“Gimana kalau kita buat perjanjian? Biar Om Beni enggak kecewa, kita ikutin aja keinginan Om Beni ... hanya sampai aku lulus kuliah lalu mendapatkan kerja dan bisa menghidupi diri sendiri, trus kita bercerai, menolak keinginan Om Beni lebih sulit dari pada mengajukan perceraian ke pengadilan ... setelah nikah nanti, hidup kita pasti akan menjadi miliki kita sendiri, kita mau cerai pun ... Om Beni enggak akan bisa ngelarang, gimana?”
Bee mengungkap ide yang tersimpan di benaknya.
Sejujurnya ia telah menduga bila anak dari sahabat mendiang sang Ayah akan menolak pernikahan ini karena mereka tidak saling mengenal apalagi saling mencintai.
Bee hanya tidak ingin membuat Beni kecewa dan melanggar wasiat Johan sehingga ia telah membuat rencana lain bila lelaki yang akan dijodohkan dengannya menolak pernikahan ini.
“Trus cewek gue gimana?” tanya Akbi sambil menyandarkan tubuh pada sandaran kursi.
Ia menolak tapi juga ingin mendengar solusi lain dari Bee bila keadaannya seperti itu.
“Kamu masih boleh berhubungan sama pacar kamu, asal jangan ketauan Om Beni ... bilang sama pacar kamu, hanya satu tahun ... aku usahakan lulus tahun depan, kamu enggak perlu mencintai aku, kita hanya menikah di atas kertas aja enggak perlu menikah sesungguhnya,” kata Bee lagi menjelaskan.
Akbi tertawa bahkan terbahak setelah mendengar solusi dari Bee yang diucapkannya dengan raut wajah serius.
“Jangan berharap gue jatuh cinta sama lo, dan sekalipun lo jatuh cinta sama gue nanti ... lo harus lari sejauh mungkin biar lo enggak sakit hati,” ucap Akbi setelah tawanya mereda.
“Terserah kamu,” balas Bee sambil tersenyum dengan ekspresi tenang.
Ia juga tidak berminat mencintai lelaki sombong seperti Akbi.
Bagi Bee, cinta hanya akan menjerumuskannya ke jurang kesakitan.
“Oke, gue ngomong dulu sama Anggit ... kalau dia bersedia, nanti Papa yang akan ngehubungin lo,” putus Akbi sambil beranjak dari kursinya.
Lelaki itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Bee sendirian tanpa pamit.
Bee mengembuskan nafas lelah, kemudian meraup wajahnya dengan kedua tangan.
“Oh ... Hidup, apakah mungkin akan ada yang lebih menyedihkan lagi dari kehilangan kedua orang tua?” gumam Bee.
Bee tidak pernah menyangka pertemuan tidak sengaja di rumah sakit dengan Beni akan membawanya pada pernikahan dini bersama lelaki yang tidak ia cintai.
Beberapa hari lalu dokter memberitahu bila Johan harus di operasi untuk pengangkatan kanker pada pankreas, saat itu Bee sedang bertanya biaya operasi sang Ayah ketika bertemu dengan Beni.
FLASH BACK ON
“Mba, boleh saya tau berapa biaya operasi Ayah saya?” tanya Bee pada seorang wanita di balik meja bertuliskan administrasi.
Ekspresi sendu menghiasi wajahnya, membuat siapa saja terenyuh.
“Untuk pasien atas nama siapa?” wanita cantik berseragam itu bertanya lagi.
“Bapak Johan Elwie Wijayakusuma,” balas Bee cepat dan wanita itu langsung mengetikan sesuatu pada keyboard komputer.
“Biaya operasi untuk Bapak Johan sekitar lima puluh juta tapi ini baru biaya kasarnya saja, bisa kurang bisa juga lebih ... bisa DP terlebih dahulu setengahnya dan sisanya dilunasi setelah operasi selesai,” wanita administrasi berkata dengan jelas.
“Mbak, bisa enggak operasi dilakukan dulu baru saya bayar biayanya karena untuk saat ini saya belum punya uang,” ucap Bee, memohon dengan genangan di pelupuk mata.
Wanita itu menggelengkan kepala seraya menipiskan bibir menampilkan ekspresi penuh penyesalan karena tidak bisa mengabulkan keinginan Bee.
Sementara Bee sendiri tidak tau harus kemana mencari biaya operasi untuk sang Ayah.
Semua aset telah dijual untuk menutupi utang-utang Johan.
Terakhir hanya tersisa sebuah rumah yang terpaksa harus Bee lelang untuk membayar kuliah dan biaya berobat Johan selama satu tahun terakhir.
Bahkan Bee harus mengontrak rumah kecil di dalam gang sebagai tempat tinggalnya.
Semua teman-temannya menjauh, tidak sudi kenal dengan Bee yang sudah jatuh miskin.
Mereka jelas-jelas memutuskan hubungan pertemanan dengan Bee yang saat itu pergi ke kampus menggunakan angkutan umum karena mobil kesayangannya harus disita pihak Bank.
Bee menundukan kepala sambil menghembuskan nafas kasar, nyaris putus asa hingga air mata luruh begitu saja membasahi wajahnya.
“Kamu ... anaknya Miranda?”
Sebuah pertanyaan membuat Bee menoleh, menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangan, Bee pun menjawab, “Betul ... Bapak siapa?”
Pria tua itu membisikkan sesuatu di telinga sekertarisnya, beberapa kali pria bertubuh tinggi besar itu mengangguk memberi tanda bila ia memahami apa yang sedang diinstruksikan sang Bos.
“Siapa nama kamu?” tanya Beni setelah selesai memberikan instruksi kepada Aldo-sang sekertaris.
“Bee ... Aurystela Akkeu Quinbee,” jawab Bee melirih.
Beni tersenyum, setelah mendengar nama panjang Bee.
“Ayo antar Om ke kamar Johan, biar Aldo yang menyelesaikan pembayaran biaya operasi Ayah kamu,” ucap Beni sambil merentangkan tangan menunggu uluran tangan Bee.
Bee mengerjap, begitu terkejut mendengar ucapan pria tua yang tidak dikenalnya itu bersedia membayar biaya operasi sang Ayah.
“Nama saya Beni ... saya adalah teman sekolah Miranda dan Johan ...,” imbuh Beni menjawab pertanyaan yang ada di benak Bee.
Mendengarnya Bee merasa lega kemudian mengulas senyum tipis sambil beranjak dari kursi, meraih tangan Beni untuk ia kecup punggung tangannya sebagai tanda sopan santun.
“Makasih Om,” ucap Bee, dijawab anggukan dan sebuah senyum oleh Beni.
Meskipun Bee masih ragu dengan keajaiban yang baru saja terjadi, tapi ia sangat bersyukur karena Tuhan mengutus malaikat untuk menyelamatkan sang Ayah.
“Di mana Miranda?” tanya Beni ketika mereka berjalanan beriringan menuju ruang ICU tempat Johan terbaring tidak berdaya.
“Bunda sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu karena kecelakaan mobil di jalan tol, mobilnya terhimpit mobil kontainer yang berada di depan dan belakangnya,” jawab Bee sambil menundukan kepala.
Pertanyaan itu sungguh menggerus hatinya karena harus mengingat kejadiaan nahas yang menimpa sang Bunda.
Langkah Beni terhenti, tubuhnya mematung menatap Bee dengan mata yang sudah berkaca-kaca, bibirnya bergetar dengan nafas tersendat.
“Apa kamu bilang?” Beni bertanya seolah tidak percaya dengan indera pendengerannya.
Bee menatap Beni lekat, nampaknya pria paruh baya yang telah membantunya ini memang sahabat dekat Ayah dan Bundanya terlihat dari ekspresi duka yang ditunjukan Beni.
Bee mengangguk memberi keyakinan, membuat satu tetes air mata lolos dari sudut matanya.
Tidak berdaya mendengar kenyataan tersebut, Beni mendudukan tubuh di bangku yang berada di dekat sana.
Tangannya mengelus dada dengan tatapan mata kosong ke arah taman yang luas.
“Kamu tau arti nama Akkeu ditengah nama kamu?”
Suara pelan Beni itu masih terdengar ditelinga Bee.
Bee yang telah duduk di samping Beni menoleh kemudian menggelengkan kepala karena memang ia tidak mengetahui kenapa harus ada kata Akkeu di tengah namanya.
“Ak ... keu ... Akuntansi Keuangan, kamu tau ‘kan kalau Ayah dan Bunda kamu lulusan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi di Universitas Negri terbaik di Kota ini?”
Bee mengangguk.
Ia memang tau percis tentang hal itu karena sang Bunda memiliki kantor Akuntan Publik sendiri yang kini diambil alih rekannya setelah beliau meninggal dunia.
“Om juga kuliah di jurusan yang sama dan kami satu kelas hingga lulus di waktu yang berbarengan, dulu kita bersahabat baik ... ada dua orang lagi, Anita dan Ferry ... mereka juga menikah lalu tinggal di Swiss.”
Mata Beni kembali menerawang, bibirnya nampak tersenyum simpul.
“Om juga punya anak laki-laki yang Om kasih nama mata kuliah akuntansi ...,” Beni berujar kembali tanpa mengalihkan tatapannya dari taman rumah sakit yang luas.
Seolah bunga-bunga yang bermekaran di sana begitu menarik perhatiannya.
“Akbi ... Akuntansi Biaya, saking kami mencintai almamater kami sehingga memberi nama mata kuliah yang rata-rata dibenci mahasiswa akuntasi,” sambung Beni yang bibirnya mengulas senyum tipis tapi dengan sorot mata penuh duka.
“Ayo, kita lanjutkan perjalan kita,” imbuh Beni kemudian berdiri.
Tidak berapa lama mereka sampai di ruangan Beni.
“Be .. Ni ... .”
Susah payah Johan mengeluarkan suara ketika membuka mata, pandangannya langsung menangkap sosok Beni dan sang anak.
“Jangan banyak bergerak Johan, keadaanmu masih belum stabil!” Beni berseru pelan seraya menyentuh tangan Johan.
Ekspresi yang ditunjukan sang Ayah nampak penuh tanya disertai sorot mata berbalut bahagia.
“Tadi aku bertemu anakmu di bagian administrasi, sudah aku lunasi biaya operasimu dan sekarang kamu bisa segera mendapat penanganan, tapi kamu harus cerita setelah sembuh nanti kenapa kamu bisa sampai seperti ini,” Beni menjelaskan dengan tenang.
Johan menoleh ke arah Bee yang tersenyum tipis sambil menggenggam tangannya.
Setelah itu Johan mengembalikan tatapan matanya kepada Beni.
“To ... long jaga ... anak sa ... ya,” ucap Johan terbata.
“Tidak Jo, kamu harus hidup lebih lama untuk menjaga anakmu,” balas Beni seraya meraih tangan sahabatnya yang nampak lemah.
Johan menggelengkan kepala pelan kemudian menoleh kepada Bee yang tengah meneteskan air mata.
Beberapa detik kemudian, layar monitor yang menampilkan detak jantung Johan berbunyi.
“Tolong ja ... ga ... Bee, demi Miranda,” ucap Johan lagi.
“Jo ... saya akan menjaga anakmu, tapi kamu harus bertahan, suster ... panggil suster!” perintah Beni entah kepada siapa.
Pria tua itu panik mencari tombol yang disambungkan ke ruangan suster.
“A ... yaaaah,” Bee menjerit tertahan ketika suara yang dihasilkan alat penunjang kehidupan itu semakin berbunyi nyaring.
“Menurut lah ... sama Om ... Be ... Ni, jaga ... diri baik ... baik, kamu harus lulus kuliah ... jangan sampai berhenti,” sekuat tenaga Johan mengeluarkan kalimat itu.
“A ... yaaah, jangan kaya gini,” Bee yang sudah berlinang air mata, mengerang memanggil sang Ayah seakan hal itu bisa menambah panjang usia Johan.
“Ben ... jaga Bee.”
Kalimat yang merupakan permohonan terakhir Johan tercetus untuk Beni.
Suster berdatangan, meminta Beni dan Bee keluar.
Bee tetap bertahan masih ingin melihat Ayahnya yang ia duga sudah didatangi malaikat maut.
Firasat Bee mengatakan bila waktu sang Ayah tidak lama lagi karena kejadian ini belum pernah terjadi.
“Ayo Bee, kita keluar ... biar para dokter melakukan tugasnya,” ajak Beni seraya menarik tangan Bee namun Bee bergeming.
Beni melingkarkan satu tangannya di pinggang Bee, menyeret gadis itu keluar dari ruang ICU.
“Enggak Om, aku mau liat Ayah ... Bee mau liat Ayah, Om!” Bee berseru sambil meronta.
Kemudian ini merasakan dua tangan kekar merengkuh tubuhnya membuat Bee tidak berdaya.
Dengan mudah Aldo mengangkat tubuh mungil Bee, membawa gadis itu keluar dari ruangan yang terasa mencekam dan pekat dengan hawa kematian.
“A ... yaaah, jangan tinggalin Bee ... cuma Ayah yang Bee punya, A ... yaaaah, Bee mohon ... heu .. heuu ... “ Bee meraung membuat siapa saja tersentuh hingga ada seorang penunggu yang sampai meneteskan air mata tidak terkecuali Beni.
Beni mengambil sapu tangan dari dalam saku celananya untuk mengelap buliran bening yang menetes dari sudut mata, ia sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi dengan Johan.
Aldo baru bisa melepaskan Bee setelah pintu ruangan tertutup.
Selama beberapa saat Bee masih memanggil nama sang Ayah hingga dokter memberi tahu bila Johan telah berpulang untuk selamanya.
FLASHBACK OFF
“Woooy!”
Suara Verro membawa Bee kembali dari lamunannya.
“Astaga Verro, kamu ngagetin!” Bee berseru pelan namun Verro tau bila teman sekelasnya itu kesal.
Verro terkekeh lalu duduk di depan Bee. “Udah pesen makan?” tanya lelaki itu sambil memindai buku menu.
“Belum,” balas Bee melakukan hal yang sama, mengamati kertas berwarna yang dilapisi laminating dengan banyak menu makanan.
“Tadi ada Om-Om nyariin lo, Bee ...,” kata Verro setelah memesan makanan.
Bee tersenyum, ternyata Verro juga menganggap Akbi seperti Om-Om lalu tertawa pelan ketika mengingat wajah kesal Akbi saat ia memanggilnya begitu.
“Kenapa lo? Senyum-senyum gitu?” tanya Verro heran.
Bee menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Siapa Om itu?” tanya Verro lagi masih belum menyerah.
“Dia anaknya temen Ayah, by the way ... makasih ya Ver, udah datang ke pemakaman Ayah kemarin.”
“Sama-sama Bee, jadi sekarang lo mau tinggal di mana? Bukannya kontrakan lo sebentar lagi habis?”
Bee mendongak dengan ekspresi melongo. “Kamu tau dari mana kontrakan aku mau habis?”
“Itu kontrakan punya adik nyokap gue!” jawab Verro singkat.
“Tinggal lah dulu sementara di sana, kalo belum ada uang nanti gue bayarin dulu,” tambahnya kemudian.
“Ver, enggak perlu ... sepertinya aku akan pindah ke rumah Om Beni, temennya Ayah ... makasih ya Ver, kamu baik banget padahal aku udah putus sama Erick,” Bee berujar tulus disertai senyum.
Adik sepupu dari mantan kekasihnya ini memang sangat baik meskipun sudah cukup lama ia berpisah dengan Erick-mantan kekasihnya.
Akbi mengetuk-ngetukkan penanya di atas meja, pikirannya melayang memikirkan tentang pertemua dengan Bee-gadis yang akan dijodohkan dengannya.Sama seperti dirinya, ternyata Bee juga terjebak dengan perjodohan ini.Menurut Akbi, Beni sangat licik karena telah menjadikan biaya rumah sakit Ayah Bee sebagai pengikat agar gadis itu mau mengikuti keinginannya.Padahal menurut pengakuan Aldo, Johan tidak sempat melakukan operasi karena ajal terlanjur menjemput.Beni hanya membayar biaya rumah sakit Johan selama beberapa minggu dirawat hingga membiayai jenazah sampai dikebumikan.Akbi meraup wajahnya dengan kedua tangan, ancaman Beni mengenai dirinya dan surat cerai yang akan dilayangkan kepada sang Mama begitu membebani pikirannya. FLASHBACK ON “Enggak, Pa! Papa enggak bisa seenaknya gitu nikahin Akbi sama perempuan lain! Papa ‘kan tau kalau Akbi punya pacar ... Akbi cuma mau nikah sama Anggit, titik!” Akbi berseru kemudian beranjak dari sofa ruang televisi.Ia begitu murka setelah lelah
Hujan yang semakin deras tidak membuat Bee mempercepat langkahnya.Ia menikmati ketika air hujan mengguyur dari kepala hingga kaki membuat basah seluruh tubuh.Sudah hampir satu jam Bee berjalan di trotoar menyebrangi kota untuk dapat tiba di rumah kontrakan.Uang yang Beni berikan dua minggu lalu hampir habis dan Bee harus hemat dalam memanfaatkan uang yang tersisa agar cukup hingga suatu saat nanti Beni mengabarkan kepadanya mengenai pernikahan.Jujur, saat ini Bee mengharapkan kekasih Akbi menyetujui rencananya.Anggaplah Bee gadis tidak memiliki harga diri, bersedia menikah dengan pria yang tidak dicintai demi masa depannya.Tapi ia memang sangat membutuhkan itu, Bee harus melanjutkan kuliah dan padatnya jadwal kuliah ditambah banyak mata kuliah yang harus dikejar karena setahun ke belakang waktu kuliahnya tersita untuk menemani dan mengantar Johan bolak balik ke rumah sakit.Kerja sambil kuliah tidak masuk dalam keadaan Bee saat ini, dan agar ia bisa lulus kuliah maka menikah den
“Yank ... yank, denger aku dulu!” Akbi memohon kepada kekasihnya.Sambil menghentakkan kaki, Anggit masuk terlebih dahulu ke apartemen mewah yang dibelikan Akbi.Perempuan itu begitu murka ketika sedang makan siang tadi di restoran mendengar ucapan Akbi yang menyebutkan bila lelaki itu telah dijodohkan dengan anak dari sahabat sang ayah.Meskipun Akbi menjelaskan bila sudah ada perjanjian antara dirinya dan gadis itu yang tidak akan mempengaruhi hubungan mereka selama satu tahun mereka menikah tapi tetap saja Anggit merasa ragu juga kesal.“Aku enggak rela jadi pelakor di mata publik padahal seharusnya dia yang menjadi pelakor,” sentak Anggit geram.“Sayang, denger dulu ... enggak ada yang jadi pelakor di sini, kamu tetap pacar aku dan perempuan itu juga aku hanya bersandiwara mengikuti keinginan Papa, kamu tau ‘kan gimana Papa? Dia akan mengambil semua fasilitas mewah ini dan mengirim aku ke Sydney kalau aku ga nurut sama keinginannya!” bujuk Akbi membuat Anggit sedikit melunak.“Gim
“Mau kemana?” tanya Verro ketika melihat mantan kekasih Kakak sepupunya lari terbirit-birit ke luar dari kelas.“Ada perlu sebentar,” Bee menjawab sambil menjauh.Verro berlari mengejar Bee hingga depan kampus.“Gue anter Bee, mang lo mau kemana sih?” tanya Verro dengan nafas tersengal.Lelaki itu membungkuk, telapak tangannya tersimpan di kedua lutut.Menghirup udara untuk memberi pasokan oksigen pada paru-paru setelah jauh berlari mengejar Bee.“Banyakin olah raga Ver,” celetuk Bee kemudian tertawa pelan menertawakan Verro yang kelelahan mengejarnya.Bee memberhentikan angkutan umum kemudian menaikinya.“Verro, ngapain ikut?” Bee mendorong tubuh Verro agar turun dari angkutan umum namun tenaga Verro cukup kuat sehingga tubuhnya bisa masuk sempurna ke dalam mobil tersebut.“Abis lo enggak jawab mau kemana, enggak mau dianter juga!” kesal Verro sambil mengelap keningnya dengan punggung tangan.Lelaki itu juga mengelap kacamatanya yang berembun dengan ujung kaos.“Ya ngapain juga kamu
“Bee!!” Suara bariton seorang pria yang begitu familiar ditelinganya membuat Bee menghentikan langkah.Aldo, lelaki itu melambaikan tangan dengan ekspresi datar seperti biasa bahkan nyaris garang karena tidak pernah ada senyum di bibirnya.Bee memutar tubuh, melangkah santai tidak terburu-buru menghampiri Aldo.Pria itu datang ke kampusnya seperti ini pasti ada yang perlu disampaikan mengingat pernikahannya dengan Akbi hanya tinggal hitungan jam.“Ada apa Kak Aldo kesini?” Bee bertanya setelah sampai tepat di depan Aldo.“Lelet! Ayo masuk ke dalam mobil!” gerutu Aldo mencela namun tangannya menarik handle pintu mobil hingga pintu itu terbuka untuk Bee.“Mau kemana?” Bee bertanya kembali tanpa menyerah meskipun Aldo jarang menjawabnya.“Beli cincin kawin,” balas Aldo lalu menutup pintu mobil setelah Bee berada di dalam.Pria itu memutar setengah bagian mobil kemudian duduk di kursi penumpang di samping driver.Bee tidak bersuara selama perjalanan, ia termenung menatap jendela di sampi
“Bi, lepas ... kamu nyakitin aku!” protes Bee dengan nada rendah setelah menaiki lift yang membawa mereka menuju basement.Tatapan mata tajam Akbi langsung menghujam Bee yang juga kesal karena lelaki itu berbuat kasar.Sesaat mereka saling melempar tatapan tajam kemudian Akbi melepaskan cengkramannya di tangan Bee.Bee mengusap pergelangan tangannya yang sudah memerah kemudian meniupnya berharap bila nyeri dan warna merah itu akan pudar.“Lebay!” gumam Akbi yang masih terdengar oleh Bee.“Ini merah Bi, trus sakit ... kamu terlalu kencang narik tangan akunya,” balas Bee dengan suara rendah dan lebih tenang.Akbi tidak sudi menjawab, bibirnya bungkam hingga keduanya berada di dalam mobil.“Bi, aku lapar ... bisa kita makan dulu?” Akbi berdecak sebal kemudian menatap Bee sekilas sambil menautkan alis.“Gue mau ketemu Anggit, dia udah nungguin gue ... lo pesen makan aja dari rumah,” balas Akbi ketus.“Oh ... ya udah.” Setelah mendengar kalimat itu, Akbi menginjak pedal gasnya kencang me
“Ngapain lo di sini? Sama cewe cantik lagi ... tumben lo selingkuh dari si artis itu,” adalah Raka, sahabat Akbi yang paling senang berseloroh.Akbi malas menjawab, ia menenggak air di gelas hingga tandas.“Mana motor gue, balapan di mana sekarang?” tanya Akbi.“Nih kuncinya, tapi sekarang lo harus hati-hati ... si David ikut juga, dia saingan berat lo!” kata Zidan yang baru saja memasuki tenda.Akbi berdecih, meremehkan kemampuan lawannya yang menurut Akbi masih jauh di bawah dirinya.“Kamu temennya Akbi? Namanya siapa?” Raka bertanya dengan suara pelan sambil mengulurkan tangan.“Jauhin tangan lo dari dia,” sentak Akbi tegas membuat Raka menarik kembali tangannya tapi Bee malah menyambarnya.“Aurystela Akkeu Quinbee ... panggil aja Bee,” ucap Bee sambil menjabat tangan Raka.Akbi menatap Bee tajam hingga terdapat kerutan di antara alisnya, baru saja dalam hati ia memuji sikap Bee yang melayaninya dengan baik kini gadis itu malah menyambut tangan lelaki lain dengan ramah.Lalu kenapa
FLASH BACK ON “Siapa si Bee itu?” Zidan bertanya kepada Akbi sementara Raka sibuk mengecek motor yang akan dipakai balapan oleh sahabatnya.Tatapan Akbi menerawang ke depan seperti sedang mengamati track tempatnya balapan tapi Zidan yang sudah cukup lama mengenal Akbi, mengetahui bila tatapan itu kosong.Akbi mengembuskan nafas kasar kemudian menjawab, “Anak dari sahabat bokap gue semasa kuliah dan besok gue mau dinikahin sama dia.” “Waw ... selamat, bro! Lo beruntung!” Zidan berseru bahagia sampai bertepuk tangan lalu mengulurkan tangan untuk Akbi jabat namun Akbi hanya melihat tangan Zidan yang menggantung dengan tatapan tajam sesaat kemudian mengalihkan tatapannya kembali ke arah jalan.“Kenapa? Kalau lo enggak suka buat gue aja!” cetus Zidan dengan ekspresi serius.“Gue mau ko gantiin lo nikahin dia, besok ‘kan?” tambah Zidan lagi namun aura kelam yang membayangi wajah Akbi malah semakin pekat.“Apaan, tadi gue mau salaman cuma ngajak kenalan aja malah dibentak sama dia!” gerutu