"Wah, enak banget makanannya," puji Caca dan segera duduk di kursi meja makan.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar masakanku dipuji oleh adik iparku. Dan tak berapa lama kemudian, Caca pun memanggil ibunya untuk makan bersama, sementara aku juga berniat untuk duduk dan makan bersama mereka.
"Ayo, Bu. Kita makan dulu."
"Iya, Sayang."
Mereka pun menyantap makanan buatanku dengan begitu lahap, sedangkan aku kini sudah duduk di sebuah kursi kosong yang ada di samping Caca.
"Kamu ngapain duduk di situ?" tanya ibu mertuaku lengkap dengan tatapan mematikannya.
Aku langsung tersentak kaget dan senyum tipis yang sempat kuukir tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi.
"Aku mau makan sama kalian," jawabku dengan terbata sambil menatap Caca dan ibu mertuaku secara bergantian.
Caca langsung menahan tawanya yang hampir lepas sambil memutar bola matanya ketika menatapku, sedangkan ibu mertua langsung menatapku dengan tatapan sinis sambil berkata, "Makan dengan kami? Heh ... mending kamu makan di tempat lain aja, lihat noh si Aira nangis di luar."
Hatiku bagai disayat-sayat mendengar ucapan mereka, mungkin bagi mereka ini adalah hal yang biasa, tetapi bagiku ini adalah hal yang sangat menyakitkan. Ingin rasanya air mataku tumpah detik itu juga karena mereka mengusirku begitu saja, tetapi aku masih berusaha kuat dan memilih meninggalkan meja makan itu.
Aku berjalan menuju ruang keluarga dengan sebuah piring berisi makanan di tanganku. Padahal, saat ini Aira tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia hanya sibuk bermain di ruang keluarga dengan boneka kesayangannya.
"Ya tuhan ... mau sampai kapan aku seperti ini? Kapan keberadaanku dianggap?" gumamku dengan lirih.
Aku mengunyah makanan itu dengan pelan sambil meneteskan air mata. Padahal, makanannya terasa nikmat, tetapi kenapa bagiku sangat hambar. Hampir setiap hari batin dan mentalku dihajar oleh suamiku dan keluarganya. Ada rasa ingin menyerah, tetapi aku juga tidak tega melihat anakku memiliki orang tua yang berpisah.
***
Waktu terus berlalu dan tak terasa kini malam telah tiba. Mas Rendy juga baru pulang kerja dan langsung membaringkan tubuhnya begitu saja.
"Mas, kamu udah pulang. Aku siapkan air hangat dulu ya," ucapku dengan antusias.
"Hemm ..."
Seperti biasa, Mas Rendy hanya bergumam tanpa menatapku dan hal itu yang lagi-lagi membuatku menghela nafas panjang. Aku tidak mau protes lagi, dan lebih memilih berjalan menuju kamar mandi menyiapkan semuanya untuk Mas Rendy.
Setelah semuanya sudah selesai, aku pun keluar dan berjalan menghampiri Mas Rendy, "Mas, airnya udah siap. Sana mandi, aku mau buatkan kamu jahe hangat dulu."
Tanpa sepatah kata, ia berlalu begitu saja menuju kamar mandi. Aku hanya bisa diam dan menatap punggungnya hingga menghilang dari pandanganku.
"Kamu kok semakin hari semakin berubah sih, Mas? Apa lagi kesalahan yang aku perbuat sampai kamu berubah seperti itu?" gumamku dan segera berjalan ke dapur untuk membuatkan Mas Rendy minuman jahe hangat.
Aku benar-benar tak habis pikir dengan sikap suamiku dan keluarganya yang semakin hari semakin membenciku saja, padahal aku sendiri tidak mengetahui di mana letak kesalahanku. Apa karena aku tidak memiliki pekerjaan?
Hatiku benar-benar sakit ketika mengingat itu semua karena sebelumnya mereka memang sangat damai kepadaku sebelum kejadian naas itu menimpaku. Mereka semakin berubah ketika mengetahui kalau aku sudah tidak memiliki tabungan lagi.
Aku yang dulu sangat disayangi dan dimanja, kini malah berbanding terbalik. Mereka malah menghinaku habis-habisan dan lebih parahnya menyangkutpautkan pendidikanku dengan keadaanku saat ini.
Cukup lama aku melamun di dapur mengingat kenangan indah bersama mereka. Kebersamaan yang terjalin begitu baik di mana aku bisa merasakan kebahagiaan bersama mereka, tetapi sekarang malah berbanding terbalik.
"Huh ... sudahlah, mungkin ini sudah jalannya. Mungkin aku perlu banyak bersabar aja agar tidak tersinggung dengan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya," ucapku yang terus mensugesti diri sendiri ke hal-hal yang lebih positif.
"Mungkin, sudah saatnya aku harus berusaha lagi untuk bisa bekerja seperti semula. Semakin Aira besar, maka kebutuhannya juga akan semakin besar. Aku tidak bisa kalau hanya mengandalkan gaji dari Mas Rendy saja, apalagi ia begitu pelit," jelasku lagi.
Aku kembali berjalan menuju kamar dengan secangkir jahe hangat di tanganku. Sampai saat ini, Mas Rendy belum juga keluar dari kamar mandi. Aku pun meletakkan minuman itu di atas meja dan berjalan mendekati lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hanya sebuah kaos oblong berwarna putih dan celana pendek yang aku ambil.
Namun saat aku hendak menyimpan pakaian ganti Mas Rendy di atas tempat tidur, tiba-tiba saja ponsel Mas Rendy berbunyi pertanda ada panggilan yang masuk. Aku sedikit ragu untuk mengangkatnya karena menghargai privasi suamiku. Beberapa kali aku melihat ke arah kamar mandi, tetapi Mas Rendy belum juga keluar.
"Apa aku angkat aja? Siapa tau penting," gumamku sambil meraih benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
Aku melihat sejenak ke arah pintu kamar mandi, tetapi belum ada tanda-tanda kalau Mas Rendy akan keluar. Aku pun mengambil benda pipih itu dan melihat nama "Wilson" di sana. Sebuah nama yang menurutku sangat asing.
"Wilson? Apa ini temannya?" gumamku sambil mengerutkan kening.
Hingga pada akhirnya, akupun memutuskan untuk menjawab panggilan itu karena takutnya itu adalah hal penting. Akupun menggeser tombol hijau pada benda pipih itu dan mendekatkannya pada daun telinga.
"Halo," sapaku dengan pelan.
["Halo, Sayang. Eh, ini siapa ya?"] balas seorang wanita dari seberang sana.
Mendengar suara wanita, seketika tubuhku lemas seolah tidak ada lagi tenaga di dalamnya. Hati dan pikiranku mulai tak karuan dan segala macam pikiran negatif itu berputar di kepalaku.
"Siapa wanita ini? Kenapa dia memanggil dengan sebutan kata sayang?" gumamku dengan tangan yang gemetar.
Aku seolah tidak sanggup untuk mendekatkan kembali benda pipih itu pada daun telingaku. Hatiku sangat sakit bagai diterpa ribuan beda tajam, meskipun aku belum tahu ada hubungan apa wanita itu dengan Mas Rendy.
["Halo, ini siapa ya? Halo?"] ucap wanita itu lagi dari dalam telepon.
Aku langsung menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan agar bisa bertanya lebih detai mengenai siapa sebenarnya sosok wanita itu dan apakah ada hubungan dengan Mas Rendy atau tidak?
Setelah merasa lebih tenang, ia pun mendekatkan kembali benda pipih itu pada daun telinganya dan dengan hati dan pikiran yang tak karuan, ia memaksakan diri untuk bertanya pada wanita itu secara langsung.
"Halo, Mbak. Maaf sebelumnya? Mbak ini siapa ya? Kok malam-malam begini nelpon ke nomor suami saya?" tanyaku dengan nada pelan.
Belum sempat wanita itu menjawab, tetapi tiba-tiba saja ponsel Mas Rendy direbut yang justru membuatku tersentak kaget.
"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. "Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. "Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku?
Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga. Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja. "Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam. "Iya, Bu." "Kerja apa?" Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku. "Buruh cuci, Bu." "Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjanan
Wanita tua itu hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Hehe, begitupun dengan Ibu, Nak. Tetapi, semakin lama Ibu juga mulai terbiasa dengan rasa sepi ini." Aku kembali tersenyum memberikan semangat pada Ibu Maria. Sangat kasihan karena ternyata dia memendam lukanya seorang diri. Ditambah lagi dengan dirinya yang hanya tinggal sendiri membuat ia semakin kesepian. "Ibu tenang saja, aku akan tetap bekerja sama Ibu jika Ibu berkenan menerima aku. aku akan selalu menemani Ibu," ucapku dengan penuh keyakinan. "Terima kasih, Nak. Pasti, selama kamu ada di sini, hidup Ibu jadi sedikit lebih berwarna." Aku hanya tersenyum dan segera melanjutkan makanku. Kini suasana menjadi hening, tak ada lagi obrolan di antara kami. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar karena kami fokus menikmati santapan makan siang itu. Setelah beberapa lama, akhirnya kami selesai juga makan siang. Aku langsung membersihkan meja makan itu lalu mencuci piring, meskipun awalnya Ibu Maria menolak karena
"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis. Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.***"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga. Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku."Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku. "Nggak tau.""Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh.""kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus. Lagi-lagi aku hanya menghela nafas ke
"Ceritanya panjang. Pokoknya nyesek banget kalau aku harus ceritain sekarang."Indah, merupakan sahabat Mira sejak duduk di bangku SMA. Selama ini, segala macam kisah hidup Mira diketahui oleh Indah, namun semenjak Mira menikah, mereka jadi jarang bersama lagi karena sibuk dengan urusan masing-masing.Indah yang saat ini masih berstatus single dan kerja di perusahaan ternama membuat ia jadi jarang punya banyak waktu untuk nongkrong. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan bekerja.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku dan Indah sampai juga di restoran ternama yang kebanyakan dikunjungi oleh konglomerat saja. Sebenarnya, aku sempat tidak percaya bahwa Mas Rendy ada dalam restoran itu karena selama aku sama dia, dia tidak pernah ke sana dnegan alasan bayaran yang cukup fantastis."Apa kamu yakin Mas Rendy ada di sini?" tanyaku seolah tak percaya."Iya, Mira. Soalnya tadi aku makan di dalam sama rekan kerjaku, eh lihat dia dong sama cewek."Sebelum masuk ke restoran itu, aku
PLAKKK ...Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi hingga satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah Mas Rendy. Hal itu yang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahku, sedangkan wajah Mas Rendy kini kian memerah. Saat ia hendak melayangkan pukulan kepadaku, tiba-tiba saja Angel menahannya."SIALAN!""Mas, udah. Jangan buat keributan di sini, malu diliatin orang," ucap Angel sambil menahan lengan Mas Rendy.Seketika raut wajah Mas Rendy berubah melihat wanita itu, terlihat sangat penurut dan persis dengan apa yang dilakukan dulu padaku sebelum nasib naas itu menimpaku."Lagian, kamu jadi istri sadar diri juga dong. Kalau udah gak diminati sama suami ya mending pergi aja, berikan dia kebebasan," ucap Angel kemudian sambil mendorong tubuhku.Saat aku hendak menjambak rambut wanita itu, tiba-tiba saja Indah sahabatku datang dan menahanku. Memang, ini sungguh sangat memalukan karena berdebat di tempat umum yang mungkin membuat orang lain merasa tidak nyaman."Mira, u
“Mas, minta uang! Popok dan susu Aira udah habis,” pintaku.“Apa? Aku kan sudah kasi kamu uang seminggu yang lalu, apa itu belum cukup?” jawab Mas Rendy dengan nada tegasnya.“Kamu kasi aku 300 ribu, Mas. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.”“Kamu ini kalau belanja jangan boros, itu aku kasi kamu jatah untuk sebulan!”Dengan reflek, aku langsung mengerutkan kening mendengar pernyataan Mas Rendy. Bukan karena aku tak bersyukur, tetapi nominal uang segitu memang hanya cukup untuk beberapa hari saja. Belum lagi memenuhi kebutuhan anak.“Mas, itu hanya cukup untuk dua hari, belum lagi kebutuhan Aira. Kamu kan tahu kalau sekarang bahan pokok itu naik dan kamu kasi aku uang 300 ribu untuk sebulan? Ke mana gaji kamu semuanya?” protesku.Kali ini aku benar-benar geram pada Mas Rendy. Sudah cukup lama aku sabar menghadapi sikapnya seperti itu yang selalu memberiku uang bulanan hanya beberapa persen saja dari gajinya.“Aku juga punya kebutuhan lain, Mira. Aku mau nongkrong sama tema
Aku masih tidak menyangka ibu mertuaku akan berlaku seperti itu padaku. Padahal, aku sudah membantunya sewaktu kesusahan dulu, tetapi kenapa sekarang dia tidak membantuku disaat kesusahan seperti ini?Apa dia cuma pencitraan di depan Mas Rendy? Aku sangat kecewa dalam hati, padahal saat ini aku sedang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan Aira, anakku. Aku memilih duduk sejenak di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong dan tanpa kusadari, air mataku bergulir begitu saja."Terus, aku harus bagaimana sekarang? Susu dan popok Aira sudah habis."Aku terus menatap wajah lugu anakku yang sedang tertidur pulas. Hingga tak berapa lama kemudian, aku memutuskan untuk menghampiri ibu mertuaku. Dengan terpaksa aku menurunkan gengsiku.Langkahku semakin kupercepat saat melihat ibu mertuaku duduk santai di ruang keluarga menikmati acara televisi."Semoga saja Ibu mau memberikan uang itu lagi. Kalau memang harus dipinjam, gak apa-apa. Nanti setelah Mas Rendy gajian aku bayar," ucapku dengan nada pe
PLAKKK ...Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi hingga satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah Mas Rendy. Hal itu yang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahku, sedangkan wajah Mas Rendy kini kian memerah. Saat ia hendak melayangkan pukulan kepadaku, tiba-tiba saja Angel menahannya."SIALAN!""Mas, udah. Jangan buat keributan di sini, malu diliatin orang," ucap Angel sambil menahan lengan Mas Rendy.Seketika raut wajah Mas Rendy berubah melihat wanita itu, terlihat sangat penurut dan persis dengan apa yang dilakukan dulu padaku sebelum nasib naas itu menimpaku."Lagian, kamu jadi istri sadar diri juga dong. Kalau udah gak diminati sama suami ya mending pergi aja, berikan dia kebebasan," ucap Angel kemudian sambil mendorong tubuhku.Saat aku hendak menjambak rambut wanita itu, tiba-tiba saja Indah sahabatku datang dan menahanku. Memang, ini sungguh sangat memalukan karena berdebat di tempat umum yang mungkin membuat orang lain merasa tidak nyaman."Mira, u
"Ceritanya panjang. Pokoknya nyesek banget kalau aku harus ceritain sekarang."Indah, merupakan sahabat Mira sejak duduk di bangku SMA. Selama ini, segala macam kisah hidup Mira diketahui oleh Indah, namun semenjak Mira menikah, mereka jadi jarang bersama lagi karena sibuk dengan urusan masing-masing.Indah yang saat ini masih berstatus single dan kerja di perusahaan ternama membuat ia jadi jarang punya banyak waktu untuk nongkrong. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan bekerja.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku dan Indah sampai juga di restoran ternama yang kebanyakan dikunjungi oleh konglomerat saja. Sebenarnya, aku sempat tidak percaya bahwa Mas Rendy ada dalam restoran itu karena selama aku sama dia, dia tidak pernah ke sana dnegan alasan bayaran yang cukup fantastis."Apa kamu yakin Mas Rendy ada di sini?" tanyaku seolah tak percaya."Iya, Mira. Soalnya tadi aku makan di dalam sama rekan kerjaku, eh lihat dia dong sama cewek."Sebelum masuk ke restoran itu, aku
"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis. Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.***"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga. Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku."Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku. "Nggak tau.""Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh.""kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus. Lagi-lagi aku hanya menghela nafas ke
Wanita tua itu hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Hehe, begitupun dengan Ibu, Nak. Tetapi, semakin lama Ibu juga mulai terbiasa dengan rasa sepi ini." Aku kembali tersenyum memberikan semangat pada Ibu Maria. Sangat kasihan karena ternyata dia memendam lukanya seorang diri. Ditambah lagi dengan dirinya yang hanya tinggal sendiri membuat ia semakin kesepian. "Ibu tenang saja, aku akan tetap bekerja sama Ibu jika Ibu berkenan menerima aku. aku akan selalu menemani Ibu," ucapku dengan penuh keyakinan. "Terima kasih, Nak. Pasti, selama kamu ada di sini, hidup Ibu jadi sedikit lebih berwarna." Aku hanya tersenyum dan segera melanjutkan makanku. Kini suasana menjadi hening, tak ada lagi obrolan di antara kami. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar karena kami fokus menikmati santapan makan siang itu. Setelah beberapa lama, akhirnya kami selesai juga makan siang. Aku langsung membersihkan meja makan itu lalu mencuci piring, meskipun awalnya Ibu Maria menolak karena
Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga. Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja. "Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam. "Iya, Bu." "Kerja apa?" Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku. "Buruh cuci, Bu." "Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjanan
"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. "Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. "Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku?
"Wah, enak banget makanannya," puji Caca dan segera duduk di kursi meja makan. Aku hanya tersenyum tipis mendengar masakanku dipuji oleh adik iparku. Dan tak berapa lama kemudian, Caca pun memanggil ibunya untuk makan bersama, sementara aku juga berniat untuk duduk dan makan bersama mereka. "Ayo, Bu. Kita makan dulu.""Iya, Sayang."Mereka pun menyantap makanan buatanku dengan begitu lahap, sedangkan aku kini sudah duduk di sebuah kursi kosong yang ada di samping Caca. "Kamu ngapain duduk di situ?" tanya ibu mertuaku lengkap dengan tatapan mematikannya. Aku langsung tersentak kaget dan senyum tipis yang sempat kuukir tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi. "Aku mau makan sama kalian," jawabku dengan terbata sambil menatap Caca dan ibu mertuaku secara bergantian.Caca langsung menahan tawanya yang hampir lepas sambil memutar bola matanya ketika menatapku, sedangkan ibu mertua langsung menatapku dengan tatapan sinis sambil berkata, "Makan dengan kami? Heh ... mending kamu makan
"Ada apa, Nak?" tanyanya dengan muka bingung. "Maaf, Bu kalau kedatangan saya mengganggu, saya hanya mau menawarkan diri, siapa atau ada lowongan pekerjaan di rumah ini, saya siap mengerjakannya, Bu. Apapun itu. Saya butuh uang, Bu," ucapku dengan muka penuh harap. Wanita itu terdiam sejenak sambil menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Entah apa yang dipikirkan wanita itu tentang diriku. "Ada, Nak. Kebetulan Ibu butuh tukang cuci baju, pinggang Ibu sudah gak kuat nih. Jadi, kalau kamu mau, ayo masuk!" ucap wanita itu dengan ramah. Aku langsung tersenyum bahagia sambil menghela nafas lega karena setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Meskipun hanya sebagai buruh cuci, tetapi aku sudah sangat mensyukurinya. Kami pun berjalan memasuki rumah yang cukup luas itu. Rumah itu memang luas, tetapi nampak sepi. Tak ada seorang pun yang aku lihat dalam rumah itu selain wanita paruh baya tersebut. "Ini cuciannya, jangan terlalu disikat ya. Dan ini jangan disik
Aku masih tidak menyangka ibu mertuaku akan berlaku seperti itu padaku. Padahal, aku sudah membantunya sewaktu kesusahan dulu, tetapi kenapa sekarang dia tidak membantuku disaat kesusahan seperti ini?Apa dia cuma pencitraan di depan Mas Rendy? Aku sangat kecewa dalam hati, padahal saat ini aku sedang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan Aira, anakku. Aku memilih duduk sejenak di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong dan tanpa kusadari, air mataku bergulir begitu saja."Terus, aku harus bagaimana sekarang? Susu dan popok Aira sudah habis."Aku terus menatap wajah lugu anakku yang sedang tertidur pulas. Hingga tak berapa lama kemudian, aku memutuskan untuk menghampiri ibu mertuaku. Dengan terpaksa aku menurunkan gengsiku.Langkahku semakin kupercepat saat melihat ibu mertuaku duduk santai di ruang keluarga menikmati acara televisi."Semoga saja Ibu mau memberikan uang itu lagi. Kalau memang harus dipinjam, gak apa-apa. Nanti setelah Mas Rendy gajian aku bayar," ucapku dengan nada pe