Sebuah gerobak kuda melaju kencang melintasi rimbunan hutan dan semak belukar. Terus menerjang dengan lincah melewati pepohonan.
Seorang lelaki paruh baya dengan cekatan memegang kendali tiga ekor kuda, mengatur agar gerobak bisa seimbang dan tidak menabrak pohon.
Wajah dari sang lelaki itu biru lebam, dan tampak bercak darah yang sudah agak mengering menghiasi pinggir bibirnya. Terdapat sebuah luka sobek yang bisa dikenali dari perban kain bernoda darah menempel di perut lelaki tersebut. Darah tidak berhenti mengucur perlahan dari balik perban.
Namun dengan kondisi tersebut, matanya masih menampakkan ketegaran dan tekad kuat untuk bisa sampai di tujuan.
Di belakang kemudi, seorang wanita muda tengah hamil tua bersembunyi disela tumpukan peti kayu. Perutnya membuncit, dan kain jarik yang menempel di tubuhnya tak mampu menutupi perut besarnya itu.
Kondisi wanita itu hampir sama dengan sang lelaki di depan kemudi. Pakaian kotor dan berdarah darah, seakan baru saja meloloskan diri dari sebuah peperangan dahsyat. Semakin meyakinkan dengan peti kayu yang tertancap beberapa anak panah. Apalagi salah satu anak panah juga menancap di lengan kiri sang wanita.
Wajah wanita itu pucat. Dia nampak kelelahan dengan semua kejadian yang menimpanya. Pikirannya kacau.
Mata wanita itu berair dan merah. Dia tak henti hentinya menangis ketakutan. Kedua tangannya terus memeluk perutnya yang sudah sangat besar, seakan tidak peduli dengan rasa sakit di lengan yang tertancap anak panah.
Agak jauh terdengar suara langkah derap kuda dan tawa nyaring beberapa orang. Belasan lelaki dan wanita berpakaian kumal menunggang kuda mengejar gerobak tersebut.
Beberapa orang menggunakan busur dari atas kuda mencoba memanah gerobak dari belakang. Sisanya hanya mengejar dan mencoba mengepung dari dua sisi.
Seorang lelaki berpakaian kelabu berusaha memacu kudanya memperpendek jarak antara keduanya.
Hingga tinggal beberapa langkah saja tiba tiba sang penunggang kuda berdiri di atas kuda dan sekejab melompat dan mendarat diatas gerobak.
"Hei pak tua, tak usah kau mencoba melarikan diri! Hari ini sudah pasti menjadi hari kematianmu!" Sambil menyeringai sang lelaki kelabu berdiri diatas tumpukan peti kayu.
Kaget dan melihat salah satu pengejarnya ada di atas tumpukan peti kayu, sang wanita hamil dengan panik mencoba menggapai sebuah balok kayu yang tergeletak di dekatnya.
Beberapa detik saja wanita itu mampu meraih balok kayu, sang lelaki kelabu dengan santai melompat ke depan dan menendang tubuh wanita tersebut.
Sambil menjerit kesakitan, wanita itu tersungkur ke samping. Balok kayu di tangannya terlempar jatuh dari gerobak kuda yang masih terus melaju kencang.
"Kau diam saja disitu! Kau akan kuurus nanti setelah pak tua ini." Sang lelaki kelabu menggertak si wanita hamil.
"Aaaarrghh! Iblis kalian! Mati sajalah kalian ini!" Teriak sang wanita sambil hendak menyerang kembali.
Wanita itu mencoba kembali bangkit, dia hendak menyerang kembali sang lelaki kelabu.
Tangannya hendak mencakar wajah si lelaki kelabu saat tiba tiba saja si lelaki kelabu dengan cepat menghindar. Gerakannya sangat cepat, dia pun dengan tangkas berpindah ke belakang sang wanita hamil.
Sebuah tangan dengan secepat kilat memukul pundak sang wanita hingga terpelanting menabrak tumpukan peti kayu.
Wanita itu cukup beruntung, dia tanpa sadar membalikkan tubuh saat terjatuh ke tumpukan peti. Rasa sayang dan cinta terhadap janin di perutnya masih sangat kuat.
"Wanita bodoh! Mati saja kau!" Sang lelaki kelabu terus saja menyumpahi wanita yang sudah tidak berdaya itu.
Lelaki itu dengan beringas menumpahkan kekesalannya kepada sang wanita hamil. Dia menendangi punggung sang wanita yang terus saja tengkurap menjaga perutnya.
"Mati saja kau dimakan Kala! Dasar wanita jalang!"
Sumpah serapah dan makian terus saja keluar dari mulut sang lelaki berpakaian kelabu, sementara kakinya terus menendangi punggung si wanita.
Wanita hamil itu terus saja ditendangi tanpa ampun oleh sang lelaki berpakaian kelabu. Makian terus saja terucap, berbarengan dengan suara teriakan kesakitan si wanita.Sang pengemudi gerobak agak menoleh ke belakang, keningnya mengernyit.Melihat kondisi sang wanita hamil, wajah lelaki itu memerah. Kemarahannya memuncak melihat sang wanita terus ditendangi tanpa ampun.Beberapa saat dia menghela nafas, matanya sedikit terpejam. Dia berusaha mengontrol amarahnya.Saat matanya terbuka, dengan cepat dia langsung mengikat tali kemudi kuda pada pegangan gerobak. Lalu tanpa suara dia berdiri dan melompat ke belakang.'Wooosh....'Sambil melompat sang lelaki itu melancarkan tendangannya kearah sang lelaki kelabu.Melihat serangan itu, sang lelaki kelabu melompat kecil ke belakang, berusaha menghindari tendangan sang pengemudi gerobak. Seakan sudah diduganya bahwa akan ada serangan itu, dia sangat lihai menangkis kaki sang penyerang.Sang lel
Lelaki kelabu jatuh terguling dari gerobak kuda, bersamaan dengan sang pengemudi gerobak.Sambil tersungkur di tanah, dia berusaha melepaskan diri dari tubuh sang pengemudi gerobak. Dia lantas mengibaskan tangannya membersihkan debu dari pakaian. Disampingnya, masih tergeletak, sang lelaki paruh baya pengemudi gerobak sudah bersimbah darah tak bernyawa."Kurang ajar! Berani sekali dia melukaiku, Kijan si golok maut." Tandasnya. Sambil bersumpah serapah dia menendang mayat disebelahnya.Tak berselang lama rombongan berkuda sampai disana, beberapa orang berhenti di depannya, sisanya terus mengejar gerobak kuda yang masih melaju kencang."Hahaha... Kijan,bagaimana rasanya dipeluk lelaki tua? Apa kau sudah bosan dengan para gadis desa jarahan kita?" Sambil tertawa terbahak bahak seorang lelaki gemuk turun dari kudanya. Seluruh tubuhnya bergetar saat dia tertawa, sementara janggutnya yang panjang ikut bergoyang seirama dengan getaran tubuhnya."Brengsek kau,
Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Ka
Seorang warga desa masuk ke dalam ruangan tempat dimana para sesepuh berkumpul. Dengan wajah panik dan nafas tersengal dia menghadap sang demang."Tuan Demang, di gerbang desa! Gerbang desa!" Tangannya menunjuk nunjuk ke arah luar, nafasnya masih sedikit tersengal.Raut muka Demang Yasa mengkerut, ada apa gerangan di gerbang desa."Kenapa dengan gerbang desa?" Ujarnya."Di gerbang desa tuan. Ada sebuah gerobak kuda, isinya seorang wanita hamil lagi pingsan! Pakaiannya penuh bercak darah dan ada luka di tubuhnya."Demang Yasa sedikit mengernyit, "Sekarang dimana wanita itu?""Wanita itu sudah dibawa sama beberapa warga ke rumah Mbah Kunti." Jawabnya."Antarkan aku kesana sekarang! Ki Jogoboyo, tolong urus pemakaman ketiga mayat disini. Para sesepuh dan yang lainnya, ikut aku ke rumah Mbah Kunti. Pembicaraan ini aku tunda sampai kita disana!" Perintah Demang Yasa sambil beranjak keluar ruangan.Para sesepuh dan pejabat kademangan mengikuti
Mbok Yah keluar dari rumah dan membisikkan sesuatu ke telinga Demang Yasa. Dengan tenang lalu sang demang beranjak dari sana."Ki Nambi, Ki Tarso, Darwis, ikut aku masuk ke dalam. Sisanya tetap disini, kita bahas lagi setelah ini." Perintah sang demang kepada para pengikutnya.Keempat lelaki segera masuk ke dalam rumah, mengikuti sang wanita paruh baya.Di dalam bilik, wanita hamil itu tengah menangis tersedu sedu. Matanya sayu, dan tubuhnya sedikit menggigil. Tangannya tak henti menghapus air mata yang terus keluar.Kondisi wanita itu sudah mulai membaik dari sebelumnya. Tubuhnya penuh dengan balutan kain, sepertinya luka di tubuhnya sudah diobati, tercium dari bau ramuan tanaman obat yang sangat khas. Dia sudah diberi pakaian ganti yang lebih bersih.Mbok Yah melirik kearah sang demang, kemudian mengangguk. Seakan diberi kode, sang demang perlahan mendekati wanita muda itu. Di lantas duduk bersila dihadapan sang wanita."Nak, saya Demang Yasa, p
Sambil menghela nafas, kini Demang Yasa mulai menemukan titik terang dari semua informasi yang dia dapat. Dia kini dapat menyimpulkan kenapa dan bagaimana para perampok Tanduk Api yang biasanya menyerang wilayah Gunung Rahastra bisa berada di wilayah Janti.Penyerangan yang selama ini dilakukan oleh para perampok itu tak lain tujuannya adalah untuk menemukan gulungan kitab itu. Karena mereka tidak tahu siapa yang mengambil gulungan tersebut, maka mereka mencurigai suami dari Rantini yang berpapasan di hutan. Disitulah awal mula mereka menyerang semua desa di dekat hutan."Nak Rantini, sekarang ananda sudah aman disini. Beristirahatlah dengan tenang, pulihkan tenaga dan pikiran. Istri demang, Nyi Aluh, sebentar lagi kemari untuk menemani ananda. Mbok Yah dan Mbah Kunti juga selalu disini untuk menemani ananda.""Terima kasih tuan demang." Rantini kini sudah mulai tenang.Setelah memberikan perintah dan pesan kepada Mbok Yah dan Mbah Kunti, Demang Yasa dan Darw
Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang."Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang."Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya.""Kau berani mengancamku?""Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang l
Sesaat Andaka dan anak buahnya mulai mundur, dari arah pepohonan muncul beberapa orang misterius yang segera datang mengepung pasukan Janti. Seorang lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis mata berjalan ke arah Demang Yasa. Dia tertawa, dan tawanya sangat berat mengerikan."Kakak! Kau datang juga akhirnya. Sekarang si tua bangka ini bisa kita habisi bersama." Cicit Andaka."Hahaha... Memalukan sekali kau Andaka, hanya melawan satu orang tua saja sudah kewalahan. Sekarang menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya.""Baik kak." Andaka segera menyingkir, wajahnya memerah."Muncul juga sang kepala ular. Namamu Jalada kan? Sekarang rasakan seranganku ini!" Teriak Demang Yasa.Tanpa pikir panjang Demang Yasa langsung menyerang Jalada, sang pemimpin perampok Tanduk Api. Pedangnya mengarah tepat ke perut Jalada, siap menyobek kulit dan dagingnya.Dengan segenap tenaga Jalada berusaha menghindari serangan itu. Lantas dikeluarkannya sebuah golok dari sar
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka