Wanita hamil itu terus saja ditendangi tanpa ampun oleh sang lelaki berpakaian kelabu. Makian terus saja terucap, berbarengan dengan suara teriakan kesakitan si wanita.
Sang pengemudi gerobak agak menoleh ke belakang, keningnya mengernyit.
Melihat kondisi sang wanita hamil, wajah lelaki itu memerah. Kemarahannya memuncak melihat sang wanita terus ditendangi tanpa ampun.
Beberapa saat dia menghela nafas, matanya sedikit terpejam. Dia berusaha mengontrol amarahnya.
Saat matanya terbuka, dengan cepat dia langsung mengikat tali kemudi kuda pada pegangan gerobak. Lalu tanpa suara dia berdiri dan melompat ke belakang.
'Wooosh....'
Sambil melompat sang lelaki itu melancarkan tendangannya kearah sang lelaki kelabu.
Melihat serangan itu, sang lelaki kelabu melompat kecil ke belakang, berusaha menghindari tendangan sang pengemudi gerobak. Seakan sudah diduganya bahwa akan ada serangan itu, dia sangat lihai menangkis kaki sang penyerang.
Sang lelaki kelabu mengambil kuda kuda sebentar, lalu berbalik dia melancarkan serangan pukulan ke arah sang pengemudi gerobak.
Agak kesusahan sang pengemudi gerobak menahan pukulan sang lelaki kelabu. Dari satu serangan saja tangannya sudah kesakitan dan gemetar menahan pukulan itu. Tenaga dalam dari sang lelaki kelabu tampaknya cukup tinggi.
Beberapa saat pukulan itu diterima, sang pengemudi gerobak tidak tinggal diam. Walau tubuhnya kesakitan, dia masih sangat fokus melancarkan serangan kedua. Kaki sang pengemudi gerobak memecut ke depan.
Agak kaget sang lelaki kelabu melihat serangan kedua itu. Dia tidak menyangka serangan bertenaga dalamnya mampu ditahan, apalagi melakukan serangan balik seperti itu.
Sepersekian detik pikiran lelaki kelabu melayang kemana mana, kaki sang pengemudi gerobak sudah sampai di perutnya.
Rasa sakit yang cukup kuat memaksanya untuk kembali fokus ke pertarungan. Tampak kelimpungan sang lelaki kelabu terdorong ke belakang. Dia hampir jatuh dari gerobak kalau saja tidak segera berpegangan pada pinggir gerobak.
Walaupun dia berhasil melayangkan serangan telak ke tubuh sang lelaki kelabu, namun sang pengemudi gerobak yang sudah terluka sebelumnya juga tampak kesakitan. Karena gerakan gerakannya tadi, luka di perutnya tampak semakin parah. Bercak merah semakin meluas tercetak di kain penutup lukanya.
Dengan raut wajah kesakitan, lelaki itu agak membungkuk menahan rasa perih di perutnya. Tangan kirinya bertopang pada lutut kiri, sementara tangan kanannya meraih sebuah keris kecil yang tertancap di samping tempat kemudi gerobak.
Sementara itu sang wanita yang hampir kehilangan kesadarannya karena rasa sakit yang amat parah, berusaha merangkak mencari posisi aman dibalik peti kayu di ujung belakang gerobak.
"Hahaha... Pak tua, menyerah sajalah! Kalian pasti akan mati disini. Berikan saja gulungan itu dan matilah dengan cepat!" Sambil tertawa nyaring, sang lelaki kelabu melepaskan golok dari sangkur di pinggangnya.
Berdiri diatas gerobak, sang pengemudi gerobak mencoba kembali mengatur nafas. "Kau pikir kami takut kepada manusia berhati kotor macam kalian?" Tegasnya.
"Walaupun aku mati, tapi aku akan ikut menyeretmu ke dalam kematian!"
"Percuma saja kau melawan, kami gerombolan perampok Tanduk Api sudah pasti akan mendapatkan gulungan itu." Ujar sang lelaki kelabu yakin. Di belakangnya, rombongan berkuda masih saja terus mengejar.
"Kalian tidak akan pernah bisa mendapatkan gulungan ini. Sebentar lagi gerobak ini akan tiba di wilayah Kademangan Janti!".
Sambil berteriak, sang lelaki pengemudi gerobak mencoba menyerang kembali sang lelaki kelabu. Dihunuskan kerisnya ke dada sang lelaki kelabu, namun dengan mudah sang lelaki kelabu menghindar.
Sambil menghindar, sang lelaki kelabu dengan beringas mengayunkan goloknya berusaha menebas dada sang lelaki pengemudi gerobak.
