Pulau Jawa, pulau purba yang terpisah dari daratan Asia. Pulau yang berisi puncak puncak megah yang hingga saat ini masih sangat misterius. Pulau yang sejak jaman dahulu kala menyimpan berbagai macam cerita dan legenda.
Tanah yang masih perawan, hutan hutan alami yang menyesatkan, pegunungan tinggi yang masih keramat, hingga sungai dan danau yang belum terjamah, masih menyisakan tanda tanya bagi manusia.
Begitu pula dengan binatang dan tanaman eksotis yang masih bisa terlihat. Mereka seakan memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri.
Tempat hantu dan siluman bersemayam masih sangat diwingitkan oleh sebagian besar makhluk hidup. Ada yang menjadi tabu, ada pula yang dipuja puja.
Bertahun tahun dahulu pulau ini dihuni oleh berbagai macam ras. Ras manusia yang beragam, binatang, tumbuhan, hingga makhluk tak kasat mata seolah tak mau kalah menempati berbagai sudut pulau.
Mereka membangun pusat kekuatan masing masing. Pertikaian dan pertumpahan darah terjadi. Hanya demi satu tujuan, bertahan hidup.
Pada awalnya hukum rimba berlaku pada semua ras dan makhluk. Namun seiring waktu mereka mampu mengontrol kekuatannya masing masing. Muncullah disini berbagai macam ambisi. Hingga terbentuklah dua kubu, kubu hitam dan kubu putih.
Kubu putih adalah mereka yang memang memiliki kemampuan dan kekuatan yang digunakan untuk perdamaian. Sementara kubu hitam adalah mereka yang memiliki ambisi untuk menguasai dan menghancurkan.
Yang berada di dalam dua kubu ini bukan hanya ras manusia, namun juga dari berbagai macam ras yang memiliki kekuatan lebih.
Prinsip hukum rimba semakin menjadi saat yang kuat semakin berkuasa dan yang lemah hanya bisa pasrah.
Disini pada mulanya manusia berada di pertengahan, terkadang mereka disingkirkan oleh ras kuat, kadang pula manusia bisa bertahan dengan kemampuan akalnya.
Hingga akhirnya manusia mampu beradaptasi dan mulai menjadi ras yang kuat.
Ras manusia yang menguasai pulau beribu ribu tahun kemudian, mulai sadar akan kemampuannya. Mereka mulai membangun kelompok, desa, hingga akhirnya kerajaannya sendiri.
Kerajaan kerajaan itu dibuat sebagian besar oleh kubu putih, dengan tujuan untuk melindungi ras manusia yang tidak memiliki kekuatan dari serangan kubu hitam yang saat itu masih merajalela.
Untuk bentuk kehidupan di masing masing kerajaan sangatlah beragam.
Salah satu yang masih samar adalah kehidupan di jaman kerajaan Mataram hindu. Jaman dimana Raja Sanjaya yang sakti masih berkuasa.
Wilayah kerajaan Mataram saat itu sangat tentram dan damai. Tapi itu hanyalah cerita yang tampak di permukaan. Masih banyak kisah dan kondisi yang tidak muncul di permukaan.
Salah satunya adalah peperangan antara kubu hitam dan putih yang masih sangat kental di berbagai wilayah kerajaan Mataram. Perang dimana masyarakat biasa sama sekali tidak paham dan menganggap itu adalah sesuatu yang mengerikan, sakral, hingga tabu untuk diucapkan. Hingga tidak ada suatu catatan atau prasasti pun yang mengungkap peperangan antar orang orang sakti dan makhluk makhluk mistis tersebut.
Manusia sakti, itulah yang mampu dijabarkan oleh para penduduk biasa. Mereka bisa sebagai pertapa, pengelana, pendekar, atau bahkan menyamar sebagai pedagang. Mereka yang memiliki bakat dan mengolah bakat tersebut sedemikian rupa hingga menjadi sebuah ilmu tenaga dalam yang tinggi.
Salah satunya adalah sang raja Mataram sendiri, Raja Sanjaya. Dalam pemerintahannya, dia dibantu oleh para prajurit yang juga dibekali ilmu bertarung yang cukup. Dia yang berhasil menekan kekuatan ilmu hitam agar tidak muncul ke permukaan.
Namun disini bukan hanya raja Sanjaya sendiri yang menghalau pergerakan dari kubu hitam. Di balik itu, kubu putih juga bergerak dari balik layar menghancurkan siasat siasat kubu hitam.
Disinilah awal mula kisah ini, kisah seorang anak yang mencari pembenaran.
Sebuah gerobak kuda melaju kencang melintasi rimbunan hutan dan semak belukar. Terus menerjang dengan lincah melewati pepohonan.Seorang lelaki paruh baya dengan cekatan memegang kendali tiga ekor kuda, mengatur agar gerobak bisa seimbang dan tidak menabrak pohon.Wajah dari sang lelaki itu biru lebam, dan tampak bercak darah yang sudah agak mengering menghiasi pinggir bibirnya. Terdapat sebuah luka sobek yang bisa dikenali dari perban kain bernoda darah menempel di perut lelaki tersebut. Darah tidak berhenti mengucur perlahan dari balik perban.Namun dengan kondisi tersebut, matanya masih menampakkan ketegaran dan tekad kuat untuk bisa sampai di tujuan.Di belakang kemudi, seorang wanita muda tengah hamil tua bersembunyi disela tumpukan peti kayu. Perutnya membuncit, dan kain jarik yang menempel di tubuhnya tak mampu menutupi perut besarnya itu.Kondisi wanita itu hampir sama dengan sang lelaki di depan kemudi. Pakaian kotor dan berdarah darah, seakan
Wanita hamil itu terus saja ditendangi tanpa ampun oleh sang lelaki berpakaian kelabu. Makian terus saja terucap, berbarengan dengan suara teriakan kesakitan si wanita.Sang pengemudi gerobak agak menoleh ke belakang, keningnya mengernyit.Melihat kondisi sang wanita hamil, wajah lelaki itu memerah. Kemarahannya memuncak melihat sang wanita terus ditendangi tanpa ampun.Beberapa saat dia menghela nafas, matanya sedikit terpejam. Dia berusaha mengontrol amarahnya.Saat matanya terbuka, dengan cepat dia langsung mengikat tali kemudi kuda pada pegangan gerobak. Lalu tanpa suara dia berdiri dan melompat ke belakang.'Wooosh....'Sambil melompat sang lelaki itu melancarkan tendangannya kearah sang lelaki kelabu.Melihat serangan itu, sang lelaki kelabu melompat kecil ke belakang, berusaha menghindari tendangan sang pengemudi gerobak. Seakan sudah diduganya bahwa akan ada serangan itu, dia sangat lihai menangkis kaki sang penyerang.Sang lel
Lelaki kelabu jatuh terguling dari gerobak kuda, bersamaan dengan sang pengemudi gerobak.Sambil tersungkur di tanah, dia berusaha melepaskan diri dari tubuh sang pengemudi gerobak. Dia lantas mengibaskan tangannya membersihkan debu dari pakaian. Disampingnya, masih tergeletak, sang lelaki paruh baya pengemudi gerobak sudah bersimbah darah tak bernyawa."Kurang ajar! Berani sekali dia melukaiku, Kijan si golok maut." Tandasnya. Sambil bersumpah serapah dia menendang mayat disebelahnya.Tak berselang lama rombongan berkuda sampai disana, beberapa orang berhenti di depannya, sisanya terus mengejar gerobak kuda yang masih melaju kencang."Hahaha... Kijan,bagaimana rasanya dipeluk lelaki tua? Apa kau sudah bosan dengan para gadis desa jarahan kita?" Sambil tertawa terbahak bahak seorang lelaki gemuk turun dari kudanya. Seluruh tubuhnya bergetar saat dia tertawa, sementara janggutnya yang panjang ikut bergoyang seirama dengan getaran tubuhnya."Brengsek kau,
Gerobak kuda terus melaju kencang menuruni bukit hingga bertemu dengan sebuah jalan setapak. Jalan itu adalah salah satu jalur utama yang mengarah ke wilayah dalam Kademangan Janti. Disana terdapat pusat pemukiman warga dan pusat pemerintahan Kademangan Janti, sebuah kademangan yang dipimpin okeh seorang demang yang sangat adil bernama Demang Yasa.Didalam sebuah rumah yang tampak paling besar di Kademangan Janti, tiga orang lelaki tergeletak di atas sebuah tikar bambu. Tubuh mereka penuh luka, baik itu luka tusukan, sayatan, maupun lebam. Dua orang dari mereka sudah tak bernyawa lagi, sementara satunya sudah berada di ujung nafas.Di sekeliling tiga orang itu, beberapa orang lainnya menunjukkan ekspresi yang berbeda beda. Ada yang menerawang, serius, marah, sedih, cemberut, ada pula yang kelihatan bingung. Walau begitu, orang orang itu memiliki satu pertanyaan yang sama di benak mereka, mengapa gerombolan perampok Tanduk Api berani melakukan aksi penjarahan sampai ke Ka
Seorang warga desa masuk ke dalam ruangan tempat dimana para sesepuh berkumpul. Dengan wajah panik dan nafas tersengal dia menghadap sang demang."Tuan Demang, di gerbang desa! Gerbang desa!" Tangannya menunjuk nunjuk ke arah luar, nafasnya masih sedikit tersengal.Raut muka Demang Yasa mengkerut, ada apa gerangan di gerbang desa."Kenapa dengan gerbang desa?" Ujarnya."Di gerbang desa tuan. Ada sebuah gerobak kuda, isinya seorang wanita hamil lagi pingsan! Pakaiannya penuh bercak darah dan ada luka di tubuhnya."Demang Yasa sedikit mengernyit, "Sekarang dimana wanita itu?""Wanita itu sudah dibawa sama beberapa warga ke rumah Mbah Kunti." Jawabnya."Antarkan aku kesana sekarang! Ki Jogoboyo, tolong urus pemakaman ketiga mayat disini. Para sesepuh dan yang lainnya, ikut aku ke rumah Mbah Kunti. Pembicaraan ini aku tunda sampai kita disana!" Perintah Demang Yasa sambil beranjak keluar ruangan.Para sesepuh dan pejabat kademangan mengikuti
Mbok Yah keluar dari rumah dan membisikkan sesuatu ke telinga Demang Yasa. Dengan tenang lalu sang demang beranjak dari sana."Ki Nambi, Ki Tarso, Darwis, ikut aku masuk ke dalam. Sisanya tetap disini, kita bahas lagi setelah ini." Perintah sang demang kepada para pengikutnya.Keempat lelaki segera masuk ke dalam rumah, mengikuti sang wanita paruh baya.Di dalam bilik, wanita hamil itu tengah menangis tersedu sedu. Matanya sayu, dan tubuhnya sedikit menggigil. Tangannya tak henti menghapus air mata yang terus keluar.Kondisi wanita itu sudah mulai membaik dari sebelumnya. Tubuhnya penuh dengan balutan kain, sepertinya luka di tubuhnya sudah diobati, tercium dari bau ramuan tanaman obat yang sangat khas. Dia sudah diberi pakaian ganti yang lebih bersih.Mbok Yah melirik kearah sang demang, kemudian mengangguk. Seakan diberi kode, sang demang perlahan mendekati wanita muda itu. Di lantas duduk bersila dihadapan sang wanita."Nak, saya Demang Yasa, p
Sambil menghela nafas, kini Demang Yasa mulai menemukan titik terang dari semua informasi yang dia dapat. Dia kini dapat menyimpulkan kenapa dan bagaimana para perampok Tanduk Api yang biasanya menyerang wilayah Gunung Rahastra bisa berada di wilayah Janti.Penyerangan yang selama ini dilakukan oleh para perampok itu tak lain tujuannya adalah untuk menemukan gulungan kitab itu. Karena mereka tidak tahu siapa yang mengambil gulungan tersebut, maka mereka mencurigai suami dari Rantini yang berpapasan di hutan. Disitulah awal mula mereka menyerang semua desa di dekat hutan."Nak Rantini, sekarang ananda sudah aman disini. Beristirahatlah dengan tenang, pulihkan tenaga dan pikiran. Istri demang, Nyi Aluh, sebentar lagi kemari untuk menemani ananda. Mbok Yah dan Mbah Kunti juga selalu disini untuk menemani ananda.""Terima kasih tuan demang." Rantini kini sudah mulai tenang.Setelah memberikan perintah dan pesan kepada Mbok Yah dan Mbah Kunti, Demang Yasa dan Darw
