Kalua ada yang bisa di salahkan, Alia tentu tetap akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah memberi Dimas kesempatan berbuat salah dengannya.
Bahkan ketika melihat Ivan yang tertidur pulas di sebelahnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Anak itu seolah tidak memiliki beban. Ada sebersit perasaan lega di dalam hati Alia karena Ivan bisa tumbuh dengan baik.
Alia tidak pernah menyangka hari di mana kebenaran akan terungkap terjadi secepat ini.
Tanpa sadar Alia meneteskan sebutir air mata, apakah dia bisa bertahan dengan keadaan ini?
Entahlah, yang jelas dia akan terus menjalaninya.
Mustahil dia bisa keluar dari pekerjaan yang sekarang ini padahal baru sehari ia menjadi pegawai. Meski dia masih memiliki penghasilan dari luar, tetap saja, mempunyai pendapatan tetap akan lebih membuat dirinya tenang.
***
Pagi itu, di kediaman Dimas yang terasa ramai karena teriakan anak-anaknya yang berhasil membangunkan pria yang baru tidur beberapa jam saja. Semalaman, Dimas tidak bisa memejamkan matanya sekali.
Ingatannya terus kembali ke masa-masa saat dia masih bersama Alia. Apalagi setelah melihat Ivan yang tumbuh dengan sempurna.
Memiliki anak laki-laki adalah impiannya. Sudah mencoba sampai tiga kali, dia selalu mendapatkan anak perempuan.
Dimas bangun dari ranjangnya dan menguncang tubuh Emily yang terlelap di sebelahnya. Wanita itu tampak lelah karena harus menyusui anak ketiga mereka yang baru berusia 1 tahun.
“Em, anak-anak sudah bangun.” Bisik Dimas tidak mau mengagetkan istrinya.
Emily hanya bergeming “Kamu dulu ya yang siapin mereka, aku ngantuk banget.”
Dimas menghela napas panjang, tetap berdiri dan membuka pintu yang langsung di sambut oleh anak sulungnya yang sudah mengenakan seragam.
“Pa!! Aku sudah siap sekolah.” Ocehnya manja pada papanya yang setengah tidur.
Gadis berambut ikal itu baru saja selesai mandi dan bersiap menggenakan seragam sekolah.
Dimas lantas menggendong anaknya “Kakak berangkat sama supir dulu, ya. Papa mau ada urusan pagi ini.”
Gadis itu lantas cemberut, memberikan protes karena Dimas yang tidak mengantarnya ke sekolah “Papa gitu deh, Diana pokoknya mau di antar papa. Kalau nggak, Diana nggak mau sekolah.” Ancam Diana, tangan kecilnya menggelung di leher papanya dengan kuat.
Dimas kalah pada anak pertamanya, dia mengangguk dan mencium kening Diana yang masih berusia 5 tahun itu.
“Ya udah, papa siap-siap dulu.”
“Hore!!” seru Diana melompat turun dari gendongan papanya.
Sesaat kemudian, dia membawa anak pertamanya ke dalam mobil dan mendudukan di sebelahnya. Dia berharap kalau pagi ini dia bisa mengajak Alia bicara.
***
Rutinitas Alia tidak berbeda jauh seperti kemarin, setelah mengantar Ivan ke sekolahnya dia langsung berangkat ke kantor. Sambil mengdap-endap untuk menghindari pertemuan dengan Dimas.
Sebenarnya, tidak bisa juga Alia menghindari pria itu. Dia akan sangat sering bertemu dengan Dimas karena masalah pekerjaan. Hanya saja, Alia tidak siap bila Dimas terus memaksanya agar bisa bertemu dengan Ivan.
Alia tidak rela kalau Ivan mengenal sosok ayah yang tidak pernah ada di sampingnya.
Terdengar suara lift terbuka, Alia tersentak karena dia bangun dari lamunannya.
Tidak ada siapa pun selain dirinya di dalam lift. Ia segera menutup pintu lift sebelum ada yang datang.
Setibanya di ruangannya, manager Alia langsung mengajak wanita itu bicara empat mata.
“Ada apa ya, bu?”
Wanita berkacamata itu menggerutkan keningnnya “Sebenarnya kamu diminta langsung sama pak Dimas untuk jadi sekertaris pribadinya, soalnya sekertaris sebelumnya tiba-tiba keluar, Al.” Wanita itu tampak tidak enak dengan Alia.
Mata Alia membesar, ini pasti akal-akalan Dimas agar dia bisa terus menekannya.
“Tapi saya nggak mau, bu. Saya tidak ada pengalaman di bidang itu.” tolak Alia, dia tetap harus menyusun kalimat dengan benar agar tidak salah bicara.
Manager Alia mengangguk paham “Sebenarnya, pemilik perusahaan ini adalah ayah mertua pak Dimas, jadi aku juga tidak bisa bantu banyak, Al.”
Alia mengepalkan jarinya, kali ini, Dimas sudah melewati batas. Dia menyalah gunakan kekuasaan pada Alia.
Manager Alia melihat jam tangan “Seharusnya kamu langsung ke sana. Biar aku temani dulu.”
Ini adalah keputusan final dan tidak mungkin bisa diubah.
Ketika Alia mengikuti manager dari belakang. Tiap langkah menuju ruangan Dimas terasa begitu berat. Entah mengapa ia merasa tidak nyaman. Rasanya begitu resah dan gelisah.
Manager Alia mengetuk pintu ruangan Dimas. Tidak lama kemudian Dimas mempersilahkan mereka berdua masuk.
Dimas sedang duduk di kursinya, tangannya baru saja menutup telepon dan kini bangkit untuk menyambut kedua orang yang baru datang.
“Kamu boleh pergi.” Dimas mengusir wanita berkacamata yang terlihat tercengang itu.
“Aku perlu bicara dengannya.” Lanjut Dimas dengan ketus.
Tugas manager itu sudah selesai, dia hanya sebagai kurir agar tidak ada yang curiga dengan kehadiran Alia di ruangan direktur pemasaran itu.
Setelah manager keluar, Dimas langsung meminta Alia duduk di sofa tempat biasa dia menerima tamu. Miris memang, Alia kini malah dipaksa menjadi bawahan dari mantan pacar yang tidak bertanggung jawab padanya.
“Alia, mulai hari ini kamu resmi jadi sekertaris saya.” Ucap Dimas, dia menjalankan peran sebagai seorang direktur.
Maka dari itu, Alia juga menjawab dengan profesional “Sebelumnya saya mohon maaf, pak. Saya tidak punya pengalaman sebagai sekertaris. Kalau saya boleh lancang, lebih baik bapak mencari sekertaris lain saja.”
Mata Dimas tidak lepas dari jari Alia yang mengepal kuat. Pria itu menyeringai karena tahu kalau Alia sedang merasa gelisah.
“Hentikan, Alia. Mulai hari ini, kamu sudah ada menjadi milikku.” Desis Dimas membuat sekujur tubuh Alia berdegik ngeri.
***
Seharian itu, Alia hanya diminta utntuk mengikuti Dimas kemana saja pria itu berada. Saat rapat, saat makan siang bahkan sampai ketika Dimas bekerja dalam ruangannya.
Seperti orang kurang kerjaan, Alia sampai bosan bahkan mungkin bisa tertidur sewaktu-waktu.
Tepat pukul 5 sore, Alia meminta ijin kepada Dimas untuk pulang.
“Kamu pulang sama aku nanti. Jangan kebanyakan tanya.” Tandas Dimas, dia masih fokus pada laptopnya.
Alia menggeleng “Penititpan anak saya sudah tutup pak, jadi saya harus menjemput anak saya sekarang.”
Dimas menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya yang mewah sambil melipat tangannya di depan dada “Kalau gitu kita jemput sama-sama.”
“Dimas, aku bisa jemput anakku sendiri.” Alia meraih tas coklatnya dan keluar dari ruangan Dimas tanpa pamit.
Sekarang, dia benar-benar perlu mencari tempat kerja baru daripada terus-terusan tersiksa secara batin seperti ini.
Dimas menghela napas ketika melihat Alia keluar dari ruangannya, pria itu tidak mengerti kenapa dia di halang-halangi untuk bertanggung jawab pada anaknya sendiri.
Sementara itu, Alia telat 15 menit untuk menjemput Ivan. Beruntungnya masih ada dua guru yang mau menunggu bersama Ivan.
“Ibu kok jemput Ivan telat, ibu banyak kerjaan?” tanya anak yang sedang berjalan di sebelah Alia.
Alia mengangguk menyembunyikan kesedihan yang tergores di wajahnya “Maafin ibu ya, sayang. Ibu coba cari kerjaan baru biar nggak telat jemput Ivan lagi.”
Ivan tidak menyahut, dia belum paham apa yang sebenarnya Alia maksud.
Malam ini Alia memutuskan untuk mengajak Ivan makan malam di luar. Kasihan anaknya tidak pernah bermain bersamanya lagi setelah Alia sibuk kerja.Meski Ivan tidak pernah mengeluh, tapi Alia sadar diri kalau peran ibu tunggal bukan hanya mencari nafkah. Banyak tugas yang harus ia jalani, salah satunya memberikan waktu di sela kesibukannya.Ivan melompat kegirangan saat Alia menjanjikan akan mengajak jalan-jalan setelah makan malam.“Ivan mau makan apa?” tanya Alia ketika mereka sampai di restoran Jepang.Ivan suka masakan Jepang, seperti ramen dan karage. Padahal masakan Jepang tidak terlalu masuk di lidah Alia.Ivan melirik ibunya malu-malu “Ivan mau es krim, bu.”Kepala Alia miring agar bisa menatap mata Ivan “Gimana kalau Ivan makan dulu, habis itu kita beli es krim di luar.” Dia harus bernegosiasi agar anaknya tidak kebanyakan gula.Ivan anak yang paham dan mudah diatur, dia mengangguk dan tersenyum pada Alia.*** Keributan di toko es krim membuat Alia berhimpit-himpitan dengan p
Rupanya, pekerjaan sebagai sekertaris Dimas tidak begitu mulus. Alia melihat beberapa orang yang mencoba mendekati Dimas hanya karena jabatan pria itu. Setiap obrolan, tersisip maksud tersembunyi yang Alia pahami.Di mata Alia, Dimas sangat cakap dalam menjalankan pekerjaannya. Dia tegas tapi juga fleksibel dalam berkomunikasi. Dia mengakui kehebatan pria itu, wajar saja karir Dimas terhitung cepat naik jabatan.Alia masuk ke ruangan Dimas setelah mengetuk pintu. Pakaian kantornya selalu biasa saja, dengan celana panjang, kemeja dan blazer.“Selamat siang pak, Pak Albert mau datang 30 menit lagi.” Ujar Alia saat memberikan daftar pekerjaan Dimas siang ini.Dimas mengangguk, matanya masih fokus ke laptopnya. Hari ini banyak kerjaan yang harus segera ia selesaikan“Kamu makan siang di sini sama aku aja. Nggak ada waktu kalau makan di luar.” Ungkap Dimas, nadanya selalu lembut ketika bicara dengan Alia.Ingin sekali Alia mencubit Dimas, dia gemas dengan pria yang sok-sokan mengaturnya it
Ponsel Alia tidak berhentikan bergetar, dia tidak menggubris. Seharusnya dia mematikan ponselnya daripada malah terjadi hal seperti ini. Lagian, siapa yang menghubungi malam-malam begini. “Bu, dari tadi HP ibu getar.” Ivan bicara karena dia merasakan juga getarannya.Alia gelagapan, dia tidak ingin Saka menjadi tidak nyaman.“Itu pasti urusan kerjaan.”Saka menaruh sendoknya, kini ia ingin fokus bicara dengan Alia “Kamu kerja di mana Alia?”“Di perusahaan penerbitan. Aku baru saja pindah dari editor ke sekertaris. Jadi masih masa peralihan, maaf ya.” Mendengar Alia mencoba menjelaskan bahkan tanpa diminta, Saka merasa senang. Walau ada yang menganggu di hatinya.Sebenarnya, siapakah ayah dari Ivan.Tapi sepertinya tidak sopan kalau menanyakan itu secara terang-terangan.“Alia, apa kamu hanya tinggal berdua dengan Ivan?”Alia mengangguk, dia sama sekali tidak malu dengan statusnya yang sebagai ibu tunggal.Saka menyelidik, dia berdehem mengamati Alia yang mengusap bibir Ivan “Lalu, k
Dimas menghampiri Alia ketika gadis itu baru saja keluar dari taksi onlinenya. Alia berlari menuju pintu, ingin sekali dia menghindari Dimas.“Alia.” Panggil Dimas, dia menghadang Alia dengan cepat.Gadis itu menghela napas, muak melihat Dimas yang tidak menyerah untuk mendekatinya.“Kamu ngapain ke sini, Dimas. Aku benar-benar sudah muak denganmu. Kamu tahu, kamu itu pria yang tidak tahu malu. Setelah kamu membuangku, sekarang kamu merasa bersalah. Jangan mimpi, Dimas.” kecam Alia yang mulai kehabisan kesabaran.Semua yang di lakukan Dimas adalah untuk mendapatkan pengakuan dari Alia. Karena selama ini dia selalu hidup di bawah perintah dari keluarga Emily. Dia marasa sangat superior saat bersama Alia.Sedangkan Alia, malah semakin terganggu dengan Dimas. Ia hanya berharap Dimas sadar posisi dan berhenti mengejarnya.Tidak mau terlalu lama menanggapi Dimas, Alia mendorong tubuh pria itu.“Tolong pergi dari sini, Dim.”Dimas baru pergi setelah Emily meneleponnya.*** Alia kembali ke
Tidak diberi ijin untuk cuti, karena baru beberapa minggu bergabung dengan perusahaan. Alia terpaksa meminta Saka untuk menjaga Ivan. Dia sudah menelepon Mira, dan menghubungi sekolah Ivan.Saka juga sedang libur, jadi dia tidak terlalu repot hari ini. Rasa terima kasih Alia kepada Saka kian meninggi. Alia terbiasa mandiri dan kini malah mendapatkan bala bantuan yang tak pernah ia bayangkan.Alia hanya berharap Saka tidak akan pernah meninggalkannya.Alia membuang rasa malu saat menerima tawaran Saka untuk menjaga Ivan. Dia tidak akan tenang kalau Ivan sendirian. Sebagai gantinya, dia berjanji akan pulang lebih awal.Sesampainya di kantor, Alia di kejutkan dengan rombongan yang memenuhi ruangan Dimas.“Oh jadi ini sekertaris baru kamu, Dimas?” celetuk Pak Darto yang duduk di kursi Dimas.Dimas menunduk dan mengangguk patuh. Melihat Dimas yang tidak berdaya, membuat Alia kehabisan kata-kata, dimana Dimas yang merasa semua isi dunia ini adalah miliknya.“Maaf, pak. Saya tidak tahu kalau
Saka kembali ke kamar Ivan dengan wajah tenang yang berbanding terbalik dengan Alia yang cemas.Jelas Alia cemas, di mata Alia, Dimas adalah pria yang serakah dan tak ingin melepaskannya meski sudah berbahagia dengan istri dan anaknya.Lebih dari hal itu, Alia tidak mau kalau sampai terjadi apa-apa dengan Saka.“Kamu nggak apa-apa, mas?” Alia mendekati Saka, menatap dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada lecet sedikit pun.Saka diam, mematung dengan mata yang tertuju pada bibir Alia yang sedari tadi mengap-mengap karena tak tahu harus berkata apa.Diamnya Saka membuat Alia semakin panik, dia meraih tangan Saka yang sedari tadi tersimpan di saku celananya “Mas?” tuntut Alia.“Dia sudah pergi, sepertinya dia cukup keras kepala.” Decak Saka, kini gantian dia yang meremas jemari Alia. Ingin sekali dia menerjang batasan untuk mencium gadis itu.Untung saja masih ada sisa kewarasan di otak Saka yang mencegah imajinasinya menjadi nyata. Ada Ivan yang menyaksikan keduanya bicara meski t
Kadang Alia merasa tak berdaya. Di tengah kota yang ramai ini. Alia masih merasa kesepian. Dia tidak memliki tujuan kecuali Ivan.Setiap merasa lelah, dia akan selalu mengingat anaknya. Anak yang bergantung padanya.*** Padahal sudah ketahuan bersalah lewat CCTV yang menunjukan kalau Dimas yang mendatangi Alia. Dimas tetap menyalahkan Alia dan berjanji tidak akan mendekati gadis itu lagi.Dimas sudah berada di rumahnya. Hari ini dia terpaksa tidak bekerja karena masalah keluarga yang mendesak.Emily berkacak pinggang, rasa kecewa yang teramat besar kini tidak bisa ia sembunyikan lagi. Selama ini dia kira dia adalah wanita satu-satunya di hidup Dimas. Nyatanya, pria itu malah main gila di belakangnya.“Jelaskan sama aku, apa kamu masih sayang sama perempuan itu?” decak Emily, sekuat tenaga dia menahan teriakannya agar tidak menakuti anak-anaknya.Dimas menggeleng cepat, memastikan istrinya percaya pada penyesalan palsunya.“Aku seharusnya sadar kalau dia hanya ingin mencoba kembali p
Pagi ini Alia menyiapkan Ivan untuk berangkat sekolah. Dia ada dua interview hari ini, salah satunya adalah tempat yang baru ia dengar. Sementara itu, Ivan sudah memakai sepatunya sendiri.“Ivan nanti kita makan malam sama om Saka, ya?” tanya Alia, ia mengambilkan tas milik anaknya.Ivan melompat kecil “Bener, bu?”Alia mengangguk, setelah itu keduanya pergi dari rumah.*** Ponsel Alia bergetar, wajah Alia sumringah saat pesan Saka memberikan pesan.Saka : Nanti malam aku jemput, jangan lupa pakai baju yang aku belikan.Ojek Alia datang sebelum ia sempat membalasnya. Suasana hati Alia langsung cerah, dia akan melaju satu langkah bersama Saka.Seperti ada kembang api di dalam dadanya, Alia tidak hanya bahagia, melainkan juga tak sabar dengan kelanjutan hubungannya dengan Saka.Sesampainya di kantor pertama, Alia langsung menuju ruangan direktur. Kantor ini lebih kecil dari kantornya sebelumnya, hanya ada tiga lantai. Bedanya, Alia malah merasa lebih senang dengan suasana kantor ini.S
Ivan hampir tersedak saat mendengar ibunya memberitahu soal perjodohan dengan salah satu anak kenalannya. Malam itu, Ivan sedang mengajak ibunya makan malam. Awalnya dia menyetujui karena sang ibu yangg memintanya. Tapi sekarang dia menjadi ngeri karena mendengar kata ‘dijodohkan’.Karena sebenarnya jarang sekali Alia mengajak Ivan keluar berdua saja. Biasanya semua adiknya akan ikut, bahkan kalaupun sang Ayah sedang keluar kota.Baru saja dia ingin mencoba mendekati Anya. Tapi sekarang dia harus mendapat ide yang Alia anggap sangat cemerlang ini.“Bu, Ivan boleh menolak saran ibu tadi?” tanya Ivan dengan lembut.Alia menatap anaknya penuh kesedihan “Kenapa, nak? Kamu belum mau pacaran, ya.”Ivan menggeleng dan tersenyum kecut “Ada yang Ivan suka. Dan sekarang Ivan sedang mencoba mendekatinya.”Alia mengedipkan matanya untuk menutupi keterkejutannya “Kalau ibu boleh tahu, siapa cewek itu?”Lelah menutupi, Ivan akhirnya mendengus sambil menjawabnya “Anya.”Alia terdiam sejenak “Lah, An
Hari itu, perasaan senang yang lama dirindukan oleh Ivan akhirnya tiba juga. Dia menghabiskan sisa harinya dengan bercengkrama dengan keluarga dan juga Anya.Semua terasa begitu lengkap, ada ibunya, ayahnya juga wanita yang ia kagumi.Mungkin terdengar berlebihan, namun inilah yang Ivan rasakan. Seperti kembang api meletus dalam dadanya secara serentak. Indah dan mendebarkan.Dia melihat banyak sisi Anya yang tak pernah ia ketahui. Ternyata gadis itu masih berusia 20 tahun. Anya juga tidak memiliki Ibu, maka dari itu, dia senang sekali ketika Alia memperlakukannya dengan baik.Ada hal yang lebih membuat Ivan kaget. Rupanya Anya sangat dewasa. Dia tidak sedang berlibur, melainkan mendapat kesempatan untuk magang. Padahal, papanya adalah pemilik dari perusahaan yang besar.Hidup Anya terjamin, tapi dia malah memilih untuk mencoba berdiri sendiri.Sayangnya, waktu berjalan terlalu cepat. Ivan harus pulang, enggan rasanya berpisah dengan Anya.Ivan berharap momen seperti ini bisa terulang
Anya meminta nomor telepon Ivan karena dia merasa memiliki hutang pada Ivan.Entah kenapa Ivan dengan ikhlas memberikan data pribadinya pada Anya. Bahkan dia tidak merasa terganggu saat Anya melanjutkan kembali mengerjakan tugasnya.Bahkan ketika Anya menanyakan saran pada Ivan, pria itu dengan sadar membantunya.“Aku pulang dulu. Kamu pulang sama siapa?” tanya Ivan yang sedang mengemasi barangnya.“Rumahku di sebelah, deket banget.” Anya yang masih fokus pada laptopnya.Ivan menagangguk “Aku duluan.”*** Keesokan harinya.Ivan terdiam ketika ternyata pekerjaanya bisa selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan. Seharusnya dia bahagia, rupanya dia masih ingin berada di kota yang jaraknya sekitar 4 jam dari kotanya.Sayangnya, Ivan tidak memiliki nomor Anya.Ivan pamit kepada Pak Kusuma. Bahkan saat sampai di luar kantor, dia celingukan mencari seseorang yang menggangu hati dan pikirannya.Baru pertama kali ada yang begitu mengusiknya.Namun, dia juga menjadi takut kalau rasa penasaran
Setahun setelah Ivan lulus kuliah, dia yang hampir berusia 23 tahun menjadi sangat mudah emosi ketika berada di kantor. Ivan tidak langsung diangkat menjadi Direktur , melainkan menjadi manager di bawah pengawasan sang ayah langsung.Ivan sangat percaya dengan kalimat ‘percaya pada proses’, maka dari itu Ivan selalu menggerutu tiap bawahnya melakukan kesalahan yang sepele.Meski masih terbilang muda, Ivan sudah sangat diperhitungkan oleh para rekannya.Hari ini, Ivan harus menghadiri rapat di luar kota sendirian. Ivan sangat anti disupuri oleh orang lain. Maka dari itu dia selalu sendiri setiap rapat di luar kota.Kalau naik pesawatpun dia selalu menolak di jemput. Pokoknya Ivan selalu merasa bisa melakukan semuanya sendiri.“Selamat siang, saya Anya senang berkenalan dengan anda.” Ucap wanita yang mengenakan baju super rapi, wanita itu mengulurkan tangannya menunggu Ivan menyambutnya.Ivan menjabat tangan wanita itu “Saya Ivan, senang berkenalan dengan anda.”Anya terkikik melihat be
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara
Saka sigap mengangkat sang istri, dia tetap tenang. Ini bukan pertama kalinya dia Saka ada di posisi yang menegangkan seperti ini.“Ma, jagain Ivan.” Ujarnya saat melewati pintu.Pengalamannya sebagai dokter membuatnya bisa berpikir jernih dalam keadaan seperti ini.“Jangan lupa bernapas.” Ucap Saka menurunkan Alia di kursi penumpang.Alia mengangguk dan mengikuti instruksi Saka. Alia jadi ikut tenang karena Saka terlihat baik-baik saja.Alia mencengkram pahanya ketika gelombang kontraksi perlahan datang mulai sering dari sebelumnya. Alia meringsis merasa kesakitan.Melihat istrinya yang berusaha susah payah menahan sakit. Saka lantas tancap gas. Ketenangan yang tadi ada, kini mulai sirna, dia ikut panik sekarang.Di dalam mobil, suasana hening sekali. Yang terdengar hanya suara rintihan Alia.Sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit.Saka keluar dan langsung membuka pintu samping. Mempersilahkan Alia turun, gadis itu tidak mau di bopong karena kotor. Padahal Saka tidak masalah sama
Malam itu, keduanya menghabiskan waktu bersama yang sempat tertunda. Saka seolah tidak pernah menyentuh istrinya, dia terus mengamati tubuh Alia yang semakin berubah.Bangun-bangun Alia masih berada dalam dekapan Saka. Tubuh mereka tidak memiliki jarak sama sekali, dan Alia menyukai itu. Aroma Saka yang tak pernah berubah dengan senyuman yang menyambutnya di pagi ini.Rasanya rindu yang selama ini terpendam menjadi tidak bermakna karena sebenarnya Saka tidak pernah meninggalkan Alia.“Sudah bangun?” tanya Saka yang mengusap wajah Alia.Alia mengangguk “Hari ini kita harus ke rumah sakit, mas.” Ujar sang istri yang sudah bersemangat.“Kalau gitu, biar aku siap-siap dulu.”Saka bangkit dari ranjang dan berjalan santai ke kamar mandi. Melihat punggung suaminya yang menghilang di balik pintu membuat Alia merasa cemas.Namun dia harus tetap tenang. Jangan sampai Saka malah merasa terbebani karen prasangkanya.Alia duduk di pinggir ranjangnya, mengambil baju tidurnya yang terjatuh. Wanita i
Alia sudah benar-benar pulih. Sekarang dia merawat Saka yang masih tak bisa mengingat siapapun bahkan dirinya sendiri.Saka sudah melalui beberapa tes dan hasilnya selalu sama saja. Tidak ada perubahan. Pria itu masih dinyatakan amnesia sampai batas waktu yang belum diketahui.Sementara itu, Alia memandikan sang suami dan melihat betapa banyaknya bekas luka yang mulai kering di tubuh Saka.Maklum, sudah tiga hari dia dirawat di rumah sakit ini. Dan, baru hari ini dia diperbolehkan mandi.“Duduk sini, mas.” Alia mempersilahkan Saka duduk di sisi kamar mandi yang memang disediakan untuk pasien.Saka menurut, dia meraih tangan Alia sambil menatap wanita itu “Aku mau potong rambut.”Senyum Alia terangkat kian tinggi “Nanti aku potong, sekarang mas mandi dulu, ya.”Alia bersikap sesabar itu. Dia tidak akan mengeluh. Keingannya sudah terkabul, kehadiran Saka saja sudah cukup bagi Alia. Terlepas dari apapun kondisi pria itu, Alia akan membantu Saka agar dia bisa sembuh kembali.Alia membuka