"Mak!" Sontak pandangan Evan dan Mak mengarah pada Rara yang baru saja keluar dari kamar mandi."Pesananku ada, nggak?" tanya Rara sambil membenarkan pakaian yang ia kenakan. Tak menghiraukan tatapan Mak dan Evan ke arahnya."Ada Mbak. Itu! Saya belikan dua gelas. Takutnya mas Evan mau juga." jawab Mak, tangan kanannya menujukkan tempat di mana ia tadi meletakkan pesanan Rara. "Dia nggak mau kopi, Mak. Maunya teh istimewa bikinan Mak," seru Rara yang melangkah mendekat sambil menggoda Evan."Iya, Mbak. Saya paham," jawab Mak lagi sambil terkekeh karena pujian yang di lontarkan Rara."Itu apa, Mas?" tanya Rara saat melihat Evan meminum sampai habis, isi kotak karton yang di bantu dengan sedotan."Susu, Mbak. Gantinya teh. Mak lupa tadi nggak bikin, cuma ingat ma rotinya saja." jawab Mak, terdengar ada nada bersalah dalam ujarannya tadi.Tak ada suara yang keluar dari mulut Rara hanya mulutnya saja yang membentuk bulat kecil membuat gemas Evan yang memperhatikannya. Rara mengambil sa
Juga infus yang menancap di lengannya seperti yang tadi di alami Evan. "Kok nggak ada yang nemenin, ya?" Mbak Ratu mulai membuka percakapan dengan suara yang di pelankan. Tak Terdengar satu pun yang menjawab pertanyaan mbak Ratu.Semuanya terdiam sambil memperhatikan pak Dimas yang tertidur di atas ranjang. Banyak kabel kabel yang menyambung dari badan pak Dimas ke mesin mesin yang Evan tak tahu apa namanya.Satu menit.Sepuluh menit.Tiga puluh menit.Sudah hampir satu jam, Evan dan rombongan di kamar pak Dimas tapi tak ada satu pun yang datang menemani."Van, kamu pulang aja, kamu harus banyak istirahat. Pak Dimas, biar aku yang nungguin sementara di sini," Usul mbak Pita, karena kasihan melihat Evan yang baru sembuh."Nanti aku bakal bilangin, kalau kamu semua tadinya ke sini. Janji dech." Ujar mbak Pita lagi."Tapi besok gantian ya, kalian yang jaga pak Dimas di sini," tambahnya lagi. Sambil memandangi satu persatu orang yang berada di kamar itu kecuali pak Dimas.Setelah ada k
"Permisi, mau periksa pasiennya dulu, Bu." pamit seorang Dokter wanita cantik berhijab dan berjas warna putih, yang di ikuti oleh dua orang perawat perempuan.Salah satu perawat membawa piring yang berisi makanan tapi di bungkus plastik, rapat. Sedangkan yang satunya membawa buku.Mereka masuk ke dalam kamar rawat pak Dimas yang pintunya memang sengaja di biarkan terbuka. Dan langsung menghampiri ranjang pak Dimas."Silahkan ...!" jawab mbak Pita yang saat itu tengah asik berbincang dengan Irul, sopir pribadi pak Dimas.Mereka menepi dan memberikan tempat bagi para tenaga medis untuk melakukan tugasnya.Mungkin karena terganggu dengan gerakan dokter yang memeriksa badannya. Pak Dimas pun akhirnya membuka mata dan mengerjapnya berulang kali.Hingga akhirnya komunikasi antara pak Dimas dengan dokter pun berjalan lancar. Dan menjadi perhatian mbak Pita dan Irul."Ada keluhan, Pak?" tanya Dokter cantik itu sambil memindahkan alat stetoskop yang di pegangnya di bagian dada pak Dimas berkal
"Mas, minum obatnya dulu." Rara mengangsurkan segelas air mineral dan dua buah obat yang berbeda bentuk dan warnanya pada Evan. Malam itu, saat keduanya baru saja selesai makan berdua."Harus di minum, Dik? Kan aku udah sembuh." tanya Evan dengan muka memelas, dari kecil dia memang paling tidak suka bila harus di suruh meminum obat, dan memilih di suntik saja.Rara tak memperdulikan masam muka Evan, terus saja tangannya menyodorkan obat dan segelas air mineral.Tangannya bergerak mengambil obat di tangan istrinya, dan menelan dua obat itu langsung sekaligus, kemudian menegak habis air mineral yang sudah Rara sediakan."Makasih!" ujarnya sambil meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja makan, kemudian melangkah meninggalkan Rara yang sedang memberesi meja makan, naik ke lantai atas.Dengan menggunakan bantal yang di susun tinggi di atas sofa panjang. Evan istirahat sambil menonton tv.Hingga Rara datang dan memilih duduk dengan meselonjorkan kakinya di sofa panjang yang lainnya,
Evan tertegun tak percaya, tentu saja hatinya sangat bahagia. Ucapan Rara yang baru saja ia dengar, tak pernah sebelumnya ia bayangkan sekali pun dalam mimpi. Namun ... terdengar nyata malam ini."Mas ... Kamu tidur ya?" tanya Rara, tangannya yang di genggam Evan, ia tarik paksa hingga tubuh Evan pun akhirnya berbalik menghadap ke arah istrinya, dengan mata terpejam.Melihat Evan yang tertidur karena matanya yang terpejam. Rara melapaskan genggaman tangannya dan membalikkan badannya memunggungi Evan.Entah kenapa air matanya tiba tiba menetes, kecewa, tak menyangka kalau dirinya bisa secepat itu mendapatkan tolakan dari Evan karena menginginkannya.Evan membuka matanya, saat ada gerakan dari tubuh Rara yang tak lagi menempel di tangannya, ia melihat pundak yang bergerak, membuat Evan tersadar kalau istrinya kini sedang menangis karena ucapannya."Maaf!" Evan yang merasa bersalah, karena telah membuat istrinya menangis, berbisik di telinga Rara.Kemudian mendekat badannya ke badan ist
Ratu memandangi lelaki separuh baya yang masih tertidur di atas ranjang yang di sisipi beberapa selang dan kabel yang menjadikan penghubung antara badannya dan mesin mesin, dan mengambil nafas panjang saat ingat bagaimana kehidupan pak Dimas.Sejak awal perusahaan berdiri, mbak Ratu sudah setia mendampingi pak Dimas sebagai sekretaris, itu sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, saat dia belum menikah, bahkan baru lulus SMA.Sambil menunggu pak Dimas terbangun dengan sendirinya, Ratu memilih duduk di samping ranjang, tangannya mengambil sebuah buku tebal berukuran sedang yang ternyata sebuah Alquran dan terjemahannya, dari dalam tasnya."Ratu ...."Mbak Ratu yang sudah membuka mulutnya, spontan mengalihkan pandangannya ke arah suara yang memanggilnya tadi."Bapak sudah bangun? Apa ada yang ingin saya bantu untuk bapak?" tanya mbak Ratu. Seketika itu juga meletakkan kembali Al Qur'an ke dalam tasnya. Dan berdiri bersiap siap menerima perintah dari pak Dimas."Tidak ...." jawab pak Di
"Assalamualaikum ...." Rara masuk ke dalam rumah dari arah jalan garasi yang tembus ke arah dapur."Wa Alaikum salam, kok sudah pulang, Mbak?" jawab Mak yang hanya duduk di kursi di depan dapur sambil menonton tv yang memang di sediakan di sana."Iya, Mak. Gimana mas Evan, sudah minum obat, belum?""Sudah, Mbak. Tadi habis makan sudah saya sediakan obatnya tepat di samping piring makannya,""Yakin di minum, nggak?""Yakinlah, Mbak. Kan Mak sendiri yang lihat waktu obatnya di masukkan ke dalam mulut oleh mas Evan.""Oo ...." Mulut Rara membentuk huruf o hingga kelihatan bulat."Aku naik ke atas dulu ya, Mak. Mau lihat mas Evan dulu.""Mbak ... Saya mau pulang, sekalian ijin nanti sore saya ada undangan nikah tetangga sebelah rumah, boleh ijin nggak?""Nanti sore?""Iya .... Tapi semuanya sudah saya siapkan seperti biasa kok, Mbak.""Iya, nggak papa. Nanti kalau pas keluar pulang, jangan lupa di kunci pintunya ya, Mak.""Iya, Mbak. Makasih.""Iya!" Rara melanjutkan langkahnya naik ke
Rara terpaksa membuka mulutnya dengan mata melotot, membuat Evan yang melihatnya tambah gemas. "Kenapa nggak milih pakai mulut aja sih, Dik. Bikin tangan kotor aja." Evan menggerutu Namun bibirnya melebarkan senyum.Dengan jengah, dan memutar bola matanya, Rara memalingkan wajahnya dari arah Evan saat mendengar apa yang suaminya katakan.Kemudian Rara mengulurkan tangan mengambil piringnya yang kini ada di depan Evan. Tak ingin disuapin lagi oleh suaminya.Tapi secepat itu pula Evan menggenggam tangan Rara yang terulur tadi dengan tangannya kirinya yang bebas. "Aku bercanda, aku suka menyuapimu, walaupun yang sakit aku," goda Evan sambil menaik turunkan alisnya ke arah Rara."Kaaan, pasti belakangnya yang nggak enak," sungut Rara lagi, dengan muka cemberut."Hahahaha, gurau kok Sayang," ujar Evan yang lagi lagi mengulurkan tangannya yang berisi nasi lengkap ke arah mulut Rara."Habis makan, ikut aku yuk, ke rumah sakit, jenguk Pak Dimas. sekalian ambil flashdisk di mbak Ratu.""Mmm