"Bila masa lalu membuatmu takut, maka masa depan saja bisa jadi lebih cerah. Tergantung sekuat apa usaha yang dilakukan. Karena sejatinya, tak ada masa depan apik tanpa usaha maksimal."***"Anda hanya punya waktu lima belas menit. Tak lebih dari itu."Dewandaru Angkasa Biru mengangguk. Menuruti aturan yang diberlakukan oleh pihak KPK. Walau bagaimana pun, Biru juga semestinya tak diperbolehkan bertemu Praba. Hanya karena nama ayahnya, semua jalan terasa mudah bagi siapa pun.Biru memasuki sebuah kamar rawat. Ada seorang polisi berjaga di dalam, ia langsung berdiri, dan hormat. Setelah Biru memberi anggukan polisi tersebut pun keluar dari kamar. Terlihat Praba sedang dibantu untuk makan, karena kaki, dan tangan kirinya ditembak oleh Malik Johar."Jangan lama-lama ya, Pak. Meskipun seorang tahanan, tapi pasien masih butuh banyak waktu untuk istirahat. Terlebih Pak Praba juga baru saja makan, dan minum obat. Jadi, kemungkinan akan cepat mengantuk.""Baik, Suster."Sang suster pun mengan
"Tak ada yang bisa menebak kapan manusia terlahir, dan berakhir."***"Apa? Ditembak? Bang Djati ditembak?"Reaksi Pramudya tak bisa dibohongi. Ia jelas sangat kaget mendengar kabar yang sama sekali tak ia duga sebelumnya. Ia pikir dengan dirinya melakukan gerakan tutup mulut dari segala informasi yang ada, maka semuanya akan berjalan lancar. Tapi, ternyata pikirannya salah besar.Djati Gaharu Mahesta tetap saja tak lepas dari kesialan. Ia tertembak, dan entah berita ini benar atau tidaknya. Tapi, melihat keseriusan dari polisi yang menyebutkan informasi tadi, membuat Pramudya yakin kalau hal tersebut benar adanya. Lagipula apa untungnya mereka berbohong padanya, percuma saja."Dia wali kamu, kan?"Pramudya mengangguk. Ia memang tak menutupi informasi yang satu itu. Tanpa ia beri tahu sekali pun, polisi juga pasti sudah tahu kalau walinya adalah Djati. Mereka bisa menelusuri latar belakangnya jika mereka perlu."Bagaimana keadaannya?" tanya Pramudya penasaran. Sungguh, ia tak bisa men
"Segala tindak tanduk manusia memiliki bukti. Bila tak ada satu pun bukti yang tersisa, ada Tuhan yang memiliki mata, dan melihat segalanya." *** "Maksud kamu apa? Bukti apa?" Biru jelas bingung dengan pernyataan yang dibuat oleh istrinya. Ia tidak mengerti sama sekali dengan bukti yang dimaksud oleh Ava. Ia memandangi Ava yang juga tengah menatapnya dengan senyum di wajahnya yang mungil bersih. Biru selalu terpukau melihat wajah itu, namun kali ini pesona apa pun yang dipakai oleh Ava tak akan mampu membuat Biru terdistraksi tentang topik menarik yang tengah mereka bahas. Biru ingin tahu bukti kuat apa yang bisa membuktikan kalau Djati adalah seorang bandar narkoba. Selama beberapa tahun ini ia mencari, tak ia temukan bukti itu. Ava sendiri yakin, suaminya pasti akan sangat kaget saat melihat bukti yang dimilikinya. Ia sendiri takut kalau Biru marah, karena Ava menyembunyikan bukti ini untuk mengetahui alasan pasti Djati menjual narkoba. Ava lalu mengambil ponselnya, dan menggul
"Tiap rumah tangga tidak melulu soal bersama, dan bahagia. Ada ego yang dipendam, dan akan keluar saat disenggol di waktu yang tepat."***Dewandaru Angkasa Biru benar-benar gila. Setelah berputar semalaman tak tentu arah, ia pun pulang ke apartemen kakaknya tepat pukul setengah satu malam. Rasa kecewanya tak mampu dibendung. Ia tak sanggup pulang, dan melihat wajah Ava, meskipun dirinya menginginkannya sekali pun. Baginya masalah ini terlalu berat."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya sang Ibu yang kebetulan terbangun, dan melihat anaknya sedang memasuki pintu apartemen. Matanya melirik pada jam yang membuat langsung berdecak marah. "Ini jam setengah satu, Biru. Bukannya langsung pulang, ngapain pakai menginap di apartemen kakakmu? Memangnya kamu bujang?"Biru jelas kaget, ia memukul keningnya dengan pelan. Kesal, karena waktu yang dirasa kurang tepat. "Kok Ibu ada di sini?""Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, malahan mengalihkan dengan jawaban lain. Kakakmu sedang demam. Jadi, Ibu
"Dalam setiap kebohongan terdapat sebuah kejujuran yang tersembunyi. Meskipun tersembunyi, namun beban yang ditanggung sangatlah berat untuk dipikul oleh setiap manusia." *** "Bagaimana keadaannya? Djati?" Praba tak bisa memulai, tapi ia tetap harus bertanya mengenai apa yang terjadi pada Djati. Setelah pengorbanan yang dilakukan oleh anak angkatnya itu untuk membuatnya tetap hidup, Praba tidak mungkin tetap diam, dan menonton. Ia harus tahu, karena dalam lubuh hati paling terdalamnya ia sangatlah merasa bersalah pada Djati. Apa pun yang dikatakan Biru adalah kebenaran. Semua ini adalah kesempatan terakhirnya. Ia mungkin tidak bisa menebus semua kesalahan orang-orang yang telah ia jahati, tapi setidaknya ia bisa menebus sedikit dosa pada orang-orang yang seharusnya ia sayangi, yakni Djati, dan juga Ava. Ia harus meminta maaf pada Djati, dan juga Ava. Terutama kepada Ava, orang yang selama ini telah tak ia anggap sebagai putri kandungnya. "Dia kritis. Kesempatan hidupnya kecil sek
"Tidak ada manusia yang abadi di dunia ini. Tiap manusia pasti akan menemui waktu akhirnya masing-masing." *** "Wah, perkembangannya bagus sekali. Berat badan ibu bertambah, dan berat badan bayi juga bertambah. Ini bagus. Dijaga terus ya, jangan sampai lebih, atau pun kurang. Di minum vitamin, dan susu ibu hamilnya. Ada keluhan tidak selain morning sickness menjelang pagi?" Dua bulan kemudian berlalu, dan segalanya telah terlewati dengan sangat mudah. Kandungan Ava memasuki minggu ke enam belas. Perutnya memang belum kelihatan membesar, tapi Ava sudah bisa merasakan bahwa di dalam tubuhnya terdapat nyawa lain yang harus ia jaga, dan rawat dengan baik. Tak hanya dirinya yang lebih perhatian, tapi Biru, dan juga mertuanya selalu mengiriminya perhatian lewat makanan-makanan enak, serta bergizi untuk calon cucu pertama mereka. Selain kesibukan tentang dirinya, juga ada kesibukan lain yang disiapkan oleh keluarga mereka, yakni pernikahan Samudera dengan Asla yang akan berlangsung dua mi
"Perpisahan memang menyakitkan bagi siapa pun di muka bumi ini. Tapi, tak ada cara selain mengikhlaskan perpisahan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang abadi bersama."***"Gue kok, enggak tahu sama sekali ya, kalau kalian kenal Djati."Biru melirik kepada sepupunya, Irvin saat para kerabat, dan kolega bisnis datang untuk mengantar kepergian terakhir Djati Gaharu Mahesta. Biru tak tahu kalau ternyata akan ada sebanyak itu yang mengenal Djati. Bahkan sepupunya sendiri ternyata teman dekat rivalnya tersebut. Ia pikir selama ini, sang bandar adalah pribadi yang tertutup, padahal tidak.Sekarang, Biru mengerti mengapa bisnis Djati bisa sangat sukses, sebab dia dikenal sebagai orang yang supel, dan pandai bergaul. Di mata teman-teman, dan kolega bisnisnya, Djati adalah orang yang baik, toleran, dan juga dermawan. Di luar itu, dia adalah bandar paling sukses yang pernah Biru buru. Bahkan untuk mengungkap kejahatannya saja, Biru benar-benar tak sanggup."Ava yang kenal Djati. Gue t
"Kehilangan adalah bagian dari sebuah pendewasaan. Kehilangan akan membuatmu memahami arti sebuah penyesalan. Penyesalan, karena setelah pergi baru terasa pentingnya sebuah kehadiran."***"Ada apa, Jeremy? Kenapa tiba-tiba datang ke sini?"Jeremy Faruk menundukkan kepalanya. Sudah satu bulan sejak pemeriksaan berakhir, dan keduanya memang belum dipertemukan oleh pengadilan. Kini Jeremy kembali hadir membawakan kopi kesukaan kliennya, dan memberinya kabar duka yang tak biasa. Jeremy tahu di balik sikap tak acuhnya, Praba sungguh mengharapkan Djati kembali selamat.Perasaan Praba tak enak. Ia memicing, merasa bahwa sikap Jeremy tidaklah wajar. Pasti ada hal penting yang terjadi, dan itu akan terasa sangat buruk terdengar di telinga Praba. Pria tua itu berharap bukan soal Ava, atau pun Djati."Pak Djati meninggal dunia hari ini, Pak. Maaf."Praba membelalak. Ia tahu hari itu akan tiba. Ia sudah mencoba bersiap, tapi nyatanya tetap terasa sakit saat di dengar. "Meninggal?""Ya, Pak." Jer