Bagian 4
Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya.Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya.“Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.”“Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa.Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. Melihat Nuwa makan buah sangat lahap Kai berikan bagian miliknya pada perempuan yang telah lima tahun jadi pendampingnya. Ia sendiri tidak ada masalah melewatkan makan buah.Malam semakin larut di rumah sederhana dengan satu kamar itu. Sepasang suami istri tersebut membereskan alat-alat latihan yang ada di halaman belakang. Ada pedang yang terbuat dari kayu, ada tali besar yang ujungnya batu, serta alat untuk melatih kelenturan tubuh.Andai kata pemerintah tidak membatasi pergerakan Suku Mui, maka Kai akan menjadi seorang guru besar di usia muda dengan banyak murid. Sedangkan Nuwa sendiri, bisa menjadi atlit karena kecepatan gerakannya. Namun, untuk sementara waktu bisa bernapas tanpa tekanan saja sudah sangat bersyukur.Keduanya tidur di atas ranjang bambu dan beralaskan tikar. Sakit di punggung karena kerasnya alas tidak terasa lagi karena sudah menjadi kebiasaan. Kai tidur membelakangi Nuwa. Lalu wanita itu memeluk erat suaminya. Ada hal yang mengganjal dan harus segera dikatakan.“Kai, aku lupa minum pil pencegah kehamilan, sampai 23 butir. Menurutmu bagaimana?” tanya Nuwa. Yang tadinya Kai sangat letih langsung sadar sesadar-sadarnya.“Menurutku … kita terima saja apa pun yang terjadi.”“Kalau sampai aku hamil?”“Ya, artinya Suku Mui tidak jadi musnah.”“Bukan begitu, apa kita masih punya alasan untuk tinggal di desa ini?”“Kita tidur saja dulu. Besok kita pikirkan bagaimana. Kabur juga bukan hal yang mudah. Beberapa dari kita dulu pernah mencoba tetapi selalu gagal dan berujung pada hukuman mati.”Nuwa beringsut dari belakang tubuh Kai, dan kini sudah berada di hadapan suaminya. Sepasang insan itu tidur dalam satu selimut yang sama. Sudah lusuh dan ukurannya juga tidak terlalu besar. Namun, untuk membeli yang baru tentu banyak yang harus dipikirkan.Pada pagi hari buta seperti biasa Kai akan berlatih terlebih dahulu. Semua dilakukan agar ia tidak lupa dengan ilmu yang diturunkan dari sang guru. Kemudian telinganya menangkap pergerakan seseorang yang sangat halus dari atas genteng rumahnya. Ketika orang itu turun, dengan mudah Kai menangkap sebelah kakinya.“Belum bisa jadi penyusup, Nuwa. Tubuhmu sepertinya berat karena kebanyakan makan.” Kai melepaskan kaki kanan Nuwa yang lurus hampir menyentuh dadanya.“Karena lawannya kau, coba kalau lawannya orang lain. Pasti sudah patah juga lehernya.” Wanita itu yang darah mudanya masih mudah panas, menurunkan kakinya.Sebenarnya Nuwa sudah lama ingin adu kekuatan dengan tentara Xin Hua. Namun, yang ada nanti orang-orang di desanya akan jadi sasaran. Tidak semua penduduk di desa itu mampu melindungi diri sendiri. Dikatakan hidup, ya memang hidup, tapi perlahan-lahan akan mati dan musnah semuanya.Kai dan Nuwa bekerja mengurus kuda seperti biasanya. Tuan Wong menanyakan perihal uang untuk membeli baju kenapa tidak digunakan. Kai mengatakan bahwa mereka lebih dahulu mengamankan urusan perut yang harus diisi setiap hari.Beberapa tentara Xin Hua—tepatnya yang kemarin bertemu dengan Kai dan Nuwa di padang rumput, datang ke rumah Tuan Wong. Mereka menarik pajak dua kali lipat lebih banyak. Beberapa pelayan wanita disentuh dagunya oleh mereka. Saat Nuwa hampir disentuh, reflek wanita itu memutar tangan kanan tentara tersebut hingga menjerit kesakitan.“Duel kita, satu lawan satu, aku yakin semua gigimu akan rontok dan tulangmu lepas dari daging tubuhmu.” Nuwa benar-benar memutar tangan lawannya sampai wajah tentara itu kemerahan. Lalu Kai datang dan melerai keduanya. Diikuti dengan tentara senior yang melihat keribuan tersebut.“Sepertinya kita akan mati di sini, Kai,” bisik Nuwa perlahan pada suaminya.“Kalau memang sudah saatnya, kita tidak akan bisa menghindar.” Kai juga tidak berniat minta maaf pada tentara Xin Hua. Namun, Tuan Wong datang dan memberikan beberapa lembar uang tambahan agar masalah tersebut dilupakan saja.“Atur pelayanmu itu agar lebih tahu menghormati kami!” hardik tentara itu pada Tuan Wong.“Iya, maafkan mereka. Mereka itu tidak sekolah.” Tuan Wong menambah lagi lembaran uang di kantung tentara itu. Lalu masalah dianggap selesai dan semuanya pulang.“Gaji kalian akan aku potong 50%.” Tentu Tuan Wong tidak mau rugi atas kehilangan beberapa lembar uangnya.Sepasang guru dan murid itu kemudian tersenyum. Ternyata gaji lebih yang diberikan di muka memiliki konsekuensi tersendiri.“Sudah. Kita pulang saja. Jam kerja kita sudah habis.” Nuwa beranjak dan mengambil beberapa wortel yang tidak dimakan oleh kuda. Karena di waktu siang lain lagi jenis makanan untuk peliharaan Tuan Wong.Keduanya berjalan kaki seperti biasa. Namun, Nuwa menarik tangan Kai agar pergi ke toko kemarin. Masih ada sisa uang di sakunya.“Cari apa lagi?” tanya Kai.“Aku penasaran. Aku ingin membeli alat test kehamilan. Supaya lebih bisa berjaga-jaga,” jawab wanita berusia 20 tahun itu. Kai pun menuruti keinginan istrinya.“Tunggu, jangan kita yang beli. Nanti ketahuan.” Guru wing chun itu menahan tangan Nuwa.Lalu ia memanggil seorang anak kecil dan meminta dibelikan benda yang dimaksud istrinya dengan upah sebungkus permen. Dapat, keduanya pergi tanpa mendapat intaian dari pihak tentara manapun.“Aku tak sabar untuk mencoba. Katanya lebih baik di pagi hari. Dan ini masih siang, masih lama sekali.”Nuwa menyimpan alat test kehamilan itu di dalam laci. Kai hanya bisa diam membisu. Jujur saja, tentu ia senang kalau sampai ada penerus garis keturunan Suku Mui. Namun, apakah waktunya tepat? Mengingat mereka semua hidup dalam teror yang luar biasa.Saat sore tiba Kai kembali pergi belajar. Dan ketika malam ia kembali, lelaki dengan potongan rambut sangat pendek itu mengatakan bahwa keduanya mendapat undangan pernikahan kecil-kecilan saja malam ini juga. Lekas saja sepasang suami istri itu mengganti baju.Pakaian adat Suku Mui dengan kain tenun berwarna terang. Rambu panjang Nuwa dijalin kecil-kecil, kemudian dililit satu sama lain. Di bagian kepala ia berikan topi kecil yang sesuai dengan tubuh perempuan. Pakaian Kai juga sama, hanya saja topi yang ia pakai ukurannya jauh lebih besar.Meski hanya dalam penerangan lilin saja. Pesta pernikahan itu berlangsung sangat khidmat. Pengantin yang sedang berbahagia itu sama saja nantinya. Tidak akan boleh punya anak sampai kapan pun.Ragam makanan adat Suku Mui disajikan di atas meja. Tidak ada arak atau minuman memabukkan lainnya. Semuanya makan dalam diam agar suara mereka tidak menimbulkan rasa ingin tahu, andaikata petugas tiba-tiba patroli dari luar.Pesta yang berlansung sampai malam itu mengundang beberapa perempuan termasuk Nuwa untuk melakukan atraksi ringan. Istri Kai berjalan di atas seutas tali besar dengan membawa mangkok kaca di atas kepala dan tidak jatuh sampai di ujung tali. Lumrah bagi perempuan Suku Mui untuk melakukan itu. Sebab postur tubuh mereka yang sudah dilatih untuk lentur dari kecil.Kemudian pesta berlanjut dengan beberapa tarian adat. Kai dan Nuwa menari bersama sambil memutar. Lalu ketika musik sudah berhenti setangkai mawar merah diberikan pada wanita itu. Pesta pernikahan yang tadinya sepi jadi sedikit meriah.“Sepertinya yang jadi pengantin tadi itu kita, bukan mereka,” ujar Nuwa dengan rona wajah bahagia ketika di jalan akan pulang.“Kau selau bersemangat kalau ada atraksi. Mungkin kalau tidak dibatasi pemeritah kau pasti sudah terbang ke sana sini mengasah kemampuanmu.” Kai melirik istrinya yang tersenyum lebar. Lelaki itu mengerti jiwa muda Nuwa yang masih sangat membara.Malam berlalu sangat panjang bagi Nuwa. Suaminya sendiri sudah tidur dari tadi. Wanita bermata kelam itu memandang jarum jam yang terus berjalan dari detik menjadi menit kemudian berubah menjadi beberapa jam kemudian.Tepat di pukul 04.00 pagi, tanpa tidur sehari semalam, Nuwa bangkit dari kasur dan mengambil alat uji kehamilan di dalam laci. Ia coba di dalam kamar mandi. Detik demi detik yang berlalu sangat lama. Kemudian, dua garis merah tertera di alat tersebut. Nuwa menarik napas panjang. Perasaannya kini antara senang, lega, sekaligus takut.“Tidak apa-apa. Itu takdir yang tidak bisa kita tolak lagi. Pasti ada maksud dibalik semuanya.” Kai baru saja diberi tahu berita gembira dari istrinya. “Tapi jangan sampai Tuang Wong dan tentara itu tahu, Nuwa. Bisa digugurkan langsung kandunganmu.”“Jadi kita tidak periksa sama sekali?” tanya wanita yang masih menatap alat uji kehamilan tersebut.“Dan kita akan langsung tertangkap. Berdoalah, agar anak kita baik-baik saja dan bisa menjadi penerus Suku Mui yang jumlahnya semakin sedikit.”“Aaaminn,” jawab Nuwa atas doa suaminya.Keduanya beranjak, bermaksud meneruskan aktifitas di pagi hari. Namun, saat Nuwa baru ingin menghidupkan tungku kayu. Rumahnya disambangi oleh tentara Xin Hua.“Tangkap wanita itu. Dia menyiksa tentara kita siang kemarin!” tunjuk pejabat pemungut pajak yang ada di rumah Tuang Wong siang tadi. Ternyata beberapa lembar uang tidak cukup sebagai penutup mulut.Pinggang Nuwa hampir disentuh oleh tiga orang tentara. Kai datang dan memutar tangan nakal tersebut hingga bunyi gemeratakan terdengar. Gerakan yang lebih menyakitkan daripada yang dilakukan Nuwa siang tadi.“Tangkap keduanya. Lemparkan ke penjara. Hancurkan rumah ini.” Perintah sudah turun. Kurang lebih ada dua puluh tentara Xin Hua yang datang untuk menangkap dua orang guru dan murid itu.Bersambung …Bagian 5 Sang Kapten “Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung. Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan. “Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya. Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan. “Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lai
Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa. “Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam. “Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut. Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya. “Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka su
Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf
“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
“Kau, akan diampuni oleh nona muda kami, kalau kau mau berlutut menyembah kaki salah satu di antara kami.” Wakil Xia He bergerak menghadap wajah Kai yang memerah menahan amarah. “Cuih!” jawab Kai sambil meludah tepat di wajah lelaki itu. “Tambahkan lagi cambuknya sampai lima puluh kali.” Perintah keji itu terus saja dilontarkan. Wakil Xia He merupakan orang yang paling bertanggung jawab mengantar perempuan muslim ke rumah kakak lelaki kapten mereka. Apa yang terjadi di sana, sudah pasti kehormatan wanita muslimah terkoyak sedemikian rupa. Berkali-kali sumpah serapah dan laknat telah dimuntahkan ke wajahnya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan sumpah itu akan terlaksana. “Masih tidak mau berlutut? Setelah kau menggadaikan imanmu, kau akan diberikan fasilitas hidup yang lengkap. Lupakan soal kau menyakiti kapten kami. Kami bisa maafkan asalkan kau berkontribusi sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu beladirimu itu terlalu kuat untuk diwarisi seorang diri saja. Kalau kau melatih 1000 tentara
Nuwa terpaku di dalam penjara. Sudah sehari semalam berlalu dan ia tak pernah tahu bagaimana kabar suaminya. Rasa lapar dalam perut yang semakin menjadi tak ia hiraukan. Baginya, bertemu Kai adalah hal yang paling penting saat ini. “Apa akan berakhir seperti ini kebersamaan kita, Kai? Rasanya lima tahun itu terlalu singkat bagiku,” gumam Nuwa sambil menggigit kuku tangannya. Hal yang ia lakukan ketika ketakutan. Takut kehilangan pasangan hidupnya. Dia sudah tidak punya keluarga yang lain lagi. Hingga akhirnya Nuwa tertidur karena tak tahan lagi dengan kantuk dan dingin angin di dalam penjara. Wanita itu tidak sendirian. Ia ditemani oleh yang tak kasat mata. Dia datang karena tahu hidup Nuwa dalam ancaman. Siapa tahu dia bisa menolong Nuwa lari dari sana. Untuk menolong Kai sosok itu tidak mampu. Sebab orang-orang yang masih hidup di dalam sana jauh lebih keji bahkan daripada iblis sekalipun. Baru beberapa menit terpejam, tubuh Nuwa sudah disiram air dingin hingga basah seluruh baj
Dalam kesendirian itu Nuwa mengasah paku berkarat tersebut di jeruji besi sampai mengilat dan ujungnya tajam. Sampai kapan pun tubuh suci Nuwa tidak boleh disentuh oleh tentara Xin Hua. Jika tidak, sia-sia saja pengorbanan Kai padanya. “Aku tidak akan pernah melupakanmu, Kai. Meski kau bilang setelah tujuh tahun aku tidak akan ingat dengan suaramu, wajahmu, juga kenangan tentang kita. Maka lebih baik aku mati sebelum tujuh tahun itu benar-benar datang dalam hidupku.” Nuwa terus mengasah paku sampai ujungnya benar-benar tipis seperti pisau yang tajam. Dua orang tentara lelaki datang dan membuka selnya. Nuwa menurut saja tanpa melakukan perlawanan. Ia dibawa ke dalam mobil jeep dan di dalam sana ada seorang tentara perempuan yang rambutnya pendek serta tiga orang tentara lelaki sebagai penjaganya. Mereka berbincang dalam bahasa yang dimengerti oleh janda Kai itu. Selagi mereka berbicara satu sama lain. Nuwa memotong borgol plastik yang mengikatnya. “Aku bukanlah perempuan bodoh seper
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun