“Kamu tidak pantas untuk menjadi mamih sambung untuk Amanda.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap satu tulisan berwarna merah pada secarik kertas yang ada di dalam kotak. Dirinya membaca tulisan tersebut, sedangkan Arsenio menatap dingin beberapa kertas lainnya yang terdapat tulisan yang berbeda.“Saya tidak rela jika Amanda diurus sama perempuan seperti kamu,” ucap Arsenio datar, Andhira mengusap lengan kekar Arsenio.“Dibuang aja deh, Mas. Emosi aku bacanya, kaya ngirim kaya gitu ke aku, buat bikin aku takut ya?” oceh Andhira, diakhiri dengan tertawa pelan. Dia menatap Arsenio, “Dia kirim itu ke rumah aku, mungkin karena kamu gak bakal ke rumah aku. Ternyata, mantan istri kamu itu bodoh.”Arsenio terkekeh, “Ramah banget ya itu mulut.”Andhira mengulum bibir, teguran untuknya tetapi secara halus. Sepeka itu perasaannya, mudah menyadari sesuatu tanpa harus secara terang-terangan. Memang tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi?“Maaf.”Arsenio mengambil alih kertas yang dipegang
“Tuhkan kegedean banget di akuu, mas Arsenn sihh. Kenapa gak dijahit dulu sih kalau mau dipinjemin ke aku?”Andhira menggerutu, sedangkan Arsenio terkekeh. Keduanya sedang memilih pesanan yang dikirimkan Mbak Maya kepada Arsenio. Andhira mengerucutkan bibir, kesal kepada kekasihnya itu yang membuatnya seperti anak penguin yang mengenakan jaket bulu dan kebesaran.“Gapapa, aku gak mau asset aku diliat sama banyak orang,” ucap Arsenio, merangkul pinggang Andhira dengan posesif, sedangkan kekasihnya itu mendorong trolli yang sudah terisi sebagian dari pesanan.“Gerahhh, Mas. Aku ke toilet deh yaa, mau lepas sweater aku aja, biar aku pake jaket mas Arsen,” bujuk Andhira, dan responnya tetap sama. Arsenio tidak mengijinkannya, alasan klasik, takutnya ada yang memasang cctv tersembunyi di toilet.“Aku tiup sini, biar dingin,” ucap Arsenio, dan meniupkann leher Andhira, membuat sang empu spontan mencubit pinggangnya. “Aww, main cubit-cubit aja.”Andhira mencebikkan bibir, dan dicapit oleh Ar
“Kamu gapapa, kann? Bilang sama aku, kalau kenapa-kenapa.”Arsenio mendekap erat Andhira yang terkejut. Bayangkan saja, saat Arsenio akan berbelok, tiba-tiba dari belakang menabrak mobil milik Arsenio cukup kencang, dan membuat Arsenio otomatis menginjak rem, agar tidak menimbulkan kecelakaan.“Aku gapapa, pasti mobilnya mas Arsen rusak,” ucap Andhira menatap wajah Arsenio dari bawah.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Keselamatann kamu paling penting. Mobil kan tinggal dibawa ke bengkel, dan bisa jadi sempurna lagi. Kalau kamu? Gak gak.”Andhira membalas pelukan dari kekasihnya, menyandarkan kepalanya di dada bidang Arsenio. Jujur saja, dia memang terkejut dengan apa yang terjadi, keningnya tidak terbentur dashboard mobil, hanya syok.“Aku gapapa, cuma kaget aja,” ucap Andhira, diangguki oleh Arsenio. Kedua merenggangkan pelukan, menatap satu sama lain.“Masih jauh kedai es krim temen kamu itu?” tanya Arsenio, dijawab dengan menggelengkan kepala dari Andhira.Andhira menatap ruko d
“Perkenalkan, saya Cahyo Adiyatama, saya menemani nona selama berada tidak bersama dengan tuan Arsenio.”Andhira mengerjapkan kedua matanya saat melihat sosok laki-laki mengenakan kemeja putih, memiliki list hitam di lengan, dan dimasukkan ke dalam celana berwarna hitam. Lalu beralih menatap Arsenio yang tersenyum kepadanya.“Ini maksudnya gimana? Om Cahyo ini bodyguard aku?” tanya Andhira, dijawab dengan gelengan kepala.“Anggap saja sebagai temen kamu. Umurnya baru dua puluh lima tahun, tapi prestasinya dibidang bela diri gak perlu diragukan. Dia ini aku daftarin kuliah, satu kelas sama kamu,” jelas Arsenio, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.“Kok bisa?” tanya Andhira dengan bingung, sedangkan Arsenio terkekeh.“Kamu lupa? Aku ini deket sama petinggi kampus, jadi buat aku masukin Cahyo ini cukup mudah. Tinggal mengisi form, bayaran, masuk deh.”Andhira menatap Cahyo yang tersenyum tipis kepadanya, lalu menatap Arsenio, “Jadi, aku manggilnya apa? Om Cahyo aja yaa? Tapi aku
