Benny langsung berusaha melarikan diri dengan berlari keliling kelas mencari jalan keluar karena pintu masuk dipenuhi banyak cewek yang siap ‘membunuhnya’. “TANGKAP DIA!” ujar salah seorang cewek memberi komando pada teman-temannya untuk mengejar Benny. Aksi kejar-kejaran pun terjadi di dalam kelas, dan membuat suasana kelas menjadi gaduh. Sampai pada akhirnya Benny bisa keluar kelas dan semua cewek pemburu itu pun keluar kelas untuk mengejar Benny. Kelihatannya mereka tidak akan menyerah sebelum berhasil menangkap Benny dan membuatnya babak belur. “Ini sebenernya ada apaan, sih?” Amanda bertanya pada Alvan, berharap cowok itu akan menjawabnya. “Van, lo tahu kenapa si Benny kayak gitu?” “Ya mana gue tahu? Lo tanya aja sendiri sama orangnya noh!” ujar Alvan malas membicarakan tentang Benny. “Gue lagi kesel sama dia gara-gara ngeronda semalaman di depan rumah orang kayak orang nggak waras.” “Apa?” baru kali ini Amanda mendengar tentang masalah itu. “Ngeronda? Siapa? Lo
Amanda dan Benny tersenyum ada maunya di depan Alvan. Alvan tidak sendirian di sana, dia bersama dengan Amanda dan Benny yang tiba-tiba datang lagi-lagi tanpa diundang dan diharapkan. Awalnya Alvan mengusir mereka begitu melihat wajah kedua temannya itu di depan rumahnya, tapi Nayla---sang mama tiri tiba-tiba muncul dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Mereka pun dipersilahkan masuk dan diberi minuman. Tambah betah aja mereka berdua dan tidak akan pulang dalam waktu dekat , karena Alvan tahu mereka pasti datang karena maksud tertentu. Kelihatan sekali dari ekspresi mereka yang tidak seperti biasanya. Apalagi Amanda. Tumben sekali dia tersenyum di depan Alvan. Biasanya melotot-melotot melulu. Semakin memperkuat dugaan kalau mereka berdua memang ‘ADA MAUNYA’. “Nyokap lo baik banget, Van,” kata Benny sambil meneguk segelas jus buah yang disuguhkan Mama. Amanda ngangguk-angguk setuju. “Bener, bener.” “Ben, lo ngapain sih datang-dateng ke sini lagi?” tanya Alvan jut
“Gue bakal ngelakuin apa aja demi sahabat-sahabat gue,” Amanda menambahkan. “Masalah mereka itu masalah gue juga. Jadi kalo mereka ada masalah, gue harus bisa bantu nyeleseinnya. Lo mau bantuin kita kan, Van? Mau ya? Ya? Ya?” Alvan semakin ‘terpikat’ dengan keimutan yang berhasil dibuat oleh Amanda. Dan dia semakin kesal. “Kenapa gue harus peduli? Itu kan masalah mereka. Gue nggak mau ikut campur.” “PLEASE!!!” Amanda masih belum menyerah dengan wajah imutnya terus ‘menyerang’ Alvan sampai cowok itu bertekuk lutut. Tidak tahan lagi melihat wajah Amanda yang sok imut itu, Alvan pun berdiri dan menatap Amanda dengan kesal. “Lo ....” tunjuk Alvan. “Berhenti bersikap kayak gitu di depan gue! Sekali lagi lo masang tampang menggelikan kayak gitu, gue bakal pukul lo.” Amanda ikutan berdiri dan wajah imutnya semakin menjadi-jadi karena dia belum menyerah. “Alvan, gue mohon sama lo. Bantuin kita, ya? Ya? Ya?” Alvan paling kesal dalam situasi seperti ini. Sebenarnya dia tidak mau tap
Ternyata Natasha pergi ke mal hari ini. Dia janjian dengan seorang cowok di sana dan mereka pun cipika-cipiki begitu bertemu di depan mal. Amanda yang bersembunyi di belakang taman bunga melihatnya dengan menggunakan teropong mini, Alvan berdiri di sebelahnya dengan muka bête dan ogah-ogahan. “Waduh ... mereka pake cipika-cipiki segala.” Amanda berbicara sendiri sambil mengintai dengan teropong mininya. Cowok itu memang ganteng, pantas saja Natasha suka. “Untung aja si Benny nggak ikut, kalo dia lihat ceweknya pake acara cium pipi segala sama cowok lain, wuih pasti dia bakalan panas banget.” Alvan tidak peduli dan mulai merasakan kepanasan berada di bawah terik matahari yang mulai meninggi. “Kita bisa masuk sekarang nggak sih, nih? Panas banget di sini.” “Bentar, bentar.” Amanda masih mengintai dengan teropong dan melihat Natasha dan si cowok itu masuk bersama ke dalam mall sambil bergandengan mesra banget. “Ayo kita masuk,” ujarnya memberi aba-aba. Amanda dan Alvan segera m
Mereka berhasil masuk ke dalam kafe dan Amanda langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat mencari-cari keberadaan Natasha. Setelah menemukan dimana sasaran mereka duduk, Amanda langsung menarik lagi Alvan ke salah satu tempat yang agak dekat dengan sasaran agar mereka bisa lebih mudah mengintainya. Mereka duduk berdua di salah satu bangku. Alvan sempat mengamati seluruh ruangan yang luas dan dihias indah itu. Setiap meja hanya ada dua kursi, pertanda yang duduk di sana hanya pasangan-pasangan yang sedang pacaran. Dan kenapa juga dia dan Amanda harus ikut duduk di sana? Mereka kan bukan pasangan. Amanda mengambil buku menu dan menggunakannya sebagai penutup wajah agar nggak dikenali. Tapi saat melihat Alvan yang cuek-cuek bebek tanpa menutupi wajahnya, membuat Amanda kesal dan memukul lengan cowok itu. “Apaan sih?” semprot Alvan kesal. “Tadi lo narik-narik tangan gue mulu? Sekarang mukul tangan gue? Mau lo apa sih, sebenernya?” Amanda melemparkan buku menu yang lain pa
“Cium pacarnya, dong.” Para pelanggan yang lain semakin antusias menyoraki mereka. Sementara yang disoraki malah kebingungan. Pacaran saja tidak, kenapa mereka harus saling mencium? Ini benar-benar gila dan mereka berdua tidak akan mungkin melakukannya kecuali mereka memang gila. “Cium ... Cium ... Cium ... Cium!” Semua pengunjung sekarang jadi kompak banget untuk menyuruh Amanda dan Alvan ciuman. Kenapa mereka harus melakukan itu, sih? Amanda menatap Alvan takut-takut. Terlihat cowok itu juga bingung dan mungkin grogi juga dengan sorakan orang-orang yang membuat suasana menjadi awkward itu. Tapi anehnya, cowok itu tetap terlihat santai di mata Amanda. Alvan gugup banget hanya dengan memikirkan bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi, sementara Amanda yang pikirannya terbagi menjadi dua antara cepat mengejar Natasha atau tetap berada di tempat itu tanpa mengakhiri semua ini. Mereka berdua hanya diam dan kebingungan, sedangkan semua orang terus menyoraki dan mereka tida
Amanda masih saja tidak bisa melupakan ciumannya dengan Alvan tadi siang di kafe. Tidak. Bukan ciuman tapi Amanda yang menciumnya. Mengingat hal itu membuat Amanda tidak bisa tidur semalaman ini. Dia terus mengubah posisi tidurnya dengan segala macam posisi agar cepat terlelap, namun gagal. Bayang-bayang dirinya yang mencium Alvan masih terus terngiang di pikirannya. Amanda benar-benar kesal karena dia terus gagal untuk tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, kalau dia tidak segera tidur besok dia bisa terlambat ke sekolah dan masalah akan semakin bertambah untuknya. Karena kesal dengan dirinya sendiri, Amanda memutuskan untuk bangun saja. Dia memukul-mukul kepalanya dengan guling kesayangannya yang selalu menemani tidurnya tiap malam. Berusaha mengusir bayang-bayang Alvan dan ciuman itu dari kepalanya. Dia berharap akan amnesia sementara agar bisa melupakan kejadian itu, tapi siapa pun tahu hal itu tak mungkin terjadi. Untuk ke sekian kalinya, Amanda merasa menyes
Merasa tidak bisa terus-terusan merasa canggung dan tidak nyaman, Amanda berpikir harus segera berbicara serius dengan cowok itu. Meluruskan kesalahpahaman di antara mereka dan menghapus pikiran jelek Alvan tentang Amanda. Pada jam istirahat, Amanda mengajak Alvan ke balkon lantai dua tempat dulu mereka pernah mengobrol bersama. Tempat itu sering sepi saat jam istirahat seperti ini, karena sebagian besar penghuninya sedang menyerbu kantin-kantin yang berada di lantai dasar. Jadi pembicaraan mereka akan aman tanpa khawatir didengar orang lain. “Ada apa, sih?” tanya Alvan dengan sikap dinginnya. Amanda berdiri berhadapan dengan Alvan, dan sempat beberapa kali menghela napas dulu untuk memulai pembicaraan yang penting itu. Menghadapi Alvan memang membutuhkan ketenangan diri agar tidak sampai terbawa emosi kalau-kalau cowok itu tiba-tiba marah. Meskipun Amanda lebih sering terpancing emosi, tapi untuk kali ini Amanda tidak mau sampai hal itu terjadi. “Gue ngajak lo ke sini karen