Bagian 1
HilangMaira sedang sibuk bekerja. Kasus penculikan akhir-akhir ini semakin banyak saja. Dia bersama suaminya—Fahmi, hampir tidak ada istirahatnya memecahkan satu kasus ke kasus lainnya. Jika mereka terlambat maka anak-anak yang diculik akan mati digantung.Ini bukan karena penjagaan di Syam semakin melemah. Tidak seperti itu. Memang Syam sempat memenangkan peperangan melawan Balrus. Namun, Balrus tidak tinggal diam begitu saja. Negara kafirun itu akhirnya bekerja sama dengan negara super power sekelas Xin Hua. Negara yang umat islamnya semakin lama semakin berkurang karena ditindas dan mati disiksa.“Maira, kau pulang saja duluan. Kasihan anak-anak kita tidak ada yang menunggu,” ucap Fahmi ketika hari sudah Ashar.“Kau tidak apa-apa aku tinggalkan?” tanya wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istri Fahmi. Kini usianya sudah 35 tahun, dan Fahmi 30 tahun. Sudah banyak lika-liku kehidupan yang mereka jalani. Ditambah dengan tiga orang anak lelaki semuanya. Amanah yang harus dijaga.“Tidak apa-apa. Mungkin aku akan pulang larut malam. Kau makan saja duluan dengan anak-anak, ya.” Fahmi mengizinkan istrinya pulang, supaya ada yang menjaga tiga buah hati mereka.Meski anak pertama mereka sudah berusia sembilan tahun, tetap saja ada rasa takut. Penculik yang kini berkeliaran tidak punya hati sama sekali. Jaringan yang bergerak luar biasa rahasia. Ditambah dengan urusan perang yang tidak selesai-selesai bahkan sejak Maira belum lahir ke dunia ini.Maira pulang dengan rasa cemas luar biasa. Hari ini hatinya tidak keruan sama sekali. Sungguh wanita bermata biru itu takut terjadi sesuatu dengan Fahmi. Ingin kembali, tapi nanti siapa yang akan menjaga tiga buah hatinya. Yang paling kecil saja baru berusia lima tahun dan ia tinggalkan dari pagi bersama Gu—ibunya.“Assalammualaikum, Bu,” ucap Maira ketika baru pulang. Wanita itu langsung memeluk anak lelakinya yang paling kecil. Dua lagi yang sudah besar sedang menunggu di rumah.“Wa’alaikumussalam, Nak. Kau pasti lelah, kan? Ayo, makan dulu. Ibu sudah masak.”“Aku bawa pulang saja, Bu. Kasihan dua anakku menunggu.”“Apa kasus penculikan semakin ramai?”“Belum ada solusi, tepatnya!”“Andai ayahmu masih hidup, Nak.” Gulaisha Amira, wanita yang sudah memasuki usia setengah abad lebih telah menjadi janda sejak lima tahun yang lalu. Kesedihan melanda ketika ia kehilangan teman hidupnya. Maira juga sedih, hanya saja ia sembunyikan serapi mungkin.“Ibu. Ayah sudah tenang, Insya Allah. Aku pulang dulu. Atau Ibu ingin menginap bersamaku?”“Tidak, Maira. Ibu akan mati di dalam rumah ini. Ibu akan menetap di sini sampai ajal menjemput.” Jawaban seorang wanita yang kesepian luar biasa. Zahra sudah berusia 16 tahun. Sedang menempuh pendidikan menengah terakhir. Mungkin gadis itu akan menikah atau kuliah, terserah padanya.“Ibu, Dayyan akan kemari, bukan? Ibu jangan sedih. Kalau Ibu sedih aku tidak tenang.” Maira memegang tangan ibunya. Gu yang rajin perawatan dari dulu tidak terlalu mengalami keriput di kulitnya.“Iya, Nak, maafkan Ibu. Dayyan akan datang, kau pulanglah. Jaga amanah suamimu baik-baik, ya.” Gu menghela napas panjang.Sejak ditinggal Ali tidak pernah terlintas satu kali pun keinginan Gu untuk menikah lagi. Walau ada saja beberapa orang yang melamarnya. Tidak dipungkiri wajah yang sudah berusia 50 tahun lebih itu masih tetap cantik walau tersembunyi di balik cadar.Maira membawa anak ketiganya keluar dari rumah Gu. Ia berpapasan dengan Dayyan. Anak pertama lelaki dari Gu dan Ali. Lelaki yang juga bermata abu-abu. Raut wajahnya lebih mirip Gu daripada ayahnya. Dayyan sendiri mewarisi kemampuan Ali sebagai seorang tentara hebat. Sedangkan kembarannya—Bahira—meneruskan cita-cita Gu sebagai dokter bedah perempuan.Dayyan sudah menikah sejak umur 20 tahun. Sekarang usianya sudah 29 tahun. Anak pertamanya sudah berusia delapan tahun. Untuk sementara waktu Dayyan baru memiliki dua anak. Adik kandung Maira itu sedang sibuk-sibuknya mengurus perbatasan. Tidak ada bedanya dengan Fahmi dan Maira yang sibuk mengurus kasus penculikan.“Jaga Ibu baik-baik, ya. Sepertinya hari ini Ibu sedang terbawa perasaan,” ucap Maira ketika akan masuk ke mobilnya.“Kak, hati-hati di rumah. Perasaanku tidak enak. Maafkan, karena aku kadang lemah menjaga perbatasan,” jawab Dayyan. Anak lelaki Ali yang meniru gaya ayahnya. Rambutnya dia potong sangat pendek, nyaris plontos. Tidak seperti Sultan yang betah dengan rambut panjang.“Tidak apa-apa, kau sudah bekerja keras. Sudah, Kakak pulang dulu.” Maira masuk ke mobil dan menitipkan ibunya pada Dayyan.Anak lelaki pertama Ali dan Gu itu masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum lebar demi menutupi kewaswasannya atas situasi perbatasan yang mulai tidak baik.Dayyan menunggu beberapa saat sampai Zahra pulang dari sekolah. Gadis berusia 16 tahun itu diawasi dengan baik oleh tiga kakak lelakinya. Maklum saja ayahnya sudah tiada. Tidak boleh ada lelaki yang mendekati Zahra jika tidak berniat menikahinya. Bahkan hanya sekadar mengucapkan salam saja bisa dipandang oleh Dayyan yang gaya bengisnya mirip dengan Ali dulu.“Dayyan. Bawalah makanan ini untuk istri dan dua anakmu. Ibu buat banyak sekali, nanti tidak ada yang makan. Sayang kalau mubazzir.” Gu membungkus kudapan buatannya.Sejak tidak lagi ada Ali dan anak-anak sudah besar. Ia tetap enggan balik ke dunia medis. Anggap saja Gu sudah nyaman berada di rumah.“Terima kasih, Bu.” Dayyan kembali pulang.Sebenarnya Gu tidaklah sendirian. Ada Zahra dan satu anak lelakinya yang belum menikah. Hanya saja itu sebuah bentuk tanggung jawab Dayyan pada ibunya. Anak lelaki Ali itu tahu bagaimana sepinya hidup Gu setelah ditinggal kekasih tercinta. Kekasih yang dulu tidak Dayyan ketahui bagaimana masa muda yang sangat kelam. Gu dan Ali memutuskan menutup lembaran masa lalu bahkan dari anak-anak mereka.***“Sayang, kenapa? Kau terlihat lelah sekali.” Istri Dayyan—Feme, menyambut suaminya pulang. Wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Caninya—sahabat lama Gu. Keduanya menikah karena dijodohkan.“Tidak apa-apa. Ini kue pemberian Ibu, kita makan sama-sama. Dia sudah membuatnya bersusah payah.” Dayyan memberikan bungkusan itu pada istrinya.Malam ini seharusnya anak lelaki pertama Ali pergi ke perbatasan setelah Isya. Namun, ia tertidur sejenak karena letih sekali terasa di sekujur tubuh. Feme sudah berusaha membangunkan tetapi Dayyan seperti orang mati rasa saat tidur. Feme akhirnya ikut tidur di sebelah suaminya.Tengah malam ponsel lelaki bermata abu-abu itu berbunyi. Dayyan terkejut ketika lampu kamarnya gelap. Lekas ia raih ponsel yang berdering dan mengangkat panggilan dari Maira—kakak perempuannya. Panggilan yang membuat mata Dayyan langsung hilang rasa ngantuknya. Ia matikan ponsel dan hidupkan lampu. Feme akhirnya bangun juga.“Kenapa aku tidak dibangunkan, Fem?” Dayyan meraih seragam dan lekas menggunakannya. Feme langsung bangkit kesadaran dan membantu suaminya berkemas.“Sudah, tapi kau tidak bergerak sama sekali. Aku pikir kau kelelahan.” Feme memberikan ikat pinggang tentara pada Dayyan.“Apa ada masalah?” tanya Feme.“Kak Maira ada yang hilang darinya. Nanti aku jelaskan, aku pergi dulu.” Lelaki bermata abu-abu itu pergi begitu saja. Ia hidupkan mobil dan putar arah lalu ngebut untuk sampai di TKP yang disebutkan oleh Maira.“Kak, apa benar apa yang aku dengar di telepon?” tanya Dayyan tergesa-gesa.“Apa aku terlihat bercanda bagimu?” Air mata Maira menetes. Dia memeluk anak ketiganya. Dua yang lain ia tinggalkan di dalam rumah.“Bagaimana mungkin? Maaf, ini karena aku ketiduran tadi.” Dayyan tidak kuasa melihat kakak yang ia tahu dari dulu kuat sekarang terlihat lemah.“Dayyan, tolong, temukan suamiku. Aku yakin dia masih hidup. Tadi sore kami masih bersama-sama. Dia tidak mungkin jauh dari sini. Kau tahu? Setelah Ayah meninggal, hanya Fahmi tempatku berkeluh kesah. Kalau bisa, tolong jangan buat kakakmu ini jadi janda yang kedua kalinya. Tolong, Dayyan, kau yang paham wilayah perbatasan. Kakak mohon,” ucap Maira di depan para tentara yang lain juga.“Iya, baik, Kak, akan aku lakukan semua usaha untuk menemukan Kak Fahmi. Kakak pulang dulu. Bawa anak Kakak pulang. Mereka hanya punya kau saja sekarang ini.” Dayyan sedang berusaha membujuk Maira yang sedang memandang perbukitan di depannya. Bukit yang dulu pernah menjadi tempat petulangan dia dan Fahmi sepuluh tahun lalu.“Aku merasa Fahmi memanggilku dari bukit-bukit itu. Jika tidak ada anak. Malam ini juga akan telusuri perbukitan itu.” Maira menahan sesak di dadanya.“Kak, istighfar, situasi sekarang memang serba sulit. Tenang dan pulanglah, bantu kami dengan doa.”“Iya, Kakak tahu, Kakak hanya merasa …” Maira menahan ucapannya.Kemudian dia masuk lagi ke mobil dan pulang ke rumah. Berusaha menyetir dalam keadaan tetap waras, walau hati Maira sudah bergemuruh luar biasa.Dayyan tidak pulang malam itu dari perbatasan. Tentara tersebut menelusuri jejak mana saja yang ditempuh oleh Fahmi. Sampai di dekat batu ia temukan sebuah gigi yang tanggal, satu buah pistol laras pendek, darah yang membasahi batu dan seragam dengan nama Fahmi dilepas begitu saja.“Jangan beritahu hal ini dulu pada Kak Maira. Sampai kita temukan mayat Kak Fahmi baru kita beritahu.” Perintah Dayyan pada tentara lain di bawah pangkatnya. Mereka semua berkata siap.Hari demi hari penelusuran terhadap hilangnya Fahmi terus dilakukan. Sultan—penjinak bom senior berusia hampir 40 tahun itu turun tangan. Bukan karena ingin ikut mencari, tetapi ada beberapa bom aktif yang dipasang. Situasi semakin mendebarkan.Dalam sehari Sultan dan timnya menemukan tiga buah bom yang dipasang di dekat perbukitan, di dekat padang pasir bahkan nyaris di markas Dayyan. Seperti sore ini ada sebuah kotak dari kayu cukup besar datang. Dayyan dan Sultan sama-sama mengenakan baju anti api demi keselamatan. Kotak yang dipaku sekeliling itu dibuka oleh beberapa petugas yang sudah menggunakan pelindung.“Buka kotaknya!” perintah Dayyan.Sultan sudah membawa peralatan penjinak bomnya. Kotak itu dikeluarkan dan isinya ternyata baju-baju bekas masih layak pakai.“Aneh,” ucap Sultan.Beberapa detik kemudian dari dalam kotak kayu itu muncul seorang makhluk hidup. Dia seorang perempuan, menggunakan seragam tentara. Wajahnya kotor dan kusam. Rambutnya dipotong asal-asalan. Dia melihat ke sekeliling. Mengapa banyak sekali padang pasir juga bukit?“Mata-mata?” ucap Dayyan. Wanita itu melihat ke arahnya. Sudah empat belas hari dia bertahan hidup di dalam kotak kayu. Dia lapar dan haus, lalu jatuh pingsan begitu saja.Siapakah dia? Perempuan dengan kulit putih dan mata besar serta terlihat sangat ketakutan. Benarkan dia mata-mata seperti kata Dayyan? Anak lelaki pertama Ali memiliki satu kekurangan, yaitu terlalu gegabah mengambil keputusan.“Bawa dia ke rumah sakit. Setelah itu interogasi.” Dayyan memandang wajah yang tak sadarkan diri. Nama yang tertera di seragam itu tidak bisa dibaca. Jenis hurufnya berbeda.BersambungBagian 2 Janji SetiaFu Khai bangun di pagi yang masih sangat buta dan dingin. Sudah menjadi kebiasaannya sejak masih berusia tujuh tahun. Lelaki muslim keturunan Suku Mui di Xin Hua itu berlatih bela diri wing chun. Pertama kali yang Kai lakukan ialahn membasuh mukanya. Dengan air yang berasal dari gentong, sangat dingin dan mampu mengembalikan nyawanya yang masih setengah berada di atas ranjang. Sebuah kayu dengan susunan tangan-tangan lurus menjadi tempatnya latihan. Bela diri wing chun ia latih setiap hari demi ketangkasan dan kecepatan tubuhnya. Sebab tinggal di negara yang mendiskrimanasi umat muslim perlu kekuatan lebih. Bukan untuk memberontak. Suku Mui tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Melainkan untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Tentara Xin Hua yang bengis sering melakukan sidak dadakan dan semena-mena. Detik yang berubah menjadi menit Kai memukul dan menendang boneka kayu, membuat peluhnya mengucur. Lumayan sebagai pemanasan sebeluam memulai aktifitas u
Bagian 3 Lupa“Kenapa kalian lari. Kami kemari hanya jalan-jalan saja.” Salah seorang tentara Xin Hua datang berserta lima pasukannya. Tersusul juga larinya Kai dan Nuwa karena terganggun dengan derap langkah kuda yang asal-asalan. “Maafkan kami, Tuan. Istriku takut mendengar suara ledakan.” Kai memegang erat tangan Nuwa. Ia tahu wanita bermata hitam kelam tersebut tak suka dengan kedatangan para tentara kafirun. “Ini istrimu, ckckck, cantik sekali,” ucap salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi. Kai menggeser Nuwa di belakang tubuhnya agar tidak ada mata jalang pria lain yang berniat memangsanya.“Sekali lagi maafkan kami jika ada berbuat salah, Tuan. Kami hanya sedang memberi makan kuda milik Tuan Wong.” Kai masih berusaha menahan situasi agar tidak tegang. Jujur saja ia sanggup dengan tangan kosong melawan tentara itu. Tangan kosong, bukan melawan senjata api. “Ah, Tuan Wong, iya, iya. Orang kaya satu itu. Katakan padanya agar membayar pajak dua kali lipat lebih banyak
Bagian 4 Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya. Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya. “Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.” “Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. M
Bagian 5 Sang Kapten “Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung. Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan. “Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya. Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan. “Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lai
Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa. “Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam. “Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut. Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya. “Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka su
Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf
“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun