“Ada, tadi barusan itu naga.” Nuwa tak mau kalah. “Kalau ada naga, udah aku tangkap, aku naik di atasnya aku terbang ke sana ke sini. Bangunlah, jangan mimpi.” “Pintar sekali, naiklah naga terbang sana. Kembunglah perutmu masuk angin dibuatnya.” Gu dan Hira tertawa melihat Dayyan di sekak mati sama Nuwa. “Tidak pernah ada naga di dunia, itu mitos. Takhayul dipercaya, rusak imanmu nanti. Zahra jangan dengarkan dongeng. Fokus pada hafalanmu saja.” “Nenekku bilang naga itu ada. Kau saja yang tidak pernah bertemu.” “Nenekmu pernah jumpa naga sungguhan?” tanya Dayyan. “Diceritakan oleh ibunya nenekku, begitu terus turun temurun dan naga itu memang ada.” Nuwa masih keras kepala. “Kau percaya?” “Aku lebih percaya nenekku dibandingkan kau. Kasih nilai saja pelit sekali.” Nuwa menggigit kurma dengan bijinya sekalian. “Astaghfirullaah.” Lelaki bermata abu-abu itu mengelus dada. Tidak di kelas, di luar rumah, Nuwa selalu menguji kesabarannya. “Coba ceritakan bagaimana naga itu, Nak, Ib
Gu, Hira, dan Zahra tak berhenti-henti tertawa mendengar cerita yang didongengkan oleh Nuwa. Hanya satu manusia saja yang kaku dari tadi seperti wortel baru dipanen, yaitu Dayyan. Padahal aslinya ingin ketawa tapi malu sama status sebagai Syeikh, ditambah sakit hati dibilang tak laku-laku. Ada yang ingin sebenarnya menikah dengan Dayyan, tapi lelaki itu masih diam sepeti batu. “Kau ikut pulang ke rumah kami, Nak?” tanya Gu. “Eh, jangan, aku ke stasiun saja mau pulang ke rumah.” Nuwa segan, takut disangka ingin dekat dengan keluarga yang disegani banyak orang. “Dayyan, antar ke statiun,” perintah Hira. “Jauh mutarnya.” Lelaki bermata abu-abu itu menarik napas. “Tidak usah, nanti aku naik rajawali terbang saja. Berhenti di simpang lampu merah ya, Syeikh, tolong.” Tumben Nuwa bicara lembut pada Dayyan, mungkin karena ada ibunda yang disegani. “Kapan-kapan main ke rumah, ya. Jangan hanya tunggu idul fitri, masih lama.” Gu memegang tangan Nuwa sebelum berpisah. “Iya, Insya Allah k
Dayyan sedang membersihkan senapan laras panjangnya sembari mengawasi dua anaknya belajar. Bhira tidak bisa jauh-jauh dari ayahnya. Anak gadis itu bahkan duduk di pangkuan ayahnya sampai tertidur. Satu tahun lebih sudah dua anak Dayyan tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Banyak memang yang menawarkan diri. Namun, kali ini Dayyan ingin memilih sendiri, bukan dijodohkan seperti dulu saat bersama Feme. Ketika Bhira sudah tertidur lelap, ada pesan masuk ke ponsel Dayyan. [Kapten, ada pergerakan aneh di dekat rumah Nuwa.] Laporan selesai. [Selidiki dan tangkap kalau ada yang aneh] balas ayah Bhani. [Masalahnya yang aneh itu Nuwa sendiri, Kapten] [Anehnya di mana?] [Dia banyak mengikat selendang di tiang-tiang tempat latihan. Aku takut dia bunuh diri] [Ya cegah kalau begitu] [Tapi kita tidak boleh mendekat?] Dayyan memejamkan mata membaca pesan dari bawahannya dulu, sebab mereka juga dulu takut dengan Nuwa. “Jangan-jangan dia benar mau gantung diri lagi. Ah, tidak bis
Tak fokus Dayyan menyetir mobil pulang ke rumah. Kadang salah belok, kadang ingin menabrak sesuatu, kadang begini, kadang begitu. Bayangan aurat Nuwa masih berputar-putar di wajahnya. “Astaghfirullahhalladzim. Ya Allah, harusnya aku tundukkan pandangan tadi, bukan aku lihat sampai selesai. Aku yang salah di sini, bukan dia.” Ayah Bhani menarik napas panjang berusaha meredam debar jantungnya yang kian menjadi. Sejak kecil ia sudah diberi tahu batasan antara lelaki dan perempuan. Bahkan pendidikan di Syam dengan jelas memisahkan ruang antara perempuan dan lelaki. Kecuali pengajar lelaki yang diperbolehkan mengajar perempuan, pun tak banyak, dia salah satunya.Jika di rumah, Dayyan hanya melihat bagian tubuh saudari perempuan dan ibunya sebatas rambut, wajah, leher, tangan sampai siku dan kaki tak sampai betis. Baju pun longgar sekali. Di dalam kamar ia tidak tahu bagaimana para saudarinya karena oleh Ali ada larangan masuk kamar tanpa salam. Lalu aurat perempuan yang bukan mahrom yan
“Terlambat lagi, katanya harus disipilin, tak bisa dipegang memang perkataan syeikh satu ini.” Nuwa menekan kata syeikh dengan giginya yang rapat. “Biarlah terlambat, Nuwa. Aku sedang malas belajar, nilaiku tak naik-naik dari B, B teruuuus sepertinya sampai kelas ini berakhir,” ucap Anjali. Satu geng itu duduk di depan kelas, sudah lima belas menit yang lalu harusnya Dayyan datang. “Masih bagus dikasih nilai B, aku C terooos sepertinya sampai kiamat,” gerutu Nuwa. Dayyan memang pelit membeli nilai. “Nuwa,” panggil Padma, gadis Nepal itu selain belajar bahasa arab dia juga belajar bahasa Inggris. “Six pack itu apa?” tanyanya yang masih polos. “Ha ha ha, kenapa kau bertanya hal seperti itu?” Lirikan mata Nuwa agak lain. “Di buku disebutkan kalau dulu Rasul dan para sahabat bentuk tubuhnya six pack, kau kan paling lancar bahasa Inggris, bisa tidak berikan ilustrasinya padaku.” “Six enam, pack kotak, enam kotak kalau lurus saja kau artikan, tapi … arti yang sebenarnya adalah perut l
Kelas berlangsung sangat sunyi dan sepi. Sejak masuk tadi Dayyan hanya meminta para siswi membaca halaman lanjutan saja. Iya, kelas memang tenang tapi tidak dengan hati lelaki bermata abu-abu itu. Setiap pergerakan Nuwa kini menjadi salah di matanya, tapi dia tidak berani menegur, takut kelepasan dan jujur di depan banyak orang. ‘Kenapa dia, ya, hening sekali hari ini?’ tanya Nuwa dalam hati. Terkadang ia melihat lelaki itu melirik ke arahnya. Namun, segera memalingkan pandangan. ‘Apakah aku salah pakai baju hari ini, atau aku tak usah pakai baju saja, ahahaha, astaghfirullahhaladzim.’ Ngucap Nuwa dalan hatinya. Lalu ia tak sengaja menjatuhkan kitabnya yang tebal. Biasanya apa pun yang wanita Suku Mui itu lakukan selalu saja salah di mata Syeikh killer tersebut, sampai naik emosi Nuwa setiap hari. Namun, hari ini benar-benar tenang suasana. “Tumben tak marah-marah beliau, biasanya jangankan aku menjatuhkan kitab. Bernapas saja aku salah,” gumam wanita itu perlahan. Iseng, Nuwa ja
Kelas akan berakhir sebentar lagi. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk memberikan ceramah tujuh menit khusus untuk akhwat yang hadir. “Dengarkan semua baik-baik,” ucap Dayyan walau debar jantungnya masih belum bisa diajak kompromi. Apalagi Nuwa pindah duduk dekat gerombolan Anjali. Mereka berdua jadi berhadap-hadapan langsung. “Ehm, begini, kita semua tahu bagaimana batasan aurat perempuan dalam Islam. Semua bagian kecuali dua telapak tangan dan wajah. Namun, demi menghindari fitnah lebih besar yang bisa jadi para perempuan juga tidak sadar, oleh pemerintah diminta menggunakan cadar dan sarung tangan.” “Na’am Syeikh,” jawab semua siswi bersamaan termasuk Nuwa. “Jangan asal-asalan memperlihatkan aurat kalian di depan lelaki yang bukan mahrom. Khawatir ada tindak kejahatan yang tidak bisa dicegah. Bukan berarti membenarkan tindak pelecehan, tentu saja ada hukuman jika naud’zubillah misalnya sampai terjadi.” Dayyan merasa dia tak pantas, memberikan ceramah itu, karena dia sendiri me
Nuwa, perempuan Suku Mui yang dilahirkan dengan marga Wei. Darah penduduk desa itu percampuran antara orang Xin Hua dan Arab yang sejak ribuan tahun lalu memang sudah ada. Sebab itulah mereka memiliki kulit putih pucat dan mata besar. Nuwa yang menikah di usia 15 tahun dan sekarang baru saja menginjak angka 21 tahun tergolong masih sangat muda belia memang menjadi janda. Namun, apa daya ketika umur Fu Kai memang tidak panjang. Hanya lima tahun saja mereka menjadi sepasang suami istri tanpa keturunan. Lalu darah yang masih sangat muda dan telah merasakan manisnya pernikahan serta mendapatkan suami yang sangat baik dan peduli dengannya, terkadang membuat Nuwa tersiksa juga. Dia adalah perempuan yang ditakdirkan terlahir dengan memiliki tenaga dan energi yang lebih dari yang lain. Ditambah latihan yang keras sejak kecil pula. Ketika gelora datang pada malam hari di Syam, Nuwa selalu saja bingung. Di Syam memang siang hari ketika musim panas sangat panas. Namun, di malam hari angin yan
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun