Ternyata Natasha pergi ke mal hari ini. Dia janjian dengan seorang cowok di sana dan mereka pun cipika-cipiki begitu bertemu di depan mal. Amanda yang bersembunyi di belakang taman bunga melihatnya dengan menggunakan teropong mini, Alvan berdiri di sebelahnya dengan muka bête dan ogah-ogahan. “Waduh ... mereka pake cipika-cipiki segala.” Amanda berbicara sendiri sambil mengintai dengan teropong mininya. Cowok itu memang ganteng, pantas saja Natasha suka. “Untung aja si Benny nggak ikut, kalo dia lihat ceweknya pake acara cium pipi segala sama cowok lain, wuih pasti dia bakalan panas banget.” Alvan tidak peduli dan mulai merasakan kepanasan berada di bawah terik matahari yang mulai meninggi. “Kita bisa masuk sekarang nggak sih, nih? Panas banget di sini.” “Bentar, bentar.” Amanda masih mengintai dengan teropong dan melihat Natasha dan si cowok itu masuk bersama ke dalam mall sambil bergandengan mesra banget. “Ayo kita masuk,” ujarnya memberi aba-aba. Amanda dan Alvan segera m
Mereka berhasil masuk ke dalam kafe dan Amanda langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat mencari-cari keberadaan Natasha. Setelah menemukan dimana sasaran mereka duduk, Amanda langsung menarik lagi Alvan ke salah satu tempat yang agak dekat dengan sasaran agar mereka bisa lebih mudah mengintainya. Mereka duduk berdua di salah satu bangku. Alvan sempat mengamati seluruh ruangan yang luas dan dihias indah itu. Setiap meja hanya ada dua kursi, pertanda yang duduk di sana hanya pasangan-pasangan yang sedang pacaran. Dan kenapa juga dia dan Amanda harus ikut duduk di sana? Mereka kan bukan pasangan. Amanda mengambil buku menu dan menggunakannya sebagai penutup wajah agar nggak dikenali. Tapi saat melihat Alvan yang cuek-cuek bebek tanpa menutupi wajahnya, membuat Amanda kesal dan memukul lengan cowok itu. “Apaan sih?” semprot Alvan kesal. “Tadi lo narik-narik tangan gue mulu? Sekarang mukul tangan gue? Mau lo apa sih, sebenernya?” Amanda melemparkan buku menu yang lain pa
“Cium pacarnya, dong.” Para pelanggan yang lain semakin antusias menyoraki mereka. Sementara yang disoraki malah kebingungan. Pacaran saja tidak, kenapa mereka harus saling mencium? Ini benar-benar gila dan mereka berdua tidak akan mungkin melakukannya kecuali mereka memang gila. “Cium ... Cium ... Cium ... Cium!” Semua pengunjung sekarang jadi kompak banget untuk menyuruh Amanda dan Alvan ciuman. Kenapa mereka harus melakukan itu, sih? Amanda menatap Alvan takut-takut. Terlihat cowok itu juga bingung dan mungkin grogi juga dengan sorakan orang-orang yang membuat suasana menjadi awkward itu. Tapi anehnya, cowok itu tetap terlihat santai di mata Amanda. Alvan gugup banget hanya dengan memikirkan bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi, sementara Amanda yang pikirannya terbagi menjadi dua antara cepat mengejar Natasha atau tetap berada di tempat itu tanpa mengakhiri semua ini. Mereka berdua hanya diam dan kebingungan, sedangkan semua orang terus menyoraki dan mereka tida
Amanda masih saja tidak bisa melupakan ciumannya dengan Alvan tadi siang di kafe. Tidak. Bukan ciuman tapi Amanda yang menciumnya. Mengingat hal itu membuat Amanda tidak bisa tidur semalaman ini. Dia terus mengubah posisi tidurnya dengan segala macam posisi agar cepat terlelap, namun gagal. Bayang-bayang dirinya yang mencium Alvan masih terus terngiang di pikirannya. Amanda benar-benar kesal karena dia terus gagal untuk tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, kalau dia tidak segera tidur besok dia bisa terlambat ke sekolah dan masalah akan semakin bertambah untuknya. Karena kesal dengan dirinya sendiri, Amanda memutuskan untuk bangun saja. Dia memukul-mukul kepalanya dengan guling kesayangannya yang selalu menemani tidurnya tiap malam. Berusaha mengusir bayang-bayang Alvan dan ciuman itu dari kepalanya. Dia berharap akan amnesia sementara agar bisa melupakan kejadian itu, tapi siapa pun tahu hal itu tak mungkin terjadi. Untuk ke sekian kalinya, Amanda merasa menyes
Merasa tidak bisa terus-terusan merasa canggung dan tidak nyaman, Amanda berpikir harus segera berbicara serius dengan cowok itu. Meluruskan kesalahpahaman di antara mereka dan menghapus pikiran jelek Alvan tentang Amanda. Pada jam istirahat, Amanda mengajak Alvan ke balkon lantai dua tempat dulu mereka pernah mengobrol bersama. Tempat itu sering sepi saat jam istirahat seperti ini, karena sebagian besar penghuninya sedang menyerbu kantin-kantin yang berada di lantai dasar. Jadi pembicaraan mereka akan aman tanpa khawatir didengar orang lain. “Ada apa, sih?” tanya Alvan dengan sikap dinginnya. Amanda berdiri berhadapan dengan Alvan, dan sempat beberapa kali menghela napas dulu untuk memulai pembicaraan yang penting itu. Menghadapi Alvan memang membutuhkan ketenangan diri agar tidak sampai terbawa emosi kalau-kalau cowok itu tiba-tiba marah. Meskipun Amanda lebih sering terpancing emosi, tapi untuk kali ini Amanda tidak mau sampai hal itu terjadi. “Gue ngajak lo ke sini karen
“Tadi Kak Clara bilang sudah bertemu dia? Apa orang itu yang Kakak maksudkan?” Meskipun tadi sudah berhasil mendengar dan bisa mengambil kesimpulan sendiri, namun Amanda merasa masih harus memastikannya sendiri pada Clara. Dia abaikan seluruh tubuhnya yang mendadak merasa merinding saat tadi dia dengar ucapan Clara. Clara semakin gugup dan bingung. Kalau dia berkata bohong, dia tahu Amanda tidak akan mungkin bisa percaya karena dia yakin melihat ekspresi wajahnya ini sepertinya Amanda sudah mendengar semuanya. Dan hanya orang bodoh yang tidak mengerti apa yang tadi diucapkannya. Clara tahu Amanda sudah tahu semuanya dan mungkinkah inilah saatnya dia mengatakan yang sebenarnya? “Kak Clara kenapa diem aja, sih? Jawab pertanyaan aku, Kak! Kakak ketemu sama siapa?” tuntut Amanda. Clara masih terdiam, masih ragu apa dia harus menjawab pertanyaan itu apa tidak. Amanda menatap ke makam Aldy sebentar, lalu kembali menatap wajah bingung Clara. “Aku yakin tadi Kak Clara bilang kalo Kakak
Kebenaran yang Amanda dengar hari ini terus terbayang di kepalanya sampai malam harinya. Alvan yang memiliki jantung Aldy? Sekarang Amanda tahu kenapa jantungnya selalu berdebar-debar tidak karuan saat dia berada sangat dekat dengan cowok itu. Rupanya karena ini alasannya. Amanda merasakan jantung Aldy berada di tubuh Alvan. Jantung yang sudah lebih dulu dia kenal sebelum dia mengenal Alvan. Bagaimana mungkin Amanda tidak pernah menyadarinya selama ini? Mungkinkah karena Amanda sudah mulai bisa menerima kepergian Aldy? Tentu saja selama satu tahun dia selalu berusaha untuk menerima semuanya demi menepati janjinya pada Aldy untuk melanjutkan hidup dan berbahagia terus. Tapi tetap saja, bagaimana mungkin Amanda bisa bahagia sepenuhnya jika tanpa Aldy? Amanda rebahan di tempat tidurnya sambil memeluk gulingnya. Amanda teringat satu tahun yang lalu dia datang ke rumah sakit dengan masih mengenakan kostum teater. Dia tidak peduli dan tidak sempat mengganti baju. Begitu Raisa – sahab
Amanda benar-benar serius mau menghindari Alvan. Dia selalu melakukan segala cara agar tidak bertemu langsung dengan cowok itu. Saat dia berada di kantin, dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Natasha dan Benny begitu melihat Alvan datang. Lalu juga saat di perpustakaan, Amanda tidak jadi masuk karena sudah melihat Alvan ada di sana lebih dulu. Saat pulang sekolah, Amanda selalu buru-buru keluar duluan sebelum teman-teman yang lain. Kemudian kalau waktu si kembar tidak bisa jemput, Amanda tidak akan nekat naik bus lagi karena pasti bertemu Alvan di sana. Amanda lebih memilih mencari tumpangan teman-temannya yang kebetulan bawa motor atau pun jalan kaki beratus-ratus meter untuk menemukan ojek atau taksi. Dan hal ini sudah berlangsung selama satu minggu. Satu minggu Amanda tidak pernah menatap wajah Alvan. Alvan pun juga kebingungan melihat sikap Amanda ini. Apalagi semua teman-teman sekelas dan Benny serta Natasha tentunya. Natasha sudah berkali-kali mencoba menanyai Am