Tubuh Briana terhuyung ke belakang. Ia merasa dunia berputar dengan cepat di hadapannya. Sesuatu terasa menusuk hatinya. Bukan! Bukan kata-kata Ibu Theo yang menyakitinya. Namun, fakta bahwa Theo akan dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Mereka akan bertunangan 1 minggu lagi dan Theo sama sekali tidak memberitahunya tentang hal ini!
Briana berjongkok, seluruh kekuatannya terasa hilang. Seluruh keberanian yang ia kumpulkan terasa lenyap seketika.
Theo yang entah datang dari mana menghampiri Briana dan menarik lengan Briana sambil berkata, “apa yang kau lakukan di sini? ayo, bangun. Semua orang akan melihatmu.”
Briana menepis tangan Theo. “Lepaskan aku, aku bisa bangun sendiri.”
Briana menatap wajah Theo lekat-lekat. Ya, mungkin saja Theo belum menentukan timing yang tepat untuk memberitahukan masalah ini.
Tapi, pertunangannya tinggal satu minggu lagi. Sampai kapan Theo akan menyembunyikannya.
“Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?” tanya Briana. Meskipun ia telah mendengar semuanya dari Ibu Theo. Ia tetap ingin mendengarnya langsung dari mulut Theo.
Theo terdiam, agak sedikit kikuk. “Ehm, aku rasa tidak ada. Kenapa? Apakah ada masalah?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
Briana memejamkan matanya. Ia menarik nafas panjang. “Sudahlah, semuanya terserah padamu. Aku ingin pulang.”
Briana berbalik, namun langkahnya terhenti oleh tarikan tangan Theo. “Tunggu dulu, acaranya belum selesai. Aku tak bisa meninggalkan pesta ini.”
Briana melepaskan tangan Theo, “kau tak perlu pergi. Aku akan pulang sendiri.”
“Kau yakin kau akan baik-baik saja?” tanya Theo berusaha memastikan.
“Aku selalu baik-baik saja,” jawa Briana lirih sembari meninggalkan Theo yang masih menatapnya.
Briana berjalan meninggalkan hotel, ia berhenti di halte dan duduk di kursi halte bus yang sepenuhnya kosong. Pulang dengan taksi mungkin menjadi alternatif terbaik saat ini mengingat tidak ada bus yang rutenya menuju ke rumahnya.
Tak ada setitik pun air mata yang keluar dari matanya. Briana melamun sebentar dan tertawa kecil.
“Bodoh, apa yang kau harapkan?” ucapnya dalam hati.
Briana merentangkan tangannya, berusaha merilekskan diri dengan situasi. Briana tersenyum kecil sembari melihat jalanan kota yang dipenuhi lalu lalang mobil pribadi.
Pikirannya menerawang jauh menelusuri kembali perjalanan hidupnya. Ia lulus kuliah dengan predikat cumlaude di sebuah universitas di Jakarta berkat bantuan beasiswa. Ia kemudian bekerja di beberapa perusahaan sampai akhirnya ia berhasil diterima di perusahaan keluarga besar Theo.
Briana terkekeh, jika dipikir-pikir lagi pertemuan pertamanya dengan Theo cukup lucu. Ia tak sengaja bertemu dengan Theo di pinggir jalan ketika mobil Theo mogok.
Saat itu, Theo yang sepertinya tak tahu apapun mengenai mobil terus saja menggerutu sendiri karena kesal. Briana mencoba membantu Theo dengan mencarikan bengkel terdekat yang masih buka.
Saat itu, sudah pukul 10 malam. Mencari montir di jam itu adalah hal yang sulit. Untungnya Briana memiliki teman dekat yang bekerja sebagai montir.
Sejak pertemuan pertama itu, Theo terus saja mengikuti Briana kemanapun. Ia bahkan sering meninggalkan meja kerjanya sendiri untuk menghampiri Briana.
Karena Theo adalah anak pimpinan besar sekaligus direktur di perusahaan itu, tak ada yang berani menegurnya.
Karena sikap Theo yang manis dan baik itulah akhirnya Briana menerima pernyataan cinta Theo. Tapi, sekarang Briana ragu dengan keputusannya.
Jujur, ia tak tahu dengan pasti mengenai perasaannya terhadap Theo. Apakah hanya karena ia merasa tersentuh dengan kegigihan Theo ketika mendekati dirinya atau apa?
Senyum Briana menghilang, “maaf Theo. Sepertinya aku tak bisa mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Entah apakah aku masih memiliki hati untuk mencintai atau tidak sekarang. Pernikahan pertamaku tampaknya cukup menghancurkan perasaanku dan menghapus sebagian besar sel cinta dalam otakku. Butuh waktu yang lama agar lukaku sembuh dan pulih seperti sedia kala.”
Briana menyandarkan kepalanya. “Aku bimbang. Hubungan kita sudah berjalan selama 2 tahun. Aku tak tahu apakah hubungan ini layak dipertahankan atau tidak. Semuanya kacau sejak aku bertemu denganmu. Aku ragu apakah kita ini ditakdirkan bersama atau tidak,” ujar Briana dalam hati.
“Aku sudah lelah dengan semua drama ini.”
Briana mengusap wajahnya dan berdiri. Ia melambaikan tangannya pada taksi biru yang berjalan mendekatinya.
***
Devano Cullen, seorang pria tampan nan mapan itu sedang merenung. Ia menatap langit malam di balik jendela mobilnya.
Beberapa hari ini, ada banyak hal yang membuatnya terusik. Harga saham perusahaan anjlok, pekerjaan yang menumpuk dan ragam permasalahan lain nampaknya menambah kerumitan pikirannya.
Devano merasa ada yang kurang dari hidupnya. Ia merasa kurang bergairah, tak ada orang yang benar-benar berada di sisinya. Semua orang yang dekat dengannya hanyalah para penjilat yang haus uang dan kekuasaan.
Ia tak menemukan tantangan yang menarik dalam hidupnya. Bermalam dengan wanita-wanita cantik dari klub juga tak bisa mengisi kekosongan di hatinya. Devano merasa bosan dan sedikit kesepian.
“Ada yang bisa saya bantu, pak?” tanya Nathan, asisten pribadi yang telah setia menemaninya selama bertahun-tahun.
Devano mengalihkan perhatiannya ke depan. Pandangan matanya tajam dan terkesan dingin tanpa perasaan. Hal itu, membuat banyak orang takut untuk bertatapan mata langsung dengannya.
“Berhenti di taman biasa,” ucap Devano singkat.
“Baik.”
“Kali ini tinggalkan mobilnya. Kau pergilah lebih dulu dengan taksi, aku akan pulang sendiri,” ucap Devano tanpa ekspresi.
“Baik, pak. Saya mengerti.” Nathan sudah paham betul dengan sifat Devano, setiap ada masalah. Devao selalu pergi ke taman kecil itu.
Sesampainya di lokasi, Devano Cullen melepas jas mahalnya dan duduk di sebuah bangku taman yang menghadap ke utara. Selalu di tempat yang sama.
Lampu taman yang kecil tampaknya tak cukup menerangi suasana taman. Lampu jalan yang berada di seberang taman juga tak memberikan pencahayaan yang cukup. Beberapa area taman, termasuk bangku yang diduduki oleh Devano pun hanya terlihat remang-remang.
***
“Pak, berhenti di depan toko kelontong itu ya,” pinta Brianna pada pak sopir. Sopir taksi itu mengangguk dan menepikan mobilnya.
“Terima Kasih,” ucap Briana sembari menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribuan.
“Huft, mari kita tingkatkan mood kita hari ini dengan es krim.”
Briana memasuki toko kelontong tersebut lalu tanpa pikir panjang mengambil es krim Magnum Almond kesukaannya.
Briana berjalan ringan sambil memakan es krimnya perlahan. Berusaha menikmati setiap tetesan es krim yang mulai meleleh di tangannya. Langkah kakinya terus menuju ke sebuah taman kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya.
Briana berhenti sejenak. Di sana di tengah remang-remang cahaya bulan dan lampu taman. Ada seorang pria yang duduk diam sendiri.
Briana tersenyum kecil. “Tampaknya ada yang menemaniku lagi malam ini,” ucapnya dalam hati.
Briana melanjutkan kembali langkah kakinya, ia duduk di bangku taman yang menghadap ke selatan. Kedua kursi itu terletak berdampingan namun saling berlawanan arah. Briana mengabaikan es krimnya sejenak. Ia memandang pria itu sekali lagi.
Ya, pria yang sama yang selalu duduk sendirian di bangku taman selama 3 tahun belakangan ini.
Uniknya setiap kali pria itu berada di sana, Briana selalu terdorong untuk mengunjungi taman itu tanpa sadar. Mereka berdua berdua berakhir di taman tersebut, di waktu yang sama.
Briana kembali menggigit es krimnya. Yah, ini tak terlalu buruk. Keberadaan pria itu membuatnya aman dan nyaman. Ia tak akan merasa kesepian. Namun, jujur saja Briana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sudah 3 tahun mereka duduk di bangku taman itu bersama-sama. Namun, tak pernah mereka berbincang satu sama lain bahkan satu kata pun. Pria itu tetap tak bergeming apapun yang Briana lakukan. Bahkan ketika Briana menangis dan tertawa sendiri sekalipun. Briana kembali menoleh, “apa yang dipikirkan oleh pria itu?” tanyanya dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang bisa duduk berjam-jam diam tanpa melakukan apa pun. Apakah ia memiliki masalah yang sangat berat. Namun, tak ada bahu untuk bersandar atau tempat untuk bercerita sama seperti dirinya? Cukup, ini sudah 3 tahun. Ia mungkin harus mengambil langkah awal untuk memecahkan keheningan ini. “Briana,” ucapnya tiba-tiba. Hening, tak ada sahutan. Pria itu tetap terdiam, menatap
***Sudah 3 bulan berlalu, pengangguran ini masih berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ia hanya makan, tidur, menonton film, membaca novel, makan, lalu tidur lagi. Sungguh hidup yang membosankan.“Huah…,” Briana menggeliat.Ia telah resign dari kantor Theo, dan setelah puas mengurung diri selama 1 minggu di kamar sambil menggalaukan diri. Ia akhirnya bisa move on.Setiap memikirkan Theo, perasaan sudah tak campur aduk lagi. Tidak ada cinta atau rasa sayang lagi yang tersisa untuk Theo.Bukan berarti ia membenci Theo, Briana hanya merasa bahwa perasaannya sekarang sudah hambar untuk Theo.Mungkin karena sedari awal ia sadar hubungannya tak akan berhasil, saat itulah Briana sudah mulai menghapus harapannya untuk hidup bersama Theo. Setelah mereka putus, melupakan Theo bukanlah hal yang sulit lagi mengingat ia pernah merasakan sakit yang lebih dari ini.Briana beranjak dari tempat tidurnya, ia membuka je
Briana melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Setelan gaun putih berlengan pendek itu nampak pas di badannya yang ramping. Ia memiliki tinggi badan sekitar 177 cm. Meskipun ia sudah cukup tinggi, Briana kerap menggunakan high heels dengan tinggi sekitar 10 cm. Itulah mengapa ia sering dijuluki, “wanita berkaki panjang.” Julukan itu terkadang membuatnya senang, bagaimanapun juga ia cukup bangga karena mampu mengimbangi tinggi Theo, kekasihnya. Briana memiliki wajah kecil dengan hidung mancung dan mata bulat, rambutnya hitam panjang sepinggang, kulitnya putih bersih. Berkat hal itu, ia kerap kali menjadi pusat perhatian para pria hidung belang. Terlebih karena ukuran payudaranya yang ekstra besar. “Ah, sepertinya aku membutuhkan aksesoris tambahan,” ucapnya sembari memasang anting-anting bulat besar miliknya. Briana mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan seutas pita hitam. “Selesai,” ujarnya lirih. Lipstik merah dan foundat
Briana memasuki aula pesta. Seperti yang diharapkan dari pernikahan para konglomerat kaya, mereka tak segan-segan mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk menggelar pesta mewah seperti ini. Dekorasi ruangan tampak sangat cantik dengan hiasan berbagai jenis bunga seragam berwarna merah merekah. Para tamu undangan juga berasal dari kalangan para pengusaha kaya, pejabat atau artis yang wajahnya kerap kali menghiasi layar televisi. Briana memantapkan hatinya, entah apa yang orang lain pikirkan tentangnya ia sudah tak peduli lagi. Ia datang ke sini dengan tujuan baik. Jika hal buruk terjadi, itu semua diluar kuasanya. Mereka berdua berjalan lurus, menuju panggung utama yang menjadi fokus semua tamu undangan. Kedua mempelai nampak begitu bahagia, mereka berdiri dengan elegan dan menyalami semua tamu undangan yang memberi ucapan selamat pada mereka berdua. Sang mempelai wanita nampak sangat cantik, matanya bulat, hidungnya mungil dan bibir