erat-erat. Gio ikut memeluk kedua orang itu. "Lo harus secepatnya ingat gue, Kar. Gue sama Gio nunggu lo. Kita selalu nunggu lo." Kayden menepuk-nepuk pucuk kepala Sekar. Dia tidak peduli lagi meski pandangannya sudah kabur karena air mata. Gio ikut mengusap bahu Sekar. "Lo harus sehat-sehat di sana. Harus pinter jaga diri. Gak ada gue sama Kayden lagi yang bisa jagain lo." Gio mengusap air matanya. Sekar menatap dua orang itu yang sama sama menangis. Hati Sekar campur aduk. Matanya ikut panas dan akhirnya menjatuhkan bulir-bulir bening. "Cepat pulang. Abang-abang lo nunggu di sini." Kayden mengusap air mata di wajah Sekar dengan hati-hati. Dia lalu mengecup kening gadis itu. Juga dua kelopak matanya. "Gue selalu nunggu lo di sini. Baik-baik di sana, ya~" pintanya. Sekar mengangguk tanpa sadar. Hatiny
"Karena abang pencopet." Sekar menampakkan raut kagetnya. Petra mengusap lagi air matanya. "Karena bang Pepet udah mencopet hati Sekar." Petra berusaha tersenyum. Sekar ikut tersenyum. "Bang Pepet lucu." Petra menganggukkan kepalanya. Tangisnya semakin hebat. "Kalo aku kamu ingat? Pokoknya harus ingat." Sean maju. Belum apa-apa matanya sudah berembun. "Bang Sean, kan?" Sekar tersenyum. "Gak pakai abang. Kamu biasanya manggil aku Sean aja. Gak ada abangnya." Sean mengusap air matanya. Sekar mengernyit. "Bang Sean kan seumuran bang Kayden? Kenapa Sekar gak panggil abang kayak yang lain?" Sekar menoleh pada Kayden yang dari tadi hanya diam. Mata pemuda itu paling sembab. "Bang Kayden," panggil Sekar karena Kayden hanya diam saja. "Kita semua bahkan gatau k
"Besok saya ingin membawa Sekar pulang berobat di Paris." "Om?" Shaka membeku. Dia takut salah mendengar sebelumnya. "Shaka gak salah denger, kan, om? Om gak mungkin mau bawa Sekar ke Paris, kan?" Keheningan di seberang sana sudah menjawab pertanyaan Shaka. Pemuda itu tanpa sadar mundur selangkah. Dia memegangi tembok di sebelahnya. "Om, Shaka yakin Sekar masih bisa disembuhkan di Indonesia. Shaka akan cari rumah sakit yang lebih baik lagi. Dokter yang lebih hebat lagi. Sekar tidak harus dibawa ke Paris, om. Lagipula Sekar baru siuman, om." Louis menghela nafas berat. "Shaka, dengarkan saya. Saya melakukan ini demi kebaikan Sekar. Saya tau pengobatan di Indonesia juga baik. Banyak rumah sakit maju dan dokter yang ahli di bidangnya. Tapi ini sudah dua minggu sejak Sekar siuman. Kesehatannya tidak memiliki banyak kemajuan." Shaka terdiam. Dia ingin menyangkal kata-kata Louis tapi tidak ada suara yang terucap. Dia juga terbayang saat Sekar merintih kesakitan merasakan semua luka
"Kagak ada nanti. Gue gak izinin lo nemuin Sekar sampai kapan pun!" Kayden memotong ucapan John. Kakinya kembali hendak menerjang ke depan. "Kay! Kay!" John berdiri di depan Kayden untuk menghalangi. Dia memegangi bahu Kayden dan memaksa pemuda itu untuk memasuki ruang rawat Sekar bersamanya. Gio memandang pintu ruang rawat Sekar yang sudah tertutup dari dalam. Pemuda itu lalu berjalan mendekati Bagas. Matanya menatap dari pucuk kepala hingga ujung kaki Bagas. Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu. Jika bukan karena suara Bagas yang tidak berubah, Gio tidak akan mengenali wajah di balik cambang tebal itu. "Lo sebaiknya pulang, bang. Kayden gak akan ngizinin lo liat Sekar buat sekarang. Cowok itu keras kepala." "Gue tau semua ini terjadi karena gue. Gue nyesel, Yo." "Lo ninggalin banyak masalah buat kita semua di Indo, bang." Gio tersenyum miris. "Gue dan yang lain gak pernah berenti nyari lo selama ini, tapi semuanya sia-sia. Lo gak bisa ditemuin di manapun. Lo emang niat ba
Oda mengangguk. "Saya juga tidak berniat melepaskan bajin-gan itu begitu saja dan menyerahkannya ke polisi. Masalahnya Shaka sudah menyerang tempat persembunyian mereka sendirian dan hampir membakar seluruh bagian rumah itu dan telah menarik perhatian warga sekitar. Orang-orangku juga mengatakan Daniel beserta anak buahnya sudah tidak terlihat di sana. Mereka pasti sudah kabur duluan saat mengetahui Sekar tertabrak. Sekarang polisi sudah terlanjur tau." "Masalah itu biar nanti Kayden yang ke kantor polisi. Kita pasti bisa nemuin Daniel, bang. Sean sama yang lain udah turun nyari mereka. Beberapa geng motor lain yang deket sama Fonza juga ikut turun tangan." "Gue juga udah nyuruh Jovi sama anak-anak buat ikut nyari keberadaan Daniel, Kay." Gio yang sedari awal diam juga ikut bersuara. Kayden memperhatikan wajah Gio yang sembab dan mengangguk. "Thanks." Katanya pelan. "Tapi saya sangsi keberadaan orang itu mudah ditemukan.
