Sebelum masuk ke rumahnya. Wanita Suku Mui itu membereskan perlengkapan latihan yang ditinggalkan begitu saja. Tali temali yang diikat batu sebagai beban. Sudah dua minggu berlatih dengan senjata yang sama, ketiga muridnya ada perkembangan walau tidak secepat dirinya.Nuwa masuk ke dalam rumah ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Maira dan dia angkat langsung. Guru wing chun itu mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh Maira. “Tidak, aku dari siang sampai malam ini di rumah saja tidak ada ke mana-mana. Jam malam juga berlaku, bukan? Aku patuh pada peraturan,” jawab Nuwa pada pertanyaan Maira di ponsel. “Ya, tidak mungkin juga aku menyerang Rizki tanpa alasan. Sudah cukup letih anak itu berlatih di sini. Kalau aku menantang orang, aku akan lakukan secara terbuka di depan umum, dan tidak sembunyi-sembunyi seperti pengecut.” Nuwa membela dirinya. Beberapa menit kemudian panggilan ditutup. “Sepertinya drama dimulai lagi. Aku harus latihan lebih keras, siapa tahu bertemu musuh
“Fitnah lebih keji daripada pembunuhan. Cih, lucu sekali orang-orang ini. Padahal kalau dibunuh juga mereka akan minta ampun,” ucap Lili di salah satu rumah orang yang ia sandera. Di sana adik Xia He tinggal bersama dua bawahannya yang lain. Sisanya menyebar ke rumah-rumah warga. Bel rumah itu berbunyi, salah satu bawahan Lili mengintip dari gorden. Datang dua petugas polisi dan tentara lelaki serta perempuan datang melakukan pemeriksaan harian. “Nona, ada pemeriksaan,” ucap mata-mata Lili. “Sialan, pemeriksaan terus. Hei, kau, bangun!” Lili menodong pemilik rumah dengan pistol miliknya. Ibu dua anak itu ketakutan sudah kedatangan tamu yang memilih tinggal di rumahnya selama dua minggu. “Jangan buka mulut atau anakmu aku dor sampati mati, paham!” ancam Lili, dan wanita itu hanya mengangguk saja. Ia keluar rumah menyambut polisi dan tentara yang datang. Sebisa mungkin wanita itu mencegah mereka masuk, sebab dua anaknya yang sedang tidur diawasi oleh Lili. “Ibu benar tidak apa-apa
“Tuan hakim, barusan suamiku mendapat telepon kalau penyerang yang dianggap sebagai Nuwa melakukan aksinya di tempat lain. Ini bisa menjadi bukti kalau dia tidak bersalah.” “Nyonya Maira yang terhormat. Sampai penjahat itu dibawa kemari baru bisa dinyatakan kalau dia tidak bersalah.” “Tuan jangan lupa juga kami membawa banyak saksi sebagai penguat. Tidak bisa diabaikan atau Tuan akan menjadi hakim yang tidak adil,” sanggah Maira. “Iya, tentu akan kami tanyakan satu demi satu,” ujar satu dari tiga hakim di kursi mereka. Mulai dari petugas penjaga di dekat rumah Nuwa hadir sebagai saksi dan ditanyakan. “Jadi selama ini rumahku diawasi?” Nuwa baru tahu. Berlanjut pada saksi-saksi lain, teman-teman Nuwa yang ujian tadi dengannya. “Tapi setelah ujian tadi kau masih tinggal di kelas satu jam bukan, dan teman-temanmu sudah pulang. Satu jam itu cukup untuk berbuat onar, Ukhti Nuwa.” Hakim masih belum berani mengambil keputusan. “Ada saksinya aku di kelas,” balas Nuwa. Ia sebenarnya sud
Yang pertama kali dilakukan Dayyan ketika sampai ke rumah yaitu, menelepon salah satu kenalannya. Ia meminta temannya datang ke rumah dan membawa lagi jenis-jenis senjata sesuai yang ia butuhkan. Sore itu Bhani tidak latihan, jadi anak lelaki Dayyan bisa memperhatikan dengan baik ragam senjata yang dibawa oleh teman ayahnya. “Ini untuk apa, Ayah?” tanya Bhani. “Untuk menembak dari jarak jauh,” jawab Dayyan ketika anaknya melihat senapan laras panjang khusus untuk sniper. Lelaki bermata abu-abu itu dulunya penembak jitu sebelum diangkat menjadi kapten dan sampai sekarang kemampuannya tidak memudar. “Jangan asal pegang, nanti pelatuknya bisa tertarik!” tegur teman Dayyan pada Bhani. Sepertinya anak itu sudah memiliki ketertarikan sejak dini. Bagaimana tidak, darah militer mengalir deras pada dirinya. Ditambah telah mendapat latihan yang keras oleh Nuwa hingga tak cengeng lagi. “Bhani, kau temani adikmu dulu. Saat umurmu sudah cukup akan Ayah ajarkan semua benda-benda ini. Sekarang
Dayyan sampai tak jauh dari rumah Nuwa yang kecil. Lelaki itu mengintai menggunakan senapan khsus sniper. Terlihat Nuwa berdiri di sisi kudanya sembari memegeng ponsel. Lalu dengan mata abu-abunya ia melihat tiga lapis petugas militer mulai meninggalkan tempat mereka berjaga.“Apa yang terjadi? Rasanya aku meninggalkan tempat ini baru beberapa jam saja?” tanya Dayyan pada mantan anak buahnya yang masih setia menunggu di sana. “Bom di beberapa titik vital, kereta cepat, masjid, rumah sakit, gedung pemerintah. Semua yang memakai seragam diminta bergerak. Termasuk aku, Kapten,” jawab bawahan tersebut. “Pergilah, aku akan di sini, dan dia tadi tidak ada bertemu dengan orang lain?” Yang dimaksud Dayyan adalah Nuwa. “Tidak ada, tapi aneh, dia dari tadi mematung memandang hamparan pasir, seperti sedang menunggu orang datang.” Setelah menjawab demikian bawahan Dayyan pergi. Tinggallah lelaki itu sendirian. Ayah Bhani masih mengawasi menggunakan teropong. Terlihat Nuwa keluar menggunakan
Maira dan Fahmi mengintai rumah warga yang ia curigai sebagai sarang mata-mata Xin Hua. Menurut laporan salah satu bawahan mereka, bahwa ibu di dalam rumah itu berbelanja dalam jumlah yang banyak setiap hari. Padahal di dalamnya hanya tinggal tiga orang saja. “Pakai rompi anti peluru, cepat!” ucap Fahmi pada Maira. Wanita bermata biru itu tidak bisa diberi tahu untuk diam saja di dalam mobil, sama seperti dulu.“Sudah, puas?” tanya Maira kembali pada suaminya. Ibu Farhan memang kerap kali mengabaikan keselamatan diri sendiri ketika menangkap musuh. Fahmi mengambil alat komunikasi di mobilnya. Ia meminta yang lain menyebar dengan baik agar jangan sampai ada yang lolos satu pun sebab kejahatan mereka sudah di luar batas. “Ayo, kita mendekat.” Maira mengikat cadarnya lebih ketat, meski usianya 35 tahun sudah ia masih cekatan bergerak. “Aku duluan, kau di belakang.” Fahmi menarik tangan istrinya, hingga kalau ada apa-apa dia yang akan merasakannya lebih dulu. Ayah Farhan mengetuk pin
Liandi datang memasuki halaman rumah Nuwa. Rizki dipanggil oleh gadis itu. Liandi menantang anak Sultan untuk duel seperti waktu lalu. Merasa sedang diajar oleh guru mereka tentu saja Rizki memenuhi ajakan tersebut. Sayangnya perkelahian berlangsung terlalu keras. “Kenapa Nuwa jadi barbar begitu?” Dayyan mengintip dari kaca senapannya. Lalu ia teringat bukankah tadi Nuwa pergi membawa kuda dan mana kudanya? “Gawat! Tipuan lagi.” Lekas saja lelaki bermata abu-abu itu menarik pelatuk ia membidik sasaran tapi tak pernah tepat sebab posisi selalu berganti-ganti atara Rizki dan Nuwa palsu. Dor! Dayyan menembakkan tembakan peringatan. Pertarungan terjeda sejenak. Rizki berhasil lepas, Farhan yang menolongnya. “Kau bukan guru kami,” ucap Farhan yang mengenal pergerakan Nuwa. “Memang. Aku kembarannya.” Liandi mengeluarkan belati. Dia mengejar anak-anak itu. Untung Nuwa sudah membekali ketiganya ilmu yang cukup. Farhan membawa Bhani berlari. Berulang kali tembakan peringatan dilepaskan o
Nuwa sadar diri, jika hanya fokus belajar bahasa Arab pada Dayyan saja maka ia tak akan ada perkembangan. Lalu ia pun mulai meluaskan jaringan pertemanannya. Tak lagi terpaku hanya pada Anjali, Fani, Padma, atau teman-teman sekelasnya. Nuwa mulai terbuka menerima orang lain. Di pasar ketika berbelanja dia mulai ramah. Ya sedikit-sedikit kemampuannya membaik. Walau pada saat ujian lain lagi soal yang keluar. Itulah yang membuat Nuwa heran. Tidak hanya sampai di sana saja. Kuota mengajar wing chun pun ia tambah. Sebab tiga muridnya yang dahulu sudah tak lagi berada di tingkat pemula. Oleh Maira diberikan sepuluh orang anak lelaki yang belajar darinya. Pernah Nuwa bertanya kenapa tidak ada murid perempuan. Dijawab oleh Maira, di Syam kebanyakan perempuan hidup lurus sesuai fitrahnya. Tak terlalu banyak yang seperti Maira dan Nuwa. Rizki, Farhan, dan Bhani mulai diajari naik kuda oleh Nuwa ketika sepuluh yang lainnya sedang belajar merileksasi tangan dan kaki. Sebab Bhani masi kecil,