Demang Yasa mencoba untuk menahan amarah, dia tampak tenang."Ada apa dengan sikap kalian ini? Datang kemari dengan senjata penuh darah di tangan. Siapa yang tahu sudah berapa banyak yang kalian sakiti. Aku tidak tahu apa yang kalian maksud, dan aku harap kalian segera pergi dari sini! Kalian tidak diterima di sini!" Tegas sang demang."Hahaha... Tuan demang tidak usah mengalihkan pembicaraan. Saya harap tuan segera menjawab pertanyaan saya.""Kau berani mengancamku?""Cuih... Andaka, tak usah basa basi lagi. Langsung saja kita hajar mereka! Semakin cepat kita mendapat gulungan itu, semakin cepat pula kita pulang ke markas. Aku sudah tidak sabar ingin mencicipi para gadis yang sudah kita tangkap." Sela lelaki kelabu dibelakang sang lelaki gemuk.Mendengar hal itu wajah Demang Yasa kian memerah menahan amarah. Dalam hatinya semakin dingin, dia ingin segera menghajar para perampok itu. Namun disisi lain, kesadarannya terus mengingat para warga desa yang l
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela
Janu dan Wulung juga telah selesai dengan pondok terakhir di wilayahnya. Mereka mendengar keributan di sudut bukit, mereka pun lantas segera menghampirinya.Di satu titik, mereka melihat dari kejauhan beberapa murid tengah bertahan dari serangan para perampok. Di sisi lain, mereka juga melihat lawannya, Jalada, dengan amarahnya menyerang membabi buta.Malya pun terlihat tengah menghadapi Andaka yang sedang mengamuk seperti banteng kesetanan. Sementara itu Rangin yang sedari tadi sudah memisahkan diri tengah mengahadapi lima perampok sekaligus. Nyi Kupita yang hendak membantu Jalada juga tengah ditahan oleh Suli."Wulung, aku akan menghadapi Jalada! Kau urus anak buahnya." Tegas Janu."Tapi kak..." Ujar Wulung sedikit emosi. Dia juga ingin menghadapi Jalada.Janu menatap Wulung, matanya memancarkan keinginan yang sangat kuat. Beberapa saat Wulung mendesah. Dia pun mengangguk."Baik lah kak. Hati hati!" Ucap Wulung pelan. Dia kemudian berlari
"Kita bagi kelompok dalam empat penjuru! Aku ke utara, sisanya kalian bagi saja sendiri, siapa yang akan mengikutiku." Tegas Suli.Para murid pun langsung membagi menjadi empat kelompok, masing masing mengepung dari empat sudut bukit. Janu, Rangin, dan Wulung bergerak ke sisi timur. Sedangkan Malya, bersama murid murid yang lain mengepung dari arah selatan.Disini belum ada yang menyadari pergerakan para murid Perguruan Pinus Angin. Mereka melakukan penyergapan dengan sangat senyap dan tanpa suara, aura mereka pun bahkan dihilangkan. Dengan gesit mereka berjalan mengendap endap dari semak ke semak, pohon ke pohon.Setelah merasa cukup dekat dengan target, mereka langsung menghabisi para penjaga itu dengan senyap. Di luar, para penjaga yang berada di setiap sudut dihabisi tanpa sisa. Tidak ada suara apapun terdengar selain kematian.Para murid berhasil menyusup ke dalam menerobos pagar bambu. Mereka pun bergerak menuju ke pondok pondok yang tersebar disana
Melihat pemimpinnya kalah, para kera yang lain berhamburan ke segala arah. Bagai tubuh tak berkepala, kera kera itu seakan kembali ke sifatnya yang biasa, yang biasanya takut apabila melihat manusia. Dengan tewasnya Lutung Kasyapa, selesai pula tugas Janu dan kawan kawan di Masin. Para prajurit dan murid Perguruan Pinus Angin bisa bernafas lega, kewaspadaan mereka mengendor melihat para kera bergelantungan kabur dari lokasi itu. Para murid perguruan, termasuk Rakawan, terlihat kelelahan setelah bertempur dengan hebat dengan sang siluman. Murid murid dan prajurit yang terluka langsung diberikan pertolongan oleh para prajurit yang sehat. Dua minggu berlalu sejak penyerangan ke hutan Segorokayu, Janu dan ketiga rekannya kini sudah tiba di Lasem. Mereka tidak mau berlama lama di Masin, karena masih ada tugas yang harus dikerjakan di Lasem. Mereka harus membasmi komplotan perampok Tanduk Api yang bertahun tahun meresahkan warga. Di pusat kadipaten, mereka