"Hadiah terbesar bagi seorang wanita adalah menjadi seorang Ibu."*** "Aku sudah bilang kan, ke kamu. Jangan menangis!" Ava mengusap air mata di pipinya. Lalu mengangguk seraya meminta maaf atas kelakuan yang bukan kesalahannya. Djati memandanginya dengan perasaan yang tidak enak sama sekali, merasa bersalah, dan ingin sekali meraup Ava ke dalam pelukannya. Sayangnya ia sudah melepaskan perempuan itu, dan tidak berniat sama sekali untuk merusak kebahagiaannya bersama Biru. Ia hanya dapat terpaku, menunggu Ava meredakan emosinya. Ava sendiri menarik napasnya secara perlahan, sakit kepalanya tak tertahankan, tapi ia mencoba untuk tetap tenang dengan menghembuskan napasnya. Ia sungguh merasa bersalah atas segala kesalahan yang terjadi pada hidupnya, hidup Djati, dan hidup semua orang yang pernah Praba lukai. Ia sungguh merasa malu atas segala hal yang Praba telah lakukan pada orang-orang yang bahkan tak pernah berbuat jahat padanya. "Sungguh, aku minta maaf," lirih Ava pada akhirnya.
"Jangan pernah sekali pun berlaku sombong, sebab tak ada manusia yang hebat tanpa adanya campur tangan Tuhan." *** "Hei, kamu sudah bangun?" Biru langsung bertanya begitu melihat istrinya sudah membuka matanya, dan mulai menyesuaikan dirinya dengan keadaan di sekitarnya. Ava memperhatikan langit-langit, dan bisa langsung menebak kalau dia berada di salah satu kamar rawat rumah sakit. Ia lalu menoleh, dan mendapati Biru tengah melihatnya dengan ekspresi khawatir yang begitu kentara. Senyum tipis pun timbul untuk menenangkan suaminya. Biru lalu menggenggam erat tangan Ava. Ia cium punggung tangan Ava, dan tersenyum balik padanya. Hatinya langsung lega saat Ava benar-benar telah sadar. Ia cium kening sang istri, dan bertanya apa yang kira-kira ia butuhkan. "Saya ingin minum." Biru pun mengangguk, dan mengambilkan gelas yang sudah disiapkan oleh perawat tadi. Ia bantu istrinya untuk minum menggunakan sedotan. "Sudah, cukup. Terima kasih." Biru pun menaruh kembali gelas berisi air min
"Tak ada yang pernah bisa mengehui akhir dari sebuah takdir. Segalanya terasa abu-abu, sulit untuk terprediksi."***"Saya akan menemui kamu di lokasi yang dikirimkan ke saya. Saya tidak akan ingkar janji, karena saya sama sekali tidak takut dengan kamu. Bukan salah saya, kalau adik kamu tertangkap. Itu karena kebodohannya sendiri, dan juga Djati!"Praba nampak kesal. Ia banting ponsel yang ia pegang, dan raut wajahnya benar-benar marah sekarang. Ia tahu tertangkapnya Abdul Johar akan berimbas panjang kepada sang kakak, Malik Johar. Seperti dirinya, Malik sangatlah disegani di negara tetangga sebagai mafia paling berpengaruh.Sayangnya sebagai mafia, Malik tak punya barang yang bagus untuk dijual. Ia harus bekerja sama dengan Djati untuk menjual semua bentuk narkoba ke seluruh penjuru negara di kawasan Asia Tenggara. Inilah yang membuat Praba sangat sayang pada Djati, dan melarangnya menjalani hidup normal seperti orang lainnya. Tidak hanya pintar, Djati juga piawai dalam berbisnis. I
"Tak mudah berkorban. Apalagi untuk kebahagiaan, dan kenyamanan orang lain."***"Saya tidak tahu sama sekali kalau ada orang lain yang mengikuti saya, Malik!"Praba berbicara dengan lugas. Matanya tidak menunjukkan ketakutan sama sekali, meskipun Malik tengah menodongkan senjata padanya. Di satu sisi Radjarta juga tengah panik. Tim KPK, dan kepolisian juga telah berpencar mengejar, serta menangkap anak buah Malik. Tinggal Praba, Radja, Malik, dan tangan kanan Malik yang tersisa di aula besar rumah tua itu.Malik menggeleng tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Praba. Ia tahu, pria itu pasti menjebaknya. Jadi, ia pun menembak Praba, menekan tuas, dan melepaskan satu peluru ke arah pria itu. Sayangnya aksi itu dihalangi oleh Djati yang entah datang dari mana. Satu peluru pun meleset.Bernardio yang melihat bosnya berlari menyelamatkan Praba membuatnya kesal bukan main. Ia tidak sempat menghalangi bosnya itu. Bernardio hanya bisa pasrah menerima keputusan Djati yang tak masuk akal
"Bila masa lalu membuatmu takut, maka masa depan saja bisa jadi lebih cerah. Tergantung sekuat apa usaha yang dilakukan. Karena sejatinya, tak ada masa depan apik tanpa usaha maksimal."***"Anda hanya punya waktu lima belas menit. Tak lebih dari itu."Dewandaru Angkasa Biru mengangguk. Menuruti aturan yang diberlakukan oleh pihak KPK. Walau bagaimana pun, Biru juga semestinya tak diperbolehkan bertemu Praba. Hanya karena nama ayahnya, semua jalan terasa mudah bagi siapa pun.Biru memasuki sebuah kamar rawat. Ada seorang polisi berjaga di dalam, ia langsung berdiri, dan hormat. Setelah Biru memberi anggukan polisi tersebut pun keluar dari kamar. Terlihat Praba sedang dibantu untuk makan, karena kaki, dan tangan kirinya ditembak oleh Malik Johar."Jangan lama-lama ya, Pak. Meskipun seorang tahanan, tapi pasien masih butuh banyak waktu untuk istirahat. Terlebih Pak Praba juga baru saja makan, dan minum obat. Jadi, kemungkinan akan cepat mengantuk.""Baik, Suster."Sang suster pun mengan
"Tak ada yang bisa menebak kapan manusia terlahir, dan berakhir."***"Apa? Ditembak? Bang Djati ditembak?"Reaksi Pramudya tak bisa dibohongi. Ia jelas sangat kaget mendengar kabar yang sama sekali tak ia duga sebelumnya. Ia pikir dengan dirinya melakukan gerakan tutup mulut dari segala informasi yang ada, maka semuanya akan berjalan lancar. Tapi, ternyata pikirannya salah besar.Djati Gaharu Mahesta tetap saja tak lepas dari kesialan. Ia tertembak, dan entah berita ini benar atau tidaknya. Tapi, melihat keseriusan dari polisi yang menyebutkan informasi tadi, membuat Pramudya yakin kalau hal tersebut benar adanya. Lagipula apa untungnya mereka berbohong padanya, percuma saja."Dia wali kamu, kan?"Pramudya mengangguk. Ia memang tak menutupi informasi yang satu itu. Tanpa ia beri tahu sekali pun, polisi juga pasti sudah tahu kalau walinya adalah Djati. Mereka bisa menelusuri latar belakangnya jika mereka perlu."Bagaimana keadaannya?" tanya Pramudya penasaran. Sungguh, ia tak bisa men
"Segala tindak tanduk manusia memiliki bukti. Bila tak ada satu pun bukti yang tersisa, ada Tuhan yang memiliki mata, dan melihat segalanya." *** "Maksud kamu apa? Bukti apa?" Biru jelas bingung dengan pernyataan yang dibuat oleh istrinya. Ia tidak mengerti sama sekali dengan bukti yang dimaksud oleh Ava. Ia memandangi Ava yang juga tengah menatapnya dengan senyum di wajahnya yang mungil bersih. Biru selalu terpukau melihat wajah itu, namun kali ini pesona apa pun yang dipakai oleh Ava tak akan mampu membuat Biru terdistraksi tentang topik menarik yang tengah mereka bahas. Biru ingin tahu bukti kuat apa yang bisa membuktikan kalau Djati adalah seorang bandar narkoba. Selama beberapa tahun ini ia mencari, tak ia temukan bukti itu. Ava sendiri yakin, suaminya pasti akan sangat kaget saat melihat bukti yang dimilikinya. Ia sendiri takut kalau Biru marah, karena Ava menyembunyikan bukti ini untuk mengetahui alasan pasti Djati menjual narkoba. Ava lalu mengambil ponselnya, dan menggul
"Tiap rumah tangga tidak melulu soal bersama, dan bahagia. Ada ego yang dipendam, dan akan keluar saat disenggol di waktu yang tepat."***Dewandaru Angkasa Biru benar-benar gila. Setelah berputar semalaman tak tentu arah, ia pun pulang ke apartemen kakaknya tepat pukul setengah satu malam. Rasa kecewanya tak mampu dibendung. Ia tak sanggup pulang, dan melihat wajah Ava, meskipun dirinya menginginkannya sekali pun. Baginya masalah ini terlalu berat."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya sang Ibu yang kebetulan terbangun, dan melihat anaknya sedang memasuki pintu apartemen. Matanya melirik pada jam yang membuat langsung berdecak marah. "Ini jam setengah satu, Biru. Bukannya langsung pulang, ngapain pakai menginap di apartemen kakakmu? Memangnya kamu bujang?"Biru jelas kaget, ia memukul keningnya dengan pelan. Kesal, karena waktu yang dirasa kurang tepat. "Kok Ibu ada di sini?""Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, malahan mengalihkan dengan jawaban lain. Kakakmu sedang demam. Jadi, Ibu