“Siapa? Gebetan kamu yang baruu? Wahh parah.”Andhira yang sedang menyalin ulang catatannya, mendongak, menatap Reno yang datang bersama dengan Darwis. Kedua sahabatnya itu menatap Cahyo yang duduk di kursi belakang Andhira.“Iya,” jawab singkat Andhira, dan kembali melanjutkan menyalin ulang catatan. Dia membiarkan Reno dan Darwis berfikiran buruk tentangnya. Sedangkan Cahyo hanya menampilkan ekspresi dingin.Reno menarik kursi di sisi kanan Andhira untuk mendekat, menarik buku binder milik Andhira, berhasil membuat sang empu menatapnya.“Jawab jujur, dia siapa?” tanya Reno penuh penakanan, menatap kedua netra milik Andhira.Andhira hanya bergeming, tidak menjawab dengan cepat pertanyaan yang diberikan oleh Reno. Dia selalu berhati-hati dalam berucap, apalagi saat ini mereka sedang dikampus, jadi dirinya menoleh kebelakang, dan mendapatkan Cahyo yang tersenyum.“Cahyo Adiyatama, tetangga barunya Andhira,” sahut Cahyo, membuat Reno dan Darwis menatap satu sama lain, sebelum akhirn
“GAK USAH DIOBATIN, PERIH BANGET.”Andhira memukul lengan Darwis yang sedang meneteskan obat merah di keningnya. Darwis hanya terdiam, tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh Andhira. Sedangkan Reno dan Cahyo menatap Andhira yang sedang diobati.“Mariam lagi coba cek cctv di depan, kali aja bisa tau siapa pelakunya,” ucap Reno kepada Andhira, sedangkan fokus Andhira terbagi menjadi dua.“Terus? AWW,” Andhira menatap tajam Darwis, “Kamu ada ada dendam apa sama aku? Gak usah diobatin, nanti juga sembuh sendiri.”“Andhira.”Seisi ruangan menatap Arsenio yang baru saja tiba, dan melangkahkan kaki menghampiri Andhira, mengambil alih obat merah yang digenggam oleh Darwis. Sedangkan Darwis beranjak, memberikan tempat untuk Arsenio.“Baru dateng?” tanya Andhira, dijawab dengan gelengan kepala. Hal itu membuat Andhira menaikkan sebelah alis, “Terus kemana aja? Nyasar ke rumah janda pirang?”Arsenio tidak menjawab, dia meniup luka di pelipis kanan Andhira, lalu menatap kedua bola mata mili
“Aku cape deh lama-lama, kita putus aja ya, Mas.”Andhira menatap Arsenio yang menatap tajam kepadanya, dirinya benar-benar tidak akan kuat, jika harus mendapatkan teror terus-terusan seperti saat ini. Dia hanya ingin hidup dengan normal, tanpa ada teror.“Kamu apaan sih, gak ada ya putus-putus. Kamu jangan lupain perjanjian, kamu harus menerima konsekuensinya dan mencari jalan keluarnya bersama dengan aku,” ujar Arsenio, menggenggam erat tangan Andhira.Andhira terkekeh, “Mas, aku gak sekuat itu. Ini aku gak dikasih nafas sehari dua hari gitu, cuma hitungan jam, udah dapat teror lagi. Kita break aja kalau giitu, aku gak ketemu sama mas Arsen, ataupun Amanda.”Arsenio menggeleng, jelas saja dirinya menolak. Baru saja dirinya merasakan memiliki pasangann yang memang tulus kepadanya dan Amanda, lalu harus istirahat?“Gak, Andhira. Aku gak akan biarin itu terjadi. Jangan mengambil keputusan dalam keadaann emosi,” ucap Arsenio dengan lembut, sedangkan Andhira bergumam. Mereka saat ini
“Dihh kemana nih duda satu? Dihubungi gak ada balesann sama sekali. Awas aja sampai nanti siang kalau masih tetep gak mau bales chat aku, gak angkat telfon aku, fix aku blokir nomornya.”Andhira menyimpan ponselnya di meja dengan tidak santai, lalu bersidekap dada. Dia saat ini sudah berada di kelas, bersama dengan Cahyo yang duduk di kursi belakang.“Pak Arsenio belum ada kabar juga?” tanya Cahyo dari kursinya, membuat Andhira menoleh dengan mata menyipit.“Chatnya bang Cahyo juga gak dibales? Ditelfon juga gak diangkat?” tanya Andhira bertubi-tubi. Sedangkan Cahyo bergumam, menatap Andhira yang menatapnya penuh curiga.“Benar. Saya kira, kamu sebagai pacarnya, dikabarin.”Andhira berdecak kesal, lalu memutar tubuhnya dengan perasaan yang kesal terhadap Arsenio yang mengabaikan pesan darinya. Dia membalikkan ponselnya menjadi kamera dibagian atas, dan layar ponsel bagian bawah.“Aku blokir sampai nanti sore gak ada kabar juga,” gerutu Andhira menatap ponselnya yang tergeletak begitu