Minggu pagi yang cerah, memang saatnya wanita bermata besar itu beristirahat dari melatih anak-anak juga kursus bahasa Arab yang mulai menjemukan. Seharian ia hanya tidur-tiduran saja di dalam rumah. Ingin keluar hari panas bukan main. Namun, pintu rumahnya diketuk beberapa orang sepertinya. Ia pun lekas ambil baju panjang, khimar serta cadar. Ingat pesan Syeikh killer ketika melangkahkan kaki ke luar rumah harus tutup aurat. “Oh, kalian, aku pikir siapa. Ada apa, rindu denganku?” Nuwa mempersilakan masuk Anjali, Fani, serta padma. Tak ada kabar mereka mau datang, alhasil Nuwa hanya suguhkan makanan pagi tadi. “Wah, Nuwa, enak juga masakanmu, ya, rasanya di sini tidak ada orang yang rajin sepertimu, memotong wortel dan lobak sampai kurus-kurus begini.” Fani makan, tapi ia tak mau pakai sumpit, seperti Nuwa. “Oh, iya jelas, aku kan, cantik, penyabar, dan pintar masak.” Nuwa mengambil sayur pakai sumpit, tiga temannya heran. “Siapa yang bilang begitu, Nuwa?” tanya Anjali. Cantik, p
“Wah, banyak juga jadinya,” ucap Nuwa ketika membuka adonan bakpao yang telah ia diamkan dan tidak ajak bicara selama satu jam. Isian sayur dan daging ayam telah selesai ditumis oleh Nuwa. Lalu diambilnya tepung yang telah ia pukul-pukul lagi itu, diisi sayur sedikit demi sedikit sampai adonan habis. Jadilah 40 bulatan bakpao yang sudah mulai dikukus mana yang mengembang sempurna. “Jadi, untuk Rizki, Farhan, dan Bhani, ada 40 bakpao. Paling aku hanya makan lima saja, 35 bagi tiga.” Nuwa kemudian membagi menjadi tiga tempat. Untuk rumah Maira 10, untuk rumah Naima 10. “Eh, tunggu dulu, berarti aku harus ke rumah Bhani, yang artinya rumah Syeihk. Eh, tambah jadilah gibah tentang kami. Aduh, gimana, ya, mana sudah janji. Kalau dimakan siang, nanti ketahuan murid-murid yang lain tak enak hatiku jadinya.” “Oh, begini saja, antar ke rumah Bibi Gu, ah tidak, udah biasa panggil Mufei, terserahlah, antar ke sana saja, lagi pula aku tidak tahu rumah Bhani di mana. Capek kali aku disuruh car
“Nuwa, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Gu yang pindah duduk di sebelah wanita Suku Mui itu. “Alhamdulillah, baik, Mufei, kenapa?” Mata Nuwa berbinar.“Kau masih menyendiri?” tanya wanita bermata biru itu lagi. Nuwa sepertinya paham ke mana arah pembicaran Gu. “Iya, masih, tap—” “Kalau misalnya Ibu ingin membuat kalian saling mengenal bagaimana?” Jeng jeng jeng. Telinga Dayyan langsung tegak mendengar isyarat ibunya. “Kalian itu siapa, Mufei?” tanya Nuwa lebih pasti. “Kau dan Hanif, kan, sama-sama sendiri.” Gu tersenyum. Dayyan yang duduk di ruang tamu jantungnya mulai berdebar lebih kencang. Kalah start dia dengan ibunya sendiri. “Eeheheheh, haduh, Mufei, Hanif itu masih perjaka, bukan?”“Iya, kenapa?” “Keutamaannya, kan, menikah dengan gadis.” Nuwa cari-cari alasan. Dia tak suka dengan modelan pemalu dan lugu seperti itu. Pun Hanif kurus seperti tiang listrik sudah jelas no six pack. “Tapi dengan janda tidak ada larangan, apalagi kalau jandanya solehah dan pemberani sep
Pintu rumah Fani diketuk. Gadis itu sedang tidak mengenakan tutup kepala. Ayahnya yang membuka pintu. Lalu tiba-tiba saja ayah Fani mengangkat dua tangannya. Ada dua perempuan masuk dari depan sambil menodongkan pistol. “Ayah,” ucap Fani. Namun, detik itu juga kepalanya pun ditodong pistol. “Mana yang namanya Fani?” tanya penyusup yang masuk. “A-aku, Fani, apa maumu?” jawab gadis itu sambil gemetar. Lekas ia ambil perlahan ponsel di saku gamis. Fani berniat untuk meminta tolong pada Nuwa. Namun, ponsel itu pun dirampas dan diinjak sampai hancur. “Kau teman Nuwa?” Penutup wajah penyusup itu dibuka. Lili di sana bersama satu orang bawahannya. “I-iya, tapi Nuwa tidak di sini, dia di rumahnya.” “Diam, jangan bicara sebelum aku minta. Bersikaplah seperti biasa seolah-olah kami tidak pernah datang. Tunggu perintah dari kami besok. Malam ini kami akan menginap, dan satu pun dari kalian tidak boleh buka suara. Kalau tidak. Dor. Percayalah pistol ini kedap suara. Kalian akan jadi mayat
Wanita Suku Mui itu merasa heran kenapa Fani diam saja. Biasanya dia selalu bertanya hal-hal kecil sepanjang pelajaran berlangsung. Nuwa merasakan pena yang dipegang temannya selalu salah menuliskan kata-kata. “Kau sakit? Aku antar pulang, ya?” Nuwa memegang tangan Fani, terasa dingin di musim panas yang terik. “Tidak. Aku baik-baik saja, ayo, Nuwa.” Lalu Fani diam. “Ayo ke mana? Katakan apa yang terjadi Fani? Ada yang menyakitimu? Siapa? Lelaki atau perempuan? Ayo kita selesaikan.” “Tidak ada, Nuwa. Kita menulis saja, nanti Syekh marah.” “Peduli apa aku kalau Syeikh marah. Kau aneh sekali dari tadi. Bukan seperti Fani.” “Ehm, harap tenang, sebentar lagi akan dibagikan soal.” Dayyan menegur dua orang yang asyik berbicara itu. Sejenak keduanya tenang.Masuk pesan di ponsel Fani, berasal dari mata-mata yang menunggu di luar gedung. Ia meminta Fani keluar dan berganti peran. Karena takut Fani pun menurutinya. Ia izin sebentar pada Syeikh Dayyan. “Ada latihan sebentar lagi, kalau t
Dayyan berusaha keras merebut senapan dari tangan bawahan Lili. Kemudian Nuwa menarik siswi yang sempat ditawan oleh mata-mata tersebut. “Lari cepat! Pergi semuanya!” jerit wanita bermata besar itu pada semua orang. Lalu ia pun menendang perut bawahan Lili sekali hingga perempuan itu terjatuh dan senapannya terlempar entah ke mana. “Fani, tolong cari dia,” ucap Nuwa pada Dayyan. Wanita itu memilih untuk melipat tangan mata-mata Lili di pinggang sambil menunggu datangnya polisi setempat yang telah dipanggil. “Kau benar-be—” “Apa, pengkhianat?” Nuwa menekuk lututnya di atas tangan utusan Lili. “Negaramu saja membantai orang-orangku. Padahal kami tidak pernah memberontak sekalipun. Berdiri, kita tunggu sampai kau dihukum mati. Entah hukuman gantung atau pancung yang pasti aku akan menikmati kematianmu.” Nuwa mendorang mata-mata itu agar berjalan. Dor! Satu kali tembakan melesat nyaris sedikit lagi mengenai Nuwa. Wanita bermata besar itu menunduk. Mata-mata Lili terlepas dari pegan
Dua orang itu melayang dan terjatuh di atas atap mobil orang. Kendaraan tersebut penyok, dan dua perempuan yang sama gilanya meringis sesaat, bagian kanan tangan dan kaki nyeri luar biasa, bahkan tergores pecahan kaca. Lili meraih belati di pinggang dengan tangan kirinya yang masih baik. Ia hampir sedikit lagi menikam Nuwa. Namun, wanita bermata besar itu menendangnya terlebih dahulu hingga Lili terlempar dari atas mobil. Kesempatan itu digunakan Lili untuk melarikan diri walau tertatih. Kaki yang tergores kaca terasa sakit dibawa bergerak. “Pengecut, kalian selalu saja ingin melarikan diri.” Nuwa turun dari atap mobil yang remuk. Ia ingin menyusul tapi kakinya juga sama sakitnya walau tak tergores. Belati Lili yang tadi terlempar Nuwa raih. Saat itu juga ia lemparkan ke punggung lawannya yang berhenti sejenak, tetapi lemparan belati itu meleset. Lili menoleh ke arah belakang, matanya terbelalak ketika beberapa polisi di belakang Nuwa mengarahkan senapan kepadanya.Jatuh harga diri
Fani telah kembali ke rumahnya. Namun, di sana ada pemeriksaan dan dia beserta satu keluarga telah ditanyai mendetail semua yang ia tahu. Yang Fani dengar dari tim penyidik dua orang penyusup yang menerobos masuk ke dalam rumahnya telah mati. Keduanya kena tembak, tapi yang satu lagi sempat memasang bom di tubuhnya, hingga mengakibatkan ledakan skala kecil. Meski tidak ada korban jiwa tapi beberapa bangunan dan mobil terbakar. Nuwa yang paling dekat dengan Lili pun masih tidak sadarkan diri sampai sekarang. Untuk sementara waktu pula kursus diliburkan sampai keadaan dinyatakan stabil dan tenang. Sebab bisa saja yang ini mati tapi yang satu lagi tumbuh.“Tuan, tunggu, tapi aku menemukan ini di dekat mereka tidur tadi malam. Aku rasa ini mungkin berguna untukmu.” Fani menyerahkan temuan flash disk dan catatan milik Lili yang terjatuh dan mereka tidak sadar. Catatan itu diserahkan oleh polisi pada Fahmi dan Maira juga melihatnya. “Bukan tulisan latin, siapa yang biasa membacanya?” tan
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun