Bagian 2
Janji SetiaFu Khai bangun di pagi yang masih sangat buta dan dingin. Sudah menjadi kebiasaannya sejak masih berusia tujuh tahun. Lelaki muslim keturunan Suku Mui di Xin Hua itu berlatih bela diri wing chun. Pertama kali yang Kai lakukan ialahn membasuh mukanya. Dengan air yang berasal dari gentong, sangat dingin dan mampu mengembalikan nyawanya yang masih setengah berada di atas ranjang.Sebuah kayu dengan susunan tangan-tangan lurus menjadi tempatnya latihan. Bela diri wing chun ia latih setiap hari demi ketangkasan dan kecepatan tubuhnya. Sebab tinggal di negara yang mendiskrimanasi umat muslim perlu kekuatan lebih. Bukan untuk memberontak. Suku Mui tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Melainkan untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Tentara Xin Hua yang bengis sering melakukan sidak dadakan dan semena-mena.Detik yang berubah menjadi menit Kai memukul dan menendang boneka kayu, membuat peluhnya mengucur. Lumayan sebagai pemanasan sebeluam memulai aktifitas untuk penyambung hidup. Kai menarik napas sejenak. Ia atur ulang lalu melakukan pukulan lagi. Namun, untuk beberapa saat kemudian lelaki dengna rambut sangat pendek itu terdiam. Kai tahu ada yang mengawasi dan menatapnya dari belakang.Kai menghindar dari boneka kayu. Seorang perempuan cantik dengan rambut disanggul konde kayu menendangnya dari belakang. Lalu ia pun memasang sikap siaga bertarung. Keduanya sama-sama menatap dengan sangat dalam dan penuh arti. Wanita cantik itu tersenyum. Titik air di wajahnya menandakan ia baru saja mencuci muka dan belum dibasuh.“Takut?” tanya wanita tersebut.“Bukan takut, tapi sayang,” jawab Kai pada lawan di depannya.“Wing chun, Wei Nuwa.” Wanita berambut panjang itu menyebut namanya. Artinay ia menantang lelaki di depannya.“Wing chun, Fu Kai.” Dengan senang hati Kai menerima tantangan dari istrinya.Setelah keduanya memasang sikap siap tarung dengan kesiagaan tangan yang berbeda—Kai lebih kepada kekuatan, sedangkan Nuwa lebih kepada kecepatan. Lalu keduanya hanya diam dan saling memandang saja.“Sampai kapan kit—”Nuwa menyerang Kai terlebih dahulu walau suaminya belum selesai berkata-kata. Pukulan dan tendangan Nuwa yang cepat, cukup membuat Kai kepayahan. Namun, siapa yang melatih Nuwa dari kecil. Tentu dirinya sendiri. Ya, Kai sebelumnya adalah guru Nuwa lalu ketertarikan timbul karena terlalu sering bertemu hingga akhirnya berakhir dalam sebuah akad nikah kecil di desa tempat Suku Mui tinggal.“Kecepatan gerakanmu masih terbaca, Nuwa.” Kai menahan tangan kanan istrinya yang nyaris menyambar telinganya. Tak lama kemudian, leher Kai dari sisi kiri terkena pukulan Nuwa.“Kekuatanmu semakin melemah, Kai. Kenapa? Lelah karena tadi malam, ha?” Nuwa tersenyum penuh arti.Bibir wantia itu meski tidak menggunakan lipstick seperti wanita pada umumnya, Nuwa tetap cantik alami. Tidak ada satu pun orang yang membantah bahwa wanita muslim kelahiran Suku Mui tidak ada yang tidak cantik. Karena itu mereka sering disasar oleh tentara Xin Hua.Kai mendorong Nuwa perlahan. Wanita itu terkejut lalu tubuhnya terpaku di dinding kayu rumah mereka berdua. Ia ingin bergerak tetapi Kai sudah menahan raganya terlebih dahulu. Hingga hanya menyisakan tatapan yang berbeda.“Sudah kukatakan kecepatan gerakanmu masih terbaca. Lain kali berlatih lebih keras,” ujar Kai sambil tersenyum.“Lihat.” Nuwa menunjuk ke langit. Kai terkecoh, kemudian beberapa detik setelahnya, kancing baju sanghai miliknya terlepas semua. Ulah siapa lagi kalau bukan Nuwa.“Sudah kukatakan kau tidak akan bisa menghindar dari kebohonganku.” Nuwa memenangkan pertarungan pagi ini lagi. Sebenarnya Kai tahu kalau ia ditipu. Namun, ya demi cinta pula, ia mau saja ditipu.“Sudah-sudah, ayo kita siap-siap. Kuda-kuda Tuan Wong harus diajak berlari pagi ini. Kau mandi duluan, aku akan buatkan sup supaya hangat.” Nuwa mengajak suaminya masuk ke dalam rumah.Rumah yang dibangun semi permanen. Setengahnya batu bata, setengahnya lagi batang bambu ala kadarnya. Dalam keterbatasan dan penindasan keduanya hidup berbahagia. Nuwa mencintai Kai begitu juga sebaliknya.Nasib Suku Mui tidak baik sejak hampir ribuan tahun lalu. Mereka terus berkembang dalam keterbatasan walau jumlahnya akhir-akhir ini kian berkurang sedikit demi sedikit. Lelaki Suku Mui masih diberi kebebasan untuk belajar walau pendidikan mereka hanya sampai level menengah pertama.Tidak dengan perempuan, setelah selesai pendidikan dasar tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan oleh pemerintah Xin Hua. Negara itu tidak mau perempuan muslimnya cerdas. Sebab dari perempuan cerdas akan lahir generasi pejuang muslim yang sangat tangguh. Kai merupakan salah satu pejuang yang kecolongan lahir karena kehamilan ibunya tidak ketahuan.Kai merupakan pengajar Wing Chun sejak beberapa tahun lalu. Sekarang tidak diperbolehkan mengajar lagi oleh pemerintah. Semua akses untuk umat muslim ditutup. Mereka hidup super keterbelakangan.Nuwa merupakan murid terakhir Kai. Dilatih sejak usia delapan tahun. Keduanya menikah sangat muda. Waktu itu Nuwa berusia 15 tahun, karena tidak boleh lagi bersekolah, jadilah dipinang oleh Kai sendiri. Sisa ilmu yang belum dilatih di perguruan diajarkan oleh Kai di dalam rumah. Karena ia beranggapan wanita muslim harus kuat, andaikata suami mereka tidak ada lagi di sisinya, bisa jadi berpisah atau dipanggil lebih dulu oleh takdir.Kini usia Nuwa sudah 20 tahun dan Kai sendiri 29 tahun. Usia pernikahan sudah memasuki angka kelima. Keduaya belum dikaruniai anak sama sekali. Bukan karena mandul, tetapi karena memang ada larangan dari pemerintah untuk punya anak. Daripada anak-anak diculik sejak bayi lalu dijadikan tentara kafirun. Nuwa dan Kai sepakat tidak memiliki anak. Memang sepi, tapi harus bagaimana pula, bukan?Nuwa dan Kai menikmat semangkuk sup dengan isian mi kuning dan taburan daun bawang yang sangat banyak. Tidak ada daging atau pun ayam. Bisa makan saja keduanya sangat bersyukur. Nuwa beranjak mengambil sisa roti pao tadi malam.Satu bulat besar ia bagi dua dengan suaminya. Cukup untuk mengganjal perut menjelang dapat bayaran dari Tuan Wong usai membawa kuda-kudanya lari dari pagi sampai siang. Tuan Wong dari Suku Mui terpandang, tidak ada yang berani mengusiknya, untuk sementara waktu.“Kai Sayang. Kenapa akhir-akhir ini aku merasa kesepian, ya. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara tangis bayi. Iya, sudah lama tidak ada kelahiran di sini.” Nuwa meletakkan sumpitnya. Sup mi itu sudah selesai ia makan, kuahnya masih bersisa banyak.“Aku tahu apa yang kau maksud, istriku. Tapi apa kau siap kalau kita punya anak? Selain kita akan dibur oleh pemerintah, anggap saja anak kita berhasil lahir. Lalu aku tidak mampu melindungi kalian berdua. Kau dibunuh dan anak kita diambil. Dia pun akan kehilangan jati dirinya sebagai muslim. Katakan padaku kalau kau siap, Nuwa?” Kai meletakkan mangkuk supnya, kauh sudah selesai ia minum sampai kering dan lelaki tegap itu menatap mata istrinya.“Tidak siap!” Nuwa menyodorkan mangkuk supnya yang berisikan kuah. Seperti biasa Kai akan menghabiskannya.“Kalau begitu bersabarlah. Siapa tahu nanti di masa yang tepat kau akan puny anak yang lucu-lucu, Nuwa.”“Kau juga, Kai, aku punya anak hanya denganmu. Kau sudah berjanji padaku, sejak pertama kali menikah.”Nuwa menyodorkan jari kelingkingnya. Kai menyambut dan dua jemari tersebut saling bertaut. Kata Nuwa hal demikain adalah janji setia untuk saling menjaga satu sama lain seumur hidup. Ya, seumur hidup tidak mesti bermakna selama-lamanya. Hidup dan mati diatur oleh Allah, bukan seperti jodoh dan pekerjaan yang masih bisa dipilih oleh manusia.“Ayo, matahari sudah mau terbit.” Kai berdiri dan memakai sepatu kain yang bagian depannya sudah mulai robek. Kemarin ia punya uang, tetapi lebih membelikan untuk Nuwa terlebih dahulu. Tubuh Kai yang jauh lebih keras dan kuat masih bisa menahan dingin angin daripada Nuwa yang lebih lemah dan lembut.Keduanya berjalan kaki sambil bergandengan tangan selama setengah jam lamanya. Tidak ada kendaraan yang digunakan karena keterbatasan penghasilan. Sekali lagi dalam kemiskinan keduanya hidup saling melindungi satu sama lain.Kai dan Nuwa sudah sampai di kandang kuda milik Tuan Wong. Ada puluhan kuda gemuk-gemuk yang harus dibawa belari di dekat pegunungan dengan rumput yang sangat rimbun. Kai mahir mengatur kuda, kemampuan yang ia ajarkan juga pada Nuwa.“Kai, susul aku kalau memang kau mampu.” Nuwa menarik tali kekang kuda putih yang paling besar. Binatang berkaki empat itu berlari.Tidak mau kalah, Kai menaiki kuda berwarna hitam. Lelaki itu menarik tali kekangnya dan kuda yang ia jaga berlari tak kalah kencang dibandingkan yang dibawa oleh Nuwa. Sepasang suami istri itu saling kejar-kejaran di atas kuda bersamaan dengan puluhan yang lain. sampai di sebuah batu besar, Nuwa menarik tali kekang kudanya. Dua kaki depan binatang itu terangkat dan berhenti sesuai perintah pengendalinya.“Kau semakin hebat menunggang kuda,” ujar Kai yang teringgal beberapa langkah di belakang. Guru wing chun itu turun dari kudanya dan membawa binatang tersebut makan rumput. Nuwa mengikuti dari belakang.Keduanya memandang hamparan rerumputan tempat para kuda diberi makan. Tidak terasa hari sudah mulai siang saja. Kai serta Nuwa harus segera mengembalikan peliharaan Tuang Wong ke kandang.“Kita jalan kaki saja, kalau naik kuda aku akan cepat lapar,” ujar Kai. Membawa kuda ke padang rumput memakan banyak tenaga.“Iya, lebih baik begitu. Eh, tunggu sebentar.” Nuwa meraba kantung celananya yang longgar. Di sana ada sebatang wortel mentah. Wortel merupakan sarapan para kuda. Nuwa dan Kai diperbolehkan memakannya juga oleh Tuan Wong.“Bagi dua.” Nuwa mematahkan wortel, setengah untuk Kai, setengah untuk dirinya. Wortel mentah lumayan untuk mengganjal perut selagi menunggu gaji mereka berdua turun.“Manis,” ujar Kai setelah menelan sayuran berwarna orange itu.“Memang, aku suka sekali wortel mentah dari dulu,” jawab Nuwa.“Bukan wortelnya, tapi senyumanmu,” sanggah Kai. Tanpa sadar senyuman Nuwa terkembang sempurna. Anak rambutnya beterbangan dan mengenai wajah Nuwa. Suku Mui tidak diperbolehkan menggunakan tutup kepala oleh pemerintah.Dor!Terdengar suara tembakan dari dekat hamparan padang rumput. Kuda-kuda mulai panik dan berlari ke sembarang arah. Kai dan Nuwa tentu berdebar jantungnya.“Apakah sekarang waktunya pemerintah sidak, Kai?” Nuwa menahan kuda putih yang hampir menendang kuda lainnya.“Tidak tahu, seharusnya di wilaya Tuan Wong mereka tidak berani gegabah.” Kai kesulitan menahan amarah kuda hitam.Dor!Sekali lagi terdengar suara letusan peluru. Kuda-kuda itu berlari ke sembarang arah. Kai dan Nuwa juga ikut berlari. Jika ada sidak dari pemerintah, lari adalah jalan terbaik. Sehebata apa pun ilmu bela diri mereka, akan percuma melawan lesatan timah panas.“Nuwa cepat, berlindung di antara kuda.” Kai mendorong tubuh istrinya.“Tidak, aku ikut denganmu.” Nuwa memegang tangan Kai erat-erat. Janji setia yang ia tanam di dalam hati sejak pernikahan diikrarkan.Bersambung …Bagian 3 Lupa“Kenapa kalian lari. Kami kemari hanya jalan-jalan saja.” Salah seorang tentara Xin Hua datang berserta lima pasukannya. Tersusul juga larinya Kai dan Nuwa karena terganggun dengan derap langkah kuda yang asal-asalan. “Maafkan kami, Tuan. Istriku takut mendengar suara ledakan.” Kai memegang erat tangan Nuwa. Ia tahu wanita bermata hitam kelam tersebut tak suka dengan kedatangan para tentara kafirun. “Ini istrimu, ckckck, cantik sekali,” ucap salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi. Kai menggeser Nuwa di belakang tubuhnya agar tidak ada mata jalang pria lain yang berniat memangsanya.“Sekali lagi maafkan kami jika ada berbuat salah, Tuan. Kami hanya sedang memberi makan kuda milik Tuan Wong.” Kai masih berusaha menahan situasi agar tidak tegang. Jujur saja ia sanggup dengan tangan kosong melawan tentara itu. Tangan kosong, bukan melawan senjata api. “Ah, Tuan Wong, iya, iya. Orang kaya satu itu. Katakan padanya agar membayar pajak dua kali lipat lebih banyak
Bagian 4 Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya. Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya. “Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.” “Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. M
Bagian 5 Sang Kapten “Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung. Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan. “Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya. Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan. “Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lai
Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa. “Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam. “Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut. Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya. “Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka su
Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf
“Oooh, jadi kisah cinta mereka berdua diawali dengan rasa kasihan hingga berujung pada kebersamaan di tempat kerja. Lalu mulai benih-benih cinta tumbuh. Cerita macam apa ini, dongeng sekali,” ujar Xia He. Nuwa dan Kai saling memandang satu sama lain. “Wei Nuwa. Wanita muslim Suku Mui, menikah sejak umur 15 tahun. Gatal sekali kau jadi perempuan. Buru-buru menikah untuk apa?” tanya Xia He pada tawanan di depanya. “Aku menikah di umur berapa, bukan urusanmu!” jawab Nuwa ketus. Sebuah cambuk hampir dilayangkan ke punggungnya. Namun, Xia He mencegahnya. “Jangan terlalu kasar, nanti juga mereka berdua akan mati. Lalu Fu Kai, tercatat sejak umur 10 tahun sudah menjadi orang hebat karena menguasai dasar-dasar wing chun. Oh, sok hebat sekali kau jadi orang. Di usia sangat muda sudah menggantikan gurunya mengajar, dan sudah dipanggil Guru Kai. Cuih!” Jijik Xia He membaca resume identitas Kai. Kecolongan pemerintah Xin Hua ada seseorang yang sangat kuat di antara segelintir Suku Mui. “Memin
Kai mengamuk ketika Nuwa disentuh tangannya oleh beberapa tentara lelaki. Guru wing chun itu menghajar orang yang berani mengganggu miliknya. Hingga tiga di antara mereka kembali meregang nyawa saking kuatnya hantaman lelaki berusia nyaris 30 tahun itu. Jika saja kepala Nuwa tidak ditodong pistol, Kai pasti sudah menghabisi sepuluh tentara bawahan Xia He atau mungkin bisa saja menaklukkan penjara tersebut. Namun, sekuat-kuatnya lelaki tetap saja ia lemah ketika wanita tercintanya mendapat ancaman. Walau istrinya sama sekali tidak meneteskan air mata. Kai tetap saja tidak tega. “Kai, aku tidak apa-apa. Lanjutkan saja bunuh mereka semua. Hidup pun kita akan terasa mati kalau sampai dipisahkan,” ucap Nuwa sambil menerima andai kematian datang padanya. Dari pada hidup berpencar-pencar dan ia dijadikan penghangat ranjang saja. Bagi wanita yang sudah lama yatim piatu, kehilangan suami tercinta maka benar-benar seperti ia tak punya sayap untuk terbang lagi. Bertemu dengan lelaki lain? We
“Kau, akan diampuni oleh nona muda kami, kalau kau mau berlutut menyembah kaki salah satu di antara kami.” Wakil Xia He bergerak menghadap wajah Kai yang memerah menahan amarah. “Cuih!” jawab Kai sambil meludah tepat di wajah lelaki itu. “Tambahkan lagi cambuknya sampai lima puluh kali.” Perintah keji itu terus saja dilontarkan. Wakil Xia He merupakan orang yang paling bertanggung jawab mengantar perempuan muslim ke rumah kakak lelaki kapten mereka. Apa yang terjadi di sana, sudah pasti kehormatan wanita muslimah terkoyak sedemikian rupa. Berkali-kali sumpah serapah dan laknat telah dimuntahkan ke wajahnya. Hanya tinggal menunggu waktu kapan sumpah itu akan terlaksana. “Masih tidak mau berlutut? Setelah kau menggadaikan imanmu, kau akan diberikan fasilitas hidup yang lengkap. Lupakan soal kau menyakiti kapten kami. Kami bisa maafkan asalkan kau berkontribusi sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu beladirimu itu terlalu kuat untuk diwarisi seorang diri saja. Kalau kau melatih 1000 tentara
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun