Rapat akhirnya selesai, Alia pamit ke kamar kecil untuk merenungkan semua yang sedang terjadi. Kakinya lemas sampai terduduk di toilet dengan mata tertutup.
“Kenapa aku harus ketemu Dimas? Aku pengen hidup tenang.” Batin Alia nelangsa.
Alia keluar setelah 10 menit menenangkan diri. Belum sempat kembali ke ruangannya, Alia sudah di panggil oleh direktur pemasaran yaitu Dimas.
Kepala Alia pening, sebenarnya apa lagi yang Dimas inginkan.
Gadis itu menggetuk ruangan Dimas.
“Masuk.” Teriak Dimas dari dalam ruangan.
Aila menunduk seakan tidak ingin bicara dengan Dimas.
Dimas menggerutkan keningnya sembari menatap Alia tajam “Apa kabar, Al?”
“Baik, pak.”
“Aku Dimas, bukan direktur pemasaran.”
Kini Alia yang mendengus kesal, matanya berubah dari takut menjadi berapi-api “Maaf pak Dimas, saya tidak paham. Setahu saya, Pak Dimas dan saya tidak saling kenal.” Desis Alia sebal.
Bibir Dimas berkedut, dia tidak tahu kenapa Alia bisa sekesal itu “Setelah aku pindah, ibuku bilang kalau kamu datang kerumah. Awalnya aku tidak mau memberi kabar, tapi sepertinya kamu mencariku.”
Alia tidak habis pikir dengan penjelasan Dimas yang sangat egois “Kita masih punya hubungan waktu itu, Pak Dimas. Tapi semua sudah selesai, kan?”
Jelas, Alia tidak ingin Dimas tahu soal anaknya. Dimas sama sekali tidak memberikan kontribusi pada kehidupan Alia dan Ivan. Dimas tidak berhak atas kehidupan Alia.
Dimas mencoba meraih tangan Alia, dia tidak melihat ada cincin di jari manis mantan kekasihnya itu.
“Kamu belum menikah, Al?”
Alia menoleh dengan tajam “Memang kamu perlu tahu. Berhenti Dim. Aku keluar dulu.”
Langkah kaki Alia terhenti saat hampir sampai di ruangannya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Alia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghindari Dimas. Kini Alia benar-benar membenci pria itu.
Alia tidak terima, karena selama ini Dimas tidak pernah hadir. Sampai nanti, Alia akan merahasiakan tentang identitas Ivan.
***
Dimas mengikuti Alia yang baru keluar dari kantornya. Entah kenapa Dimas penasaran dengan kondisi mantan pacarnya yang masih membuatnya bergetar.
Alia berhenti di depan sekolah Ivan yang juga menyediakan penitipan anak.
Gadis itu membungkuk menyambut Ivan yang berlari menghampirinya.
Mata Dimas terpaku menatap Ivan yang amat mirip dengannya. Bagai pinang di belah dua. Jari Dimas mengetuk setir mobilnya berkali-kali.
Melihat Alia mengandeng tangan Ivan dengan manja. Dimas yakin kalau usia Ivan seperti anak pertamanya yang juga masih TK.
Saat hendak membuka pintu rumahnya, tangan Dimas menahan pintu itu dari belakang Alia yang terkejut.
“Siapa anak ini, Al” geram Dimas. Dia menahan semua kalimat yang hendak keluar dari mulutnya.
Ivan mendongak menatap Dimas dan Alia secara bergantian. Ivan cemberut melihat ayahnya yang menahan pintu rumah mereka.
Dimas tidak menggubris tatapan Ivan.
“Jawab Al, dia anak siapa?!” bentak Dimas membuat Ivan dan Alia terlonjak.
Alia mengerjab dan menarik Ivan mendekatinya “Dimas, kamu ngapain di sini?”
“Jawab aku Alia. Cepat.” Geram Dimas mulai kehabisan kesabarannya, dia mencekal tangan Alia sampai Ivan tersentak.
Alia menghempas tangan Dimas dan membuka pintu “Ivan masuk dulu, ibu mau bicara sama temen dulu ya.”
“Iya bu.” Jawab anak itu dengan patuh. Sebelum masuk ke rumah, Ivan melirik Dimas. Ada kemarahan di tatapan anak tersebut. Ivan marah karena teman ibunya memperlakukan Alia dengan buruk.
“Dimas, tolong pergi dari sini.” Alia mendorong tubuh Dimas setelah memastikan Ivan masuk ke dalam rumah.
Dimas menatap pintu yang sudah tertutup.
“Alia, kamu sudah menikah?”
“Apa urusannya denganmu? Iya, dia anakku. Puas Dimas?”
Keduanya sama-sama naik darah, Dimas tahu ada yang salah, kalau memang tidak ada hubungan dengannya, seharusnya Alia tidak coba untuk menyembunyikan sosok Ivan.
“Dia anakku?”
Alia membeku dan menatap Dimas dengan sinis “Peduli apa kamu. Pergi sana, jangan ganggu kehidupanku lagi. Dia bukan anakmu, dia anakku.” Tegas Alia.
Dimas juga tidak mau kalah, dia menekan kenop pintu dan masuk ke rumah sewa Alia. Dia melihat Ivan yang sedang duduk manis di kursi depan tv.
Buru-buru Alia menghalangi pandangan Dimas dari Ivan “Dim, aku mohon. Pergi dari sini.”
Dimas semakin mendekat, menghampiri kedua orang yang kini sangat familiar untuknya.
“Aku tidak mungkin salah, dia anakku kan?”
Diamnya Alia membuat Dimas yakin kalau Ivan adalah anaknya. Bagaimana Dimas tidak yakin, Ivan benar-benar mirip dengannya.
Alia lelah ribut dengan Dimas, dia akhirnya mendesah panjang “Sudahlah Dimas, aku dan Ivan sudah baik-baik bahkan tanpa kehadiranmu. Jadi, berhenti menganggu aku.”
Tangan kanan Dimas kini menggosok dahinya dengan cepat “Kenapa kamu nggak cari aku?”
Alia menyeringai sinis “Sudah Dim, tapi aku langsung menyerah saat kamu bilang mau menikah. Tenang saja, aku tidak akan meminta pertanggung jawaban soal anakku.”
Dada Alia mendadak sesak, akhirnya rahasia soal anaknya terungkap juga. Tapi, apa yang akan berubah soal itu?
Sementara Dimas merasa sangat dikhianati, melihat Ivan memubuat rasa bersalahnya muncul. Apalagi Dimas tidak memiliki anak laki-laki dengan istrinya yang sekarang.
“Aku mau bicara dengan anakku.” Tukas Dimas, dia maju dua langkah untuk melewati Alia.
Gadis itu tentu saja tidak tinggal diam, dia menggeleng dan merentangkan tangannya “Dia bukan anakmu, dia anakku.”
“Tapi aku ayahnya. Kamu mau melupakan bagian itu, Al. Dia tetap darah dagingku.”
“Dimas, jangan egois. Kamu sudah punya keluarga sendiri, aku juga tidak mau dia punya ayah seperti kamu. Jadi berhenti pura-pura kalau kamu butuh kesempatan, kita sudah selesai dari beberapa tahun yang lalu.” Alia mendelik, membuat Dimas berdegik ngeri karena gadis itu bisa berubah menjadi sangat buas kalau menyangkut sang anak.
Dimas harus menyerah hari ini.
Begitu Dimas pergi dari sana, Alia baru menyadari kalau Ivan sedari tadi bersembunyi di belakang tubuhnya. Anak kecil itu menutup matanya rapat-rapat.
Matanya mendadak sesak melihat sang anak yang ketakutan karena Dimas.
“Maafin ibu, nak.” Alia memeluk Ivan yang menggelungkan tangannya di leher Alia.
“Tadi siapa, bu. Ivan nggak suka om tadi.”
Sudah terlanjur tahu, Alia ingin menjelaskan kepada Ivan siapa sebenarnya Dimas. Dan, berharap Ivan tidak akan takut pada Dimas. Ivan tidak perlu mengakui Dimas sebagai ayahnya. Karena Alia tidak akan mengharapkan Dimas menjadi sosok ayah untuk Ivan.
Padahal dia sedang bahagia karena akhirnya bisa mendapat pekerjaan yang bagus, dan bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya. Malah kini, ada kegelisahan karena sosok Dimas yang tiba-tiba muncul.
***
Malam itu, Dimas baru pulang. Sampai rumah dia malah berlama-lama di dalam mobil dan mengingat-ingat tentang Alia dan Ivan.
Selama ini dia hidup tenang dengan Emily. Istrinya itu memberinya tiga anak perempuan yang lucu. Namun, tidak bisa dipungkiri, Dimas masih mengharapkan Alia.
Sebab, putusnya mereka adalah karena kehamilan Emily yang mendadak. Emily juga mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Jerman. Pertemuan itu membuat Dimas dan Emily akrab hingga mereka melakukan hal-hal yang seharusnya belum mereka lakukan kala itu.
Dia keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Pembantu keluarga itu menyambut Dimas.
“Emily mana, bi?” tanya Dimas melepas dasinya.
“Lagi di atas, pak. Tadi nungguin pak Dimas pulang.”
Dimas mengangguk, dia menaiki tangga sambil memikirkan Alia. Saat masuk ke kamar. Dimas melihat Emily yang sedang menyusui anak ketiga mereka.
“Baru pulang? Aku tadi nunggu di bawah, kamu tumben banget pulang malam.” Protes Emily yang menggerutkan kening.
Dimas memijat pelipisnya karena pusing, ia melepas jas hitamnya.
“Banyak pekerjaan yang belum selesai.” Jawab Dimas, dia mulai melepas kancing kemejanya. Sudah gerah sekali dia memakai kemeja itu seharian.
Emily menaruh anak ketiganya ke ranjang kecil sebelah ranjang utama.
Gadis berambut ikal itu memeluk sang suami dan menciumnya singkat “Kamu kelihatan kesel banget? Banyak banget ya kerjaan kamu?”
Seketika Dimas merasa bersalah karena sudah memikirkan wanita lain ketika sang istri begitu mencintainya. Dimas mengusap pipi Emily yang lembut.
“Sorry, Em. Aku lupa ngabarin kamu.”
“Nggak apa-apa, aku cuma khawatir tadi.” Suara lembut dan merdu itu membuat Dimas semakin digerogoti rasa bersalah.
Kalua ada yang bisa di salahkan, Alia tentu tetap akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah memberi Dimas kesempatan berbuat salah dengannya.Bahkan ketika melihat Ivan yang tertidur pulas di sebelahnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Anak itu seolah tidak memiliki beban. Ada sebersit perasaan lega di dalam hati Alia karena Ivan bisa tumbuh dengan baik.Alia tidak pernah menyangka hari di mana kebenaran akan terungkap terjadi secepat ini.Tanpa sadar Alia meneteskan sebutir air mata, apakah dia bisa bertahan dengan keadaan ini?Entahlah, yang jelas dia akan terus menjalaninya.Mustahil dia bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang ini padahal baru sehari ia menjadi pegawai. Meski dia masih memiliki penghasilan dari luar, tetap saja, mempunyai pendapatan tetap akan lebih membuat dirinya tenang.*** Pagi itu, di kediaman Dimas yang terasa ramai karena teriakan anak-anaknya yang berhasil membangunkan pria yang baru tidur beberapa jam saja. Semalaman, Dimas tidak bisa memejamkan m
Malam ini Alia memutuskan untuk mengajak Ivan makan malam di luar. Kasihan anaknya tidak pernah bermain bersamanya lagi setelah Alia sibuk kerja.Meski Ivan tidak pernah mengeluh, tapi Alia sadar diri kalau peran ibu tunggal bukan hanya mencari nafkah. Banyak tugas yang harus ia jalani, salah satunya memberikan waktu di sela kesibukannya.Ivan melompat kegirangan saat Alia menjanjikan akan mengajak jalan-jalan setelah makan malam.“Ivan mau makan apa?” tanya Alia ketika mereka sampai di restoran Jepang.Ivan suka masakan Jepang, seperti ramen dan karage. Padahal masakan Jepang tidak terlalu masuk di lidah Alia.Ivan melirik ibunya malu-malu “Ivan mau es krim, bu.”Kepala Alia miring agar bisa menatap mata Ivan “Gimana kalau Ivan makan dulu, habis itu kita beli es krim di luar.” Dia harus bernegosiasi agar anaknya tidak kebanyakan gula.Ivan anak yang paham dan mudah diatur, dia mengangguk dan tersenyum pada Alia.*** Keributan di toko es krim membuat Alia berhimpit-himpitan dengan p
Rupanya, pekerjaan sebagai sekertaris Dimas tidak begitu mulus. Alia melihat beberapa orang yang mencoba mendekati Dimas hanya karena jabatan pria itu. Setiap obrolan, tersisip maksud tersembunyi yang Alia pahami.Di mata Alia, Dimas sangat cakap dalam menjalankan pekerjaannya. Dia tegas tapi juga fleksibel dalam berkomunikasi. Dia mengakui kehebatan pria itu, wajar saja karir Dimas terhitung cepat naik jabatan.Alia masuk ke ruangan Dimas setelah mengetuk pintu. Pakaian kantornya selalu biasa saja, dengan celana panjang, kemeja dan blazer.“Selamat siang pak, Pak Albert mau datang 30 menit lagi.” Ujar Alia saat memberikan daftar pekerjaan Dimas siang ini.Dimas mengangguk, matanya masih fokus ke laptopnya. Hari ini banyak kerjaan yang harus segera ia selesaikan“Kamu makan siang di sini sama aku aja. Nggak ada waktu kalau makan di luar.” Ungkap Dimas, nadanya selalu lembut ketika bicara dengan Alia.Ingin sekali Alia mencubit Dimas, dia gemas dengan pria yang sok-sokan mengaturnya it
Ponsel Alia tidak berhentikan bergetar, dia tidak menggubris. Seharusnya dia mematikan ponselnya daripada malah terjadi hal seperti ini. Lagian, siapa yang menghubungi malam-malam begini. “Bu, dari tadi HP ibu getar.” Ivan bicara karena dia merasakan juga getarannya.Alia gelagapan, dia tidak ingin Saka menjadi tidak nyaman.“Itu pasti urusan kerjaan.”Saka menaruh sendoknya, kini ia ingin fokus bicara dengan Alia “Kamu kerja di mana Alia?”“Di perusahaan penerbitan. Aku baru saja pindah dari editor ke sekertaris. Jadi masih masa peralihan, maaf ya.” Mendengar Alia mencoba menjelaskan bahkan tanpa diminta, Saka merasa senang. Walau ada yang menganggu di hatinya.Sebenarnya, siapakah ayah dari Ivan.Tapi sepertinya tidak sopan kalau menanyakan itu secara terang-terangan.“Alia, apa kamu hanya tinggal berdua dengan Ivan?”Alia mengangguk, dia sama sekali tidak malu dengan statusnya yang sebagai ibu tunggal.Saka menyelidik, dia berdehem mengamati Alia yang mengusap bibir Ivan “Lalu, k
Dimas menghampiri Alia ketika gadis itu baru saja keluar dari taksi onlinenya. Alia berlari menuju pintu, ingin sekali dia menghindari Dimas.“Alia.” Panggil Dimas, dia menghadang Alia dengan cepat.Gadis itu menghela napas, muak melihat Dimas yang tidak menyerah untuk mendekatinya.“Kamu ngapain ke sini, Dimas. Aku benar-benar sudah muak denganmu. Kamu tahu, kamu itu pria yang tidak tahu malu. Setelah kamu membuangku, sekarang kamu merasa bersalah. Jangan mimpi, Dimas.” kecam Alia yang mulai kehabisan kesabaran.Semua yang di lakukan Dimas adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Alia. Karena selama ini dia selalu hidup di bawah perintah dari keluarga Emily. Dia marasa sangat superior saat bersama Alia.Sedangkan Alia, malah semakin terganggu dengan Dimas. Ia hanya berharap Dimas sadar posisi dan berhenti mengejarnya.Tidak mau terlalu lama menanggapi Dimas, Alia mendorong tubuh pria itu.“Tolong pergi dari sini, Dim.”Dimas baru pergi setelah Emily meneleponnya.*** Alia kembali ke
Tidak diberi ijin untuk cuti, karena baru beberapa minggu bergabung dengan perusahaan. Alia terpaksa meminta Saka untuk menjaga Ivan. Dia sudah menelepon Mira, dan menghubungi sekolah Ivan.Saka juga sedang libur, jadi dia tidak terlalu repot hari ini. Rasa terima kasih Alia kepada Saka kian meninggi. Alia terbiasa mandiri dan kini malah mendapatkan bala bantuan yang tak pernah ia bayangkan.Alia hanya berharap Saka tidak akan pernah meninggalkannya.Alia membuang rasa malu saat menerima tawaran Saka untuk menjaga Ivan. Dia tidak akan tenang kalau Ivan sendirian. Sebagai gantinya, dia berjanji akan pulang lebih awal.Sesampainya di kantor, Alia di kejutkan dengan rombongan yang memenuhi ruangan Dimas.“Oh jadi ini sekertaris baru kamu, Dimas?” celetuk Pak Darto yang duduk di kursi Dimas.Dimas menunduk dan mengangguk patuh. Melihat Dimas yang tidak berdaya, membuat Alia kehabisan kata-kata, dimana Dimas yang merasa semua isi dunia ini adalah miliknya.“Maaf, pak. Saya tidak tahu kalau
Saka kembali ke kamar Ivan dengan wajah tenang yang berbanding terbalik dengan Alia yang cemas.Jelas Alia cemas, di mata Alia, Dimas adalah pria yang serakah dan tak ingin melepaskannya meski sudah berbahagia dengan istri dan anaknya.Lebih dari hal itu, Alia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan Saka.“Kamu nggak apa-apa, mas?” Alia mendekati Saka, menatap dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada lecet sedikit pun.Saka diam, mematung dengan mata yang tertuju pada bibir Alia yang sedari tadi mengap-mengap karena tak tahu harus berkata apa.Diamnya Saka membuat Alia semakin panik, dia meraih tangan Saka yang sedari tadi tersimpan di saku celananya “Mas?” tuntut Alia.“Dia sudah pergi, sepertinya dia cukup keras kepala.” Decak Saka, kini gantian dia yang meremas jemari Alia. Ingin sekali dia menerjang batasan untuk mencium gadis itu.Untung saja masih ada sisa kewarasan di otak Saka yang mencegah imajinasinya menjadi nyata. Ada Ivan yang menyaksikan keduanya bicara meski t
Kadang Alia merasa tak berdaya. Di tengah kota yang ramai ini. Alia masih merasa kesepian. Dia tidak memliki tujuan kecuali Ivan.Setiap merasa lelah, dia akan selalu mengingat anaknya. Anak yang bergantung padanya.*** Padahal sudah ketahuan bersalah lewat CCTV yang menunjukan kalau Dimas yang mendatangi Alia. Dimas tetap menyalahkan Alia dan berjanji tidak akan mendekati gadis itu lagi.Dimas sudah berada di rumahnya. Hari ini dia terpaksa tidak bekerja karena masalah keluarga yang mendesak.Emily berkacak pinggang, rasa kecewa yang teramat besar kini tidak bisa ia sembunyikan lagi. Selama ini dia kira dia adalah wanita satu-satunya di hidup Dimas. Nyatanya, pria itu malah main gila di belakangnya.“Jelaskan sama aku, apa kamu masih sayang sama perempuan itu?” decak Emily, sekuat tenaga dia menahan teriakannya agar tidak menakuti anak-anaknya.Dimas menggeleng cepat, memastikan istrinya percaya pada penyesalan palsunya.“Aku seharusnya sadar kalau dia hanya ingin mencoba kembali p
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara
Saka sigap mengangkat sang istri, dia tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya dia Saka ada di posisi yang menegangkan seperti ini.“Ma, jagain Ivan.” Ujarnya saat melewati pintu.Pengalamannya sebagai dokter membuatnya bisa berpikir jernih dalam keadaan seperti ini.“Jangan lupa bernapas.” Ucap Saka menurunkan Alia di kursi penumpang.Alia mengangguk dan mengikuti instruksi Saka. Alia jadi ikut tenang karena Saka terlihat baik-baik saja.Alia mencengkram pahanya ketika gelombang kontraksi perlahan datang mulai sering dari sebelumnya. Alia meringsis merasa kesakitan.Melihat istrinya yang berusaha susah payah menahan sakit. Saka lantas tancap gas. Ketenangan yang tadi ada, kini mulai sirna, dia ikut panik sekarang.Di dalam mobil, suasana hening sekali. Yang terdengar hanya suara rintihan Alia.Sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit.Saka keluar dan langsung membuka pintu samping. Mempersilahkan Alia turun, gadis itu tidak mau di bopong karena kotor. Padahal Saka tidak masalah sama
Malam itu, keduanya menghabiskan waktu bersama yang sempat tertunda. Saka seolah tidak pernah menyentuh istrinya, dia terus mengamati tubuh Alia yang semakin berubah.Bangun-bangun Alia masih berada dalam dekapan Saka. Tubuh mereka tidak memiliki jarak sama sekali, dan Alia menyukai itu. Aroma Saka yang tak pernah berubah dengan senyuman yang menyambutnya di pagi ini.Rasanya rindu yang selama ini terpendam menjadi tidak bermakna karena sebenarnya Saka tidak pernah meninggalkan Alia.“Sudah bangun?” tanya Saka yang mengusap wajah Alia.Alia mengangguk “Hari ini kita harus ke rumah sakit, mas.” Ujar sang istri yang sudah bersemangat.“Kalau gitu, biar aku siap-siap dulu.”Saka bangkit dari ranjang dan berjalan santai ke kamar mandi. Melihat punggung suaminya yang menghilang di balik pintu membuat Alia merasa cemas.Namun dia harus tetap tenang. Jangan sampai Saka malah merasa terbebani karen prasangkanya.Alia duduk di pinggir ranjangnya, mengambil baju tidurnya yang terjatuh. Wanita i
Alia sudah benar-benar pulih. Sekarang dia merawat Saka yang masih tak bisa mengingat siapapun bahkan dirinya sendiri.Saka sudah melalui beberapa tes dan hasilnya selalu sama saja. Tidak ada perubahan. Pria itu masih dinyatakan amnesia sampai batas waktu yang belum diketahui.Sementara itu, Alia memandikan sang suami dan melihat betapa banyaknya bekas luka yang mulai kering di tubuh Saka.Maklum, sudah tiga hari dia dirawat di rumah sakit ini. Dan, baru hari ini dia diperbolehkan mandi.“Duduk sini, mas.” Alia mempersilahkan Saka duduk di sisi kamar mandi yang memang disediakan untuk pasien.Saka menurut, dia meraih tangan Alia sambil menatap wanita itu “Aku mau potong rambut.”Senyum Alia terangkat kian tinggi “Nanti aku potong, sekarang mas mandi dulu, ya.”Alia bersikap sesabar itu. Dia tidak akan mengeluh. Keingannya sudah terkabul, kehadiran Saka saja sudah cukup bagi Alia. Terlepas dari apapun kondisi pria itu, Alia akan membantu Saka agar dia bisa sembuh kembali.Alia membuka
Menjelang malam tiba. Papa Saka sampai di sebuah rumah sakit pinggir kota. Jaraknya sekitar 4 jam dari kota.Papa Saka mencari nama anaknya di sebuah papan yang bertuliskan beberapa nama korban kecelakaan.Pria itu berhenti di depan ranjang rumah pasien yang tidak memiliki nama. Firasat pria itu mengatakan kalau yang ada dibalik tirai tersebut.Menelan ludahnya dengan susah payah. Pria itu membuka tirai dan benar saja. Saka berbaring ditemani seorang wanita yang tertidur pulas di sebelahnya.“Anda siapa?” tanya Papa Saka curiga.Wanita itu terkejut, dia menatap Saka dan Papanya bergantian “Sa-saya..”Sebelum wanita itu selesai bicara, Saka terbangun. Matanya menyipit menatap sang Papa yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.“Kamu siapa?” nada bicara Papa Saka meninggi tak sabaran.Wanita itu mengigit bibir bawahnya “Saya warga setempat yang menemukan bapak ini.”Papa Saka menghela napas panjang “Astaga, maafkan saya. Saya papanya Saka. Terima kasih untuk bantuan anda.” Papa Saka menya
“Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat…..” suara dari pewarta berita itu membuat telinga Alia berdengung kencang. Tv yang tadi menampilkan berita kini terasa buram.Yang ada di dalam berita itu adalah pesawat yang tadi Saka tumpangi.Belum sempat Alia mencerna semua ucapan pembawa berita. Dia goyah dan berpegangan pada ujung sofa. Mama Saka yang juga mendengar kabar itu langsung menatap suaminya yang menunjukan ekspresi tegang.Papa Saka mengambil ponselnya dan meninggalkan kedua wanita yang kini saling berpegangan tangan.“Alia, tenangkan dirimu.” Ucap mama Saka dengan nada bergetar. Dia tidak mau terlihat lemah. Apalagi, menantunya yang mematung disebelahnya sedang butuh bantuan.Alia menoleh menatap sang ibu mertua yang juga berkaca-kaca “Ma, mas Saka, ma.”Tidak ada jawaban dari Mama Saka, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu memeluk Alia yang gemetaran.Harapan kalau Saka baik-baik saja masih belum sirna. Mama Saka tidak bisa menahan air matanyanya ketika berita mem
Ide tersebut disambut baik oleh kedua orang tua Saka. Bagaimana tidak, akhirnya anaknya memiliki minat pada bisnis keluarga yang sudah lama mereka bangun.Setelah mereka bersusah payah menyiapkan masa depan yang cerah untuuk anak semata wayangnya. Saka malah merubah haluan menjadi dokter dan menutup semua komunikasi pada mereka.Maka, waktu dia meminta ijin menikah dengan Alia. Orang tuanya sudah senang karena akhirnya Saka menghubungi mereka terlebih dahulu.“Saka, mama sangat mendukung kalau kamu mau berhenti jadi dokter. Bukan berarti jadi dokter itu tidak baik. Hanya saja, kamu jadi sulit membagi waktu.” Oceh Mama mencoba meyakinkan anaknya. Beliau takut kalau ucapnnya terlalu terdengar agresif.Papa menatap istrinya penuh heran “Biarkan saja dia. Apa pun keputusan yang kamu ambil. Papa pasti mendukungmu.”Saka menatap kesebrang ruangan, dimana Alia sedang duduk bersama Ivan “Mereka sepadan, pa. Alia satu-satunya wanita yang bisa meyakinkanku dalam waktu sesingkat itu.”Papa menga
Dimas meninggalkan Susan yang duduk termenung di kursi kamarnya. Meninggalkan perempuan yang sedang mengandung anaknya dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi.Masih dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak tahu kalau apa yang ia lakukan akan menjadi sekacau ini.Awalnya Susan yakin bisa meluluhkan Dimas, namun sampai akhir, Dimas selalu menjadikannya wanita pelampiasan agar mengantikan Alia.Perasaan benci kepada mantan anak buahnya muncul ke dalam hatinya. Seharusnya yang ada di dalam hati Dimas adalah dirinya, bukan Alia yang sudah bahagia dengan pilihannya sendiri.*** Di rumah sakit, Saka meminta ijin kepada seniornya untuk tidak ikut seminar. Pokoknya dia tidak akan meninggalkan istrinya apa pun alasannya.“Maaf, pak. Istri saya sedang hamil, jadi mungkin saya tidak bisa ikut dalam seminar itu.” Saka menatap atasannya dengan penuh ketegasan.Senior Saka yang duduk di kursi balik meja itu mendongak menatap dokter muda yang terlihat cemas “Hanya satu minggu, Saka. Apal