"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis.
Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.
***
"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga.
Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
"Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku.
"Nggak tau."
"Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh."
"kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus.
Lagi-lagi aku hanya menghela nafas kesal mendengar jawabannya. Bukan karena apa, dari nada bicaranya saja sudah sangat berubah. Ada apa sebenarnya dengan Mas Rendy?
Mas Rendy berlalu begitu saja tanpa pamit dan aku semakin curiga saja dengan gerak-geriknya. Bagaimana tidak, dari penampilan saja sudah sangat beruabah. Sampai pada akhirnya, aku memilih ke kamar untuk memandikan Aira.
Sampai saat ini perasaanku tetap tidak enak dan seolah ingin menangis sejadi-jadinya padahal aku juga tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya.
***
Waktu terus berlalu dan tak terasa kini malam sudah tiba. Seperti biasa, Caca dan Ibu mertuaku makan lebih dulu dan jika ada sisa barulah aku bisa makan, padahal aku yang membuat makanannya.
Di sisi lain aku juga bingung dengan diriku sendiri, apakah aku yang terlalu baik atau justru aku yang terlalu bodoh sampai mereka semena-mena kepadaku?
"Sabar, Mira. Semua akan indah pada waktunya, tenang saja ... suatu saat kamu akan mendapatkan kebahagiaan sebagai balasan dari rasa sakitmu ini."
Aku terus mensugesti diriku agar tetap berpikir positif dan tidak dendam terhadap mereka. Bukan karena aku takut, tetapi karena aku menghargai mereka saja. Aku juga menumpang di rumah ibu mertuaku.
"Mbak, sana makan. Biar Aira aku yang jagain," ucap Caca dan langsung mengambil alih keponakannya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan tanpa sepatah kata. Tanpa menunggu waktu lama lagi, aku langsung berjalan menuju meja makan dan bersiap untuk makan malam. Sampai di sana, betapa terkejutnya aku saat melihat bekas makannya yang sama sekali tidak dibersihkan, makanan yang hanya tersisa beberapa bagian saja.
"Sangat rakus, aku hampir gak kebagian makanan, padahal aku yang masak. Mana bekas makannya gak diberesin," gerutuku dengan kesal sambil membersihkan meja makan itu terlebih dahulu.
Akhirnya, aku hanya makan seadanya. Yang tersisa hanya tempe dan tahu saja juga sayur, semua lauk habis disantap oleh mereka.
Setelah selesai makan, aku langsung berjalan menuju ruang tamu dan mengambil alih Aira untuk menidurkannya. Sampai di dalam kamar, aku langsung melihat benda pipih yang aku letakkan di atas nakas sampaing tempat tidurku.
Aku melihat ada sebuah pesan dari sahabatku, ia mengirim sebuah foto dan dengan cepat aku membukanya. Jantungku seolah berhenti berdetak dan tubuhku melemas saat melihat siapa yang ada dalam foto itu.
Tanpa kusadari, air mataku berlinang bahkan sampai merembes ke pipi. Hatiku sangat hancur seolah dihantam benda tumpul dengan kencang.
Dalam foto yang dikirim oleh Indah, sahabatku terlihat kalau Mas Rendy sedang berada di sebuah restoran berdua dengan seorang wanita.
Tubuhku semakin melemas saja seolah tidak ada tenaga lagi. Aku langsung menatap wajah anakku yang sedang tertidur pulas. Seketika aku jadi merasa bersalah karena salah memilihkan ayah untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti jika ia sudah mengetahui mengenai keburukan ayahnya.
"Maafin Ibu, Nak. Ibu juga gak tega kalau kamu sampai kehilangan kasih sayang ayahmu, hiks ... hiks ... hiks ..."
Aku terus mengusap wajah lugu anakku yang masih tertidur pulas, aku bahkan menangis sesenggukan di sana karena sudah tidak sanggup menahan kesedihanku.
Cukup lama aku meratapi kesedihanku sampai pada akhirnya, aku langsung mengusap air mataku dan bersiap-siap untuk menyusul Mas Rendy.
Aku hanya ingin memastikan kalau ia benar melakukan itu dan jika hal itu benar, maka ada kemungkinan juga aku akan membuat keputusan untuk segera pergi dari hidupnya.
Sebelum meninggalkan rumah, aku memilih untuk melihat keadaan adik dan ibu mertuaku. Aku tidak mau kalau sampai mereka melihatku pergi karena bisa saja ia akan menghalangi rencana yang sudah kususun sejak awal.
Setelah memastikan keadaannya aman, aku langsung bergegas keluar rumah hanya dengan menggunakan hoddie dan sebuah masker yang melekat menutupi wajahku. Sepertinya Caca dan ibu mertuaku sudah tidur lebih dulu. Langkah demi langkah kutempuh dengan jalan berjinjit agar tidak menimbulkan suara, bahkan pintu pun kututup dengan sangat pelan agar tidak terdengar.
Kini, aku sudah berhasil keluar dari rumah bak neraka itu. Rumah yang sama sekali tidak ada kedamaian dan selalu merendahkan orang lain.
"Hufft ... semoga saja Aira gak nangis."
"Sabar ya, Nak. Ini semua demi masa depan kita."
"Ibu tidak kuat berada dalam lingkaran setan ini, Nak."
Di sela-sela perjalananku, aku langsung merogoh saku mengambil ponselku untuk menghubungi Indah, sahabatku. Hanya sampai dering ketiga, kini sambungan teleponku pun terhubung.
"Halo, Ndah. Mereka ada di restoran mana? Aku akan menyusul dia, aku sudah di perjalanan nih," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.
["Kamu nyusul malam-malam begini? Kamu pakai apa?"] tanya Indah dari seberang sana dengan nada paniknya.
"Jalan kaki, soalnya taksi udah gak ada."
["Baiklah, bagikan lokasimu dan tunggu aku di sana. Aku akan segera ke sana."]
"Iya."
Kini, sambungan teleponku kembali terputus dan sebentar lagi Indah akan datang menjemputku. Mungkin dia juga ikut cemas dengan keadaanku, apalagi saat ini jalan tampak sepi dan aku hanya seorang diri. Sambil menunggu Indah datang, aku memilih untuk duduk di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir jalan itu.
"Mas, mungkin ini akan menjadi malam terakhir kita. Aku akan segera pergi dari hidupmu jika benar kalau selama ini kamu selingkuh di belakangku."
Hingga tak berapa lama kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depanku yang kuyakini bahwa itu adalah Indah.
"Ayo cepat masuk!" teriak seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Indah dari dalam sana.
Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil sambil berusaha menahan rasa sesak di dadaku. Air mataku kini masih saja kutampung, entah kapan akan kutumpahkan. Aku masih berusaha kuat.
"Mir, sebenarnya apa sih yang terjadi sama kamu? Aku gak nyangka banget loh sama Mas Rendy," tanya Indah penasaran.
"Ceritanya panjang. Pokoknya nyesek banget kalau aku harus ceritain sekarang."Indah, merupakan sahabat Mira sejak duduk di bangku SMA. Selama ini, segala macam kisah hidup Mira diketahui oleh Indah, namun semenjak Mira menikah, mereka jadi jarang bersama lagi karena sibuk dengan urusan masing-masing.Indah yang saat ini masih berstatus single dan kerja di perusahaan ternama membuat ia jadi jarang punya banyak waktu untuk nongkrong. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan bekerja.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku dan Indah sampai juga di restoran ternama yang kebanyakan dikunjungi oleh konglomerat saja. Sebenarnya, aku sempat tidak percaya bahwa Mas Rendy ada dalam restoran itu karena selama aku sama dia, dia tidak pernah ke sana dnegan alasan bayaran yang cukup fantastis."Apa kamu yakin Mas Rendy ada di sini?" tanyaku seolah tak percaya."Iya, Mira. Soalnya tadi aku makan di dalam sama rekan kerjaku, eh lihat dia dong sama cewek."Sebelum masuk ke restoran itu, aku
PLAKKK ...Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi hingga satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah Mas Rendy. Hal itu yang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahku, sedangkan wajah Mas Rendy kini kian memerah. Saat ia hendak melayangkan pukulan kepadaku, tiba-tiba saja Angel menahannya."SIALAN!""Mas, udah. Jangan buat keributan di sini, malu diliatin orang," ucap Angel sambil menahan lengan Mas Rendy.Seketika raut wajah Mas Rendy berubah melihat wanita itu, terlihat sangat penurut dan persis dengan apa yang dilakukan dulu padaku sebelum nasib naas itu menimpaku."Lagian, kamu jadi istri sadar diri juga dong. Kalau udah gak diminati sama suami ya mending pergi aja, berikan dia kebebasan," ucap Angel kemudian sambil mendorong tubuhku.Saat aku hendak menjambak rambut wanita itu, tiba-tiba saja Indah sahabatku datang dan menahanku. Memang, ini sungguh sangat memalukan karena berdebat di tempat umum yang mungkin membuat orang lain merasa tidak nyaman."Mira, u
“Mas, minta uang! Popok dan susu Aira udah habis,” pintaku.“Apa? Aku kan sudah kasi kamu uang seminggu yang lalu, apa itu belum cukup?” jawab Mas Rendy dengan nada tegasnya.“Kamu kasi aku 300 ribu, Mas. Itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok.”“Kamu ini kalau belanja jangan boros, itu aku kasi kamu jatah untuk sebulan!”Dengan reflek, aku langsung mengerutkan kening mendengar pernyataan Mas Rendy. Bukan karena aku tak bersyukur, tetapi nominal uang segitu memang hanya cukup untuk beberapa hari saja. Belum lagi memenuhi kebutuhan anak.“Mas, itu hanya cukup untuk dua hari, belum lagi kebutuhan Aira. Kamu kan tahu kalau sekarang bahan pokok itu naik dan kamu kasi aku uang 300 ribu untuk sebulan? Ke mana gaji kamu semuanya?” protesku.Kali ini aku benar-benar geram pada Mas Rendy. Sudah cukup lama aku sabar menghadapi sikapnya seperti itu yang selalu memberiku uang bulanan hanya beberapa persen saja dari gajinya.“Aku juga punya kebutuhan lain, Mira. Aku mau nongkrong sama tema
Aku masih tidak menyangka ibu mertuaku akan berlaku seperti itu padaku. Padahal, aku sudah membantunya sewaktu kesusahan dulu, tetapi kenapa sekarang dia tidak membantuku disaat kesusahan seperti ini?Apa dia cuma pencitraan di depan Mas Rendy? Aku sangat kecewa dalam hati, padahal saat ini aku sedang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan Aira, anakku. Aku memilih duduk sejenak di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong dan tanpa kusadari, air mataku bergulir begitu saja."Terus, aku harus bagaimana sekarang? Susu dan popok Aira sudah habis."Aku terus menatap wajah lugu anakku yang sedang tertidur pulas. Hingga tak berapa lama kemudian, aku memutuskan untuk menghampiri ibu mertuaku. Dengan terpaksa aku menurunkan gengsiku.Langkahku semakin kupercepat saat melihat ibu mertuaku duduk santai di ruang keluarga menikmati acara televisi."Semoga saja Ibu mau memberikan uang itu lagi. Kalau memang harus dipinjam, gak apa-apa. Nanti setelah Mas Rendy gajian aku bayar," ucapku dengan nada pe
"Ada apa, Nak?" tanyanya dengan muka bingung. "Maaf, Bu kalau kedatangan saya mengganggu, saya hanya mau menawarkan diri, siapa atau ada lowongan pekerjaan di rumah ini, saya siap mengerjakannya, Bu. Apapun itu. Saya butuh uang, Bu," ucapku dengan muka penuh harap. Wanita itu terdiam sejenak sambil menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Entah apa yang dipikirkan wanita itu tentang diriku. "Ada, Nak. Kebetulan Ibu butuh tukang cuci baju, pinggang Ibu sudah gak kuat nih. Jadi, kalau kamu mau, ayo masuk!" ucap wanita itu dengan ramah. Aku langsung tersenyum bahagia sambil menghela nafas lega karena setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Meskipun hanya sebagai buruh cuci, tetapi aku sudah sangat mensyukurinya. Kami pun berjalan memasuki rumah yang cukup luas itu. Rumah itu memang luas, tetapi nampak sepi. Tak ada seorang pun yang aku lihat dalam rumah itu selain wanita paruh baya tersebut. "Ini cuciannya, jangan terlalu disikat ya. Dan ini jangan disik
"Wah, enak banget makanannya," puji Caca dan segera duduk di kursi meja makan. Aku hanya tersenyum tipis mendengar masakanku dipuji oleh adik iparku. Dan tak berapa lama kemudian, Caca pun memanggil ibunya untuk makan bersama, sementara aku juga berniat untuk duduk dan makan bersama mereka. "Ayo, Bu. Kita makan dulu.""Iya, Sayang."Mereka pun menyantap makanan buatanku dengan begitu lahap, sedangkan aku kini sudah duduk di sebuah kursi kosong yang ada di samping Caca. "Kamu ngapain duduk di situ?" tanya ibu mertuaku lengkap dengan tatapan mematikannya. Aku langsung tersentak kaget dan senyum tipis yang sempat kuukir tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi. "Aku mau makan sama kalian," jawabku dengan terbata sambil menatap Caca dan ibu mertuaku secara bergantian.Caca langsung menahan tawanya yang hampir lepas sambil memutar bola matanya ketika menatapku, sedangkan ibu mertua langsung menatapku dengan tatapan sinis sambil berkata, "Makan dengan kami? Heh ... mending kamu makan
"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. "Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. "Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku?
Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga. Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja. "Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam. "Iya, Bu." "Kerja apa?" Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku. "Buruh cuci, Bu." "Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjanan
PLAKKK ...Aku sudah tidak bisa mengontrol emosiku lagi hingga satu tamparan mendarat dengan sempurna di wajah Mas Rendy. Hal itu yang membuat orang-orang yang ada di sana menoleh ke arahku, sedangkan wajah Mas Rendy kini kian memerah. Saat ia hendak melayangkan pukulan kepadaku, tiba-tiba saja Angel menahannya."SIALAN!""Mas, udah. Jangan buat keributan di sini, malu diliatin orang," ucap Angel sambil menahan lengan Mas Rendy.Seketika raut wajah Mas Rendy berubah melihat wanita itu, terlihat sangat penurut dan persis dengan apa yang dilakukan dulu padaku sebelum nasib naas itu menimpaku."Lagian, kamu jadi istri sadar diri juga dong. Kalau udah gak diminati sama suami ya mending pergi aja, berikan dia kebebasan," ucap Angel kemudian sambil mendorong tubuhku.Saat aku hendak menjambak rambut wanita itu, tiba-tiba saja Indah sahabatku datang dan menahanku. Memang, ini sungguh sangat memalukan karena berdebat di tempat umum yang mungkin membuat orang lain merasa tidak nyaman."Mira, u
"Ceritanya panjang. Pokoknya nyesek banget kalau aku harus ceritain sekarang."Indah, merupakan sahabat Mira sejak duduk di bangku SMA. Selama ini, segala macam kisah hidup Mira diketahui oleh Indah, namun semenjak Mira menikah, mereka jadi jarang bersama lagi karena sibuk dengan urusan masing-masing.Indah yang saat ini masih berstatus single dan kerja di perusahaan ternama membuat ia jadi jarang punya banyak waktu untuk nongkrong. Sebagian besar waktunya ia habiskan dengan bekerja.Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya aku dan Indah sampai juga di restoran ternama yang kebanyakan dikunjungi oleh konglomerat saja. Sebenarnya, aku sempat tidak percaya bahwa Mas Rendy ada dalam restoran itu karena selama aku sama dia, dia tidak pernah ke sana dnegan alasan bayaran yang cukup fantastis."Apa kamu yakin Mas Rendy ada di sini?" tanyaku seolah tak percaya."Iya, Mira. Soalnya tadi aku makan di dalam sama rekan kerjaku, eh lihat dia dong sama cewek."Sebelum masuk ke restoran itu, aku
"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis. Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.***"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga. Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku."Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku. "Nggak tau.""Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh.""kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus. Lagi-lagi aku hanya menghela nafas ke
Wanita tua itu hanya tersenyum tipis lalu berkata, "Hehe, begitupun dengan Ibu, Nak. Tetapi, semakin lama Ibu juga mulai terbiasa dengan rasa sepi ini." Aku kembali tersenyum memberikan semangat pada Ibu Maria. Sangat kasihan karena ternyata dia memendam lukanya seorang diri. Ditambah lagi dengan dirinya yang hanya tinggal sendiri membuat ia semakin kesepian. "Ibu tenang saja, aku akan tetap bekerja sama Ibu jika Ibu berkenan menerima aku. aku akan selalu menemani Ibu," ucapku dengan penuh keyakinan. "Terima kasih, Nak. Pasti, selama kamu ada di sini, hidup Ibu jadi sedikit lebih berwarna." Aku hanya tersenyum dan segera melanjutkan makanku. Kini suasana menjadi hening, tak ada lagi obrolan di antara kami. Hanya suara dentuman sendok dan piring yang terdengar karena kami fokus menikmati santapan makan siang itu. Setelah beberapa lama, akhirnya kami selesai juga makan siang. Aku langsung membersihkan meja makan itu lalu mencuci piring, meskipun awalnya Ibu Maria menolak karena
Aku memilih untuk tidak mempedulikannya, aku langsung memasukkan makanan ke dalam piringku dan menyantapnya. Meskipun mendapatkan tatapan sinis, tetapi aku masih bisa menikmati makanannya. Bukan karena siapa, tetapi demi anakku juga. Sepanjang aku makan, mereka terus saja memperhatikan gerak-gerikku seolah sedang memperhatikan pencuri yang sedang makan. Sebenarnya, aku juga merasa risih dengan hal itu, tetapi di sisi lain aku juga lapar, apalagi setelah ini aku harus berangkat kerja. "Katanya kamu sudah kerja?" tanya ibu mertuaku setelah sekian lama terdiam. "Iya, Bu." "Kerja apa?" Mendengar pertanyaan itu, aku langsung terdiam dan menatap ibu mertuaku dengan tatapan lirih lalu menatap kembali ke arah Mas Rendy. Aku tahu kalau sebenarnya ibu mertuaku sudah tahu pekerjaanku dari Mas Rendy, tetapi sepertinya dia ingin kembali merendahkanku. "Buruh cuci, Bu." "Ewww ... jijik banget sih jadi buruh cuci. Kok mau kerja kayak gitu sih, Mbak? Nggak guna banget ijazah dan gelar sarjanan
"Kamu ngapain sih main angkat telpon orang aja. Gak hargain privasi orang banget," ucap Mas Rendy yang langsung merebut benda pipih itu dariku. Aku langsung tersentak kaget dan beralih menatap Mas Rendy dengan tatapan curiga, namun tatapanku hanya dibalas dengan tatapan sinis tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya. "Namanya Wilson, kok suara cewek, Mas? Dan kenapa dia manggil kamu sayang?" tanyaku dengan penuh curiga dan perasaan yang sudah tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata. "Bukan urusan kamu juga, ini tuh istrinya teman aku. Mungkin si Wilson butuh bantuanku," jawabnya dengan nada tinggi lengkap dengan tatapan sinisnya. Tanpa menunggu tanggapan dariku, ia langsung berlalu begitu saja keluar kamar dengan sebuah ponsel di tangannya. Sedangkan aku, masih setia berdiri di tempat dengan pikiran yang semakin tak karuan. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku menaruh curiga pada Mas Rendy kalau sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu dariku. "Apa mungkin Mas Rendy mengkhianatiku?
"Wah, enak banget makanannya," puji Caca dan segera duduk di kursi meja makan. Aku hanya tersenyum tipis mendengar masakanku dipuji oleh adik iparku. Dan tak berapa lama kemudian, Caca pun memanggil ibunya untuk makan bersama, sementara aku juga berniat untuk duduk dan makan bersama mereka. "Ayo, Bu. Kita makan dulu.""Iya, Sayang."Mereka pun menyantap makanan buatanku dengan begitu lahap, sedangkan aku kini sudah duduk di sebuah kursi kosong yang ada di samping Caca. "Kamu ngapain duduk di situ?" tanya ibu mertuaku lengkap dengan tatapan mematikannya. Aku langsung tersentak kaget dan senyum tipis yang sempat kuukir tadi hilang begitu saja bagai ditelan bumi. "Aku mau makan sama kalian," jawabku dengan terbata sambil menatap Caca dan ibu mertuaku secara bergantian.Caca langsung menahan tawanya yang hampir lepas sambil memutar bola matanya ketika menatapku, sedangkan ibu mertua langsung menatapku dengan tatapan sinis sambil berkata, "Makan dengan kami? Heh ... mending kamu makan
"Ada apa, Nak?" tanyanya dengan muka bingung. "Maaf, Bu kalau kedatangan saya mengganggu, saya hanya mau menawarkan diri, siapa atau ada lowongan pekerjaan di rumah ini, saya siap mengerjakannya, Bu. Apapun itu. Saya butuh uang, Bu," ucapku dengan muka penuh harap. Wanita itu terdiam sejenak sambil menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Entah apa yang dipikirkan wanita itu tentang diriku. "Ada, Nak. Kebetulan Ibu butuh tukang cuci baju, pinggang Ibu sudah gak kuat nih. Jadi, kalau kamu mau, ayo masuk!" ucap wanita itu dengan ramah. Aku langsung tersenyum bahagia sambil menghela nafas lega karena setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Meskipun hanya sebagai buruh cuci, tetapi aku sudah sangat mensyukurinya. Kami pun berjalan memasuki rumah yang cukup luas itu. Rumah itu memang luas, tetapi nampak sepi. Tak ada seorang pun yang aku lihat dalam rumah itu selain wanita paruh baya tersebut. "Ini cuciannya, jangan terlalu disikat ya. Dan ini jangan disik
Aku masih tidak menyangka ibu mertuaku akan berlaku seperti itu padaku. Padahal, aku sudah membantunya sewaktu kesusahan dulu, tetapi kenapa sekarang dia tidak membantuku disaat kesusahan seperti ini?Apa dia cuma pencitraan di depan Mas Rendy? Aku sangat kecewa dalam hati, padahal saat ini aku sedang butuh uang untuk memenuhi kebutuhan Aira, anakku. Aku memilih duduk sejenak di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong dan tanpa kusadari, air mataku bergulir begitu saja."Terus, aku harus bagaimana sekarang? Susu dan popok Aira sudah habis."Aku terus menatap wajah lugu anakku yang sedang tertidur pulas. Hingga tak berapa lama kemudian, aku memutuskan untuk menghampiri ibu mertuaku. Dengan terpaksa aku menurunkan gengsiku.Langkahku semakin kupercepat saat melihat ibu mertuaku duduk santai di ruang keluarga menikmati acara televisi."Semoga saja Ibu mau memberikan uang itu lagi. Kalau memang harus dipinjam, gak apa-apa. Nanti setelah Mas Rendy gajian aku bayar," ucapku dengan nada pe