Amanda dan Benny tersenyum ada maunya di depan Alvan. Alvan tidak sendirian di sana, dia bersama dengan Amanda dan Benny yang tiba-tiba datang lagi-lagi tanpa diundang dan diharapkan. Awalnya Alvan mengusir mereka begitu melihat wajah kedua temannya itu di depan rumahnya, tapi Nayla---sang mama tiri tiba-tiba muncul dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Mereka pun dipersilahkan masuk dan diberi minuman. Tambah betah aja mereka berdua dan tidak akan pulang dalam waktu dekat , karena Alvan tahu mereka pasti datang karena maksud tertentu. Kelihatan sekali dari ekspresi mereka yang tidak seperti biasanya. Apalagi Amanda. Tumben sekali dia tersenyum di depan Alvan. Biasanya melotot-melotot melulu. Semakin memperkuat dugaan kalau mereka berdua memang ‘ADA MAUNYA’. “Nyokap lo baik banget, Van,” kata Benny sambil meneguk segelas jus buah yang disuguhkan Mama. Amanda ngangguk-angguk setuju. “Bener, bener.” “Ben, lo ngapain sih datang-dateng ke sini lagi?” tanya Alvan jut
“Gue bakal ngelakuin apa aja demi sahabat-sahabat gue,” Amanda menambahkan. “Masalah mereka itu masalah gue juga. Jadi kalo mereka ada masalah, gue harus bisa bantu nyeleseinnya. Lo mau bantuin kita kan, Van? Mau ya? Ya? Ya?” Alvan semakin ‘terpikat’ dengan keimutan yang berhasil dibuat oleh Amanda. Dan dia semakin kesal. “Kenapa gue harus peduli? Itu kan masalah mereka. Gue nggak mau ikut campur.” “PLEASE!!!” Amanda masih belum menyerah dengan wajah imutnya terus ‘menyerang’ Alvan sampai cowok itu bertekuk lutut. Tidak tahan lagi melihat wajah Amanda yang sok imut itu, Alvan pun berdiri dan menatap Amanda dengan kesal. “Lo ....” tunjuk Alvan. “Berhenti bersikap kayak gitu di depan gue! Sekali lagi lo masang tampang menggelikan kayak gitu, gue bakal pukul lo.” Amanda ikutan berdiri dan wajah imutnya semakin menjadi-jadi karena dia belum menyerah. “Alvan, gue mohon sama lo. Bantuin kita, ya? Ya? Ya?” Alvan paling kesal dalam situasi seperti ini. Sebenarnya dia tidak mau tap
Ternyata Natasha pergi ke mal hari ini. Dia janjian dengan seorang cowok di sana dan mereka pun cipika-cipiki begitu bertemu di depan mal. Amanda yang bersembunyi di belakang taman bunga melihatnya dengan menggunakan teropong mini, Alvan berdiri di sebelahnya dengan muka bête dan ogah-ogahan. “Waduh ... mereka pake cipika-cipiki segala.” Amanda berbicara sendiri sambil mengintai dengan teropong mininya. Cowok itu memang ganteng, pantas saja Natasha suka. “Untung aja si Benny nggak ikut, kalo dia lihat ceweknya pake acara cium pipi segala sama cowok lain, wuih pasti dia bakalan panas banget.” Alvan tidak peduli dan mulai merasakan kepanasan berada di bawah terik matahari yang mulai meninggi. “Kita bisa masuk sekarang nggak sih, nih? Panas banget di sini.” “Bentar, bentar.” Amanda masih mengintai dengan teropong dan melihat Natasha dan si cowok itu masuk bersama ke dalam mall sambil bergandengan mesra banget. “Ayo kita masuk,” ujarnya memberi aba-aba. Amanda dan Alvan segera m
Mereka berhasil masuk ke dalam kafe dan Amanda langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat mencari-cari keberadaan Natasha. Setelah menemukan dimana sasaran mereka duduk, Amanda langsung menarik lagi Alvan ke salah satu tempat yang agak dekat dengan sasaran agar mereka bisa lebih mudah mengintainya. Mereka duduk berdua di salah satu bangku. Alvan sempat mengamati seluruh ruangan yang luas dan dihias indah itu. Setiap meja hanya ada dua kursi, pertanda yang duduk di sana hanya pasangan-pasangan yang sedang pacaran. Dan kenapa juga dia dan Amanda harus ikut duduk di sana? Mereka kan bukan pasangan. Amanda mengambil buku menu dan menggunakannya sebagai penutup wajah agar nggak dikenali. Tapi saat melihat Alvan yang cuek-cuek bebek tanpa menutupi wajahnya, membuat Amanda kesal dan memukul lengan cowok itu. “Apaan sih?” semprot Alvan kesal. “Tadi lo narik-narik tangan gue mulu? Sekarang mukul tangan gue? Mau lo apa sih, sebenernya?” Amanda melemparkan buku menu yang lain pa
“Cium pacarnya, dong.” Para pelanggan yang lain semakin antusias menyoraki mereka. Sementara yang disoraki malah kebingungan. Pacaran saja tidak, kenapa mereka harus saling mencium? Ini benar-benar gila dan mereka berdua tidak akan mungkin melakukannya kecuali mereka memang gila. “Cium ... Cium ... Cium ... Cium!” Semua pengunjung sekarang jadi kompak banget untuk menyuruh Amanda dan Alvan ciuman. Kenapa mereka harus melakukan itu, sih? Amanda menatap Alvan takut-takut. Terlihat cowok itu juga bingung dan mungkin grogi juga dengan sorakan orang-orang yang membuat suasana menjadi awkward itu. Tapi anehnya, cowok itu tetap terlihat santai di mata Amanda. Alvan gugup banget hanya dengan memikirkan bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi, sementara Amanda yang pikirannya terbagi menjadi dua antara cepat mengejar Natasha atau tetap berada di tempat itu tanpa mengakhiri semua ini. Mereka berdua hanya diam dan kebingungan, sedangkan semua orang terus menyoraki dan mereka tida
Amanda masih saja tidak bisa melupakan ciumannya dengan Alvan tadi siang di kafe. Tidak. Bukan ciuman tapi Amanda yang menciumnya. Mengingat hal itu membuat Amanda tidak bisa tidur semalaman ini. Dia terus mengubah posisi tidurnya dengan segala macam posisi agar cepat terlelap, namun gagal. Bayang-bayang dirinya yang mencium Alvan masih terus terngiang di pikirannya. Amanda benar-benar kesal karena dia terus gagal untuk tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, kalau dia tidak segera tidur besok dia bisa terlambat ke sekolah dan masalah akan semakin bertambah untuknya. Karena kesal dengan dirinya sendiri, Amanda memutuskan untuk bangun saja. Dia memukul-mukul kepalanya dengan guling kesayangannya yang selalu menemani tidurnya tiap malam. Berusaha mengusir bayang-bayang Alvan dan ciuman itu dari kepalanya. Dia berharap akan amnesia sementara agar bisa melupakan kejadian itu, tapi siapa pun tahu hal itu tak mungkin terjadi. Untuk ke sekian kalinya, Amanda merasa menyes
Merasa tidak bisa terus-terusan merasa canggung dan tidak nyaman, Amanda berpikir harus segera berbicara serius dengan cowok itu. Meluruskan kesalahpahaman di antara mereka dan menghapus pikiran jelek Alvan tentang Amanda. Pada jam istirahat, Amanda mengajak Alvan ke balkon lantai dua tempat dulu mereka pernah mengobrol bersama. Tempat itu sering sepi saat jam istirahat seperti ini, karena sebagian besar penghuninya sedang menyerbu kantin-kantin yang berada di lantai dasar. Jadi pembicaraan mereka akan aman tanpa khawatir didengar orang lain. “Ada apa, sih?” tanya Alvan dengan sikap dinginnya. Amanda berdiri berhadapan dengan Alvan, dan sempat beberapa kali menghela napas dulu untuk memulai pembicaraan yang penting itu. Menghadapi Alvan memang membutuhkan ketenangan diri agar tidak sampai terbawa emosi kalau-kalau cowok itu tiba-tiba marah. Meskipun Amanda lebih sering terpancing emosi, tapi untuk kali ini Amanda tidak mau sampai hal itu terjadi. “Gue ngajak lo ke sini karen
“Tadi Kak Clara bilang sudah bertemu dia? Apa orang itu yang Kakak maksudkan?” Meskipun tadi sudah berhasil mendengar dan bisa mengambil kesimpulan sendiri, namun Amanda merasa masih harus memastikannya sendiri pada Clara. Dia abaikan seluruh tubuhnya yang mendadak merasa merinding saat tadi dia dengar ucapan Clara. Clara semakin gugup dan bingung. Kalau dia berkata bohong, dia tahu Amanda tidak akan mungkin bisa percaya karena dia yakin melihat ekspresi wajahnya ini sepertinya Amanda sudah mendengar semuanya. Dan hanya orang bodoh yang tidak mengerti apa yang tadi diucapkannya. Clara tahu Amanda sudah tahu semuanya dan mungkinkah inilah saatnya dia mengatakan yang sebenarnya? “Kak Clara kenapa diem aja, sih? Jawab pertanyaan aku, Kak! Kakak ketemu sama siapa?” tuntut Amanda. Clara masih terdiam, masih ragu apa dia harus menjawab pertanyaan itu apa tidak. Amanda menatap ke makam Aldy sebentar, lalu kembali menatap wajah bingung Clara. “Aku yakin tadi Kak Clara bilang kalo Kakak
"Semua orang pernah mengalami rasa sakit saat kehilangan seseorang yang kita sayangi. Tapi terus-terusan menyimpan rasa sakit itu di hati, cuma bakal bikin kita terus-terusan terpuruk dalam kesedihan. Lo harus belajar buat bisa menerima semua itu meskipun tahu itu sulit.” “...” “Lo juga pasti bisa.” Amanda memegang bahu Alvan. “Yang harus lo lakuin cuma satu kok, Van. Lo harus coba buat buka hati lo untuk menerima Mama tiri lo dan juga Arga. Kalo hal itu udah bisa lo lakuin, gue yakin hal berikutnya pun lo juga pasti bisa ngelakuinnya.” “...” “Terima mereka semua yang sayang sama lo. Bikin hati lo jangan pernah menolak kasih sayang mereka semua. Dan yang paling penting lo harus bisa coba buat memaafkan diri sendiri. Selama lo belum bisa memaafkan diri lo sendiri, lo nggak bakalan bisa memaafkan orang lain.” Alvan masih diam dan membiarkan Amanda memberikan nasihat padanya. Baru kali ini Alvan menerima nasihat semacam itu dari orang lain, karena biasanya tidak ada orang
Alvan tidak menjawab pertanyaan si kembar, dia cuma menatap mereka berdua dengan wajah tidak berdosanya seolah-olah memang tidak mau menjawab pertanyaan seperti itu. Dia sudah kembali ke sifat dinginnya dengan mengabaikan pertanyaan si kembar lalu menikmati teh hangatnya untuk menghangatkan tubuhnya. Melihat sikap cuek Alvan, si kembar pun tidak kehabisan ide dan langsung bisa menafsirkan sendiri apa jawaban yang seharusnya diberikan Alvan pada mereka. Sudah diputuskan setelah keduanya saling beradu pandang sebentar, bahwa Alvan dan Amanda memang punya hubungan yang tidak biasa. “Oke, kalo emang lo nggak mau jawab,” ujar Bagas. “Gue sebagai kakaknya berhak tahu siapa-siapa aja cowok yang udah deketin dia. Gue harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya tuh cowok, pantes apa enggak buat pacaran sama adik gue.” “Betul itu.” Bagus mengacungkan jempol tepat di depan Alvan. “Lo harus tahu dulu apa syarat-syarat yang harus dipenuhi cowok yang bakal jadi pacarnya Amanda.” “Pertama...” Ba
Cowok itu berdiri mematung di depan pintu gerbang rumah Amanda dengan hati yang hancur. Dia tidak bisa melupakan apa yang dia dengar di rumah tadi tentang kebenaran yang baru saja dia ketahui. Alvan masih belum sanggup untuk bertatap muka dengan papanya lagi karena itu cuma akan memunculkan kemarahannya saja. Alvan memutuskan untuk tidak pulang malam ini. Dan tempat yang bisa dikunjungi Alvan hanyalah rumah Amanda. Bahkan di sini pun Alvan tidak bisa melakukan apa pun meskipun cuma sekedar memanggil Amanda untuk menemuinya. Dia tetap berdiri di bawah hujan dan kilatan petir. Membiarkan tubuhnya basah kuyub diterjang hujan dan nggak peduli apakah nanti petir-petir menakutkan itu akan menyambar tubuhnya atau tidak. “Itu beneran Alvan.” Amanda sekarang benar-benar yakin dan percaya kalau orang yang dilihatnya itu adalah Alvan yang dia kenal. Amanda berlari menuju lemari di sudut ruangan dan mengambil sebuah payung berwarna kuning dari sana, lalu dengan kilat tanpa menutup pintu l
“Kamu sudah pulang?” “MAMA!” Arga berlari ke arah mamanya dan memeluknya. “Arga, kamu sudah pulang Sayang?” tanya mamanya sambil tersenyum. “Udah dong, Ma. Tadi Arga seneng banget, Ma. Arga main seharian sama Kak Alvan dan Kak Amanda.” Nayla tahu Arga begitu bahagia. Tapi melihat situasi sekarang, dia tahu tidak baik kalau Arga ada di sana melihat hal buruk yang mungkin akan terjadi antara Andra dan Alvan. “RORO! RORO!” Bi Roro datang tergopoh-gopoh dari belakang. “Iya, Nyonya.” “Kamu ajak Arga ke kamar, ya? Mandiin dia. Nanti soal makan malamnya biar saya yang suapin.” Bi Roro mengangguk. “Baik, Nyonya. Arga, ayo kita mandi.” Arga pun pergi ke belakang dengan Bi Roro. Dengan langkah berat, Andra berusaha mendekati Alvan untuk memastikan apa Alvan mendengar semuanya atau tidak. Kalau pun Alvan mendengar, apa saja yang didengarnya dan tugas Andra adalah memberikan penjelasan agar Alvan mau mengerti meskipun dia tahu itu akan sangat sulit. “Van .... “ Andra berusaha menyentuh
Setelah naik bianglala, masih banyak wahana-wahana permainan yang mereka naiki. Amanda memaksa Alvan karena Arga yang memintanya. Amanda juga menyuruh Alvan yang bayar semuanya. Tentu saja Alvan ngomel – ngomel lagi karena merasa sudah dipalak habis-habisan hari ini. Tapi semuanya masih belum selesai, mereka pun membeli es krim dan makan es krim bertiga. “Senyum!” Amanda siap memotret Alvan dan Arga. Arga tersenyum manis ke arah kamera, sedangkan Alvan tetap dengan wajah juteknya dan tidak mau melihat ke kamera. Pada saat itu Arga melihat beberapa badut sedang bernyanyi dan bergoyang dengan banyak anak kecil sambil membagikan banyak balon. Arga ingin ke sana dan Amanda memaksa Alvan untuk ikut dengan mereka. Sudah bisa dipastikan kalau Alvan pasti menolak mentah-mentah bermain dengan banyak anak kecil seperti itu, tapi Amanda memaksanya dan menariknya berlari ke arah badut. Arga gembira sekali mendapat balon dari badut. Amanda tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan satu detik pun
Amanda kaget, ternyata mereka sudah sampai ke kelas dan Amanda tidak sadar karena terlalu serius menasihati cowok itu. Dia langsung ikutan berbelok dan masuk ke dalam kelas. Tanpa paksaan apa pun, kali ini Amanda duduk dengan Alvan. “Terserah gue ya, gue mau duduk di mana.” Kali ini Amanda tidak mau ambil pusing berdebat mengenai bangku. Masalah itu sudah basi dan sekarang bagi Amanda dia mau duduk dengan siapa aja nggak masalah. “Pokoknya lo harus mau ngelakuinnya.” “Ngelakuin apa?” Alvan kesal dan jadi nggak mood untuk membuka bukunya karena cerocosan Amanda. “Gue nggak mau ngelakuin apa pun yang lo suruh. Emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus gimana?” “Gue Amanda. Gue guru lo.” Alvan tertawa sinis mendengar hal konyol itu. “Guru? Guru apaan? Sejak kapan cewek berotak ayam macam lo ini bisa jadi guru gue? Nggak usah ngimpi deh, lo.” Amanda memukul Alvan dengan bukunya. “Gue ini bukan otak ayam.” “Kenapa lo mukul?” Alvan mulai sewot. “Emang lo ini suka banget
Amanda heran. Dia sempat berpikir kalau dia sedang mimpi saat mengatakan hal itu. “Kenapa gue harus marah?” Amanda speechless. “Apa aja yang udah berhasil lo pelajari dari Aldy selain kebahagiaan?” Tidak pernah dia duga sebelumnya kalau ternyata Alvan menerima ucapannya yang dia kira mimpi tadi. Alvan tidak marah dan justru tertarik dengan kata-kata Amanda tentang hal yang dia pelajari dari Aldy? Apa benar cowok ini serius ingin tahu? “Kenapa diem?” “Hah? Oh ... eh .... “ Amanda jadi salah tingkah dan tetap bingung. Tapi meskipun bingung dia senang Alvan ternyata tidak seburuk yang dia pikir. “Untuk mendapatkan kebahagiaan itu mudah, kok. Tiap orang pasti bisa melakukannya. Karena itu lo harus berubah sekarang. Dan hal pertama yang harus lo lakuin untuk mendapatkan kebahagiaan itu adalah memaafkan diri sendiri.” Memaafkan diri sendiri? Itu memang hal yang selama ini belum bisa Alvan lakukan? Karenanya dia masih belum bisa memaafkan kesalah papanya di masa lalu karena d
“Bukan gue yang suka sama pantai. Tapi orang lain.” Jawaban Amanda sukses membuat Alvan menatap cewek itu dan melupakan keindahan ombak yang dari tadi dia perhatikan. “Aldy?” Amanda mengangguk. Alvan tiba-tiba berhenti berjalan dan menarik tangan Amanda, mengajaknya duduk di atas pasir halus pantai yang sejak tadi mereka injak-injak untuk dirasakan kehalusannya. Dengan terpaksa Amanda menurut dan duduk di samping cowok itu sambil menekuk lutut dan menatap lautan lepas. Ombak masih terus datang. Suaranya yang menggelegar dan umumnya membuat orang lain yang mendengarnya merasa ngeri, tapi tidak untuk Amanda dan Alvan. Ombak itu indah dan hanya bisa mereka temui kalau mereka sedang berada di pantai saja. “Lo lagi ada masalah, ya?” Amanda sudah sejak tadi menahan dirinya untuk nggak bertanya hal ini, tapi dia sudah tidak tahan lagi. Daripada dia terus terbawa masa lalu yang mengingatkannya pada Aldy, Amanda merasa lebih baik mengobrol dengan Alvan. “Kalo pun iya gue ngga
“Duh, siapa sih nih, yang nimpukin gue pake beginian?” Amanda mengomel-ngomel sendiri sambil memegang kaleng kosong yang sudah penyok itu. “Nggak lihat ada orang lagi jalan, apa?” Mata Alvan melebar melihat Amanda berada sekitar lima puluh meter di depannya. Hebat juga tendangannya, bisa menendang kaleng sampai sejauh itu. Tapi buru-buru Alvan melupakan tentang kehebatan tendangannya itu, karena dia yakin pasti akan ada kejadian sebentar lagi. Dia tadi pergi dari rumah dengan tujuan untuk menghindari pertengkaran dengan papanya, tapi sekarang dia malah mendapat masalah baru. Bertemu dengan Amanda saat ini sudah bisa dipastikan akan memicu masalah baru. Pertengkaran yang tidak bisa dielakkan lagi. Untuk mencegah semua itu terjadi, Alvan cepat-cepat memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi Amanda. Berharap cewek itu tidak tahu kalau dia yang menendang kaleng ke arahnya. Toh Alvan juga tidak sengaja melakukannya. Dengan tegang, dia melangkahkan kakinya panjang-panjang meninggalkan Am