"Segala hal bisa berubah dalam sekejap mata. Jadi, tugas manusia adalah bersiap dari segala kemungkinan yang bisa terjadi pada siapa saja."***"Bagaimana keadaannya?"Namanya Garra Anandaya. Dia adalah kuasa hukum yang sengaja Djati siapkan, bila Pramudya, atau pun Bernardio mengalami masalah hukum. Dia adalah teman satu kampus Djati. Kepadanya ia percayakan dua tangan kanannya agar terbebas dari jerat hukum, bila itu memungkinkan.Garra dengan raut pasrah hanya bisa menggeleng. Kemungkinan Pramudya terlepas dari masalah sangatlah kecil. Saking kecilnya, Garra tidak bisa menjanjikan yang paling realistis sekali pun pada temannya itu. Hal itu tentu saja membuat Djati sangat gusar."Sial!" umpat Djati pelan."Djati, lebih baik lo enggak ikut campur sama sekali. Pramudya sudah mengakui kalau ia bekerja sendiri. Meskipun, tak mungkin polisi percaya dengan pernyataannya, tapi akan sangat sulit juga bagi polisi untuk mencurigai lo. Lebih baik lo menyingkir, sebelum segalanya terendus oleh
"Hanya sebuah janji, namun terkadang sulit untuk ditepati. Hanya sebuah janji, namun terkadang hanya kalimat asal, tanpa berniat untuk dijadikan nyata."***"Apakah ini akhir dari cerita kamu, Djati?"Pertanyaan itu tak disambut oleh siapa pun. Sebab di kamar itu, Ava hanyalah sendiri, tak ada siapa pun yang menemaninya. Sehabis mandi, ia membuka ponselnya, dan menemukan banyak telepon, serta pesan dari suaminya. Tak hanya Biru, Padma juga memberikan satu pesan singkat yang mengabarkan kalau ia pulang setelah Ava tertidur, dan tak menunggu hingga dirinya benar-benar terbangun.Ia lalu membalas satu persatu pesan yang ada, dan kemudian menyalakan televisi untuk mengetahui kelanjutan kasus Pramudya Arian. Namun tak ada satu pun berita terbaru yang ia bisa ketahui. Tak ada satu pun nama Djati keluar dari mulut wartawan yang membacakan berita yang mereka telah liput. Sungguh, Ava was-was."Ya Tuhan!" seru Yenni yang kaget saat melihat Ava sudah duduk di sofa sambil menonton televisi. Ia p
"Menjadi jahat mungkin bukan pilihan. Tapi, hidup yang berat mungkin bisa jadi alasan mengapa seorang manusia menjadi jahat." *** "Kamu yakin mau ke kantor?" Pertanyaan suaminya itu langsung diangguki oleh Ava. Ava memang akan pergi ke kantor yayasan. Dirinya menyuruh Djati untuk pergi ke kantor yayasan, demi menanggulangi pemberitaan lain yang mungkin tersebar dari pertemuan mereka. Ava tidak ingin mengambil risiko, ia hanya ingin pertemuan ini berjalan lancar, tanpa dianggap sebagai suatu hal yang janggal bagi orang lain. Djati sendiri kemarin bertanya alasan Ava bertemu dengannya. Namun Ava jelas tidak mau menjelaskan topik apa yang akan mereka bicarakan. Untuk apa ia meminta bertemu, kalau Ava memberi tahu Djati di telepon. Akan lebih baik, ia menyimpan rapat-rapat, agar ia bisa mengetahui secara langsung, dan melihat raut wajah Djati ketika menjawab semua pertanyaan yang diajukannya. "Sebentar saja, kok. Banyak berkas yang harus saya baca, dan saya tanda tangani. Saya bosan
"Hadiah terbesar bagi seorang wanita adalah menjadi seorang Ibu."*** "Aku sudah bilang kan, ke kamu. Jangan menangis!" Ava mengusap air mata di pipinya. Lalu mengangguk seraya meminta maaf atas kelakuan yang bukan kesalahannya. Djati memandanginya dengan perasaan yang tidak enak sama sekali, merasa bersalah, dan ingin sekali meraup Ava ke dalam pelukannya. Sayangnya ia sudah melepaskan perempuan itu, dan tidak berniat sama sekali untuk merusak kebahagiaannya bersama Biru. Ia hanya dapat terpaku, menunggu Ava meredakan emosinya. Ava sendiri menarik napasnya secara perlahan, sakit kepalanya tak tertahankan, tapi ia mencoba untuk tetap tenang dengan menghembuskan napasnya. Ia sungguh merasa bersalah atas segala kesalahan yang terjadi pada hidupnya, hidup Djati, dan hidup semua orang yang pernah Praba lukai. Ia sungguh merasa malu atas segala hal yang Praba telah lakukan pada orang-orang yang bahkan tak pernah berbuat jahat padanya. "Sungguh, aku minta maaf," lirih Ava pada akhirnya.