"Woy jangan kabur!"Kedua gadis itu sontak menoleh ke belakang dan melihat belasan orang mengejar mereka dari jarak agak jauh.Sekar melotot ngeri. Dia mengepalkan tangannya dan mempercepat larinya. "Kabur, Len!" Gadis itu menoleh pada Evelyn. "Lo masih sanggup, gak? Atau gue gendong aja?"Evelyn menggeleng tegas. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. Keringatnya sebesar biji jagung setiap dia menggerakkan kakinya.Sekar mengencangkan kepalan tangannya. Daniel. Awas saja. Besok dia luluh lantakkan orang itu bersama pengikutnya."Argh!" Evelyn berteriak saat tubuhnya terhuyung ke depan dan lututnya segera bergesekan dengan aspal jalanan. Dia merasakan kulitnya terkelupas dan terasa panas membakar. "Ilen!" Sekar yang sudah berjarak jauh di depannya segera menoleh mendengar teriakan Evelyn. Matanya melotot panik dan segera berlari hendak menghampiri Evelyn."Jangan." Evelyn menggelengkan kepala. Matanya berembun. "Jan
"Lo beneran bego." Sekar menaikkan sudut bibirnya melihat seseorang yang juga terborgol di seberangnya. Gadis itu meringkuk. Meski kondisi ruangan mereka disekap remang-remang tapi Sekar dapat melihat wajah gadis itu yang lebam-lebam. Terdapat bulatan besar berwarna kehitaman di mata kirinya. Entah siapa yang sudah melayangkan kepalan tangannya."Shh..." Gadis itu meringis saat membuka mulutnya."Mulut lo robek. Mending diem kata gue mah." Sekar terkekeh dan melanjutkan ucapannya. "Tapi gue penasaran, mata lo ditonjok siapa? Anjir GG banget pukulannya. Jangan bilang cowok lo si Brian?"Evelyn menggertakkan giginya. Matanya melirik tajam Sekar. "Berisik. Mending lo pingsan aja kayak tadi.""Gue bangun karena tiba-tiba lapar. Tau gak, pas lo nelpon tadi posisi gue lagi nunggu pesenan makanan gue. Demi nyelametin kakak yang akhirnya mau nerima gue makanya gue langsung ke sini jemput lo, taunya kena prank." Sekar terkekeh. Kebetulan perutnya keroncong
"Mau ke mana kamu, kak?" Shaka terlonjak kaget saat ruang tengah yang awalnya gelap menjadi terang benderang. Di belakangnya Ratna muncul dengan tangan bertengger di pinggang. "M-mama." Shaka menarik tangannya menyembunyikan sepatu yang ditentengnya di belakang tubuhnya. "Kamu mau ke mana lagi jam satu malam begini! Bentar lagi ujian, bukannya belajar di rumah." Mata Ratna tertuju pada tangan Shaka yang bersembunyi di belakang tubuhnya. "Kakak harus keluar, ma. Penting." Shaka memberikan tatapan memohon. "Udah larut malam, kak. Bahaya. Sekarang begal lagi marak. Lagian bisa tunggu besok pagi aja, kan." Ratna menatap gemas sekaligus kesal. "Mending balik ke kamarmu. Mama gak kasih izin kamu pergi sekarang. "Ma," Shaka menggelengkan kepalanya. "Kakak baru aja dapat kabar kalo Sekar diculik. Kakak mau bantu cari Sekar." "Lagi-lagi perempuan matre itu lagi?" Ratna menyugar rambutnya