Xia He—pasca dikalahkan oleh Kai saat duel setahun lalu, terus melatih ketangkasan dirinya. Ia menjadi lebih cepat, gesit, dan lentur. Hanya sekali dia boleh dikalahkan selebihnya tidak akan pernah ada peristiwa yang sama. Sore itu sang mayor berlatih dengan menggunakan dua pedang besi yang tajam dan mematikan. Ia berayun, melompat, menebas kayu hingga terpotong jadi dua. Sampai keringat menetes di seluruh tubuhnya, dan bawahan Xia He datang menghadap. “Nona, tapi bukankah kita sudah terlalu lama berdiam diri setelah kekalahan Letnan Sohwa. Sudah saatnya kita kembali ke Syam, bukan?” tanya bawahan Xia He. “Aku tidak diam. Mata-mataku terus bergerak. Adikku, di mana dia, aku harus menemuinya langsung.”Xia He memakai mantel bulu untuk mengusir rasa dingin akibat angin yang bertiup sangat kencang. Dengan cekatan bawahannya mengendarai mobil menuju tempat para assasin berlatih. Mereka terdiri dari perempuan-perempuan dengan kemampuan yang berbeda. Tugas mereka hanya satu, yaitu membun
Sore itu anak-anak dijemput dengan Sultan dan Naima. Nuwa tak ingat siapa Sultan, dengan Naima juga agak lupa. “Wortel, besok pagi aku akan beli wortel banyak-banyak. Rasakanlah kau pembalasanku.” Wanita Suku Mui itu masuk ke dalam rumah. Namun, ia sempat menoleh sejenak. Entah mengapa rasa hati tidak tenang seperti ada yang memperhatikannya dari jauh. “Mungkin hanya perasaanku saja,” ujar guru wing chun tersebut dan ia lekas menutup pintu rapat-rapat.Malam itu cuaca dingin sekali. Tak nyenyak tidur Nuwa, ia merasa diawasi dari segala arah. Wanita tersebut sampai membuka jendela dan pasir berterbangan mengenai mata besarnya. Sekilas ia seperti melihat sekelebat bayangan hitam yang melintas di dekat rumahnya. Bahkan Kai pun mulai meringkik. Nuwa berdiri, meraih khimar, jaket, dan langsung ke luar kamar. “Kau lihat sesuau, Kai?” tanya Nuwa. Insting binatang tidak pernah salah menyangkut bahaya di depan mata. “Tidak ada siapa-siapa di sini. Perasaanku saja atau jangan-jangan tentar
Dayyan baru saja kembali dari perbatasan tempat dia menemukan Nuwa dulu. Mantan tentara itu mendapat berita tentang rumah muridnya yang diterobos masuk oleh tiga perempuan tak dikenal, dan berbahasa sama dengan Nuwa. Atas saran ayah Bhani, tempat dulu di mana Maira dan Fahmi menangkap kumpulan penjahat itu diperiksa ulang. Beberapa orang bergerak dengan senjata lengkap dan tidak ada apa-apa sama sekali di sana. Hanya rumput liar yang tumbuh seperti biasa. “Kalau mereka di sana, pasti mereka cari mati. Periksa juga tempat yang lain. Bahkan kalau perlu minta koordinasi dengan Maira dan Fahmi, bisa jadi mereka menginap di kota atau di rumah penduduk. Menyamar menjadi muslimah, atau menyandera penduduk tapi warga tidak berani meminta tolong. Minta petugas perempuan untuk mendata setiap pendatang baru dan jika ada yang mencurigakan Kak Maira pasti akan segera bergerak. Berlakukan lagi jam malam untuk anak-anak dan perempuan,” saran dari Dayyan. “Dan satu lagi. Jaga rumah perempuan itu da
Kelas yang terlambat karena kesalahan Dayyan digeser jam pulangnya. Nuwa menarik napas panjang, dia kira nanti akan pulang seperti biasa. Padahal wantia bermata besar dan bulat itu ingin belanja kebutuhan dapur yang hancur tercerai berai di lantai. “Yang terlambat dia, kita disuruh menanggungnya,” gumam wanita Suku Mui itu perlahan. “Ada yang tidak senang?” tanya Dayyan. “La, Syeikh, laaa,” jawab semuanya termasuk Nuwa. Killer memang Dayyan, tapi demi siswi di dalam kelas cepat bisa bahasa Arab, terutama Nuwa yang perkembangannya agak lambat. Dayyan meminta semua membuka buku dan mencari halaman selanjutnya. Ada sebuah cerita yang cukup panjang dengan tingkat kesulitan yang mampu mengasah kemampuan berbahasa jadi lebih baik. “Karena sulit, silakan bentuk kelompok sendiri, satu kelompok empat orang, kerjakan dengan tenang, jangan ada ghibah atau dihukum. Mengerti sampai di sini, ukhti-ukhti semuanya?” tanya Dayyan dari mejanya. “Na’am, Syeikh,” jawab semuanya serempak seperti an
“Masak?” Nuwa tak sadar. “Coba kau ucapkan, ulang lagi sendirian.” Padma ikut-ikutan. “Xie xie, Syeikh, xie xie, Syeikh, xie xie Syeikh.” Begitu terus diulang-ulang oleh Nuwa sampai tiga temannya ikutan tertawa. Kelompok paling ribut di antara yang lain. “Kerjakan dengan tenang di meja atau berdiri di depan kelas!” teguran datang lagi dari Dayyan. “Kerjakan dengan tenang, Syeikh, afwan.” Fani minta maaf. Jangan harap Nuwa mau melakukannya. Suasana kelas kembali hening seperti semula. Dayyan bisa fokus membaca berita. Tik tok tik tok tik tok, hanya suara detak arloji yang terdengar di dalam kelas. Dayyan izin keluar sebentar karena harus menelepon seseorang. Pesannya kerjakan dengan baik dan benar atau jam belajar akan dikali dua, tugas dikali tiga. “Akhirnya dia keluar juga.” Wanita bermata besar itu mengembuskan napas lega. Waktu terasa lama berjalan padahal perutnya sudah lapar lagi. “Nuwa, kau benar menonton film India?” Pertanyaan Anjali tadi yang tertunda. “Hmm, daripada
Sultan—penjinak bom senior itu merasa khawatir mengapa Naima dan Rizki belum juga pulang. Padahal sebentar lagi sudah memasuki jam haram berada di luar bagi wanita dan anak-anak. Kata istrinya tadi hanya sebentar keluar mencari barang yang dibutuhan. Ternyata sebentar itu memakan waktu setengah jam lebih juga. Ingin mencari tapi ada tiga anak lain pula yang harus dijaga Sultan di rumah. Lelaki yang menggunakan alat bantu dengar itu sudah mengirim pesan, tapi tidak ada yang membalas.“Ke mana perginya ibu dan anak ini?” Sultan melirik jam di dinding, sepuluh menit lagi jam malam dan patroli akan dimulai. Naima membeli banyak barang untuk kebutuhan selama satu minggu. Dia tahu perintah jam malam sangat serius, hingga untuk ke depannya tak mau sering-sering ke luar rumah. Namun, ia kalap dalam berbelanja dan kesulitan membawa barang. Untungnya, Rizki sudah jauh lebih kuat fisiknya sejak ditempa habis-habisan oleh gurunya. “Ibu biar aku saja yang bawa.” Sultan mengambil belanjaan Naima
Sebelum masuk ke rumahnya. Wanita Suku Mui itu membereskan perlengkapan latihan yang ditinggalkan begitu saja. Tali temali yang diikat batu sebagai beban. Sudah dua minggu berlatih dengan senjata yang sama, ketiga muridnya ada perkembangan walau tidak secepat dirinya.Nuwa masuk ke dalam rumah ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Maira dan dia angkat langsung. Guru wing chun itu mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Maira. “Tidak, aku dari siang sampai malam ini di rumah saja tidak ada ke mana-mana. Jam malam juga berlaku, bukan? Aku patuh pada peraturan,” jawab Nuwa pada pertanyaan Maira di ponsel. “Ya, tidak mungkin juga aku menyerang Rizki tanpa alasan. Sudah cukup letih anak itu berlatih di sini. Kalau aku menantang orang, aku akan lakukan secara terbuka di depan umum, dan tidak sembunyi-sembunyi seperti pengecut.” Nuwa membela dirinya. Beberapa menit kemudian panggilan ditutup. “Sepertinya drama dimulai lagi. Aku harus latihan lebih keras, siapa tahu bertemu musuh
“Fitnah lebih keji daripada pembunuhan. Cih, lucu sekali orang-orang ini. Padahal kalau dibunuh juga mereka akan minta ampun,” ucap Lili di salah satu rumah orang yang ia sandera. Di sana adik Xia He tinggal bersama dua bawahannya yang lain. Sisanya menyebar ke rumah-rumah warga. Bel rumah itu berbunyi, salah satu bawahan Lili mengintip dari gorden. Datang dua petugas polisi dan tentara lelaki serta perempuan datang melakukan pemeriksaan harian. “Nona, ada pemeriksaan,” ucap mata-mata Lili. “Sialan, pemeriksaan terus. Hei, kau, bangun!” Lili menodong pemilik rumah dengan pistol miliknya. Ibu dua anak itu ketakutan sudah kedatangan tamu yang memilih tinggal di rumahnya selama dua minggu. “Jangan buka mulut atau anakmu aku dor sampati mati, paham!” ancam Lili, dan wanita itu hanya mengangguk saja. Ia keluar rumah menyambut polisi dan tentara yang datang. Sebisa mungkin wanita itu mencegah mereka masuk, sebab dua anaknya yang sedang tidur diawasi oleh Lili. “Ibu benar tidak apa-apa