Dayyan sampai tak jauh dari rumah Nuwa yang kecil. Lelaki itu mengintai menggunakan senapan khsus sniper. Terlihat Nuwa berdiri di sisi kudanya sembari memegeng ponsel. Lalu dengan mata abu-abunya ia melihat tiga lapis petugas militer mulai meninggalkan tempat mereka berjaga.“Apa yang terjadi? Rasanya aku meninggalkan tempat ini baru beberapa jam saja?” tanya Dayyan pada mantan anak buahnya yang masih setia menunggu di sana. “Bom di beberapa titik vital, kereta cepat, masjid, rumah sakit, gedung pemerintah. Semua yang memakai seragam diminta bergerak. Termasuk aku, Kapten,” jawab bawahan tersebut. “Pergilah, aku akan di sini, dan dia tadi tidak ada bertemu dengan orang lain?” Yang dimaksud Dayyan adalah Nuwa. “Tidak ada, tapi aneh, dia dari tadi mematung memandang hamparan pasir, seperti sedang menunggu orang datang.” Setelah menjawab demikian bawahan Dayyan pergi. Tinggallah lelaki itu sendirian. Ayah Bhani masih mengawasi menggunakan teropong. Terlihat Nuwa keluar menggunakan
Maira dan Fahmi mengintai rumah warga yang ia curigai sebagai sarang mata-mata Xin Hua. Menurut laporan salah satu bawahan mereka, bahwa ibu di dalam rumah itu berbelanja dalam jumlah yang banyak setiap hari. Padahal di dalamnya hanya tinggal tiga orang saja. “Pakai rompi anti peluru, cepat!” ucap Fahmi pada Maira. Wanita bermata biru itu tidak bisa diberi tahu untuk diam saja di dalam mobil, sama seperti dulu.“Sudah, puas?” tanya Maira kembali pada suaminya. Ibu Farhan memang kerap kali mengabaikan keselamatan diri sendiri ketika menangkap musuh. Fahmi mengambil alat komunikasi di mobilnya. Ia meminta yang lain menyebar dengan baik agar jangan sampai ada yang lolos satu pun sebab kejahatan mereka sudah di luar batas. “Ayo, kita mendekat.” Maira mengikat cadarnya lebih ketat, meski usianya 35 tahun sudah ia masih cekatan bergerak. “Aku duluan, kau di belakang.” Fahmi menarik tangan istrinya, hingga kalau ada apa-apa dia yang akan merasakannya lebih dulu. Ayah Farhan mengetuk pin
Liandi datang memasuki halaman rumah Nuwa. Rizki dipanggil oleh gadis itu. Liandi menantang anak Sultan untuk duel seperti waktu lalu. Merasa sedang diajar oleh guru mereka tentu saja Rizki memenuhi ajakan tersebut. Sayangnya perkelahian berlangsung terlalu keras. “Kenapa Nuwa jadi barbar begitu?” Dayyan mengintip dari kaca senapannya. Lalu ia teringat bukankah tadi Nuwa pergi membawa kuda dan mana kudanya? “Gawat! Tipuan lagi.” Lekas saja lelaki bermata abu-abu itu menarik pelatuk ia membidik sasaran tapi tak pernah tepat sebab posisi selalu berganti-ganti atara Rizki dan Nuwa palsu. Dor! Dayyan menembakkan tembakan peringatan. Pertarungan terjeda sejenak. Rizki berhasil lepas, Farhan yang menolongnya. “Kau bukan guru kami,” ucap Farhan yang mengenal pergerakan Nuwa. “Memang. Aku kembarannya.” Liandi mengeluarkan belati. Dia mengejar anak-anak itu. Untung Nuwa sudah membekali ketiganya ilmu yang cukup. Farhan membawa Bhani berlari. Berulang kali tembakan peringatan dilepaskan o
Nuwa sadar diri, jika hanya fokus belajar bahasa Arab pada Dayyan saja maka ia tak akan ada perkembangan. Lalu ia pun mulai meluaskan jaringan pertemanannya. Tak lagi terpaku hanya pada Anjali, Fani, Padma, atau teman-teman sekelasnya. Nuwa mulai terbuka menerima orang lain. Di pasar ketika berbelanja dia mulai ramah. Ya sedikit-sedikit kemampuannya membaik. Walau pada saat ujian lain lagi soal yang keluar. Itulah yang membuat Nuwa heran. Tidak hanya sampai di sana saja. Kuota mengajar wing chun pun ia tambah. Sebab tiga muridnya yang dahulu sudah tak lagi berada di tingkat pemula. Oleh Maira diberikan sepuluh orang anak lelaki yang belajar darinya. Pernah Nuwa bertanya kenapa tidak ada murid perempuan. Dijawab oleh Maira, di Syam kebanyakan perempuan hidup lurus sesuai fitrahnya. Tak terlalu banyak yang seperti Maira dan Nuwa. Rizki, Farhan, dan Bhani mulai diajari naik kuda oleh Nuwa ketika sepuluh yang lainnya sedang belajar merileksasi tangan dan kaki. Sebab Bhani masi kecil,
“Benar, kan, kau terkenal,” ujar Padma. “Datang lima lagi, aku kasih gelas cantik satu-satu.” Wanita bermata besar itu menyeruput es kopinya sampai habis. Sudah gelas kedua, nanti akan ada ketiga, keempat, kelima, keenam, sampai kembung perutnya. “Bicara masalah artis. Sudah lama Negeri Syam ini kosong dari tokoh terkenal. Saat aku masih kecil dan baru tiba di sini, waktu itu sangat melegenda nama Ukhti Maira yang membabat habis koruptor sampai jadi miskin seperti gelandangan.” Padma bercerita sambil menggelengkan kepalanya. “Tapi di sini hebat, ya, tidak ada pengemis dan gelandangan. Bahkan pemungut barang-barang bekas pun memakai seragam, aku tebak mereka pasti bergaji,” ujar Nuwa sambil makan dada ayam. Semua bagian dia gigit tinggal kepala yang belum. “Nah itu dia, sejak Maira berhasil mengungkapkan kasus korupsi terbesar sejagad raya Negeri Syam ini, sisa harta yang disembunyikan oleh gubernur dan hakim siapa dulu namanya, aku lupa, jadi harta mereka dipakai untuk membangun n
“Ukhti, kau tidak apa-apa?” tanya lelaki yang tidak dikenal oleh Nuwa. “Tidak apa-apa.” Wanita Suku Mui itu memegang jidatnya yang memerah, kentara sekali di kulitnya yang putih pucat. “Ukhti, aku sudah membawa bunga lotus, semua demi kau. Aku serius ingin menjadi suamimu.” “Mati aku, kupikir di sini tak ada bunga lotus, hu hu, bagaimana ini?” Nuwa mulai terisak. Nuwa sadar saat itu juga. Membawa bunga lotus bukanlah hal yang mudah. Agar tetap bertahan hidup harus ada pot yang besar di dalamnya ada tanah lumpur dan air yang banyak. Namun, lelaki itu tidak membawa apa-apa, curiga Nuwa jadinya. “Ehm, bunga lotusnya mana?” Nuwa melirik kiri dan kanan tidak ada pot bunga satu pun. “Ini dia untukmu, menikah ya denganku.” Lelaki itu menyodorkan apa yang ia bawa. Satu bunga lotus berwarna merah besar sekali. Nuwa tertawa. “Astaghfirullah.” Hampir emosi wanita itu jadinya. “Bunga plastik! Yang asli, yang asliiiii dengan lumpurnya sekalian. Ini palsu, lebih baik kau bawa bunga bank dari
“Ada, tadi barusan itu naga.” Nuwa tak mau kalah. “Kalau ada naga, udah aku tangkap, aku naik di atasnya aku terbang ke sana ke sini. Bangunlah, jangan mimpi.” “Pintar sekali, naiklah naga terbang sana. Kembunglah perutmu masuk angin dibuatnya.” Gu dan Hira tertawa melihat Dayyan di sekak mati sama Nuwa. “Tidak pernah ada naga di dunia, itu mitos. Takhayul dipercaya, rusak imanmu nanti. Zahra jangan dengarkan dongeng. Fokus pada hafalanmu saja.” “Nenekku bilang naga itu ada. Kau saja yang tidak pernah bertemu.” “Nenekmu pernah jumpa naga sungguhan?” tanya Dayyan. “Diceritakan oleh ibunya nenekku, begitu terus turun temurun dan naga itu memang ada.” Nuwa masih keras kepala. “Kau percaya?” “Aku lebih percaya nenekku dibandingkan kau. Kasih nilai saja pelit sekali.” Nuwa menggigit kurma dengan bijinya sekalian. “Astaghfirullaah.” Lelaki bermata abu-abu itu mengelus dada. Tidak di kelas, di luar rumah, Nuwa selalu menguji kesabarannya. “Coba ceritakan bagaimana naga itu, Nak, Ib
Gu, Hira, dan Zahra tak berhenti-henti tertawa mendengar cerita yang didongengkan oleh Nuwa. Hanya satu manusia saja yang kaku dari tadi seperti wortel baru dipanen, yaitu Dayyan. Padahal aslinya ingin ketawa tapi malu sama status sebagai Syeikh, ditambah sakit hati dibilang tak laku-laku. Ada yang ingin sebenarnya menikah dengan Dayyan, tapi lelaki itu masih diam sepeti batu. “Kau ikut pulang ke rumah kami, Nak?” tanya Gu. “Eh, jangan, aku ke stasiun saja mau pulang ke rumah.” Nuwa segan, takut disangka ingin dekat dengan keluarga yang disegani banyak orang. “Dayyan, antar ke statiun,” perintah Hira. “Jauh mutarnya.” Lelaki bermata abu-abu itu menarik napas. “Tidak usah, nanti aku naik rajawali terbang saja. Berhenti di simpang lampu merah ya, Syeikh, tolong.” Tumben Nuwa bicara lembut pada Dayyan, mungkin karena ada ibunda yang disegani. “Kapan-kapan main ke rumah, ya. Jangan hanya tunggu idul fitri, masih lama.” Gu memegang tangan Nuwa sebelum berpisah. “Iya, Insya Allah k
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun