"Dalam setiap kebohongan terdapat sebuah kejujuran yang tersembunyi. Meskipun tersembunyi, namun beban yang ditanggung sangatlah berat untuk dipikul oleh setiap manusia." *** "Bagaimana keadaannya? Djati?" Praba tak bisa memulai, tapi ia tetap harus bertanya mengenai apa yang terjadi pada Djati. Setelah pengorbanan yang dilakukan oleh anak angkatnya itu untuk membuatnya tetap hidup, Praba tidak mungkin tetap diam, dan menonton. Ia harus tahu, karena dalam lubuh hati paling terdalamnya ia sangatlah merasa bersalah pada Djati. Apa pun yang dikatakan Biru adalah kebenaran. Semua ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia mungkin tidak bisa menebus semua kesalahan orang-orang yang telah ia jahati, tapi setidaknya ia bisa menebus sedikit dosa pada orang-orang yang seharusnya ia sayangi, yakni Djati, dan juga Ava. Ia harus meminta maaf pada Djati, dan juga Ava. Terutama kepada Ava, orang yang selama ini telah tak ia anggap sebagai putri kandungnya. "Dia kritis. Kesempatan hidupnya kecil sek
"Tidak ada manusia yang abadi di dunia ini. Tiap manusia pasti akan menemui waktu akhirnya masing-masing." *** "Wah, perkembangannya bagus sekali. Berat badan ibu bertambah, dan berat badan bayi juga bertambah. Ini bagus. Dijaga terus ya, jangan sampai lebih, atau pun kurang. Di minum vitamin, dan susu ibu hamilnya. Ada keluhan tidak selain morning sickness menjelang pagi?" Dua bulan kemudian berlalu, dan segalanya telah terlewati dengan sangat mudah. Kandungan Ava memasuki minggu ke enam belas. Perutnya memang belum kelihatan membesar, tapi Ava sudah bisa merasakan bahwa di dalam tubuhnya terdapat nyawa lain yang harus ia jaga, dan rawat dengan baik. Tak hanya dirinya yang lebih perhatian, tapi Biru, dan juga mertuanya selalu mengiriminya perhatian lewat makanan-makanan enak, serta bergizi untuk calon cucu pertama mereka. Selain kesibukan tentang dirinya, juga ada kesibukan lain yang disiapkan oleh keluarga mereka, yakni pernikahan Samudera dengan Asla yang akan berlangsung dua mi
"Perpisahan memang menyakitkan bagi siapa pun di muka bumi ini. Tapi, tak ada cara selain mengikhlaskan perpisahan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang abadi bersama."***"Gue kok, enggak tahu sama sekali ya, kalau kalian kenal Djati."Biru melirik kepada sepupunya, Irvin saat para kerabat, dan kolega bisnis datang untuk mengantar kepergian terakhir Djati Gaharu Mahesta. Biru tak tahu kalau ternyata akan ada sebanyak itu yang mengenal Djati. Bahkan sepupunya sendiri ternyata teman dekat rivalnya tersebut. Ia pikir selama ini, sang bandar adalah pribadi yang tertutup, padahal tidak.Sekarang, Biru mengerti mengapa bisnis Djati bisa sangat sukses, sebab dia dikenal sebagai orang yang supel, dan pandai bergaul. Di mata teman-teman, dan kolega bisnisnya, Djati adalah orang yang baik, toleran, dan juga dermawan. Di luar itu, dia adalah bandar paling sukses yang pernah Biru buru. Bahkan untuk mengungkap kejahatannya saja, Biru benar-benar tak sanggup."Ava yang kenal Djati. Gue t
"Kehilangan adalah bagian dari sebuah pendewasaan. Kehilangan akan membuatmu memahami arti sebuah penyesalan. Penyesalan, karena setelah pergi baru terasa pentingnya sebuah kehadiran."***"Ada apa, Jeremy? Kenapa tiba-tiba datang ke sini?"Jeremy Faruk menundukkan kepalanya. Sudah satu bulan sejak pemeriksaan berakhir, dan keduanya memang belum dipertemukan oleh pengadilan. Kini Jeremy kembali hadir membawakan kopi kesukaan kliennya, dan memberinya kabar duka yang tak biasa. Jeremy tahu di balik sikap tak acuhnya, Praba sungguh mengharapkan Djati kembali selamat.Perasaan Praba tak enak. Ia memicing, merasa bahwa sikap Jeremy tidaklah wajar. Pasti ada hal penting yang terjadi, dan itu akan terasa sangat buruk terdengar di telinga Praba. Pria tua itu berharap bukan soal Ava, atau pun Djati."Pak Djati meninggal dunia hari ini, Pak. Maaf."Praba membelalak. Ia tahu hari itu akan tiba. Ia sudah mencoba bersiap, tapi nyatanya tetap terasa sakit saat di dengar. "Meninggal?""Ya, Pak." Jer
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora