"Tuhan tidak pernah tidur. Ia akan membalas orang-orang baik yang berusaha, dan bertahan di jalan kebenaran."***"Terima kasih, Pak Biru. Berkat anda ibu saya mendapat seorang kuasa hukum yang mumpuni. Setidaknya saya bisa berharap kalau Ibu saya bisa mendapat hukuman yang jauh lebih ringan dari ringan."Biru mengangguk. Ia tersenyum tipis, dan langsung menerima uluran tangan Sulistiawati. Ia senang karena masalah Purwanto bisa berjalan seharusnya. Tinggal mengejar Anthony Radjarta saja, maka semua proses terlewati dengan baik, dan berakhir melegakan untuk semua orang.Althaf yang berada di belakang Biru pun, juga tersenyum. Ia kemudian memberikan sang anak pada ibunya. Sulistiawati berterima kasih, karena Althaf telah menjaga anaknya dengan sangat baik. Ia bahkan sampai tertidur di gendongan Althaf."Anda sangat baik sekali. Mohon maaf sebelumnya, apakah anda sudah menikah?" tanya Sulistiawati pada Althaf yang dibalas gelengan olehnya. "Anda akan menjadi ayah yang baik nantinya. Sek
"Tiap individu di dunia ini, ada masanya. Karena sesungguhnya tidak ada yang abadi, akan terganti dengan yang lain. Terganti dengan masa yang baru." *** "Maaf, Bang Dio!" Bernardio menengadah. Perasaannya tidak enak sama sekali, saat melihat Warman berlari masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu. Ia yakin pasti ini ada hubungannya dengan Pramudya. Anak bodoh itu sudah Bernardio ingatkan untuk tidak pergi hari ini, tapi dengan kurang ajarnya dia justru mengabaikan permintaannya, dan mematikan panggilan darinya saat itu juga. "Ada apa, Warman? Bukankah saya meminta kamu untuk mengikuti Pramudya? Kenapa kamu justru ada di sini? Berita apa yang kamu ingin sampaikan pada saya?" Warman menarik napasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, saya terlambat. Mas Pram melakukan tindakan impulsif dengan mendatangi Mr. Johar saat tugas bandara menahan kopernya. Teledornya lagi, saat itu polisi datang, dan Mas Pram justru bertindak gegaba
"Tiap kejahatan yang ditanam pasti menghasilkan balasan yang setimpal."***"Terima kasih ya, Padma. Saya sangat bersyukur karena Ava memiliki sahabat, dan saudara sebaik kamu."Selepas Padma menjawab, dan mengakhiri teleponnya, Biru pun menyimpan ponselnya di kantong jaket. Ia menghela napas, merasa bersyukur karena hari itu Ava merasa lebih baik setelah ditemani oleh Padma. Walau bagaimana pun saat sakit, bukan cuma tubuh yang butuh beristirahat, tapi juga otak. Dengan mendatangkan Padma ke rumah, Biru berharap istrinya punya teman ngobrol, dan berdiskusi untuk melepas penat.Eki yang melihat atasannya sudah selesai menelepon, langsung menghampiri. Biru pun menoleh, dan menanggapi kedatangan anak buahnya. Ia sudah sangat bekerja keras, butuh diapresiasi atas hasil yang telah ia dapatkan."Pak," sapa Eki seraya bersikap hormat pada sang atasan. "Terlihat dari jalannya sesi interogasi, Pramudya menolak memberi tahu siapa yang berada di belakangnya. Pengacaranya juga berkata kalau klie
"Segala hal bisa berubah dalam sekejap mata. Jadi, tugas manusia adalah bersiap dari segala kemungkinan yang bisa terjadi pada siapa saja."***"Bagaimana keadaannya?"Namanya Garra Anandaya. Dia adalah kuasa hukum yang sengaja Djati siapkan, bila Pramudya, atau pun Bernardio mengalami masalah hukum. Dia adalah teman satu kampus Djati. Kepadanya ia percayakan dua tangan kanannya agar terbebas dari jerat hukum, bila itu memungkinkan.Garra dengan raut pasrah hanya bisa menggeleng. Kemungkinan Pramudya terlepas dari masalah sangatlah kecil. Saking kecilnya, Garra tidak bisa menjanjikan yang paling realistis sekali pun pada temannya itu. Hal itu tentu saja membuat Djati sangat gusar."Sial!" umpat Djati pelan."Djati, lebih baik lo enggak ikut campur sama sekali. Pramudya sudah mengakui kalau ia bekerja sendiri. Meskipun, tak mungkin polisi percaya dengan pernyataannya, tapi akan sangat sulit juga bagi polisi untuk mencurigai lo. Lebih baik lo menyingkir, sebelum segalanya terendus oleh
"Hanya sebuah janji, namun terkadang sulit untuk ditepati. Hanya sebuah janji, namun terkadang hanya kalimat asal, tanpa berniat untuk dijadikan nyata."***"Apakah ini akhir dari cerita kamu, Djati?"Pertanyaan itu tak disambut oleh siapa pun. Sebab di kamar itu, Ava hanyalah sendiri, tak ada siapa pun yang menemaninya. Sehabis mandi, ia membuka ponselnya, dan menemukan banyak telepon, serta pesan dari suaminya. Tak hanya Biru, Padma juga memberikan satu pesan singkat yang mengabarkan kalau ia pulang setelah Ava tertidur, dan tak menunggu hingga dirinya benar-benar terbangun.Ia lalu membalas satu persatu pesan yang ada, dan kemudian menyalakan televisi untuk mengetahui kelanjutan kasus Pramudya Arian. Namun tak ada satu pun berita terbaru yang ia bisa ketahui. Tak ada satu pun nama Djati keluar dari mulut wartawan yang membacakan berita yang mereka telah liput. Sungguh, Ava was-was."Ya Tuhan!" seru Yenni yang kaget saat melihat Ava sudah duduk di sofa sambil menonton televisi. Ia p
"Menjadi jahat mungkin bukan pilihan. Tapi, hidup yang berat mungkin bisa jadi alasan mengapa seorang manusia menjadi jahat." *** "Kamu yakin mau ke kantor?" Pertanyaan suaminya itu langsung diangguki oleh Ava. Ava memang akan pergi ke kantor yayasan. Dirinya menyuruh Djati untuk pergi ke kantor yayasan, demi menanggulangi pemberitaan lain yang mungkin tersebar dari pertemuan mereka. Ava tidak ingin mengambil risiko, ia hanya ingin pertemuan ini berjalan lancar, tanpa dianggap sebagai suatu hal yang janggal bagi orang lain. Djati sendiri kemarin bertanya alasan Ava bertemu dengannya. Namun Ava jelas tidak mau menjelaskan topik apa yang akan mereka bicarakan. Untuk apa ia meminta bertemu, kalau Ava memberi tahu Djati di telepon. Akan lebih baik, ia menyimpan rapat-rapat, agar ia bisa mengetahui secara langsung, dan melihat raut wajah Djati ketika menjawab semua pertanyaan yang diajukannya. "Sebentar saja, kok. Banyak berkas yang harus saya baca, dan saya tanda tangani. Saya bosan
"Hadiah terbesar bagi seorang wanita adalah menjadi seorang Ibu."*** "Aku sudah bilang kan, ke kamu. Jangan menangis!" Ava mengusap air mata di pipinya. Lalu mengangguk seraya meminta maaf atas kelakuan yang bukan kesalahannya. Djati memandanginya dengan perasaan yang tidak enak sama sekali, merasa bersalah, dan ingin sekali meraup Ava ke dalam pelukannya. Sayangnya ia sudah melepaskan perempuan itu, dan tidak berniat sama sekali untuk merusak kebahagiaannya bersama Biru. Ia hanya dapat terpaku, menunggu Ava meredakan emosinya. Ava sendiri menarik napasnya secara perlahan, sakit kepalanya tak tertahankan, tapi ia mencoba untuk tetap tenang dengan menghembuskan napasnya. Ia sungguh merasa bersalah atas segala kesalahan yang terjadi pada hidupnya, hidup Djati, dan hidup semua orang yang pernah Praba lukai. Ia sungguh merasa malu atas segala hal yang Praba telah lakukan pada orang-orang yang bahkan tak pernah berbuat jahat padanya. "Sungguh, aku minta maaf," lirih Ava pada akhirnya.
"Jangan pernah sekali pun berlaku sombong, sebab tak ada manusia yang hebat tanpa adanya campur tangan Tuhan." *** "Hei, kamu sudah bangun?" Biru langsung bertanya begitu melihat istrinya sudah membuka matanya, dan mulai menyesuaikan dirinya dengan keadaan di sekitarnya. Ava memperhatikan langit-langit, dan bisa langsung menebak kalau dia berada di salah satu kamar rawat rumah sakit. Ia lalu menoleh, dan mendapati Biru tengah melihatnya dengan ekspresi khawatir yang begitu kentara. Senyum tipis pun timbul untuk menenangkan suaminya. Biru lalu menggenggam erat tangan Ava. Ia cium punggung tangan Ava, dan tersenyum balik padanya. Hatinya langsung lega saat Ava benar-benar telah sadar. Ia cium kening sang istri, dan bertanya apa yang kira-kira ia butuhkan. "Saya ingin minum." Biru pun mengangguk, dan mengambilkan gelas yang sudah disiapkan oleh perawat tadi. Ia bantu istrinya untuk minum menggunakan sedotan. "Sudah, cukup. Terima kasih." Biru pun menaruh kembali gelas berisi air min