Cepat saja sang pengemudi gerobak menunduk menghindari tajamnya ayunan golok. Sambil sedikit condong ke depan dia menusuk kearah perut sang lelaki kelabu.
Naas, ternyata lelaki kelabu sudah menunggu serangan itu. Sedikit saja sang lelaki kelabu melompat. Keris itu menembus celah paha sang lelaki kelabu.
Dengan sedikit usaha, dia cepat saja menjepit pergerakan lengan sang pengemudi gerobak dengan pahanya. Lalu dengan gerakan agak memelintir, keris yang berada di tangan sang pengemudi gerobak pun terjatuh, berbarengan dengan teriakan kesakitan.
Melihat lawan yang sudah tak bersenjata, lelaki kelabu semakin buas. Golok yang dipegangnya terangkat ke atas, bersiap menebas kepala sang pengemudi gerobak.
Sekali ayun dengan kecepatan tinggi golok itu berusaha membelah kepala sang pengemudi gerobak.
Menyadari sudah tak ada jalan keluar lagi, lelaki pengemudi gerobak tahu ajalnya hampir tiba. Wajahnya tampak mulai tenang, tiba tiba reflek dia memiringkan kepalanya sambil sedikit condong ke samping. Tampak bahwa daya hidupnya masih sangat tinggi.
Golok maut itu tidak berhasil menebas tepat di kepala sang pengemudi gerobak. Senjata itu hanya berhasil dihindari dan melukai pundak hingga terhenti saat tertahan oleh tulang. Namun begitu, dengan luka separah itu sudah dipastikan bahwa sang pengemudi gerobak tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi.
Darah yang mengucur deras membasahi pakaian serta ujung golok yang masih menempel di pundak. Dengan sedikit kesadaran tersisa, sang pengemudi gerobak tiba tiba saja memeluk dan mendorong lelaki kelabu ke samping.
Tidak menyangka akan mendapat perlawanan seperti itu, lelaki kelabu terdorong ke samping. Lalu sambil masih dipeluk oleh sang pengemudi gerobak, keduanya terjatuh dari gerobak.
Lelaki kelabu jatuh terguling dari gerobak kuda, bersamaan dengan sang pengemudi gerobak.Sambil tersungkur di tanah, dia berusaha melepaskan diri dari tubuh sang pengemudi gerobak. Dia lantas mengibaskan tangannya membersihkan debu dari pakaian. Disampingnya, masih tergeletak, sang lelaki paruh baya pengemudi gerobak sudah bersimbah darah tak bernyawa."Kurang ajar! Berani sekali dia melukaiku, Kijan si golok maut." Tandasnya. Sambil bersumpah serapah dia menendang mayat disebelahnya.Tak berselang lama rombongan berkuda sampai disana, beberapa orang berhenti di depannya, sisanya terus mengejar gerobak kuda yang masih melaju kencang."Hahaha... Kijan,bagaimana rasanya dipeluk lelaki tua? Apa kau sudah bosan dengan para gadis desa jarahan kita?" Sambil tertawa terbahak bahak seorang lelaki gemuk turun dari kudanya. Seluruh tubuhnya bergetar saat dia tertawa, sementara janggutnya yang panjang ikut bergoyang seirama dengan getaran tubuhnya."Brengsek kau,
Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Ka
Seorang warga desa masuk ke dalam ruangan tempat dimana para sesepuh berkumpul. Dengan wajah panik dan nafas tersengal dia menghadap sang demang."Tuan Demang, di gerbang desa! Gerbang desa!" Tangannya menunjuk nunjuk ke arah luar, nafasnya masih sedikit tersengal.Raut muka Demang Yasa mengkerut, ada apa gerangan di gerbang desa."Kenapa dengan gerbang desa?" Ujarnya."Di gerbang desa tuan. Ada sebuah gerobak kuda, isinya seorang wanita hamil lagi pingsan! Pakaiannya penuh bercak darah dan ada luka di tubuhnya."Demang Yasa sedikit mengernyit, "Sekarang dimana wanita itu?""Wanita itu sudah dibawa sama beberapa warga ke rumah Mbah Kunti." Jawabnya."Antarkan aku kesana sekarang! Ki Jogoboyo, tolong urus pemakaman ketiga mayat disini. Para sesepuh dan yang lainnya, ikut aku ke rumah Mbah Kunti. Pembicaraan ini aku tunda sampai kita disana!" Perintah Demang Yasa sambil beranjak keluar ruangan.Para sesepuh dan pejabat kademangan mengikuti
Mbok Yah keluar dari rumah dan membisikkan sesuatu ke telinga Demang Yasa. Dengan tenang lalu sang demang beranjak dari sana."Ki Nambi, Ki Tarso, Darwis, ikut aku masuk ke dalam. Sisanya tetap disini, kita bahas lagi setelah ini." Perintah sang demang kepada para pengikutnya.Keempat lelaki segera masuk ke dalam rumah, mengikuti sang wanita paruh baya.Di dalam bilik, wanita hamil itu tengah menangis tersedu sedu. Matanya sayu, dan tubuhnya sedikit menggigil. Tangannya tak henti menghapus air mata yang terus keluar.Kondisi wanita itu sudah mulai membaik dari sebelumnya. Tubuhnya penuh dengan balutan kain, sepertinya luka di tubuhnya sudah diobati, tercium dari bau ramuan tanaman obat yang sangat khas. Dia sudah diberi pakaian ganti yang lebih bersih.Mbok Yah melirik kearah sang demang, kemudian mengangguk. Seakan diberi kode, sang demang perlahan mendekati wanita muda itu. Di lantas duduk bersila dihadapan sang wanita."Nak, saya Demang Yasa, p
Sambil menghela nafas, kini Demang Yasa mulai menemukan titik terang dari semua informasi yang dia dapat. Dia kini dapat menyimpulkan kenapa dan bagaimana para perampok Tanduk Api yang biasanya menyerang wilayah Gunung Rahastra bisa berada di wilayah Janti.Penyerangan yang selama ini dilakukan oleh para perampok itu tak lain tujuannya adalah untuk menemukan gulungan kitab itu. Karena mereka tidak tahu siapa yang mengambil gulungan tersebut, maka mereka mencurigai suami dari Rantini yang berpapasan di hutan. Disitulah awal mula mereka menyerang semua desa di dekat hutan."Nak Rantini, sekarang ananda sudah aman disini. Beristirahatlah dengan tenang, pulihkan tenaga dan pikiran. Istri demang, Nyi Aluh, sebentar lagi kemari untuk menemani ananda. Mbok Yah dan Mbah Kunti juga selalu disini untuk menemani ananda.""Terima kasih tuan demang." Rantini kini sudah mulai tenang.Setelah memberikan perintah dan pesan kepada Mbok Yah dan Mbah Kunti, Demang Yasa dan Darw
Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang."Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang."Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya.""Kau berani mengancamku?""Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang l
Sesaat Andaka dan anak buahnya mulai mundur, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius yang segera datang mengepung pasukan Janti. Seorang lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis mata berjalan ke arah Demang Yasa. Dia tertawa, dan tawanya sangat berat mengerikan."Kakak! Kau datang juga akhirnya. Sekarang si tua bangka ini bisa kita habisi bersama." Cicit Andaka."Hahaha... Memalukan sekali kau Andaka, hanya melawan satu orang tua saja sudah kewalahan. Sekarang menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya.""Baik kak." Andaka segera menyingkir, wajahnya memerah."Muncul juga sang kepala ular. Namamu Jalada kan? Sekarang rasakan seranganku ini!" Teriak Demang Yasa.Tanpa pikir panjang Demang Yasa langsung menyerang Jalada, sang pemimpin perampok Tanduk Api. Pedangnya mengarah tepat ke perut Jalada, siap menyobek kulit dan dagingnya.Dengan segenap tenaga Jalada berusaha menghindari serangan itu. Lantas dikeluarkannya sebuah golok dari sar
Di sudut pusat kademangan, enam orang misterius berlari dari luar. Di belakang mereka dua jasad sudah terbujur kaku bersimbah darah.Beberapa saat mereka berlari, salah satu dari mereka memberi kode, lantas mereka berpencar. Satu orang yang memberi kode memisahkan diri berlari ke suatu arah. Sisanya lima orang menuju ke sebuah rumah yang terdapat dua penjaga di halamannya.Satu orang yang memisahkan diri berlari ke sebuah rumah joglo paling besar. Di pendopo rumah tersebut ada empat orang yang tengah berjaga. Berbeda dengan sudut sudut terluar pusat kademangan, rumah tersebut tidak ada penerangan yang cukup. Hanya ada dua obor di depan pintu rumah dalam dan obor obor yang dibawa para penjaga.Sesaat satu sosok tersebut berlari kearah keempatnya. Tanpa kata dia mengeluarkan sebuah cambuk yang langsung diayunkan kearah salah satu penjaga.Para penjaga yang mengira satu sosok tersebut adalah warga Janti pun merasa kaget. Mereka terlambat menghindar. Serangan