Benny nyengir-nyengir kuda. Sekarang ini dia sedang berdiri di depan Alvan. Mereka berada di ruang tamu rumah Alvan. “Tanya sama Pak Geral.” Oke. Pertanyaan yang satu itu tidak penting lagi untuk dibahas kelanjutannya. Sekarang beralih ke pertanyaan berikutnya yang jauh lebih penting daripada keingintahuan Alvan tentang dari mana Benny tahu alamat rumahnya. “Lo tahu ini jam berapa?” Benny celingak-celinguk kebingungan layaknya orang bego. Kemudian dia tersenyum senang telah menemukan apa yang dia cari. Sebuah jam dinding terpajang di dinding tepat di sebelah foto keluarga Alvan. Jarum jam menunjukkan pukul 22.30 WIB. “Jam setengah sebelas,” jawab Benny tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Di luar gelap nggak?” Benny kembali kebingungan karena Alvan menanyakan hal-hal yang aneh. Apalagi kali ini jauh lebih aneh. “Ya jelas gelap lah, Van. Ini kan malam.” “Lo tahu ini udah malam, dan udah jam setengah sebelas. Ngapain lo datengin rumah gue malem-malem kayak gini?” sudah tida
Di rumah Natasha yang sunyi senyap di malam hari, terlihat dua orang sedang bersembunyi di balik dinding pagar yang tinggi. Mereka memakai baju serba hitam dan bahkan mengenakan kain sarung sebagai penutup kepala. Benny dan Alvan sedang berjongkok di depan rumah Natasha untuk mulai menjalankan misi gila Benny yang ingin mengintai rumah pacarnya itu. Benny tampak serius sekali mengamati rumah besar berlantai dua itu, sementara Alvan duduk di sebelahnya dengan muka ogah-ogahan. Alvan berkali-kali mengecek jam tangannya dan hari sudah semakin larut malam tapi cowok yang kata Benny akan datang sampai sekarang belum datang-datang juga. Alvan yang awalnya memang malas ikut, menjadi semakin bad mood karena terlalu lama menunggu. “Ben, masih lama nggak sih, kita di sini?” tanya Alvan sambil menampar-nampar pipinya sendiri yang dihinggapi oleh nyamuk. “Udah jam dua belas malem, nih. Mau sampe kapan kita di sini kayak orang kurang kerjaan? Gue nggak mau sampe dikira maling sama warg
Benny langsung berusaha melarikan diri dengan berlari keliling kelas mencari jalan keluar karena pintu masuk dipenuhi banyak cewek yang siap ‘membunuhnya’. “TANGKAP DIA!” ujar salah seorang cewek memberi komando pada teman-temannya untuk mengejar Benny. Aksi kejar-kejaran pun terjadi di dalam kelas, dan membuat suasana kelas menjadi gaduh. Sampai pada akhirnya Benny bisa keluar kelas dan semua cewek pemburu itu pun keluar kelas untuk mengejar Benny. Kelihatannya mereka tidak akan menyerah sebelum berhasil menangkap Benny dan membuatnya babak belur. “Ini sebenernya ada apaan, sih?” Amanda bertanya pada Alvan, berharap cowok itu akan menjawabnya. “Van, lo tahu kenapa si Benny kayak gitu?” “Ya mana gue tahu? Lo tanya aja sendiri sama orangnya noh!” ujar Alvan malas membicarakan tentang Benny. “Gue lagi kesel sama dia gara-gara ngeronda semalaman di depan rumah orang kayak orang nggak waras.” “Apa?” baru kali ini Amanda mendengar tentang masalah itu. “Ngeronda? Siapa? Lo
Amanda dan Benny tersenyum ada maunya di depan Alvan. Alvan tidak sendirian di sana, dia bersama dengan Amanda dan Benny yang tiba-tiba datang lagi-lagi tanpa diundang dan diharapkan. Awalnya Alvan mengusir mereka begitu melihat wajah kedua temannya itu di depan rumahnya, tapi Nayla---sang mama tiri tiba-tiba muncul dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Mereka pun dipersilahkan masuk dan diberi minuman. Tambah betah aja mereka berdua dan tidak akan pulang dalam waktu dekat , karena Alvan tahu mereka pasti datang karena maksud tertentu. Kelihatan sekali dari ekspresi mereka yang tidak seperti biasanya. Apalagi Amanda. Tumben sekali dia tersenyum di depan Alvan. Biasanya melotot-melotot melulu. Semakin memperkuat dugaan kalau mereka berdua memang ‘ADA MAUNYA’. “Nyokap lo baik banget, Van,” kata Benny sambil meneguk segelas jus buah yang disuguhkan Mama. Amanda ngangguk-angguk setuju. “Bener, bener.” “Ben, lo ngapain sih datang-dateng ke sini lagi?” tanya Alvan jut
“Gue bakal ngelakuin apa aja demi sahabat-sahabat gue,” Amanda menambahkan. “Masalah mereka itu masalah gue juga. Jadi kalo mereka ada masalah, gue harus bisa bantu nyeleseinnya. Lo mau bantuin kita kan, Van? Mau ya? Ya? Ya?” Alvan semakin ‘terpikat’ dengan keimutan yang berhasil dibuat oleh Amanda. Dan dia semakin kesal. “Kenapa gue harus peduli? Itu kan masalah mereka. Gue nggak mau ikut campur.” “PLEASE!!!” Amanda masih belum menyerah dengan wajah imutnya terus ‘menyerang’ Alvan sampai cowok itu bertekuk lutut. Tidak tahan lagi melihat wajah Amanda yang sok imut itu, Alvan pun berdiri dan menatap Amanda dengan kesal. “Lo ....” tunjuk Alvan. “Berhenti bersikap kayak gitu di depan gue! Sekali lagi lo masang tampang menggelikan kayak gitu, gue bakal pukul lo.” Amanda ikutan berdiri dan wajah imutnya semakin menjadi-jadi karena dia belum menyerah. “Alvan, gue mohon sama lo. Bantuin kita, ya? Ya? Ya?” Alvan paling kesal dalam situasi seperti ini. Sebenarnya dia tidak mau tap
Ternyata Natasha pergi ke mal hari ini. Dia janjian dengan seorang cowok di sana dan mereka pun cipika-cipiki begitu bertemu di depan mal. Amanda yang bersembunyi di belakang taman bunga melihatnya dengan menggunakan teropong mini, Alvan berdiri di sebelahnya dengan muka bête dan ogah-ogahan. “Waduh ... mereka pake cipika-cipiki segala.” Amanda berbicara sendiri sambil mengintai dengan teropong mininya. Cowok itu memang ganteng, pantas saja Natasha suka. “Untung aja si Benny nggak ikut, kalo dia lihat ceweknya pake acara cium pipi segala sama cowok lain, wuih pasti dia bakalan panas banget.” Alvan tidak peduli dan mulai merasakan kepanasan berada di bawah terik matahari yang mulai meninggi. “Kita bisa masuk sekarang nggak sih, nih? Panas banget di sini.” “Bentar, bentar.” Amanda masih mengintai dengan teropong dan melihat Natasha dan si cowok itu masuk bersama ke dalam mall sambil bergandengan mesra banget. “Ayo kita masuk,” ujarnya memberi aba-aba. Amanda dan Alvan segera m
Mereka berhasil masuk ke dalam kafe dan Amanda langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat mencari-cari keberadaan Natasha. Setelah menemukan dimana sasaran mereka duduk, Amanda langsung menarik lagi Alvan ke salah satu tempat yang agak dekat dengan sasaran agar mereka bisa lebih mudah mengintainya. Mereka duduk berdua di salah satu bangku. Alvan sempat mengamati seluruh ruangan yang luas dan dihias indah itu. Setiap meja hanya ada dua kursi, pertanda yang duduk di sana hanya pasangan-pasangan yang sedang pacaran. Dan kenapa juga dia dan Amanda harus ikut duduk di sana? Mereka kan bukan pasangan. Amanda mengambil buku menu dan menggunakannya sebagai penutup wajah agar nggak dikenali. Tapi saat melihat Alvan yang cuek-cuek bebek tanpa menutupi wajahnya, membuat Amanda kesal dan memukul lengan cowok itu. “Apaan sih?” semprot Alvan kesal. “Tadi lo narik-narik tangan gue mulu? Sekarang mukul tangan gue? Mau lo apa sih, sebenernya?” Amanda melemparkan buku menu yang lain pa
“Cium pacarnya, dong.” Para pelanggan yang lain semakin antusias menyoraki mereka. Sementara yang disoraki malah kebingungan. Pacaran saja tidak, kenapa mereka harus saling mencium? Ini benar-benar gila dan mereka berdua tidak akan mungkin melakukannya kecuali mereka memang gila. “Cium ... Cium ... Cium ... Cium!” Semua pengunjung sekarang jadi kompak banget untuk menyuruh Amanda dan Alvan ciuman. Kenapa mereka harus melakukan itu, sih? Amanda menatap Alvan takut-takut. Terlihat cowok itu juga bingung dan mungkin grogi juga dengan sorakan orang-orang yang membuat suasana menjadi awkward itu. Tapi anehnya, cowok itu tetap terlihat santai di mata Amanda. Alvan gugup banget hanya dengan memikirkan bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi, sementara Amanda yang pikirannya terbagi menjadi dua antara cepat mengejar Natasha atau tetap berada di tempat itu tanpa mengakhiri semua ini. Mereka berdua hanya diam dan kebingungan, sedangkan semua orang terus menyoraki dan mereka tida