Briana melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Setelan gaun putih berlengan pendek itu nampak pas di badannya yang ramping.
Ia memiliki tinggi badan sekitar 177 cm. Meskipun ia sudah cukup tinggi, Briana kerap menggunakan high heels dengan tinggi sekitar 10 cm.
Itulah mengapa ia sering dijuluki, “wanita berkaki panjang.” Julukan itu terkadang membuatnya senang, bagaimanapun juga ia cukup bangga karena mampu mengimbangi tinggi Theo, kekasihnya.
Briana memiliki wajah kecil dengan hidung mancung dan mata bulat, rambutnya hitam panjang sepinggang, kulitnya putih bersih. Berkat hal itu, ia kerap kali menjadi pusat perhatian para pria hidung belang. Terlebih karena ukuran payudaranya yang ekstra besar.
“Ah, sepertinya aku membutuhkan aksesoris tambahan,” ucapnya sembari memasang anting-anting bulat besar miliknya. Briana mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan seutas pita hitam. “Selesai,” ujarnya lirih.
Lipstik merah dan foundation yang cukup tebal menambahkan kesan glamor padanya. Briana mendesah, jujur ia tak menyukai tampilannya sendiri. Berdandan seperti ini menurutnya sangat berlebihan. Sama sekali tak cocok dengan dirinya yang lebih menyukai setelan casual dengan make up sederhana.
Ini semua ia lakukan untuk menuruti keinginan Theo. Malam ini ia bersama Theo akan menghadiri pesta pernikahan kakak laki-laki Theo di sebuah hotel. Pernikahannya cukup megah, jadi Theo meminta dirinya untuk berdandan dengan lebih mewah.
Briana berdiri, meletakkan tangannya di atas meja rias, ia membungkuk membiarkan tangannya menopang tubuhnya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sayangnya ia tak berhasil, ia kembali terduduk dan menangkupkan kedua telapak tangannya di kepala. Jujur saja, Briana merasa tak tenang.
Keluarga besar Theo sangat tidak menyukainya. Keluarga Theo adalah keluarga pengusaha kaya raya yang terhormat. Theo sendiri adalah anak kedua di keluarga itu.
Ibaratkan dua sisi koin, kehidupan mereka berbanding terbalik. Theo sedari kecil hidup nyaman layaknya seorang pangeran. Sebaliknya, Briana berjuang sangat keras agar dapat hidup dengan layak.
Kedua orangtuanya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat ia berusia 12 tahun. Sanak saudaranya juga menjauhinya setelah keluarganya jatuh miskin.
Setiap hari, Briana belajar dan bekerja keras. Berkat kerja kerasnya, ia sekarang bisa menjadi karyawan di salah satu perusahaan milik keluarga besar Theo. Di tempat itulah keduanya bertemu dan menjalin hubungan.
Sayangnya, setelah menjalin hubungan selama 2 tahun keluarga Theo tetap tidak merestui hubungan mereka. Segala hal telah dilakukan Briana untuk merebut hati orang tua Theo.
Namun, semuanya sia-sia. Nampaknya, menjadi baik saja tidak cukup. Keluarga Theo yang “terhormat” nyatanya memiliki kriteria lain untuk calon menantu idamannya.
Mereka menginginkan calon menantu yang berasal dari keluarga berada untuk meningkatkan kedudukan mereka. Briana hanyalah gadis miskin sederhana yang tak memiliki posisi berpengaruh sama sekali.
Terlebih lagi setelah mengetahui bahwa status Briana adalah seorang janda, keluarga Theo semakin menentang hubungan keduanya.
Briana memikirkan berbagai skenario terburuk yang mungkin akan menimpanya jika ia tetap memaksa untuk hadir di pernikahan kakak Theo. Keluarga besar Theo jelas tak menginginkan kedatangannya.
Ia mungkin akan diusir oleh security atau mungkin ia akan disiram air lagi oleh Ibu Theo, seperti terakhir kali ketika ia berkunjung ke rumah Theo.
Briana kembali menggelengkan kepalanya.
“Tenang, semuanya akan baik-baik saja,” ucapnya pada dirinya sendiri.
Yah, jujur itu sedikit membantu. Briana mencoba meyakinkan dirinya lagi dan lagi.
Ia menengok jam, sudah pukul 7 malam. Ia bergegas mengambil tas, keluar dan mengunci pintu rumah kecilnya yang terletak di sebuah kawasan sederhana.
Ia menuruni tangga depan rumahnya kemudian berjalan beberapa meter kedepan. Rumahnya sendiri terletak di dalam sebuah gang, sehingga tidak memungkinkan bagi mobil Theo untuk masuk ke dalam.
Briana berhenti tepat di pinggir jalan, menunggu Theo yang akan menjemputnya.
15 menit berlalu, Theo tak kunjung datang. Hanya angin malam sepoi-sepoi yang menyapu wajah Briana. Briana mendesah, yah itu memang Theo. Selalu terlambat, tak pernah menepati janjinya tepat waktu.
Briana sudah terbiasa dan hafal betul kebiasaan Theo yang satu itu. Ia pernah menasehati Theo beberapa kali, sayangnya sulit sekali bagi Theo untuk mengubah kebiasaan buruknya yang satu ini.
Briana terbiasa hidup tepat waktu, baginya waktu sangatlah berharga. Ia juga tak enak hati jika membiarkan orang lain menunggu. Jadi, meskipun ia tahu kalau Theo akan terlambat Briana tetap saja datang sesuai waktu yang telah mereka sepakati.
Sepatu hak tinggi yang ia kenakan membuat tumit Briana sakit karena berdiri terlalu lama. Ia memutuskan untuk membalikkan badan, bermaksud ingin kembali ke rumahnya. Belum genap 5 langkah, Theo tiba dan ia membunyikan klakson.
Briana kembali memutar arahnya dan menghampiri mobil Theo.
Theo menurunkan kaca mobilnya, “kau sudah menunggu lama?” tanyanya pada Briana.
Briana mengangguk dan membuka pintu mobil, ia duduk di samping Theo. Mobil melaju menuju ke salah satu Hotel Bintang 5 di kawasan Jakarta Pusat yang akan menjadi lokasi resepsi pernikahan kakak Theo.
Briana menoleh ke sampingnya, menengok pria berambut ikal yang tengah menyetir. Theo cukup tampan dengan tinggi 185 cm dan berat badan 80 kg, Theo terlihat memiliki ukuran tubuh yang cukup proporsional. Ia terkadang menggunakan kacamata. Theo memiliki mata coklat terang, ia juga memiliki tulang rahang yang tegas dan hidung yang cukup mancung.
Briana kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan yang cukup lenggang malam ini.
Keduanya sama-sama membisu, membiarkan suara deru mesin mobil menggema memecah keheningan antara keduanya.
Briana melihat jelas kecemasan dan keraguan di wajah Theo. “Kau khawatir?” tanya Briana membuka percakapan.
“Ah, emm, tak terlalu,” jawab Theo berusaha berbohong.
“Tak, apa. Kita bisa menghadapi ini berdua,” Briana berusaha menenangkan Theo.
“Ya, kuharap,” jawab Theo. Masih terdengar dengan jelas, kekhawatiran di nada ucapan Theo.
“Haruskah kubawa sebuah kado pernikahan tadi? Aku tak sempat menyiapkannya,” canda Briana sembari tertawa kecil. Ia berusaha memecahkan suasana tegang yang kembali terasa.
Theo hanya tersenyum kecil. Mereka berdua sama-sama tahu, bahwa sekalipun Briana membawa kado pernikahan. Keluarga Theo pastinya tak akan mau menerimanya.
Tak berselang lama, keduanya pun sampai di lokasi resepsi. Ada banyak sekali mobil-mobil mewah yang berada di parkiran mobil khusus tamu undangan.
Briana menarik nafasnya dalam-dalam.
“Siap?” Tanya Theo yang juga tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Briana mengangguk mereka keluar mobil dan berjalan bersama sambil bergandengan tangan.
“Wanita pilihan kakakmu pasti sangat cantik.”
“Ya, dia cantik.”
“Ya, apa dia berasal dari keluarga kaya raya?” Tanya Briana lagi.
“Ya, dia putri sulung salah satu anggota dewan.”
“Ah,” Briana tersenyum kecut.
“Putri Anggota Dewan”, tak heran jika orangtua Theo langsung menerimanya. Briana menoleh ke Theo, jujur dibandingkan dengan mantan suaminya. Theo jelas lebih baik, ia lebih lembut dan manis.
Hanya saja, Theo nampaknya kurang berpengalaman dalam urusan wanita. Terkadang ia agak membosankan, plin-plan dan terlalu bergantung pada orang tuanya.
Jujur saja, Briana juga tak tau mengapa Theo bisa menyukai dirinya. Setiap kali ia bertanya, Theo selalu memberikan jawaban yang sama, “Cantik”.
Briana memasuki aula pesta. Seperti yang diharapkan dari pernikahan para konglomerat kaya, mereka tak segan-segan mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk menggelar pesta mewah seperti ini. Dekorasi ruangan tampak sangat cantik dengan hiasan berbagai jenis bunga seragam berwarna merah merekah. Para tamu undangan juga berasal dari kalangan para pengusaha kaya, pejabat atau artis yang wajahnya kerap kali menghiasi layar televisi. Briana memantapkan hatinya, entah apa yang orang lain pikirkan tentangnya ia sudah tak peduli lagi. Ia datang ke sini dengan tujuan baik. Jika hal buruk terjadi, itu semua diluar kuasanya. Mereka berdua berjalan lurus, menuju panggung utama yang menjadi fokus semua tamu undangan. Kedua mempelai nampak begitu bahagia, mereka berdiri dengan elegan dan menyalami semua tamu undangan yang memberi ucapan selamat pada mereka berdua. Sang mempelai wanita nampak sangat cantik, matanya bulat, hidungnya mungil dan bibir
Tubuh Briana terhuyung ke belakang. Ia merasa dunia berputar dengan cepat di hadapannya. Sesuatu terasa menusuk hatinya. Bukan! Bukan kata-kata Ibu Theo yang menyakitinya. Namun, fakta bahwa Theo akan dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Mereka akan bertunangan 1 minggu lagi dan Theo sama sekali tidak memberitahunya tentang hal ini!Briana berjongkok, seluruh kekuatannya terasa hilang. Seluruh keberanian yang ia kumpulkan terasa lenyap seketika.Theo yang entah datang dari mana menghampiri Briana dan menarik lengan Briana sambil berkata, “apa yang kau lakukan di sini? ayo, bangun. Semua orang akan melihatmu.”Briana menepis tangan Theo. “Lepaskan aku, aku bisa bangun sendiri.”Briana menatap wajah Theo lekat-lekat. Ya, mungkin saja Theo belum menentukan timing yang tepat untuk memberitahukan masalah ini.Tapi, pertunangannya tinggal satu minggu lagi. Sampai kapan Theo akan menyembunyikannya.“Apa
Briana kembali menggigit es krimnya. Yah, ini tak terlalu buruk. Keberadaan pria itu membuatnya aman dan nyaman. Ia tak akan merasa kesepian. Namun, jujur saja Briana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sudah 3 tahun mereka duduk di bangku taman itu bersama-sama. Namun, tak pernah mereka berbincang satu sama lain bahkan satu kata pun. Pria itu tetap tak bergeming apapun yang Briana lakukan. Bahkan ketika Briana menangis dan tertawa sendiri sekalipun. Briana kembali menoleh, “apa yang dipikirkan oleh pria itu?” tanyanya dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang bisa duduk berjam-jam diam tanpa melakukan apa pun. Apakah ia memiliki masalah yang sangat berat. Namun, tak ada bahu untuk bersandar atau tempat untuk bercerita sama seperti dirinya? Cukup, ini sudah 3 tahun. Ia mungkin harus mengambil langkah awal untuk memecahkan keheningan ini. “Briana,” ucapnya tiba-tiba. Hening, tak ada sahutan. Pria itu tetap terdiam, menatap
***Sudah 3 bulan berlalu, pengangguran ini masih berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ia hanya makan, tidur, menonton film, membaca novel, makan, lalu tidur lagi. Sungguh hidup yang membosankan.“Huah…,” Briana menggeliat.Ia telah resign dari kantor Theo, dan setelah puas mengurung diri selama 1 minggu di kamar sambil menggalaukan diri. Ia akhirnya bisa move on.Setiap memikirkan Theo, perasaan sudah tak campur aduk lagi. Tidak ada cinta atau rasa sayang lagi yang tersisa untuk Theo.Bukan berarti ia membenci Theo, Briana hanya merasa bahwa perasaannya sekarang sudah hambar untuk Theo.Mungkin karena sedari awal ia sadar hubungannya tak akan berhasil, saat itulah Briana sudah mulai menghapus harapannya untuk hidup bersama Theo. Setelah mereka putus, melupakan Theo bukanlah hal yang sulit lagi mengingat ia pernah merasakan sakit yang lebih dari ini.Briana beranjak dari tempat tidurnya, ia membuka je