"Jangan pernah sekali pun berlaku sombong, sebab tak ada manusia yang hebat tanpa adanya campur tangan Tuhan." *** "Hei, kamu sudah bangun?" Biru langsung bertanya begitu melihat istrinya sudah membuka matanya, dan mulai menyesuaikan dirinya dengan keadaan di sekitarnya. Ava memperhatikan langit-langit, dan bisa langsung menebak kalau dia berada di salah satu kamar rawat rumah sakit. Ia lalu menoleh, dan mendapati Biru tengah melihatnya dengan ekspresi khawatir yang begitu kentara. Senyum tipis pun timbul untuk menenangkan suaminya. Biru lalu menggenggam erat tangan Ava. Ia cium punggung tangan Ava, dan tersenyum balik padanya. Hatinya langsung lega saat Ava benar-benar telah sadar. Ia cium kening sang istri, dan bertanya apa yang kira-kira ia butuhkan. "Saya ingin minum." Biru pun mengangguk, dan mengambilkan gelas yang sudah disiapkan oleh perawat tadi. Ia bantu istrinya untuk minum menggunakan sedotan. "Sudah, cukup. Terima kasih." Biru pun menaruh kembali gelas berisi air min
"Tak ada yang pernah bisa mengehui akhir dari sebuah takdir. Segalanya terasa abu-abu, sulit untuk terprediksi."***"Saya akan menemui kamu di lokasi yang dikirimkan ke saya. Saya tidak akan ingkar janji, karena saya sama sekali tidak takut dengan kamu. Bukan salah saya, kalau adik kamu tertangkap. Itu karena kebodohannya sendiri, dan juga Djati!"Praba nampak kesal. Ia banting ponsel yang ia pegang, dan raut wajahnya benar-benar marah sekarang. Ia tahu tertangkapnya Abdul Johar akan berimbas panjang kepada sang kakak, Malik Johar. Seperti dirinya, Malik sangatlah disegani di negara tetangga sebagai mafia paling berpengaruh.Sayangnya sebagai mafia, Malik tak punya barang yang bagus untuk dijual. Ia harus bekerja sama dengan Djati untuk menjual semua bentuk narkoba ke seluruh penjuru negara di kawasan Asia Tenggara. Inilah yang membuat Praba sangat sayang pada Djati, dan melarangnya menjalani hidup normal seperti orang lainnya. Tidak hanya pintar, Djati juga piawai dalam berbisnis. I
"Tak mudah berkorban. Apalagi untuk kebahagiaan, dan kenyamanan orang lain."***"Saya tidak tahu sama sekali kalau ada orang lain yang mengikuti saya, Malik!"Praba berbicara dengan lugas. Matanya tidak menunjukkan ketakutan sama sekali, meskipun Malik tengah menodongkan senjata padanya. Di satu sisi Radjarta juga tengah panik. Tim KPK, dan kepolisian juga telah berpencar mengejar, serta menangkap anak buah Malik. Tinggal Praba, Radja, Malik, dan tangan kanan Malik yang tersisa di aula besar rumah tua itu.Malik menggeleng tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Praba. Ia tahu, pria itu pasti menjebaknya. Jadi, ia pun menembak Praba, menekan tuas, dan melepaskan satu peluru ke arah pria itu. Sayangnya aksi itu dihalangi oleh Djati yang entah datang dari mana. Satu peluru pun meleset.Bernardio yang melihat bosnya berlari menyelamatkan Praba membuatnya kesal bukan main. Ia tidak sempat menghalangi bosnya itu. Bernardio hanya bisa pasrah menerima keputusan Djati yang tak masuk akal
"Bila masa lalu membuatmu takut, maka masa depan saja bisa jadi lebih cerah. Tergantung sekuat apa usaha yang dilakukan. Karena sejatinya, tak ada masa depan apik tanpa usaha maksimal."***"Anda hanya punya waktu lima belas menit. Tak lebih dari itu."Dewandaru Angkasa Biru mengangguk. Menuruti aturan yang diberlakukan oleh pihak KPK. Walau bagaimana pun, Biru juga semestinya tak diperbolehkan bertemu Praba. Hanya karena nama ayahnya, semua jalan terasa mudah bagi siapa pun.Biru memasuki sebuah kamar rawat. Ada seorang polisi berjaga di dalam, ia langsung berdiri, dan hormat. Setelah Biru memberi anggukan polisi tersebut pun keluar dari kamar. Terlihat Praba sedang dibantu untuk makan, karena kaki, dan tangan kirinya ditembak oleh Malik Johar."Jangan lama-lama ya, Pak. Meskipun seorang tahanan, tapi pasien masih butuh banyak waktu untuk istirahat. Terlebih Pak Praba juga baru saja makan, dan minum obat. Jadi, kemungkinan akan cepat mengantuk.""Baik, Suster."Sang suster pun mengan