Briana memasuki aula pesta. Seperti yang diharapkan dari pernikahan para konglomerat kaya, mereka tak segan-segan mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk menggelar pesta mewah seperti ini.
Dekorasi ruangan tampak sangat cantik dengan hiasan berbagai jenis bunga seragam berwarna merah merekah.
Para tamu undangan juga berasal dari kalangan para pengusaha kaya, pejabat atau artis yang wajahnya kerap kali menghiasi layar televisi.
Briana memantapkan hatinya, entah apa yang orang lain pikirkan tentangnya ia sudah tak peduli lagi. Ia datang ke sini dengan tujuan baik. Jika hal buruk terjadi, itu semua diluar kuasanya.
Mereka berdua berjalan lurus, menuju panggung utama yang menjadi fokus semua tamu undangan.
Kedua mempelai nampak begitu bahagia, mereka berdiri dengan elegan dan menyalami semua tamu undangan yang memberi ucapan selamat pada mereka berdua.
Sang mempelai wanita nampak sangat cantik, matanya bulat, hidungnya mungil dan bibir tipisnya semakin memberikan kesan bahwa ia wanita imut yang banyak diidam-idamkan oleh para pria.
Kakak Theo yang bernama Romeo juga berdiri dengan gagah di samping pengantin wanitanya. Sekilas Theo dan kakaknya terlihat sangat mirip. Hanya saja, kakak Theo terlihat lebih besar dan maskulin dibandingkan adiknya.
Jarak Briana dan mereka hanya tinggal beberapa langkah lagi. Ia semakin mempererat genggaman tangannya pada Theo.
Keluarga besar Theo dengan cepat menyadari kehadiran mereka berdua, orang tua Theo pun secara terang-terangan memberikan senyuman sinis pada Briana.
Saat itu, Briana merasa seperti ia tercekik, udara di sekitarnya terasa sangat pengap. Ia berusaha menenangkan diri, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.
Briana dan Theo langsung menaiki podium utama, menuju ke mempelai untuk memberikan salam dan juga ucapan selamat.
Tatapan sinis dan marah Romeo membuat Briana menjadi sedikit gentar. Reina, sang mempelai wanita juga menatapnya penuh dengan pandangan jijik dan merendahkan.
Mereka berdiri tepat di hadapan pasangan pengantin itu.
“Selamat atas pernikahannya,” ucap Briana sembari menjulurkan tangannya ke sang mempelai wanita. Sayangnya, Reina tak menyambut uluran tangannya. Ia merapatkan tangannya ke kakak Theo dan membisikkan sesuatu padanya.
Kakak Theo menatap Briana dengan tajam.
Sadar 100% bahwa uluran tangannya tak akan pernah disambut. Briana menarik kembali tangannya.
Suasana kembali hening, Theo pun maju dan memeluk kakaknya sembari memberikan selamat pada kakaknya. Kakak Theo berusaha tersenyum dan membalas pelukan adik satu-satunya itu.
“Kak, selamat atas pernikahanmu,” ucap Theo.
Kakak Theo mengangguk, “ya, kukira kau tak akan datang. Lalu, kenapa kau membawa dia?” Tanya kakak Theo sinis sembari melirik Briana.
“Ah, aku…aku. Aku, hanya…,”
“Sudahlah, kurasa kau hanya kebingungungan Theo. Cepat atau lambat, kau pasti akan segera tersadar kalau pilihanmu itu keliru.”
Briana tersenyum, ia tahu “pilihan yang keliru” itu adalah dirinya.
“Saya rasa,” belum sempat Briana melanjutkan ucapannya. Kakak Theo menyelanya, seolah ia tak menganggap bahwa Briana ada di sana. “Theo, ikut denganku sebentar. Sepertinya aku membutuhkan bantuanmu,” ajaknya.
Untuk sejenak, Theo terlihat berpikir. Ia tak mau meninggalkan Briana sendirian. Namun, ia juga tak bisa menolak permintaan kakaknya.
Sadar bahwa Theo bimbang, Briana memberikan kode untuknya. Ia mencoba meyakinkan Theo bahwa ia akan baik-baik saja.
Theo pun mengangguk dan mengikuti kakaknya pergi.
Briana pun turun podium. Mencoba menyapa ayah dan ibu Theo, namun dengan sekejap diabaikan.
Ia pun pergi ke salah satu sudut ruangan. Mencoba berbaur dengan tamu undangan lainnya. Briana melihat sekeliling, tak ada satupun orang yang ia kenal. Yah, tentu saja.
Setiap ia berusaha mendekati seseorang, orang itu selalu menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, tersenyum sinis dan meninggalkannya.
“Apakah aku aneh?” Tanya Briana dalam hati. Berharap bahwa tidak ada sesuatu yang salah dalam dirinya.
“Kau, ikut aku!” ucap seorang wanita dengan lirih.
Wanita itu adalah Ibu Theo, Dina Wijayanto. Seorang wanita paruh baya yang cukup berpengaruh di kota ini. Ia memakai setelan gaun mahal yang mungkin tak akan mampu dibeli oleh Briana.
Ia menarik Briana dengan kasar keluar ruangan. Aksi ini pun sontak menjadi perhatian banyak orang.
Banyak orang berbisik dan mencoba menerka apa yang tengah terjadi. Briana tahu, orang-orang tersebut hanya “ingin tahu” saja dan tak sedikitpun merasa simpati dengan keadaan.
Sampai di sebuah sudut ruangan yang sepi. Ibu Theo menampar pipi Briana dengan keras. “Apa kau tak tahu malu! Siapa yang mengundangmu ke pesta ini! Berani-beraninya wanita dari kalangan rendahan datang ke sini!”
Briana terdiam, Ibu Theo terlihat sangat marah. Ia meluapkan segala emosinya pada Briana tanpa basa-basi.
Ibu Theo nampak memijat keningnya, lalu ia mencengkram kedua lengan Briana dengan kuat.
“Kau tahu! Sadarlah! Kau ini siapa dan Theo itu siapa! Mana mungkin kau yang berstatus janda menjalin hubungan dengan anak kami! Jangan harap kau akan menjadi bagian dari keluarga kami!”
Briana melepaskan cengkraman tangan Ibu Theo. Ibu Theo pun sedikit terkejut dengan perlakuan Briana.
Briana menatap lurus wajah Ibu Theo tanpa sedikit pun ekspresi. Ia sudah muak, direndahkan oleh keluarga Theo selama 2 tahun. Ia rasa ini sudah cukup.
Briana tak akan membiarkan dirinya direndahkan lebih jauh lagi. Ia akan melawan dan mempertahankan harga dirinya, sekalipun ia tahu tak ada yang bisa membelanya. Bahkan, Theo sekalipun.
“Tante, sebenarnya apa salah saya? Saya tahu saya seorang janda. Tapi, apakah menjadi seorang janda itu salah? Apakah seorang wanita yang berusaha menemukan cinta dalam hidupnya dan berusaha membela dirinya pantas diperlakukan sebagai orang buangan. Saya bukan kriminal, tante. Saya mencintai Theo apa adanya. Saya tak mengharapkan uang Theo sepeser pun. Sama sekali tidak!” tegas Briana.
Ibu Theo mendengus, “kau yakin? Keluarga besar kami tak akan menerima wanita sepertimu. Kau lihat kakak ipar Theo, Reina. Dia gadis terhormat, anak seorang pejabat berkuasa di kota ini! Bandingkan dengan dirimu. Theo pasti akan sangat malu denganmu!”
“Theo tak seperti itu, tante.” Bela Briana.
“Hah! Kau yakin! Apa Theo pernah mengajakmu pergi bersama ke acara keluarga kami atau memperkenalkanmu pada teman-temannya?” ejek Ibu Theo.
Briana terdiam. Ia tak bisa menjawab. Benar! Apa yang dikatakan oleh Ibu Theo benar!
Theo tak pernah melakukan itu, “Tante, salah paham. Theo hanya cukup sibuk! Ia mungkin tak punya waktu untuk melakukan hal itu. Saya juga yakin kalau Theo tidak seperti itu.”
Ibu Theo menyilangkan kedua tangannya.
“Tante, saya yakin tante paham, tante juga wanita. Kehormatan seorang wanita tidak terletak di status, harta ataupun pangkatnya. Semua wanita itu bernilai sama, dan mereka semua memiliki derajat yang sama.”
Cuih! Ibu Theo meludah di depan Briana.
“Janda sepertimu tak usah belagu! Sebagai ibunya, aku tak akan membiarkan anakku bergaul dengan wanita rendahan sepertimu. Sampai kapanpun! Aku telah menjodohkan Theo dengan wanita pilihan keluarga kami. Pertunangan mereka akan diadakan satu minggu lagi. Jangan halangi itu dan enyahlah dari hadapan Theo!” bentak Ibu theo sembari mendorong Briana dan meninggalkannya sendirian.
Tubuh Briana terhuyung ke belakang. Ia merasa dunia berputar dengan cepat di hadapannya. Sesuatu terasa menusuk hatinya. Bukan! Bukan kata-kata Ibu Theo yang menyakitinya. Namun, fakta bahwa Theo akan dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Mereka akan bertunangan 1 minggu lagi dan Theo sama sekali tidak memberitahunya tentang hal ini!Briana berjongkok, seluruh kekuatannya terasa hilang. Seluruh keberanian yang ia kumpulkan terasa lenyap seketika.Theo yang entah datang dari mana menghampiri Briana dan menarik lengan Briana sambil berkata, “apa yang kau lakukan di sini? ayo, bangun. Semua orang akan melihatmu.”Briana menepis tangan Theo. “Lepaskan aku, aku bisa bangun sendiri.”Briana menatap wajah Theo lekat-lekat. Ya, mungkin saja Theo belum menentukan timing yang tepat untuk memberitahukan masalah ini.Tapi, pertunangannya tinggal satu minggu lagi. Sampai kapan Theo akan menyembunyikannya.“Apa
Briana kembali menggigit es krimnya. Yah, ini tak terlalu buruk. Keberadaan pria itu membuatnya aman dan nyaman. Ia tak akan merasa kesepian. Namun, jujur saja Briana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sudah 3 tahun mereka duduk di bangku taman itu bersama-sama. Namun, tak pernah mereka berbincang satu sama lain bahkan satu kata pun. Pria itu tetap tak bergeming apapun yang Briana lakukan. Bahkan ketika Briana menangis dan tertawa sendiri sekalipun. Briana kembali menoleh, “apa yang dipikirkan oleh pria itu?” tanyanya dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang bisa duduk berjam-jam diam tanpa melakukan apa pun. Apakah ia memiliki masalah yang sangat berat. Namun, tak ada bahu untuk bersandar atau tempat untuk bercerita sama seperti dirinya? Cukup, ini sudah 3 tahun. Ia mungkin harus mengambil langkah awal untuk memecahkan keheningan ini. “Briana,” ucapnya tiba-tiba. Hening, tak ada sahutan. Pria itu tetap terdiam, menatap
***Sudah 3 bulan berlalu, pengangguran ini masih berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ia hanya makan, tidur, menonton film, membaca novel, makan, lalu tidur lagi. Sungguh hidup yang membosankan.“Huah…,” Briana menggeliat.Ia telah resign dari kantor Theo, dan setelah puas mengurung diri selama 1 minggu di kamar sambil menggalaukan diri. Ia akhirnya bisa move on.Setiap memikirkan Theo, perasaan sudah tak campur aduk lagi. Tidak ada cinta atau rasa sayang lagi yang tersisa untuk Theo.Bukan berarti ia membenci Theo, Briana hanya merasa bahwa perasaannya sekarang sudah hambar untuk Theo.Mungkin karena sedari awal ia sadar hubungannya tak akan berhasil, saat itulah Briana sudah mulai menghapus harapannya untuk hidup bersama Theo. Setelah mereka putus, melupakan Theo bukanlah hal yang sulit lagi mengingat ia pernah merasakan sakit yang lebih dari ini.Briana beranjak dari tempat tidurnya, ia membuka je
Briana melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Setelan gaun putih berlengan pendek itu nampak pas di badannya yang ramping. Ia memiliki tinggi badan sekitar 177 cm. Meskipun ia sudah cukup tinggi, Briana kerap menggunakan high heels dengan tinggi sekitar 10 cm. Itulah mengapa ia sering dijuluki, “wanita berkaki panjang.” Julukan itu terkadang membuatnya senang, bagaimanapun juga ia cukup bangga karena mampu mengimbangi tinggi Theo, kekasihnya. Briana memiliki wajah kecil dengan hidung mancung dan mata bulat, rambutnya hitam panjang sepinggang, kulitnya putih bersih. Berkat hal itu, ia kerap kali menjadi pusat perhatian para pria hidung belang. Terlebih karena ukuran payudaranya yang ekstra besar. “Ah, sepertinya aku membutuhkan aksesoris tambahan,” ucapnya sembari memasang anting-anting bulat besar miliknya. Briana mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan seutas pita hitam. “Selesai,” ujarnya lirih. Lipstik merah dan foundat