“Fitnah lebih keji daripada pembunuhan. Cih, lucu sekali orang-orang ini. Padahal kalau dibunuh juga mereka akan minta ampun,” ucap Lili di salah satu rumah orang yang ia sandera. Di sana adik Xia He tinggal bersama dua bawahannya yang lain. Sisanya menyebar ke rumah-rumah warga. Bel rumah itu berbunyi, salah satu bawahan Lili mengintip dari gorden. Datang dua petugas polisi dan tentara lelaki serta perempuan datang melakukan pemeriksaan harian. “Nona, ada pemeriksaan,” ucap mata-mata Lili. “Sialan, pemeriksaan terus. Hei, kau, bangun!” Lili menodong pemilik rumah dengan pistol miliknya. Ibu dua anak itu ketakutan sudah kedatangan tamu yang memilih tinggal di rumahnya selama dua minggu. “Jangan buka mulut atau anakmu aku dor sampati mati, paham!” ancam Lili, dan wanita itu hanya mengangguk saja. Ia keluar rumah menyambut polisi dan tentara yang datang. Sebisa mungkin wanita itu mencegah mereka masuk, sebab dua anaknya yang sedang tidur diawasi oleh Lili. “Ibu benar tidak apa-apa
“Tuan hakim, barusan suamiku mendapat telepon kalau penyerang yang dianggap sebagai Nuwa melakukan aksinya di tempat lain. Ini bisa menjadi bukti kalau dia tidak bersalah.” “Nyonya Maira yang terhormat. Sampai penjahat itu dibawa kemari baru bisa dinyatakan kalau dia tidak bersalah.” “Tuan jangan lupa juga kami membawa banyak saksi sebagai penguat. Tidak bisa diabaikan atau Tuan akan menjadi hakim yang tidak adil,” sanggah Maira. “Iya, tentu akan kami tanyakan satu demi satu,” ujar satu dari tiga hakim di kursi mereka. Mulai dari petugas penjaga di dekat rumah Nuwa hadir sebagai saksi dan ditanyakan. “Jadi selama ini rumahku diawasi?” Nuwa baru tahu. Berlanjut pada saksi-saksi lain, teman-teman Nuwa yang ujian tadi dengannya. “Tapi setelah ujian tadi kau masih tinggal di kelas satu jam bukan, dan teman-temanmu sudah pulang. Satu jam itu cukup untuk berbuat onar, Ukhti Nuwa.” Hakim masih belum berani mengambil keputusan. “Ada saksinya aku di kelas,” balas Nuwa. Ia sebenarnya sud
Yang pertama kali dilakukan Dayyan ketika sampai ke rumah yaitu, menelepon salah satu kenalannya. Ia meminta temannya datang ke rumah dan membawa lagi jenis-jenis senjata sesuai yang ia butuhkan. Sore itu Bhani tidak latihan, jadi anak lelaki Dayyan bisa memperhatikan dengan baik ragam senjata yang dibawa oleh teman ayahnya. “Ini untuk apa, Ayah?” tanya Bhani. “Untuk menembak dari jarak jauh,” jawab Dayyan ketika anaknya melihat senapan laras panjang khusus untuk sniper. Lelaki bermata abu-abu itu dulunya penembak jitu sebelum diangkat menjadi kapten dan sampai sekarang kemampuannya tidak memudar. “Jangan asal pegang, nanti pelatuknya bisa tertarik!” tegur teman Dayyan pada Bhani. Sepertinya anak itu sudah memiliki ketertarikan sejak dini. Bagaimana tidak, darah militer mengalir deras pada dirinya. Ditambah telah mendapat latihan yang keras oleh Nuwa hingga tak cengeng lagi. “Bhani, kau temani adikmu dulu. Saat umurmu sudah cukup akan Ayah ajarkan semua benda-benda ini. Sekarang
Dayyan sampai tak jauh dari rumah Nuwa yang kecil. Lelaki itu mengintai menggunakan senapan khsus sniper. Terlihat Nuwa berdiri di sisi kudanya sembari memegeng ponsel. Lalu dengan mata abu-abunya ia melihat tiga lapis petugas militer mulai meninggalkan tempat mereka berjaga.“Apa yang terjadi? Rasanya aku meninggalkan tempat ini baru beberapa jam saja?” tanya Dayyan pada mantan anak buahnya yang masih setia menunggu di sana. “Bom di beberapa titik vital, kereta cepat, masjid, rumah sakit, gedung pemerintah. Semua yang memakai seragam diminta bergerak. Termasuk aku, Kapten,” jawab bawahan tersebut. “Pergilah, aku akan di sini, dan dia tadi tidak ada bertemu dengan orang lain?” Yang dimaksud Dayyan adalah Nuwa. “Tidak ada, tapi aneh, dia dari tadi mematung memandang hamparan pasir, seperti sedang menunggu orang datang.” Setelah menjawab demikian bawahan Dayyan pergi. Tinggallah lelaki itu sendirian. Ayah Bhani masih mengawasi menggunakan teropong. Terlihat Nuwa keluar menggunakan
Maira dan Fahmi mengintai rumah warga yang ia curigai sebagai sarang mata-mata Xin Hua. Menurut laporan salah satu bawahan mereka, bahwa ibu di dalam rumah itu berbelanja dalam jumlah yang banyak setiap hari. Padahal di dalamnya hanya tinggal tiga orang saja. “Pakai rompi anti peluru, cepat!” ucap Fahmi pada Maira. Wanita bermata biru itu tidak bisa diberi tahu untuk diam saja di dalam mobil, sama seperti dulu.“Sudah, puas?” tanya Maira kembali pada suaminya. Ibu Farhan memang kerap kali mengabaikan keselamatan diri sendiri ketika menangkap musuh. Fahmi mengambil alat komunikasi di mobilnya. Ia meminta yang lain menyebar dengan baik agar jangan sampai ada yang lolos satu pun sebab kejahatan mereka sudah di luar batas. “Ayo, kita mendekat.” Maira mengikat cadarnya lebih ketat, meski usianya 35 tahun sudah ia masih cekatan bergerak. “Aku duluan, kau di belakang.” Fahmi menarik tangan istrinya, hingga kalau ada apa-apa dia yang akan merasakannya lebih dulu. Ayah Farhan mengetuk pin
Liandi datang memasuki halaman rumah Nuwa. Rizki dipanggil oleh gadis itu. Liandi menantang anak Sultan untuk duel seperti waktu lalu. Merasa sedang diajar oleh guru mereka tentu saja Rizki memenuhi ajakan tersebut. Sayangnya perkelahian berlangsung terlalu keras. “Kenapa Nuwa jadi barbar begitu?” Dayyan mengintip dari kaca senapannya. Lalu ia teringat bukankah tadi Nuwa pergi membawa kuda dan mana kudanya? “Gawat! Tipuan lagi.” Lekas saja lelaki bermata abu-abu itu menarik pelatuk ia membidik sasaran tapi tak pernah tepat sebab posisi selalu berganti-ganti atara Rizki dan Nuwa palsu. Dor! Dayyan menembakkan tembakan peringatan. Pertarungan terjeda sejenak. Rizki berhasil lepas, Farhan yang menolongnya. “Kau bukan guru kami,” ucap Farhan yang mengenal pergerakan Nuwa. “Memang. Aku kembarannya.” Liandi mengeluarkan belati. Dia mengejar anak-anak itu. Untung Nuwa sudah membekali ketiganya ilmu yang cukup. Farhan membawa Bhani berlari. Berulang kali tembakan peringatan dilepaskan o
Nuwa sadar diri, jika hanya fokus belajar bahasa Arab pada Dayyan saja maka ia tak akan ada perkembangan. Lalu ia pun mulai meluaskan jaringan pertemanannya. Tak lagi terpaku hanya pada Anjali, Fani, Padma, atau teman-teman sekelasnya. Nuwa mulai terbuka menerima orang lain. Di pasar ketika berbelanja dia mulai ramah. Ya sedikit-sedikit kemampuannya membaik. Walau pada saat ujian lain lagi soal yang keluar. Itulah yang membuat Nuwa heran. Tidak hanya sampai di sana saja. Kuota mengajar wing chun pun ia tambah. Sebab tiga muridnya yang dahulu sudah tak lagi berada di tingkat pemula. Oleh Maira diberikan sepuluh orang anak lelaki yang belajar darinya. Pernah Nuwa bertanya kenapa tidak ada murid perempuan. Dijawab oleh Maira, di Syam kebanyakan perempuan hidup lurus sesuai fitrahnya. Tak terlalu banyak yang seperti Maira dan Nuwa. Rizki, Farhan, dan Bhani mulai diajari naik kuda oleh Nuwa ketika sepuluh yang lainnya sedang belajar merileksasi tangan dan kaki. Sebab Bhani masi kecil,
“Benar, kan, kau terkenal,” ujar Padma. “Datang lima lagi, aku kasih gelas cantik satu-satu.” Wanita bermata besar itu menyeruput es kopinya sampai habis. Sudah gelas kedua, nanti akan ada ketiga, keempat, kelima, keenam, sampai kembung perutnya. “Bicara masalah artis. Sudah lama Negeri Syam ini kosong dari tokoh terkenal. Saat aku masih kecil dan baru tiba di sini, waktu itu sangat melegenda nama Ukhti Maira yang membabat habis koruptor sampai jadi miskin seperti gelandangan.” Padma bercerita sambil menggelengkan kepalanya. “Tapi di sini hebat, ya, tidak ada pengemis dan gelandangan. Bahkan pemungut barang-barang bekas pun memakai seragam, aku tebak mereka pasti bergaji,” ujar Nuwa sambil makan dada ayam. Semua bagian dia gigit tinggal kepala yang belum. “Nah itu dia, sejak Maira berhasil mengungkapkan kasus korupsi terbesar sejagad raya Negeri Syam ini, sisa harta yang disembunyikan oleh gubernur dan hakim siapa dulu namanya, aku lupa, jadi harta mereka dipakai untuk membangun n
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun