Rapat akhirnya selesai, Alia pamit ke kamar kecil untuk merenungkan semua yang sedang terjadi. Kakinya lemas sampai terduduk di toilet dengan mata tertutup.
“Kenapa aku harus ketemu Dimas? Aku pengen hidup tenang.” Batin Alia nelangsa.
Alia keluar setelah 10 menit menenangkan diri. Belum sempat kembali ke ruangannya, Alia sudah di panggil oleh direktur pemasaran yaitu Dimas.
Kepala Alia pening, sebenarnya apa lagi yang Dimas inginkan.
Gadis itu menggetuk ruangan Dimas.
“Masuk.” Teriak Dimas dari dalam ruangan.
Aila menunduk seakan tidak ingin bicara dengan Dimas.
Dimas menggerutkan keningnya sembari menatap Alia tajam “Apa kabar, Al?”
“Baik, pak.”
“Aku Dimas, bukan direktur pemasaran.”
Kini Alia yang mendengus kesal, matanya berubah dari takut menjadi berapi-api “Maaf pak Dimas, saya tidak paham. Setahu saya, Pak Dimas dan saya tidak saling kenal.” Desis Alia sebal.
Bibir Dimas berkedut, dia tidak tahu kenapa Alia bisa sekesal itu “Setelah aku pindah, ibuku bilang kalau kamu datang kerumah. Awalnya aku tidak mau memberi kabar, tapi sepertinya kamu mencariku.”
Alia tidak habis pikir dengan penjelasan Dimas yang sangat egois “Kita masih punya hubungan waktu itu, Pak Dimas. Tapi semua sudah selesai, kan?”
Jelas, Alia tidak ingin Dimas tahu soal anaknya. Dimas sama sekali tidak memberikan kontribusi pada kehidupan Alia dan Ivan. Dimas tidak berhak atas kehidupan Alia.
Dimas mencoba meraih tangan Alia, dia tidak melihat ada cincin di jari manis mantan kekasihnya itu.
“Kamu belum menikah, Al?”
Alia menoleh dengan tajam “Memang kamu perlu tahu. Berhenti Dim. Aku keluar dulu.”
Langkah kaki Alia terhenti saat hampir sampai di ruangannya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Alia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghindari Dimas. Kini Alia benar-benar membenci pria itu.
Alia tidak terima, karena selama ini Dimas tidak pernah hadir. Sampai nanti, Alia akan merahasiakan tentang identitas Ivan.
***
Dimas mengikuti Alia yang baru keluar dari kantornya. Entah kenapa Dimas penasaran dengan kondisi mantan pacarnya yang masih membuatnya bergetar.
Alia berhenti di depan sekolah Ivan yang juga menyediakan penitipan anak.
Gadis itu membungkuk menyambut Ivan yang berlari menghampirinya.
Mata Dimas terpaku menatap Ivan yang amat mirip dengannya. Bagai pinang di belah dua. Jari Dimas mengetuk setir mobilnya berkali-kali.
Melihat Alia mengandeng tangan Ivan dengan manja. Dimas yakin kalau usia Ivan seperti anak pertamanya yang juga masih TK.
Saat hendak membuka pintu rumahnya, tangan Dimas menahan pintu itu dari belakang Alia yang terkejut.
“Siapa anak ini, Al” geram Dimas. Dia menahan semua kalimat yang hendak keluar dari mulutnya.
Ivan mendongak menatap Dimas dan Alia secara bergantian. Ivan cemberut melihat ayahnya yang menahan pintu rumah mereka.
Dimas tidak menggubris tatapan Ivan.
“Jawab Al, dia anak siapa?!” bentak Dimas membuat Ivan dan Alia terlonjak.
Alia mengerjab dan menarik Ivan mendekatinya “Dimas, kamu ngapain di sini?”
“Jawab aku Alia. Cepat.” Geram Dimas mulai kehabisan kesabarannya, dia mencekal tangan Alia sampai Ivan tersentak.
Alia menghempas tangan Dimas dan membuka pintu “Ivan masuk dulu, ibu mau bicara sama temen dulu ya.”
“Iya bu.” Jawab anak itu dengan patuh. Sebelum masuk ke rumah, Ivan melirik Dimas. Ada kemarahan di tatapan anak tersebut. Ivan marah karena teman ibunya memperlakukan Alia dengan buruk.
“Dimas, tolong pergi dari sini.” Alia mendorong tubuh Dimas setelah memastikan Ivan masuk ke dalam rumah.
Dimas menatap pintu yang sudah tertutup.
“Alia, kamu sudah menikah?”
“Apa urusannya denganmu? Iya, dia anakku. Puas Dimas?”
Keduanya sama-sama naik darah, Dimas tahu ada yang salah, kalau memang tidak ada hubungan dengannya, seharusnya Alia tidak coba untuk menyembunyikan sosok Ivan.
“Dia anakku?”
Alia membeku dan menatap Dimas dengan sinis “Peduli apa kamu. Pergi sana, jangan ganggu kehidupanku lagi. Dia bukan anakmu, dia anakku.” Tegas Alia.
Dimas juga tidak mau kalah, dia menekan kenop pintu dan masuk ke rumah sewa Alia. Dia melihat Ivan yang sedang duduk manis di kursi depan tv.
Buru-buru Alia menghalangi pandangan Dimas dari Ivan “Dim, aku mohon. Pergi dari sini.”
Dimas semakin mendekat, menghampiri kedua orang yang kini sangat familiar untuknya.
“Aku tidak mungkin salah, dia anakku kan?”
Diamnya Alia membuat Dimas yakin kalau Ivan adalah anaknya. Bagaimana Dimas tidak yakin, Ivan benar-benar mirip dengannya.
Alia lelah ribut dengan Dimas, dia akhirnya mendesah panjang “Sudahlah Dimas, aku dan Ivan sudah baik-baik bahkan tanpa kehadiranmu. Jadi, berhenti menganggu aku.”
Tangan kanan Dimas kini menggosok dahinya dengan cepat “Kenapa kamu nggak cari aku?”
Alia menyeringai sinis “Sudah Dim, tapi aku langsung menyerah saat kamu bilang mau menikah. Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggung jawaban soal anakku.”
Dada Alia mendadak sesak, akhirnya rahasia soal anaknya terungkap juga. Tapi, apa yang akan berubah soal itu?
Sementara Dimas merasa sangat dikhianati, melihat Ivan memubuat rasa bersalahnya muncul. Apalagi Dimas tidak memiliki anak laki-laki dengan istrinya yang sekarang.
“Aku mau bicara dengan anakku.” Tukas Dimas, dia maju dua langkah untuk melewati Alia.
Gadis itu tentu saja tidak tinggal diam, dia menggeleng dan merentangkan tangannya “Dia bukan anakmu, dia anakku.”
“Tapi aku ayahnya. Kamu mau melupakan bagian itu, Al. Dia tetap darah dagingku.”
“Dimas, jangan egois. Kamu sudah punya keluarga sendiri, aku juga tidak mau dia punya ayah seperti kamu. Jadi berhenti pura-pura kalau kamu butuh kesempatan, kita sudah selesai dari beberapa tahun yang lalu.” Alia mendelik, membuat Dimas berdegik ngeri karena gadis itu bisa berubah menjadi sangat buas kalau menyangkut sang anak.
Dimas harus menyerah hari ini.
Begitu Dimas pergi dari sana, Alia baru menyadari kalau Ivan sedari tadi bersembunyi di belakang tubuhnya. Anak kecil itu menutup matanya rapat-rapat.
Matanya mendadak sesak melihat sang anak yang ketakutan karena Dimas.
“Maafin ibu, nak.” Alia memeluk Ivan yang menggelungkan tangannya di leher Alia.
“Tadi siapa, bu. Ivan nggak suka om tadi.”
Sudah terlanjur tahu, Alia ingin menjelaskan kepada Ivan siapa sebenarnya Dimas. Dan, berharap Ivan tidak akan takut pada Dimas. Ivan tidak perlu mengakui Dimas sebagai ayahnya. Karena Alia tidak akan mengharapkan Dimas menjadi sosok ayah untuk Ivan.
Padahal dia sedang bahagia karena akhirnya bisa mendapat pekerjaan yang bagus, dan bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya. Malah kini, ada kegelisahan karena sosok Dimas yang tiba-tiba muncul.
***
Malam itu, Dimas baru pulang. Sampai rumah dia malah berlama-lama di dalam mobil dan mengingat-ingat tentang Alia dan Ivan.
Selama ini dia hidup tenang dengan Emily. Istrinya itu memberinya tiga anak perempuan yang lucu. Namun, tidak bisa dipungkiri, Dimas masih mengharapkan Alia.
Sebab, putusnya mereka adalah karena kehamilan Emily yang mendadak. Emily juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Jerman. Pertemuan itu membuat Dimas dan Emily akrab hingga mereka melakukan hal-hal yang seharusnya belum mereka lakukan kala itu.
Dia keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pembantu keluarga itu menyambut Dimas.
“Emily mana, bi?” tanya Dimas melepas dasinya.
“Lagi di atas, pak. Tadi nungguin pak Dimas pulang.”
Dimas mengangguk, dia menaiki tangga sambil memikirkan Alia. Saat masuk ke kamar. Dimas melihat Emily yang sedang menyusui anak ketiga mereka.
“Baru pulang? Aku tadi nunggu di bawah, kamu tumben banget pulang malam.” Protes Emily yang menggerutkan kening.
Dimas memijat pelipisnya karena pusing, ia melepas jas hitamnya.
“Banyak pekerjaan yang belum selesai.” Jawab Dimas, dia mulai melepas kancing kemejanya. Sudah gerah sekali dia memakai kemeja itu seharian.
Emily menaruh anak ketiganya ke ranjang kecil sebelah ranjang utama.
Gadis berambut ikal itu memeluk sang suami dan menciumnya singkat “Kamu kelihatan kesel banget? Banyak banget ya kerjaan kamu?”
Seketika Dimas merasa bersalah karena sudah memikirkan wanita lain ketika sang istri begitu mencintainya. Dimas mengusap pipi Emily yang lembut.
“Sorry, Em. Aku lupa ngabarin kamu.”
“Nggak apa-apa, aku cuma khawatir tadi.” Suara lembut dan merdu itu membuat Dimas semakin digerogoti rasa bersalah.
Kalua ada yang bisa di salahkan, Alia tentu tetap akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah memberi Dimas kesempatan berbuat salah dengannya.Bahkan ketika melihat Ivan yang tertidur pulas di sebelahnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Anak itu seolah tidak memiliki beban. Ada sebersit perasaan lega di dalam hati Alia karena Ivan bisa tumbuh dengan baik.Alia tidak pernah menyangka hari di mana kebenaran akan terungkap terjadi secepat ini.Tanpa sadar Alia meneteskan sebutir air mata, apakah dia bisa bertahan dengan keadaan ini?Entahlah, yang jelas dia akan terus menjalaninya.Mustahil dia bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang ini padahal baru sehari ia menjadi pegawai. Meski dia masih memiliki penghasilan dari luar, tetap saja, mempunyai pendapatan tetap akan lebih membuat dirinya tenang.*** Pagi itu, di kediaman Dimas yang terasa ramai karena teriakan anak-anaknya yang berhasil membangunkan pria yang baru tidur beberapa jam saja. Semalaman, Dimas tidak bisa memejamkan m
Malam ini Alia memutuskan untuk mengajak Ivan makan malam di luar. Kasihan anaknya tidak pernah bermain bersamanya lagi setelah Alia sibuk kerja.Meski Ivan tidak pernah mengeluh, tapi Alia sadar diri kalau peran ibu tunggal bukan hanya mencari nafkah. Banyak tugas yang harus ia jalani, salah satunya memberikan waktu di sela kesibukannya.Ivan melompat kegirangan saat Alia menjanjikan akan mengajak jalan-jalan setelah makan malam.“Ivan mau makan apa?” tanya Alia ketika mereka sampai di restoran Jepang.Ivan suka masakan Jepang, seperti ramen dan karage. Padahal masakan Jepang tidak terlalu masuk di lidah Alia.Ivan melirik ibunya malu-malu “Ivan mau es krim, bu.”Kepala Alia miring agar bisa menatap mata Ivan “Gimana kalau Ivan makan dulu, habis itu kita beli es krim di luar.” Dia harus bernegosiasi agar anaknya tidak kebanyakan gula.Ivan anak yang paham dan mudah diatur, dia mengangguk dan tersenyum pada Alia.*** Keributan di toko es krim membuat Alia berhimpit-himpitan dengan p
Rupanya, pekerjaan sebagai sekertaris Dimas tidak begitu mulus. Alia melihat beberapa orang yang mencoba mendekati Dimas hanya karena jabatan pria itu. Setiap obrolan, tersisip maksud tersembunyi yang Alia pahami.Di mata Alia, Dimas sangat cakap dalam menjalankan pekerjaannya. Dia tegas tapi juga fleksibel dalam berkomunikasi. Dia mengakui kehebatan pria itu, wajar saja karir Dimas terhitung cepat naik jabatan.Alia masuk ke ruangan Dimas setelah mengetuk pintu. Pakaian kantornya selalu biasa saja, dengan celana panjang, kemeja dan blazer.“Selamat siang pak, Pak Albert mau datang 30 menit lagi.” Ujar Alia saat memberikan daftar pekerjaan Dimas siang ini.Dimas mengangguk, matanya masih fokus ke laptopnya. Hari ini banyak kerjaan yang harus segera ia selesaikan“Kamu makan siang di sini sama aku aja. Nggak ada waktu kalau makan di luar.” Ungkap Dimas, nadanya selalu lembut ketika bicara dengan Alia.Ingin sekali Alia mencubit Dimas, dia gemas dengan pria yang sok-sokan mengaturnya it
Ponsel Alia tidak berhentikan bergetar, dia tidak menggubris. Seharusnya dia mematikan ponselnya daripada malah terjadi hal seperti ini. Lagian, siapa yang menghubungi malam-malam begini. “Bu, dari tadi HP ibu getar.” Ivan bicara karena dia merasakan juga getarannya.Alia gelagapan, dia tidak ingin Saka menjadi tidak nyaman.“Itu pasti urusan kerjaan.”Saka menaruh sendoknya, kini ia ingin fokus bicara dengan Alia “Kamu kerja di mana Alia?”“Di perusahaan penerbitan. Aku baru saja pindah dari editor ke sekertaris. Jadi masih masa peralihan, maaf ya.” Mendengar Alia mencoba menjelaskan bahkan tanpa diminta, Saka merasa senang. Walau ada yang menganggu di hatinya.Sebenarnya, siapakah ayah dari Ivan.Tapi sepertinya tidak sopan kalau menanyakan itu secara terang-terangan.“Alia, apa kamu hanya tinggal berdua dengan Ivan?”Alia mengangguk, dia sama sekali tidak malu dengan statusnya yang sebagai ibu tunggal.Saka menyelidik, dia berdehem mengamati Alia yang mengusap bibir Ivan “Lalu, k
Dimas menghampiri Alia ketika gadis itu baru saja keluar dari taksi onlinenya. Alia berlari menuju pintu, ingin sekali dia menghindari Dimas.“Alia.” Panggil Dimas, dia menghadang Alia dengan cepat.Gadis itu menghela napas, muak melihat Dimas yang tidak menyerah untuk mendekatinya.“Kamu ngapain ke sini, Dimas. Aku benar-benar sudah muak denganmu. Kamu tahu, kamu itu pria yang tidak tahu malu. Setelah kamu membuangku, sekarang kamu merasa bersalah. Jangan mimpi, Dimas.” kecam Alia yang mulai kehabisan kesabaran.Semua yang di lakukan Dimas adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Alia. Karena selama ini dia selalu hidup di bawah perintah dari keluarga Emily. Dia marasa sangat superior saat bersama Alia.Sedangkan Alia, malah semakin terganggu dengan Dimas. Ia hanya berharap Dimas sadar posisi dan berhenti mengejarnya.Tidak mau terlalu lama menanggapi Dimas, Alia mendorong tubuh pria itu.“Tolong pergi dari sini, Dim.”Dimas baru pergi setelah Emily meneleponnya.*** Alia kembali ke
“Hamil, dok?” tanya Alia memastikan, sembari ia memegang perutnya yang masih datar.Dokter wanita itu mengangguk sembari tersenyum. Ini seharusnya menjadi kabar baik untuk sebagian wanita di luar sana.Tapi, tidak bagi Alia Melati, dia masih 21 tahun. Bahkan dia belum lulus kuliah, yang lebih parahnya lagi, Alia kini kehilangan ayah si jabang bayi.“Usia kandungan saya berapa minggu, dok?” Alia yakin seharusnya masih dini, baru dua kali dia melakukan hubungan badan dengan sang kekasih yang sudah menghilang bagai di telan bumi.Alia sungguh tidak menyangka, kenikmatan sementara itu berujung petaka baginya.“Kalau dari hitungan usg, usia kandungan sekitar 6 minggu.” Jelas sang dokter santai.Gadis itu masih membeku di kursinya dengan tangan yang sibuk menutupi perutnya. Dia sungguh tidak menyangka.Dokter tersebut memberikan resep berupa vitamin dan beberapa obat anti mual.Niat awal ingin memeriksakan diri karena tidak mengalami menstruasi selama 2 bulan. Alia malah dikejutkan dengan j
Kamar menjadi satu-satunya tempat Alia bersembunyi. Dunia luar terlalu menekannya, seolah hanya dia pendosa yang ada di dunia ini.Sang ibu sedang mengamuk di luar kamarnya. Terdengar beberapa barang yang jatuh ke lantai dengan keras.Alia hanya bisa menangis di balik pintu sembari menutupi mulutnya. Jangan sampai ada suara yang keluar dari mulutnya. Ini hukuman yang pantas ia dapat. Dan, Alia sadar akan hal itu.Setelah hampir dua jam, Alia tidak lagi mendengar suara ribut dari luar. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu.Mungkin dia harus segera keluar dari rumah kalau tidak mau membuat masalah semakin panjang. Baru saja Alia hendak ke dapur ibu keluar dari kamar membawa gelas di tangannya.“Masih di sini kamu?” tanya ibu, nadanya sangat ketus sampai melukai Alia.Alia menoleh takut “Bu, Alia mau ambil..” belum juga dia selesai bicara, ibu sudah melemparkan gelas itu tepat di depan Alia. Gelas itu terpecah, hingga pecahannya mengenai kakinya hingga berdarah.Raut wajah Alia meri
Lebih mudah mencari kambing hitam dibanding mencari solusi. Itu yang ingin Alia lakukan tapi dia tidak memiliki kuasa atas apa yang sedang terjadi.Kebodohan adalah masalahnya, Alia mengutuk kebodohannya sendiri karena sudah terbuai dengan janji manis Dimas waktu itu. Kalau bisa mengulang waktu, Alia akan berharap agar tidak mengenal Dimas.Saat perutnya terasa begah karena sudah amat besar. Alia menngelus perutnya pelan saat calon anaknya memberikan tendangan munggil “Bukan nak, ibu nggak salahin kamu.” Ucapnya pada diri sendiri, Alia sudah berdamai dengan kehamilannya.Dia bahkan hanya tinggal menghitung hari sampai waktunya melahirkan.Membayangkan itu membuat Alia tiba-tiba merasa mual sekaligus bersemangat.Tidak ada yang berubah, kecuali sang ibu yang menghilang setelah kandungan Alia tepat berusia 5 bulan.Tanpa pamit, ibu juga ikut menghilang bak pergi ke dimensi lain yang berbeda dengan Alia.Alia tidak mencoba mencarinya, dia lelah mencari. Kini dia hanya bisa menunggu, menu
Dimas menghampiri Alia ketika gadis itu baru saja keluar dari taksi onlinenya. Alia berlari menuju pintu, ingin sekali dia menghindari Dimas.“Alia.” Panggil Dimas, dia menghadang Alia dengan cepat.Gadis itu menghela napas, muak melihat Dimas yang tidak menyerah untuk mendekatinya.“Kamu ngapain ke sini, Dimas. Aku benar-benar sudah muak denganmu. Kamu tahu, kamu itu pria yang tidak tahu malu. Setelah kamu membuangku, sekarang kamu merasa bersalah. Jangan mimpi, Dimas.” kecam Alia yang mulai kehabisan kesabaran.Semua yang di lakukan Dimas adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Alia. Karena selama ini dia selalu hidup di bawah perintah dari keluarga Emily. Dia marasa sangat superior saat bersama Alia.Sedangkan Alia, malah semakin terganggu dengan Dimas. Ia hanya berharap Dimas sadar posisi dan berhenti mengejarnya.Tidak mau terlalu lama menanggapi Dimas, Alia mendorong tubuh pria itu.“Tolong pergi dari sini, Dim.”Dimas baru pergi setelah Emily meneleponnya.*** Alia kembali ke
Ponsel Alia tidak berhentikan bergetar, dia tidak menggubris. Seharusnya dia mematikan ponselnya daripada malah terjadi hal seperti ini. Lagian, siapa yang menghubungi malam-malam begini. “Bu, dari tadi HP ibu getar.” Ivan bicara karena dia merasakan juga getarannya.Alia gelagapan, dia tidak ingin Saka menjadi tidak nyaman.“Itu pasti urusan kerjaan.”Saka menaruh sendoknya, kini ia ingin fokus bicara dengan Alia “Kamu kerja di mana Alia?”“Di perusahaan penerbitan. Aku baru saja pindah dari editor ke sekertaris. Jadi masih masa peralihan, maaf ya.” Mendengar Alia mencoba menjelaskan bahkan tanpa diminta, Saka merasa senang. Walau ada yang menganggu di hatinya.Sebenarnya, siapakah ayah dari Ivan.Tapi sepertinya tidak sopan kalau menanyakan itu secara terang-terangan.“Alia, apa kamu hanya tinggal berdua dengan Ivan?”Alia mengangguk, dia sama sekali tidak malu dengan statusnya yang sebagai ibu tunggal.Saka menyelidik, dia berdehem mengamati Alia yang mengusap bibir Ivan “Lalu, k
Rupanya, pekerjaan sebagai sekertaris Dimas tidak begitu mulus. Alia melihat beberapa orang yang mencoba mendekati Dimas hanya karena jabatan pria itu. Setiap obrolan, tersisip maksud tersembunyi yang Alia pahami.Di mata Alia, Dimas sangat cakap dalam menjalankan pekerjaannya. Dia tegas tapi juga fleksibel dalam berkomunikasi. Dia mengakui kehebatan pria itu, wajar saja karir Dimas terhitung cepat naik jabatan.Alia masuk ke ruangan Dimas setelah mengetuk pintu. Pakaian kantornya selalu biasa saja, dengan celana panjang, kemeja dan blazer.“Selamat siang pak, Pak Albert mau datang 30 menit lagi.” Ujar Alia saat memberikan daftar pekerjaan Dimas siang ini.Dimas mengangguk, matanya masih fokus ke laptopnya. Hari ini banyak kerjaan yang harus segera ia selesaikan“Kamu makan siang di sini sama aku aja. Nggak ada waktu kalau makan di luar.” Ungkap Dimas, nadanya selalu lembut ketika bicara dengan Alia.Ingin sekali Alia mencubit Dimas, dia gemas dengan pria yang sok-sokan mengaturnya it
Malam ini Alia memutuskan untuk mengajak Ivan makan malam di luar. Kasihan anaknya tidak pernah bermain bersamanya lagi setelah Alia sibuk kerja.Meski Ivan tidak pernah mengeluh, tapi Alia sadar diri kalau peran ibu tunggal bukan hanya mencari nafkah. Banyak tugas yang harus ia jalani, salah satunya memberikan waktu di sela kesibukannya.Ivan melompat kegirangan saat Alia menjanjikan akan mengajak jalan-jalan setelah makan malam.“Ivan mau makan apa?” tanya Alia ketika mereka sampai di restoran Jepang.Ivan suka masakan Jepang, seperti ramen dan karage. Padahal masakan Jepang tidak terlalu masuk di lidah Alia.Ivan melirik ibunya malu-malu “Ivan mau es krim, bu.”Kepala Alia miring agar bisa menatap mata Ivan “Gimana kalau Ivan makan dulu, habis itu kita beli es krim di luar.” Dia harus bernegosiasi agar anaknya tidak kebanyakan gula.Ivan anak yang paham dan mudah diatur, dia mengangguk dan tersenyum pada Alia.*** Keributan di toko es krim membuat Alia berhimpit-himpitan dengan p
Kalua ada yang bisa di salahkan, Alia tentu tetap akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah memberi Dimas kesempatan berbuat salah dengannya.Bahkan ketika melihat Ivan yang tertidur pulas di sebelahnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Anak itu seolah tidak memiliki beban. Ada sebersit perasaan lega di dalam hati Alia karena Ivan bisa tumbuh dengan baik.Alia tidak pernah menyangka hari di mana kebenaran akan terungkap terjadi secepat ini.Tanpa sadar Alia meneteskan sebutir air mata, apakah dia bisa bertahan dengan keadaan ini?Entahlah, yang jelas dia akan terus menjalaninya.Mustahil dia bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang ini padahal baru sehari ia menjadi pegawai. Meski dia masih memiliki penghasilan dari luar, tetap saja, mempunyai pendapatan tetap akan lebih membuat dirinya tenang.*** Pagi itu, di kediaman Dimas yang terasa ramai karena teriakan anak-anaknya yang berhasil membangunkan pria yang baru tidur beberapa jam saja. Semalaman, Dimas tidak bisa memejamkan m
Rapat akhirnya selesai, Alia pamit ke kamar kecil untuk merenungkan semua yang sedang terjadi. Kakinya lemas sampai terduduk di toilet dengan mata tertutup.“Kenapa aku harus ketemu Dimas? Aku pengen hidup tenang.” Batin Alia nelangsa.Alia keluar setelah 10 menit menenangkan diri. Belum sempat kembali ke ruangannya, Alia sudah di panggil oleh direktur pemasaran yaitu Dimas.Kepala Alia pening, sebenarnya apa lagi yang Dimas inginkan.Gadis itu menggetuk ruangan Dimas.“Masuk.” Teriak Dimas dari dalam ruangan.Aila menunduk seakan tidak ingin bicara dengan Dimas.Dimas menggerutkan keningnya sembari menatap Alia tajam “Apa kabar, Al?”“Baik, pak.”“Aku Dimas, bukan direktur pemasaran.”Kini Alia yang mendengus kesal, matanya berubah dari takut menjadi berapi-api “Maaf pak Dimas, saya tidak paham. Setahu saya, Pak Dimas dan saya tidak saling kenal.” Desis Alia sebal.Bibir Dimas berkedut, dia tidak tahu kenapa Alia bisa sekesal itu “Setelah aku pindah, ibuku bilang kalau kamu datang ke
Ke pindahan yang membawa arah baru bagi Alia dan Ivan sedang di lakukan. Meski mereka harus berpisah dengan Mira, namun mereka berhasil pindah ke kota.Ibu kembali ke rumah setelah Alia pindah, dengan tegas ibu meminta untuk tidak lagi kembali apa pun yang terjadi.Meski mustahil, Alia tetap mencoba menurutinya. Sebab, sampai saat ini, Ivan masih dianggap sebagai orang lain yang menyebalkan.Dari pada sama-sama emosi, Alia tidak akan memaksa sang ibu menerima anaknya. Yang tidak langsung adalah cucunya sendiri.Bisa jadi Ivan adalah cucu satu-satunya untuk keluarga ini.“Ivan, nanti Ivan tidur sama ibu ya.” Ucap Alia yang baru saja selesai membongkar koper terakirnya.Ivan mengangguk sambil celingukan “Bu, kita udah nggak sama tante Mira?”Alia menggeleng, mencondongkan tubuhnya agar sejajar dengan Ivan yang berdiri di sebelah meja makan “Ivan nggak apa-apa kan tinggal berdua sama ibu?”Anak kecil itu diam sejenak, menatap ibunya dan seisi rumah yang kosong. Hanya ada satu kamar, kama
Lebih mudah mencari kambing hitam dibanding mencari solusi. Itu yang ingin Alia lakukan tapi dia tidak memiliki kuasa atas apa yang sedang terjadi.Kebodohan adalah masalahnya, Alia mengutuk kebodohannya sendiri karena sudah terbuai dengan janji manis Dimas waktu itu. Kalau bisa mengulang waktu, Alia akan berharap agar tidak mengenal Dimas.Saat perutnya terasa begah karena sudah amat besar. Alia menngelus perutnya pelan saat calon anaknya memberikan tendangan munggil “Bukan nak, ibu nggak salahin kamu.” Ucapnya pada diri sendiri, Alia sudah berdamai dengan kehamilannya.Dia bahkan hanya tinggal menghitung hari sampai waktunya melahirkan.Membayangkan itu membuat Alia tiba-tiba merasa mual sekaligus bersemangat.Tidak ada yang berubah, kecuali sang ibu yang menghilang setelah kandungan Alia tepat berusia 5 bulan.Tanpa pamit, ibu juga ikut menghilang bak pergi ke dimensi lain yang berbeda dengan Alia.Alia tidak mencoba mencarinya, dia lelah mencari. Kini dia hanya bisa menunggu, menu
Kamar menjadi satu-satunya tempat Alia bersembunyi. Dunia luar terlalu menekannya, seolah hanya dia pendosa yang ada di dunia ini.Sang ibu sedang mengamuk di luar kamarnya. Terdengar beberapa barang yang jatuh ke lantai dengan keras.Alia hanya bisa menangis di balik pintu sembari menutupi mulutnya. Jangan sampai ada suara yang keluar dari mulutnya. Ini hukuman yang pantas ia dapat. Dan, Alia sadar akan hal itu.Setelah hampir dua jam, Alia tidak lagi mendengar suara ribut dari luar. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu.Mungkin dia harus segera keluar dari rumah kalau tidak mau membuat masalah semakin panjang. Baru saja Alia hendak ke dapur ibu keluar dari kamar membawa gelas di tangannya.“Masih di sini kamu?” tanya ibu, nadanya sangat ketus sampai melukai Alia.Alia menoleh takut “Bu, Alia mau ambil..” belum juga dia selesai bicara, ibu sudah melemparkan gelas itu tepat di depan Alia. Gelas itu terpecah, hingga pecahannya mengenai kakinya hingga berdarah.Raut wajah Alia meri