***
Sudah 3 bulan berlalu, pengangguran ini masih berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun. Ia hanya makan, tidur, menonton film, membaca novel, makan, lalu tidur lagi. Sungguh hidup yang membosankan.
“Huah…,” Briana menggeliat.
Ia telah resign dari kantor Theo, dan setelah puas mengurung diri selama 1 minggu di kamar sambil menggalaukan diri. Ia akhirnya bisa move on.
Setiap memikirkan Theo, perasaan sudah tak campur aduk lagi. Tidak ada cinta atau rasa sayang lagi yang tersisa untuk Theo.
Bukan berarti ia membenci Theo, Briana hanya merasa bahwa perasaannya sekarang sudah hambar untuk Theo.
Mungkin karena sedari awal ia sadar hubungannya tak akan berhasil, saat itulah Briana sudah mulai menghapus harapannya untuk hidup bersama Theo. Setelah mereka putus, melupakan Theo bukanlah hal yang sulit lagi mengingat ia pernah merasakan sakit yang lebih dari ini.
Briana beranjak dari tempat tidurnya, ia membuka je
Briana melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Setelan gaun putih berlengan pendek itu nampak pas di badannya yang ramping. Ia memiliki tinggi badan sekitar 177 cm. Meskipun ia sudah cukup tinggi, Briana kerap menggunakan high heels dengan tinggi sekitar 10 cm. Itulah mengapa ia sering dijuluki, “wanita berkaki panjang.” Julukan itu terkadang membuatnya senang, bagaimanapun juga ia cukup bangga karena mampu mengimbangi tinggi Theo, kekasihnya. Briana memiliki wajah kecil dengan hidung mancung dan mata bulat, rambutnya hitam panjang sepinggang, kulitnya putih bersih. Berkat hal itu, ia kerap kali menjadi pusat perhatian para pria hidung belang. Terlebih karena ukuran payudaranya yang ekstra besar. “Ah, sepertinya aku membutuhkan aksesoris tambahan,” ucapnya sembari memasang anting-anting bulat besar miliknya. Briana mengikat rambut panjangnya ke belakang dengan seutas pita hitam. “Selesai,” ujarnya lirih. Lipstik merah dan foundat
Briana memasuki aula pesta. Seperti yang diharapkan dari pernikahan para konglomerat kaya, mereka tak segan-segan mengucurkan dana ratusan juta rupiah untuk menggelar pesta mewah seperti ini. Dekorasi ruangan tampak sangat cantik dengan hiasan berbagai jenis bunga seragam berwarna merah merekah. Para tamu undangan juga berasal dari kalangan para pengusaha kaya, pejabat atau artis yang wajahnya kerap kali menghiasi layar televisi. Briana memantapkan hatinya, entah apa yang orang lain pikirkan tentangnya ia sudah tak peduli lagi. Ia datang ke sini dengan tujuan baik. Jika hal buruk terjadi, itu semua diluar kuasanya. Mereka berdua berjalan lurus, menuju panggung utama yang menjadi fokus semua tamu undangan. Kedua mempelai nampak begitu bahagia, mereka berdiri dengan elegan dan menyalami semua tamu undangan yang memberi ucapan selamat pada mereka berdua. Sang mempelai wanita nampak sangat cantik, matanya bulat, hidungnya mungil dan bibir
Tubuh Briana terhuyung ke belakang. Ia merasa dunia berputar dengan cepat di hadapannya. Sesuatu terasa menusuk hatinya. Bukan! Bukan kata-kata Ibu Theo yang menyakitinya. Namun, fakta bahwa Theo akan dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Mereka akan bertunangan 1 minggu lagi dan Theo sama sekali tidak memberitahunya tentang hal ini!Briana berjongkok, seluruh kekuatannya terasa hilang. Seluruh keberanian yang ia kumpulkan terasa lenyap seketika.Theo yang entah datang dari mana menghampiri Briana dan menarik lengan Briana sambil berkata, “apa yang kau lakukan di sini? ayo, bangun. Semua orang akan melihatmu.”Briana menepis tangan Theo. “Lepaskan aku, aku bisa bangun sendiri.”Briana menatap wajah Theo lekat-lekat. Ya, mungkin saja Theo belum menentukan timing yang tepat untuk memberitahukan masalah ini.Tapi, pertunangannya tinggal satu minggu lagi. Sampai kapan Theo akan menyembunyikannya.“Apa
Briana kembali menggigit es krimnya. Yah, ini tak terlalu buruk. Keberadaan pria itu membuatnya aman dan nyaman. Ia tak akan merasa kesepian. Namun, jujur saja Briana tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Sudah 3 tahun mereka duduk di bangku taman itu bersama-sama. Namun, tak pernah mereka berbincang satu sama lain bahkan satu kata pun. Pria itu tetap tak bergeming apapun yang Briana lakukan. Bahkan ketika Briana menangis dan tertawa sendiri sekalipun. Briana kembali menoleh, “apa yang dipikirkan oleh pria itu?” tanyanya dalam hati. Bagaimana mungkin seseorang bisa duduk berjam-jam diam tanpa melakukan apa pun. Apakah ia memiliki masalah yang sangat berat. Namun, tak ada bahu untuk bersandar atau tempat untuk bercerita sama seperti dirinya? Cukup, ini sudah 3 tahun. Ia mungkin harus mengambil langkah awal untuk memecahkan keheningan ini. “Briana,” ucapnya tiba-tiba. Hening, tak ada sahutan. Pria itu tetap terdiam, menatap