Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.
Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.
Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.
Ada Arka, Saika, dan Raida.
2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.
Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.
Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.
Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.
Sosok Ivan yang suka bicara
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
“Hamil, dok?” tanya Alia memastikan, sembari ia memegang perutnya yang masih datar.Dokter wanita itu mengangguk sembari tersenyum. Ini seharusnya menjadi kabar baik untuk sebagian wanita di luar sana.Tapi, tidak bagi Alia Melati, dia masih 21 tahun. Bahkan dia belum lulus kuliah, yang lebih parahnya lagi, Alia kini kehilangan ayah si jabang bayi.“Usia kandungan saya berapa minggu, dok?” Alia yakin seharusnya masih dini, baru dua kali dia melakukan hubungan badan dengan sang kekasih yang sudah menghilang bagai di telan bumi.Alia sungguh tidak menyangka, kenikmatan sementara itu berujung petaka baginya.“Kalau dari hitungan usg, usia kandungan sekitar 6 minggu.” Jelas sang dokter santai.Gadis itu masih membeku di kursinya dengan tangan yang sibuk menutupi perutnya. Dia sungguh tidak menyangka.Dokter tersebut memberikan resep berupa vitamin dan beberapa obat anti mual.Niat awal ingin memeriksakan diri karena tidak mengalami menstruasi selama 2 bulan. Alia malah dikejutkan dengan j
Kamar menjadi satu-satunya tempat Alia bersembunyi. Dunia luar terlalu menekannya, seolah hanya dia pendosa yang ada di dunia ini.Sang ibu sedang mengamuk di luar kamarnya. Terdengar beberapa barang yang jatuh ke lantai dengan keras.Alia hanya bisa menangis di balik pintu sembari menutupi mulutnya. Jangan sampai ada suara yang keluar dari mulutnya. Ini hukuman yang pantas ia dapat. Dan, Alia sadar akan hal itu.Setelah hampir dua jam, Alia tidak lagi mendengar suara ribut dari luar. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu.Mungkin dia harus segera keluar dari rumah kalau tidak mau membuat masalah semakin panjang. Baru saja Alia hendak ke dapur ibu keluar dari kamar membawa gelas di tangannya.“Masih di sini kamu?” tanya ibu, nadanya sangat ketus sampai melukai Alia.Alia menoleh takut “Bu, Alia mau ambil..” belum juga dia selesai bicara, ibu sudah melemparkan gelas itu tepat di depan Alia. Gelas itu terpecah, hingga pecahannya mengenai kakinya hingga berdarah.Raut wajah Alia meri
Lebih mudah mencari kambing hitam dibanding mencari solusi. Itu yang ingin Alia lakukan tapi dia tidak memiliki kuasa atas apa yang sedang terjadi.Kebodohan adalah masalahnya, Alia mengutuk kebodohannya sendiri karena sudah terbuai dengan janji manis Dimas waktu itu. Kalau bisa mengulang waktu, Alia akan berharap agar tidak mengenal Dimas.Saat perutnya terasa begah karena sudah amat besar. Alia menngelus perutnya pelan saat calon anaknya memberikan tendangan munggil “Bukan nak, ibu nggak salahin kamu.” Ucapnya pada diri sendiri, Alia sudah berdamai dengan kehamilannya.Dia bahkan hanya tinggal menghitung hari sampai waktunya melahirkan.Membayangkan itu membuat Alia tiba-tiba merasa mual sekaligus bersemangat.Tidak ada yang berubah, kecuali sang ibu yang menghilang setelah kandungan Alia tepat berusia 5 bulan.Tanpa pamit, ibu juga ikut menghilang bak pergi ke dimensi lain yang berbeda dengan Alia.Alia tidak mencoba mencarinya, dia lelah mencari. Kini dia hanya bisa menunggu, menu
Ke pindahan yang membawa arah baru bagi Alia dan Ivan sedang di lakukan. Meski mereka harus berpisah dengan Mira, namun mereka berhasil pindah ke kota.Ibu kembali ke rumah setelah Alia pindah, dengan tegas ibu meminta untuk tidak lagi kembali apa pun yang terjadi.Meski mustahil, Alia tetap mencoba menurutinya. Sebab, sampai saat ini, Ivan masih dianggap sebagai orang lain yang menyebalkan.Dari pada sama-sama emosi, Alia tidak akan memaksa sang ibu menerima anaknya. Yang tidak langsung adalah cucunya sendiri.Bisa jadi Ivan adalah cucu satu-satunya untuk keluarga ini.“Ivan, nanti Ivan tidur sama ibu ya.” Ucap Alia yang baru saja selesai membongkar koper terakirnya.Ivan mengangguk sambil celingukan “Bu, kita udah nggak sama tante Mira?”Alia menggeleng, mencondongkan tubuhnya agar sejajar dengan Ivan yang berdiri di sebelah meja makan “Ivan nggak apa-apa kan tinggal berdua sama ibu?”Anak kecil itu diam sejenak, menatap ibunya dan seisi rumah yang kosong. Hanya ada satu kamar, kama
Rapat akhirnya selesai, Alia pamit ke kamar kecil untuk merenungkan semua yang sedang terjadi. Kakinya lemas sampai terduduk di toilet dengan mata tertutup.“Kenapa aku harus ketemu Dimas? Aku pengen hidup tenang.” Batin Alia nelangsa.Alia keluar setelah 10 menit menenangkan diri. Belum sempat kembali ke ruangannya, Alia sudah di panggil oleh direktur pemasaran yaitu Dimas.Kepala Alia pening, sebenarnya apa lagi yang Dimas inginkan.Gadis itu menggetuk ruangan Dimas.“Masuk.” Teriak Dimas dari dalam ruangan.Aila menunduk seakan tidak ingin bicara dengan Dimas.Dimas menggerutkan keningnya sembari menatap Alia tajam “Apa kabar, Al?”“Baik, pak.”“Aku Dimas, bukan direktur pemasaran.”Kini Alia yang mendengus kesal, matanya berubah dari takut menjadi berapi-api “Maaf pak Dimas, saya tidak paham. Setahu saya, Pak Dimas dan saya tidak saling kenal.” Desis Alia sebal.Bibir Dimas berkedut, dia tidak tahu kenapa Alia bisa sekesal itu “Setelah aku pindah, ibuku bilang kalau kamu datang ke
Kalua ada yang bisa di salahkan, Alia tentu tetap akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah memberi Dimas kesempatan berbuat salah dengannya.Bahkan ketika melihat Ivan yang tertidur pulas di sebelahnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Anak itu seolah tidak memiliki beban. Ada sebersit perasaan lega di dalam hati Alia karena Ivan bisa tumbuh dengan baik.Alia tidak pernah menyangka hari di mana kebenaran akan terungkap terjadi secepat ini.Tanpa sadar Alia meneteskan sebutir air mata, apakah dia bisa bertahan dengan keadaan ini?Entahlah, yang jelas dia akan terus menjalaninya.Mustahil dia bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang ini padahal baru sehari ia menjadi pegawai. Meski dia masih memiliki penghasilan dari luar, tetap saja, mempunyai pendapatan tetap akan lebih membuat dirinya tenang.*** Pagi itu, di kediaman Dimas yang terasa ramai karena teriakan anak-anaknya yang berhasil membangunkan pria yang baru tidur beberapa jam saja. Semalaman, Dimas tidak bisa memejamkan m
Malam ini Alia memutuskan untuk mengajak Ivan makan malam di luar. Kasihan anaknya tidak pernah bermain bersamanya lagi setelah Alia sibuk kerja.Meski Ivan tidak pernah mengeluh, tapi Alia sadar diri kalau peran ibu tunggal bukan hanya mencari nafkah. Banyak tugas yang harus ia jalani, salah satunya memberikan waktu di sela kesibukannya.Ivan melompat kegirangan saat Alia menjanjikan akan mengajak jalan-jalan setelah makan malam.“Ivan mau makan apa?” tanya Alia ketika mereka sampai di restoran Jepang.Ivan suka masakan Jepang, seperti ramen dan karage. Padahal masakan Jepang tidak terlalu masuk di lidah Alia.Ivan melirik ibunya malu-malu “Ivan mau es krim, bu.”Kepala Alia miring agar bisa menatap mata Ivan “Gimana kalau Ivan makan dulu, habis itu kita beli es krim di luar.” Dia harus bernegosiasi agar anaknya tidak kebanyakan gula.Ivan anak yang paham dan mudah diatur, dia mengangguk dan tersenyum pada Alia.*** Keributan di toko es krim membuat Alia berhimpit-himpitan dengan p
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara
Saka sigap mengangkat sang istri, dia tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya dia Saka ada di posisi yang menegangkan seperti ini.“Ma, jagain Ivan.” Ujarnya saat melewati pintu.Pengalamannya sebagai dokter membuatnya bisa berpikir jernih dalam keadaan seperti ini.“Jangan lupa bernapas.” Ucap Saka menurunkan Alia di kursi penumpang.Alia mengangguk dan mengikuti instruksi Saka. Alia jadi ikut tenang karena Saka terlihat baik-baik saja.Alia mencengkram pahanya ketika gelombang kontraksi perlahan datang mulai sering dari sebelumnya. Alia meringsis merasa kesakitan.Melihat istrinya yang berusaha susah payah menahan sakit. Saka lantas tancap gas. Ketenangan yang tadi ada, kini mulai sirna, dia ikut panik sekarang.Di dalam mobil, suasana hening sekali. Yang terdengar hanya suara rintihan Alia.Sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit.Saka keluar dan langsung membuka pintu samping. Mempersilahkan Alia turun, gadis itu tidak mau di bopong karena kotor. Padahal Saka tidak masalah sama
Malam itu, keduanya menghabiskan waktu bersama yang sempat tertunda. Saka seolah tidak pernah menyentuh istrinya, dia terus mengamati tubuh Alia yang semakin berubah.Bangun-bangun Alia masih berada dalam dekapan Saka. Tubuh mereka tidak memiliki jarak sama sekali, dan Alia menyukai itu. Aroma Saka yang tak pernah berubah dengan senyuman yang menyambutnya di pagi ini.Rasanya rindu yang selama ini terpendam menjadi tidak bermakna karena sebenarnya Saka tidak pernah meninggalkan Alia.“Sudah bangun?” tanya Saka yang mengusap wajah Alia.Alia mengangguk “Hari ini kita harus ke rumah sakit, mas.” Ujar sang istri yang sudah bersemangat.“Kalau gitu, biar aku siap-siap dulu.”Saka bangkit dari ranjang dan berjalan santai ke kamar mandi. Melihat punggung suaminya yang menghilang di balik pintu membuat Alia merasa cemas.Namun dia harus tetap tenang. Jangan sampai Saka malah merasa terbebani karen prasangkanya.Alia duduk di pinggir ranjangnya, mengambil baju tidurnya yang terjatuh. Wanita i
Alia sudah benar-benar pulih. Sekarang dia merawat Saka yang masih tak bisa mengingat siapapun bahkan dirinya sendiri.Saka sudah melalui beberapa tes dan hasilnya selalu sama saja. Tidak ada perubahan. Pria itu masih dinyatakan amnesia sampai batas waktu yang belum diketahui.Sementara itu, Alia memandikan sang suami dan melihat betapa banyaknya bekas luka yang mulai kering di tubuh Saka.Maklum, sudah tiga hari dia dirawat di rumah sakit ini. Dan, baru hari ini dia diperbolehkan mandi.“Duduk sini, mas.” Alia mempersilahkan Saka duduk di sisi kamar mandi yang memang disediakan untuk pasien.Saka menurut, dia meraih tangan Alia sambil menatap wanita itu “Aku mau potong rambut.”Senyum Alia terangkat kian tinggi “Nanti aku potong, sekarang mas mandi dulu, ya.”Alia bersikap sesabar itu. Dia tidak akan mengeluh. Keingannya sudah terkabul, kehadiran Saka saja sudah cukup bagi Alia. Terlepas dari apapun kondisi pria itu, Alia akan membantu Saka agar dia bisa sembuh kembali.Alia membuka
Menjelang malam tiba. Papa Saka sampai di sebuah rumah sakit pinggir kota. Jaraknya sekitar 4 jam dari kota.Papa Saka mencari nama anaknya di sebuah papan yang bertuliskan beberapa nama korban kecelakaan.Pria itu berhenti di depan ranjang rumah pasien yang tidak memiliki nama. Firasat pria itu mengatakan kalau yang ada dibalik tirai tersebut.Menelan ludahnya dengan susah payah. Pria itu membuka tirai dan benar saja. Saka berbaring ditemani seorang wanita yang tertidur pulas di sebelahnya.“Anda siapa?” tanya Papa Saka curiga.Wanita itu terkejut, dia menatap Saka dan Papanya bergantian “Sa-saya..”Sebelum wanita itu selesai bicara, Saka terbangun. Matanya menyipit menatap sang Papa yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.“Kamu siapa?” nada bicara Papa Saka meninggi tak sabaran.Wanita itu mengigit bibir bawahnya “Saya warga setempat yang menemukan bapak ini.”Papa Saka menghela napas panjang “Astaga, maafkan saya. Saya papanya Saka. Terima kasih untuk bantuan anda.” Papa Saka menya
“Telah terjadi sebuah kecelakaan pesawat…..” suara dari pewarta berita itu membuat telinga Alia berdengung kencang. Tv yang tadi menampilkan berita kini terasa buram.Yang ada di dalam berita itu adalah pesawat yang tadi Saka tumpangi.Belum sempat Alia mencerna semua ucapan pembawa berita. Dia goyah dan berpegangan pada ujung sofa. Mama Saka yang juga mendengar kabar itu langsung menatap suaminya yang menunjukan ekspresi tegang.Papa Saka mengambil ponselnya dan meninggalkan kedua wanita yang kini saling berpegangan tangan.“Alia, tenangkan dirimu.” Ucap mama Saka dengan nada bergetar. Dia tidak mau terlihat lemah. Apalagi, menantunya yang mematung disebelahnya sedang butuh bantuan.Alia menoleh menatap sang ibu mertua yang juga berkaca-kaca “Ma, mas Saka, ma.”Tidak ada jawaban dari Mama Saka, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu memeluk Alia yang gemetaran.Harapan kalau Saka baik-baik saja masih belum sirna. Mama Saka tidak bisa menahan air matanyanya ketika berita mem
Ide tersebut disambut baik oleh kedua orang tua Saka. Bagaimana tidak, akhirnya anaknya memiliki minat pada bisnis keluarga yang sudah lama mereka bangun.Setelah mereka bersusah payah menyiapkan masa depan yang cerah untuuk anak semata wayangnya. Saka malah merubah haluan menjadi dokter dan menutup semua komunikasi pada mereka.Maka, waktu dia meminta ijin menikah dengan Alia. Orang tuanya sudah senang karena akhirnya Saka menghubungi mereka terlebih dahulu.“Saka, mama sangat mendukung kalau kamu mau berhenti jadi dokter. Bukan berarti jadi dokter itu tidak baik. Hanya saja, kamu jadi sulit membagi waktu.” Oceh Mama mencoba meyakinkan anaknya. Beliau takut kalau ucapnnya terlalu terdengar agresif.Papa menatap istrinya penuh heran “Biarkan saja dia. Apa pun keputusan yang kamu ambil. Papa pasti mendukungmu.”Saka menatap kesebrang ruangan, dimana Alia sedang duduk bersama Ivan “Mereka sepadan, pa. Alia satu-satunya wanita yang bisa meyakinkanku dalam waktu sesingkat itu.”Papa menga
Dimas meninggalkan Susan yang duduk termenung di kursi kamarnya. Meninggalkan perempuan yang sedang mengandung anaknya dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi.Masih dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak tahu kalau apa yang ia lakukan akan menjadi sekacau ini.Awalnya Susan yakin bisa meluluhkan Dimas, namun sampai akhir, Dimas selalu menjadikannya wanita pelampiasan agar mengantikan Alia.Perasaan benci kepada mantan anak buahnya muncul ke dalam hatinya. Seharusnya yang ada di dalam hati Dimas adalah dirinya, bukan Alia yang sudah bahagia dengan pilihannya sendiri.*** Di rumah sakit, Saka meminta ijin kepada seniornya untuk tidak ikut seminar. Pokoknya dia tidak akan meninggalkan istrinya apa pun alasannya.“Maaf, pak. Istri saya sedang hamil, jadi mungkin saya tidak bisa ikut dalam seminar itu.” Saka menatap atasannya dengan penuh ketegasan.Senior Saka yang duduk di kursi balik meja itu mendongak menatap dokter muda yang terlihat cemas “Hanya satu minggu, Saka. Apal