Bagian 3
Lupa“Kenapa kalian lari. Kami kemari hanya jalan-jalan saja.” Salah seorang tentara Xin Hua datang berserta lima pasukannya. Tersusul juga larinya Kai dan Nuwa karena terganggun dengan derap langkah kuda yang asal-asalan.“Maafkan kami, Tuan. Istriku takut mendengar suara ledakan.” Kai memegang erat tangan Nuwa. Ia tahu wanita bermata hitam kelam tersebut tak suka dengan kedatangan para tentara kafirun.“Ini istrimu, ckckck, cantik sekali,” ucap salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi. Kai menggeser Nuwa di belakang tubuhnya agar tidak ada mata jalang pria lain yang berniat memangsanya.“Sekali lagi maafkan kami jika ada berbuat salah, Tuan. Kami hanya sedang memberi makan kuda milik Tuan Wong.” Kai masih berusaha menahan situasi agar tidak tegang. Jujur saja ia sanggup dengan tangan kosong melawan tentara itu. Tangan kosong, bukan melawan senjata api.“Ah, Tuan Wong, iya, iya. Orang kaya satu itu. Katakan padanya agar membayar pajak dua kali lipat lebih banyak bulan ini. Kami sedang butuh banyak uang. Atau kalau dia tidak memberikannya. Gadis dan perempuan di desa kalian akan kami angkut sebagai penghangat ranjang, terutama …” Telunjuk tentara itu ingin menyentuh pinggang Nuwa. Namun, ditahan oleh Kai terlebih dahulu.Dua mata tersebut saling menatap. Terasa sakit genggaman tangan Fu Kai di tangan tentara Xin Hua karena dia telah berlatih bela diri sejak kecil.“Baiklah, aku hanya bercanda saja. Jangan lupa pesanku disampaikan. Ayo kita pergi dari sini. Kita minum arak sampai puas.” Tentara itu menarik telunjuknya dari genggaman tangan Kai dan pergi bersama lima bawahannya.“Mereka kuat hanya karena senjata saja. Kalau berani ayo lawan tangan kosong denganku. Aku buat tulang rusukmu patah sekalian.” Nuwa menatap para tentara itu dengan penuh kebencian.“Sudah, ayo kita bawa kuda kembali dan sampaikan pesan dari mereka pada Tuan Wong. Aku merasa tidak enak dengan situasi kali ini. Aku akan cari cara untuk pergi dari desa.” Kai mengejar satu demi satu kuda yang harus dikembalikan ke kandang begitu juga dengan Nuwa. Sepasang suami istri itu menaiki kuda hitam dan putih dan menggiring yang lain untuk kembali.“Kai, sampai di tempat yang baru nanti kalau kita selamat. Kau harus janji tidak boleh menunda punya anak lagi. Kau tahu, kan, keberadaan Suku Mui semakin lama semakin sedikit saja. Kalau tidak ada penerus lama-lama suku kita akan punah,” ujar Nuwa. Padahal Suku Mui dulunya sangat makmur walau tertindas. Sekarang sudahlah tertindas tidak makmur pula.“Insya Allah, aku janji kalau kita sudah aman, Sayang, sekarang kita banyak-banyak bersabar saja.” Kai menarik tali kekang kuda begitu juga dengan istrinya. Keduanya kembali ke kandang tepat ketika waktu dzuhur sudah masuk.Di mana mereka sholat? Di dekat tempat sempit yang bersih tak jauh dari kandang kuda. Sembunyi-sembunyi tentu saja. Tidak ada masjid di desa itu, urusan ibadah wajib saja dipersulit. Selama lima tahun makmum Kai benar hanya Nuwa seorang.Kejamnya pemerintah Xin Hua melunak di bulan Ramadhan. Bukan karena mereka menghormati bulan suci itu. Melainkan di siang hari para tentara kadang datang membawakan makanan lezat.Seringnya di bulan Ramadhan penduduk desa pergi menjauh. Berpura-pura bekerja sampai ke dalam hutan agar tidak dipaksa makan. Walau ada juga yang satu dua orang tertangkap dan diperintahkan makan di depan para tentara.Usai sholat Dzuhur tak lama setelah itu, pelayan Tuan Wong akan datang mengantarkan makanan sisa untuk sepasang suami istri tersebut. Walau di pagi dan malam hari mereka makan seadanya, tetapi di siang hari Kai dan Nuwa dapat makanan yang tersisa dari meja makan para tuan. Lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan usai menjaga para kuda.“Bibi, tolong katakan pada Tuan Wong, kami tadi bertemu dengan tentara Xin Hua. Mereka mengatakan agar tuan membayar pajak dua kali lipat bulan ini,” ujar Kai. Bibi pelayan hanya mengangguk saja dan kembali ke depan rumah besar.“Ini, ada sisa daging ayam untukmu.” Guru wing chun itu memberikan daging yang masih layak makan pada muridnya. Nuwa pun membagi dua seperti biasa. Beras yang dimasak oleh pelayan Tuan Wong kualitasnya berbeda. Sebab itu Kai dan Nuwa tidak pernah menyisakan walau sebutir pun.“Guru Kai, kau dan istrimu dipanggil oleh Tuan Wong, sekarang juga!” Pelayan yang tadi mengantarkan makanan kembali.“Iya, baiklah, kami akan segera ke sana.” Kai mencuci piring setelah makan dan meletakkannya di nampan kayu.“Ada apa Tuan Wong sampai memanggil kita. Biasanya juga upah diberikan oleh Bibi?” Nuwa bertanya-tanya.“Tidak tahu, ayo kita pergi sama-sama. Siapa tahu penting.” Kai menarik tangan istrinya.“Kalau kita diberhentikan bagaimana, Kai?”“Kita cari pekerjaan lain, tidak aku saja, kau diam di rumah.”“Tidak mau. Seharian di rumah aku over thinking selalu. Kalau ada anak ya tidak masalah juga.” Nuwa melirik gurunya yang tak pernah bosan mendengar celotehan dirinya tentang kehadiran seorang buah hati di tengah kegersangan selama lima tahun lamanya.“Assalamamualaikum, Tuang Wong,” ucap Kai, dijawab oleh lelaki pemilik puluhan kuda itu.“Aku dengar dari pelayan katanya tentara Xin Hua memintaku membayar pajak dua kali lipat. Benar mereka mengatakan itu padamu, Guru Kai?” Tuan Wong tidak mau memanggil lelaki itu dengan nama saja. Sebab dulunya Kai mempunyai perguruan sendiri.“Benar, Tuan Wong. Aku hanya diperintahkan menyampaikan hal itu saja.”“Guru Kai, soal pajak aku bisa saja membayarnya dan jelas mereka akan senang. Aku tidak punya pilihan selain membayarnya, jika tidak rumahku dan desa kalian bisa hangus dibakar. Betul begitu, Guru Kai?” tanya lelaki itu sambil menghisap cerutu mahalnya.“Benar, Tuan Wong. Kalau kau tidak membayar pajak maka desa kami yang akan jadi sasarannya.”“Aku ingin bertanya, apakah tentara tadi melihat wajah istrimu?” Tuang Wong melihat Nuwa yang tidak memandangnya. Andai wanita itu masih sendiri, tentu sudah ia persunting untuk menggenapi jumlah istrinya sampai empat.“Iya, Tuan Wong.”“Kalau begitu, istrimu tidak baik-baik saja. Percayalah, hal seperti ini tidak bisa diatasi dengan uang, Guru Kai. Pesanku, jagalah istrimu baik-baik. Aku tidak bisa bayangkan kalau perempuan Suku Mui terus saja musnah, dan akhirnya suku kita lama-lama hilang dari muka bumi ini.”“Terima kasih nasehatnya, Tuan Wong. Apa ada yang lain lagi? Sebab kami harus mencari sayuran di hutan.” Kai tahu makna tatapan lelaki kaya itu pada istrinya. Agak susah memang menjaga Nuwa karena pesona yang tanpa sadar istrinya pancarkan.“Tidak ada, kalian boleh pergi. Oh, iya, tunggu sebentar. Ini upah mingguan kalian, aku lebihkan beberapa lembar. Gunakanlah untuk membeli pakaian yang pantas.” Tuang Wong memberikan amplop cokelat itu pada Nuwa, tetapi diambil oleh Kai. Lelaki kaya raya itu memperhatikan baju Nuwa yang banyak jahitan di sana sini.“Kami pergi dulu, Tuan Wong.” Kai meninggalkan ruangan sambil menarik tangan murid sekaligus istrinya.“Ingin kuhantam mulutnya sampai semua giginya rontok,” bisik Nuwa sambil menggenggam jemarinya sendiri.“Tahan saja. Tuan Wong masih tahu tata krama. Kalau dia berani lagi kita berhenti dari sini.”Guru wing chun dengan postur tubuh lebih gagah daripada tentara itu membuka amplop cokelat upah mingguan mereke berdua. Nuwa tersenyum, jumlah yang lebih banyak daripada biasanya.“Kita beli baju, Nuwa?” Kai menawarkan.“Tak mau, nanti aku terkesan menuruti keinginan lelaki tua itu lagi. Lebih baik kita ke toko di simpang jalan saja. Kita beli isi dapur, cukupkan satu minggu dan kita tidak perlu menahan lapar kalau kehabisan bahan lagi.”Nuwa berdiri dan meraih tangan suaminya. Jam kerja mereka berdua telah usai dan lekas saja mereka meninggalkan kediaman Tuan Wong. Lelaki kaya yang memperhatikan keduanya dari lantai atas.“Sayang sekali aku terlambat tahu kalau Nuwa akan jadi perempuan yang sangat cantik. Saat usianya 15 tahun dia masih ingusan sekali. Ah, menyesal rasanya, andai kau hidup menjadi istri mudaku, Nuwa. Kau tidak akan pernah kena teror pasukan Xin Hua lagi.” Tuang Wong mengembuskan asap cerutu, sembari matanya memperhatikan pergerakan bahu dan pinggul Nuwa. Lelaki yang tidak ada puasnya walau sudah punya lebih dari satu istri.***Di toko kelontong itu Nuwa memesan banyak bahan makanan untuk seminggu. Mulai dari beras, tepung, kecap, minyak goreng, telur, dan lain sebagainya. Lalu pandangan matanya beralih pada kue bulan yang isiannya sayuran. Entah mengapa tiba-tiba saja dia sangat ingin memakannya. Padahal dulu Nuwa tak pernah tertarik untuk mencoba.“Kue bulan? Tumben sekali?” tanya Kai ketika Nuwa langsung membuka bungkusan dan makan di tempat.“Tak tahu, aku hanya ingin saja.” Nuwa membayar sejumlah uang sesuai barang yang mereka beli. Masih ada beberapa lembar yang tersisa. Lalu Kai menarik baju Nuwa dan berbisik di telinga istrinya.“Jangan lupa beli pil pencegah kehamilan. Jangan sampai terjadi hal yang sangat kau inginkan.”Seketika perkataan Kai membuat Nuwa terperanjat. Rasanya sudah cukup lama wanita dengan bola mata hitam kelam itu tak meminumnya. Benar-benar lupa.“Ah, iya, aku hampir saja lupa.” Nuwa meminta satu strip pil pencegah kehamilan pada penjaga toko. Ia masukkan dalam kantung celana.Sepasang suami istri itu berjalan kaki dengan menenteng belanjaan yang memenuhi dua tangan mereka. Kai memperhatikan pemandangan di desanya yang sangat hijau, sambil bercerita pada Nuwa. Sayangnya, murid sekaligus istrinya itu sepertinya sedang melamun.“Kau kenapa?” tanya Kai.“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin segera sampai di rumah. Aku ingin buat sup mi daging. Sesekali kita makan enak.” Nuwa tersenyum menyembunyikan kegundahan hatinya.“Iya, terserah kau saja.” Kai tidak terlalu perasan dengan perubahan yang dialami oleh Nuwa.Lalu ketika sudah sampai di rumah, wanita Suku Mui itu lekas saja membersihkan meja makan dan membuat adonan mi dari tepung telur dan mentega. Sedangkan Kai mencari kayu bakar dan menghidupkan perapian untuk merebus tulang sapi yang mereka beli.Menjelang Ashar sup mi daging itu matang. Lalu keduanya melihat ke arah jam. Tanpa adzan mereka perkirakan waktu sudah masuk. Bersamaan lagi mereka jama’ah di rumah. Tidak ada pilihan lain daripada ditangkap dan dipenjara karena dianggap melaksanakan ritual sesat.Usai makan sup daging, Kai akan meninggalkan rumah. Lelaki itu pergi ke tempat seorang guru yang mahir beberapa ilmu. Nuwa akan mengunci pintu rapat-rapat sampai suaminya kembali.“Aku takut kalau aku benar-benar hamil.” Wanita Suku Mui itu memandang pil lama yang butirannya hanay berkurang tujuh butir saja. Sisa dua puluh tiga lagi masih utuh.Sudah lama tidak ada euforia kehamilan di desa tersebut. Sudah lama tidak ada silaturahmi menjenguk tetangga yang baru saja melahirkan. Lalu bagaimana kalau Nuwa sampai benar mengandung. Apakah hidup mereka akan selamat, atau justru salah satunya harus berkorban nyawa?Bersambung …Bagian 4 Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya. Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya. “Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.” “Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. M
Bagian 5 Sang Kapten “Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung. Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan. “Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya. Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan. “Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lai
Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa. “Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam. “Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut. Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya. “Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka su
Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf
“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
“Kau, akan diampuni oleh nona muda kami, kalau kau mau berlutut menyembah kaki salah satu di antara kami.” Wakil Xia He bergerak menghadap wajah Kai yang memerah menahan amarah. “Cuih!” jawab Kai sambil meludah tepat di wajah lelaki itu. “Tambahkan lagi cambuknya sampai lima puluh kali.” Perintah keji itu terus saja dilontarkan. Wakil Xia He merupakan orang yang paling bertanggung jawab mengantar perempuan muslim ke rumah kakak lelaki kapten mereka. Apa yang terjadi di sana, sudah pasti kehormatan wanita muslimah terkoyak sedemikian rupa. Berkali-kali sumpah serapah dan laknat telah dimuntahkan ke wajahnya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan sumpah itu akan terlaksana. “Masih tidak mau berlutut? Setelah kau menggadaikan imanmu, kau akan diberikan fasilitas hidup yang lengkap. Lupakan soal kau menyakiti kapten kami. Kami bisa maafkan asalkan kau berkontribusi sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu beladirimu itu terlalu kuat untuk diwarisi seorang diri saja. Kalau kau melatih 1000 tentara
Nuwa terpaku di dalam penjara. Sudah sehari semalam berlalu dan ia tak pernah tahu bagaimana kabar suaminya. Rasa lapar dalam perut yang semakin menjadi tak ia hiraukan. Baginya, bertemu Kai adalah hal yang paling penting saat ini. “Apa akan berakhir seperti ini kebersamaan kita, Kai? Rasanya lima tahun itu terlalu singkat bagiku,” gumam Nuwa sambil menggigit kuku tangannya. Hal yang ia lakukan ketika ketakutan. Takut kehilangan pasangan hidupnya. Dia sudah tidak punya keluarga yang lain lagi. Hingga akhirnya Nuwa tertidur karena tak tahan lagi dengan kantuk dan dingin angin di dalam penjara. Wanita itu tidak sendirian. Ia ditemani oleh yang tak kasat mata. Dia datang karena tahu hidup Nuwa dalam ancaman. Siapa tahu dia bisa menolong Nuwa lari dari sana. Untuk menolong Kai sosok itu tidak mampu. Sebab orang-orang yang masih hidup di dalam sana jauh lebih keji bahkan daripada iblis sekalipun. Baru beberapa menit terpejam, tubuh Nuwa sudah disiram air dingin hingga basah seluruh baj
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun