Ponsel Alia tidak berhentikan bergetar, dia tidak menggubris. Seharusnya dia mematikan ponselnya daripada malah terjadi hal seperti ini. Lagian, siapa yang menghubungi malam-malam begini. “Bu, dari tadi HP ibu getar.” Ivan bicara karena dia merasakan juga getarannya.Alia gelagapan, dia tidak ingin Saka menjadi tidak nyaman.“Itu pasti urusan kerjaan.”Saka menaruh sendoknya, kini ia ingin fokus bicara dengan Alia “Kamu kerja di mana Alia?”“Di perusahaan penerbitan. Aku baru saja pindah dari editor ke sekertaris. Jadi masih masa peralihan, maaf ya.” Mendengar Alia mencoba menjelaskan bahkan tanpa diminta, Saka merasa senang. Walau ada yang menganggu di hatinya.Sebenarnya, siapakah ayah dari Ivan.Tapi sepertinya tidak sopan kalau menanyakan itu secara terang-terangan.“Alia, apa kamu hanya tinggal berdua dengan Ivan?”Alia mengangguk, dia sama sekali tidak malu dengan statusnya yang sebagai ibu tunggal.Saka menyelidik, dia berdehem mengamati Alia yang mengusap bibir Ivan “Lalu, k
Dimas menghampiri Alia ketika gadis itu baru saja keluar dari taksi onlinenya. Alia berlari menuju pintu, ingin sekali dia menghindari Dimas.“Alia.” Panggil Dimas, dia menghadang Alia dengan cepat.Gadis itu menghela napas, muak melihat Dimas yang tidak menyerah untuk mendekatinya.“Kamu ngapain ke sini, Dimas. Aku benar-benar sudah muak denganmu. Kamu tahu, kamu itu pria yang tidak tahu malu. Setelah kamu membuangku, sekarang kamu merasa bersalah. Jangan mimpi, Dimas.” kecam Alia yang mulai kehabisan kesabaran.Semua yang di lakukan Dimas adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Alia. Karena selama ini dia selalu hidup di bawah perintah dari keluarga Emily. Dia marasa sangat superior saat bersama Alia.Sedangkan Alia, malah semakin terganggu dengan Dimas. Ia hanya berharap Dimas sadar posisi dan berhenti mengejarnya.Tidak mau terlalu lama menanggapi Dimas, Alia mendorong tubuh pria itu.“Tolong pergi dari sini, Dim.”Dimas baru pergi setelah Emily meneleponnya.*** Alia kembali ke
Tidak diberi ijin untuk cuti, karena baru beberapa minggu bergabung dengan perusahaan. Alia terpaksa meminta Saka untuk menjaga Ivan. Dia sudah menelepon Mira, dan menghubungi sekolah Ivan.Saka juga sedang libur, jadi dia tidak terlalu repot hari ini. Rasa terima kasih Alia kepada Saka kian meninggi. Alia terbiasa mandiri dan kini malah mendapatkan bala bantuan yang tak pernah ia bayangkan.Alia hanya berharap Saka tidak akan pernah meninggalkannya.Alia membuang rasa malu saat menerima tawaran Saka untuk menjaga Ivan. Dia tidak akan tenang kalau Ivan sendirian. Sebagai gantinya, dia berjanji akan pulang lebih awal.Sesampainya di kantor, Alia di kejutkan dengan rombongan yang memenuhi ruangan Dimas.“Oh jadi ini sekertaris baru kamu, Dimas?” celetuk Pak Darto yang duduk di kursi Dimas.Dimas menunduk dan mengangguk patuh. Melihat Dimas yang tidak berdaya, membuat Alia kehabisan kata-kata, dimana Dimas yang merasa semua isi dunia ini adalah miliknya.“Maaf, pak. Saya tidak tahu kalau
Saka kembali ke kamar Ivan dengan wajah tenang yang berbanding terbalik dengan Alia yang cemas.Jelas Alia cemas, di mata Alia, Dimas adalah pria yang serakah dan tak ingin melepaskannya meski sudah berbahagia dengan istri dan anaknya.Lebih dari hal itu, Alia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan Saka.“Kamu nggak apa-apa, mas?” Alia mendekati Saka, menatap dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada lecet sedikit pun.Saka diam, mematung dengan mata yang tertuju pada bibir Alia yang sedari tadi mengap-mengap karena tak tahu harus berkata apa.Diamnya Saka membuat Alia semakin panik, dia meraih tangan Saka yang sedari tadi tersimpan di saku celananya “Mas?” tuntut Alia.“Dia sudah pergi, sepertinya dia cukup keras kepala.” Decak Saka, kini gantian dia yang meremas jemari Alia. Ingin sekali dia menerjang batasan untuk mencium gadis itu.Untung saja masih ada sisa kewarasan di otak Saka yang mencegah imajinasinya menjadi nyata. Ada Ivan yang menyaksikan keduanya bicara meski t
Kadang Alia merasa tak berdaya. Di tengah kota yang ramai ini. Alia masih merasa kesepian. Dia tidak memliki tujuan kecuali Ivan.Setiap merasa lelah, dia akan selalu mengingat anaknya. Anak yang bergantung padanya.*** Padahal sudah ketahuan bersalah lewat CCTV yang menunjukan kalau Dimas yang mendatangi Alia. Dimas tetap menyalahkan Alia dan berjanji tidak akan mendekati gadis itu lagi.Dimas sudah berada di rumahnya. Hari ini dia terpaksa tidak bekerja karena masalah keluarga yang mendesak.Emily berkacak pinggang, rasa kecewa yang teramat besar kini tidak bisa ia sembunyikan lagi. Selama ini dia kira dia adalah wanita satu-satunya di hidup Dimas. Nyatanya, pria itu malah main gila di belakangnya.“Jelaskan sama aku, apa kamu masih sayang sama perempuan itu?” decak Emily, sekuat tenaga dia menahan teriakannya agar tidak menakuti anak-anaknya.Dimas menggeleng cepat, memastikan istrinya percaya pada penyesalan palsunya.“Aku seharusnya sadar kalau dia hanya ingin mencoba kembali p
Pagi ini Alia menyiapkan Ivan untuk berangkat sekolah. Dia ada dua interview hari ini, salah satunya adalah tempat yang baru ia dengar. Sementara itu, Ivan sudah memakai sepatunya sendiri.“Ivan nanti kita makan malam sama om Saka, ya?” tanya Alia, ia mengambilkan tas milik anaknya.Ivan melompat kecil “Bener, bu?”Alia mengangguk, setelah itu keduanya pergi dari rumah.*** Ponsel Alia bergetar, wajah Alia sumringah saat pesan Saka memberikan pesan.Saka : Nanti malam aku jemput, jangan lupa pakai baju yang aku belikan.Ojek Alia datang sebelum ia sempat membalasnya. Suasana hati Alia langsung cerah, dia akan melaju satu langkah bersama Saka.Seperti ada kembang api di dalam dadanya, Alia tidak hanya bahagia, melainkan juga tak sabar dengan kelanjutan hubungannya dengan Saka.Sesampainya di kantor pertama, Alia langsung menuju ruangan direktur. Kantor ini lebih kecil dari kantornya sebelumnya, hanya ada tiga lantai. Bedanya, Alia malah merasa lebih senang dengan suasana kantor ini.S
Makan malam berjalan lancar, setelah obrolan yang basa-basi itu Saka memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Setidaknya, Saka paham kalau Alia dan Ivan pasti haus karena di interogasi oleh orang tuanya.Mama Saka menatap Ivan yang duduk manis memakan hidangan penutup yang baru saja hadir.“Alia, apa anakmu selalu sependiam ini?” tanya Mama Saka penasaran.Alia menggeleng, tersenyum “Kadang dia juga jahil dan cerewet. Tapi kalau ada di tempat yang baru, Ivan sering menjadi pendiam.”Mama Saka mengangguk, dia kembali mentap Saka dengan tatapan yang heran. Kenapa anaknya yang tampan itu malah terpincut dengan wanita yang sudah memiliki anak?Mungkin karena Alia memiliki pesona yang luar biasa.Papa Saka terlihat selesai makan, dia lantas meremas serbet yang tadi ada di pahanya “Saka, kamu tahu kalau apa yang kamu lakukan sekarang ini sangat-sangat butuh komitmen tinggi?”“Tahu, Pa. Aku tidak pernah seyakin ini saat memiliki hubunnngan dengan orang lain.” Tegas Saka, dia menghela
Ciuman yang terasa semanis madu, dan selembut awan. Alia memejamkan matanya, tanpa penolakan sama sekali. Sayangnya, ciuman indah itu hanya bertahan dua menit.Saka melepaskan bibirnya “Belum waktunya, Alia. Kita harus bersabar.”Pipi Alia memerah, dia tak pernah menyangka akan menjadi wanita yang ingin terus merasakan ciuman dari seorang pria. Terlebih lagi, pria itu adalah calon suaminya sendiri yang belum pernah menyentuhnya.Padahal Alia tidak tahu, selama ini sangat sulit bagi Saka untuk mengubur hasrat bercintanya sampai waktu yang tepat tiba.“Kamu mandi dulu aja, kamar Ivan ada di lantai dua setelah tangga. Nanti kamu tidur sana, dan pastikan kunci kamarnya.” Perintah Saka, dia memberikan senyuman sejuta arti yang Alia pahami.Alia menggerutkan dahi “Iya, mas. Oh aku sampai lupa, aku sudah di terima kerja, besok aku bisa berangkat habis antar Ivan.”Saka hanya mengangguk, menepuk lengan Alia agar segera ke kamarnya, sejujurnya dia sudah tak tahan lagi. Ada yang sedang berdiri
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara
Saka sigap mengangkat sang istri, dia tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya dia Saka ada di posisi yang menegangkan seperti ini.“Ma, jagain Ivan.” Ujarnya saat melewati pintu.Pengalamannya sebagai dokter membuatnya bisa berpikir jernih dalam keadaan seperti ini.“Jangan lupa bernapas.” Ucap Saka menurunkan Alia di kursi penumpang.Alia mengangguk dan mengikuti instruksi Saka. Alia jadi ikut tenang karena Saka terlihat baik-baik saja.Alia mencengkram pahanya ketika gelombang kontraksi perlahan datang mulai sering dari sebelumnya. Alia meringsis merasa kesakitan.Melihat istrinya yang berusaha susah payah menahan sakit. Saka lantas tancap gas. Ketenangan yang tadi ada, kini mulai sirna, dia ikut panik sekarang.Di dalam mobil, suasana hening sekali. Yang terdengar hanya suara rintihan Alia.Sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit.Saka keluar dan langsung membuka pintu samping. Mempersilahkan Alia turun, gadis itu tidak mau di bopong karena kotor. Padahal Saka tidak masalah sama
Malam itu, keduanya menghabiskan waktu bersama yang sempat tertunda. Saka seolah tidak pernah menyentuh istrinya, dia terus mengamati tubuh Alia yang semakin berubah.Bangun-bangun Alia masih berada dalam dekapan Saka. Tubuh mereka tidak memiliki jarak sama sekali, dan Alia menyukai itu. Aroma Saka yang tak pernah berubah dengan senyuman yang menyambutnya di pagi ini.Rasanya rindu yang selama ini terpendam menjadi tidak bermakna karena sebenarnya Saka tidak pernah meninggalkan Alia.“Sudah bangun?” tanya Saka yang mengusap wajah Alia.Alia mengangguk “Hari ini kita harus ke rumah sakit, mas.” Ujar sang istri yang sudah bersemangat.“Kalau gitu, biar aku siap-siap dulu.”Saka bangkit dari ranjang dan berjalan santai ke kamar mandi. Melihat punggung suaminya yang menghilang di balik pintu membuat Alia merasa cemas.Namun dia harus tetap tenang. Jangan sampai Saka malah merasa terbebani karen prasangkanya.Alia duduk di pinggir ranjangnya, mengambil baju tidurnya yang terjatuh. Wanita i
Alia sudah benar-benar pulih. Sekarang dia merawat Saka yang masih tak bisa mengingat siapapun bahkan dirinya sendiri.Saka sudah melalui beberapa tes dan hasilnya selalu sama saja. Tidak ada perubahan. Pria itu masih dinyatakan amnesia sampai batas waktu yang belum diketahui.Sementara itu, Alia memandikan sang suami dan melihat betapa banyaknya bekas luka yang mulai kering di tubuh Saka.Maklum, sudah tiga hari dia dirawat di rumah sakit ini. Dan, baru hari ini dia diperbolehkan mandi.“Duduk sini, mas.” Alia mempersilahkan Saka duduk di sisi kamar mandi yang memang disediakan untuk pasien.Saka menurut, dia meraih tangan Alia sambil menatap wanita itu “Aku mau potong rambut.”Senyum Alia terangkat kian tinggi “Nanti aku potong, sekarang mas mandi dulu, ya.”Alia bersikap sesabar itu. Dia tidak akan mengeluh. Keingannya sudah terkabul, kehadiran Saka saja sudah cukup bagi Alia. Terlepas dari apapun kondisi pria itu, Alia akan membantu Saka agar dia bisa sembuh kembali.Alia membuka
Menjelang malam tiba. Papa Saka sampai di sebuah rumah sakit pinggir kota. Jaraknya sekitar 4 jam dari kota.Papa Saka mencari nama anaknya di sebuah papan yang bertuliskan beberapa nama korban kecelakaan.Pria itu berhenti di depan ranjang rumah pasien yang tidak memiliki nama. Firasat pria itu mengatakan kalau yang ada dibalik tirai tersebut.Menelan ludahnya dengan susah payah. Pria itu membuka tirai dan benar saja. Saka berbaring ditemani seorang wanita yang tertidur pulas di sebelahnya.“Anda siapa?” tanya Papa Saka curiga.Wanita itu terkejut, dia menatap Saka dan Papanya bergantian “Sa-saya..”Sebelum wanita itu selesai bicara, Saka terbangun. Matanya menyipit menatap sang Papa yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.“Kamu siapa?” nada bicara Papa Saka meninggi tak sabaran.Wanita itu mengigit bibir bawahnya “Saya warga setempat yang menemukan bapak ini.”Papa Saka menghela napas panjang “Astaga, maafkan saya. Saya papanya Saka. Terima kasih untuk bantuan anda.” Papa Saka menya
“Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat…..” suara dari pewarta berita itu membuat telinga Alia berdengung kencang. Tv yang tadi menampilkan berita kini terasa buram.Yang ada di dalam berita itu adalah pesawat yang tadi Saka tumpangi.Belum sempat Alia mencerna semua ucapan pembawa berita. Dia goyah dan berpegangan pada ujung sofa. Mama Saka yang juga mendengar kabar itu langsung menatap suaminya yang menunjukan ekspresi tegang.Papa Saka mengambil ponselnya dan meninggalkan kedua wanita yang kini saling berpegangan tangan.“Alia, tenangkan dirimu.” Ucap mama Saka dengan nada bergetar. Dia tidak mau terlihat lemah. Apalagi, menantunya yang mematung disebelahnya sedang butuh bantuan.Alia menoleh menatap sang ibu mertua yang juga berkaca-kaca “Ma, mas Saka, ma.”Tidak ada jawaban dari Mama Saka, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu memeluk Alia yang gemetaran.Harapan kalau Saka baik-baik saja masih belum sirna. Mama Saka tidak bisa menahan air matanyanya ketika berita mem
Ide tersebut disambut baik oleh kedua orang tua Saka. Bagaimana tidak, akhirnya anaknya memiliki minat pada bisnis keluarga yang sudah lama mereka bangun.Setelah mereka bersusah payah menyiapkan masa depan yang cerah untuuk anak semata wayangnya. Saka malah merubah haluan menjadi dokter dan menutup semua komunikasi pada mereka.Maka, waktu dia meminta ijin menikah dengan Alia. Orang tuanya sudah senang karena akhirnya Saka menghubungi mereka terlebih dahulu.“Saka, mama sangat mendukung kalau kamu mau berhenti jadi dokter. Bukan berarti jadi dokter itu tidak baik. Hanya saja, kamu jadi sulit membagi waktu.” Oceh Mama mencoba meyakinkan anaknya. Beliau takut kalau ucapnnya terlalu terdengar agresif.Papa menatap istrinya penuh heran “Biarkan saja dia. Apa pun keputusan yang kamu ambil. Papa pasti mendukungmu.”Saka menatap kesebrang ruangan, dimana Alia sedang duduk bersama Ivan “Mereka sepadan, pa. Alia satu-satunya wanita yang bisa meyakinkanku dalam waktu sesingkat itu.”Papa menga
Dimas meninggalkan Susan yang duduk termenung di kursi kamarnya. Meninggalkan perempuan yang sedang mengandung anaknya dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi.Masih dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak tahu kalau apa yang ia lakukan akan menjadi sekacau ini.Awalnya Susan yakin bisa meluluhkan Dimas, namun sampai akhir, Dimas selalu menjadikannya wanita pelampiasan agar mengantikan Alia.Perasaan benci kepada mantan anak buahnya muncul ke dalam hatinya. Seharusnya yang ada di dalam hati Dimas adalah dirinya, bukan Alia yang sudah bahagia dengan pilihannya sendiri.*** Di rumah sakit, Saka meminta ijin kepada seniornya untuk tidak ikut seminar. Pokoknya dia tidak akan meninggalkan istrinya apa pun alasannya.“Maaf, pak. Istri saya sedang hamil, jadi mungkin saya tidak bisa ikut dalam seminar itu.” Saka menatap atasannya dengan penuh ketegasan.Senior Saka yang duduk di kursi balik meja itu mendongak menatap dokter muda yang terlihat cemas “Hanya satu minggu, Saka. Apal