Share

Terluka

Bukan hanya Jati yang terkejut atas pernyataan Aira itu, melainkan Mira juga. Wanita paruh baya yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu, langsung melotot pada Aira.

"Yang benar, Ra?!" seru Mira tertahan.

Akan tetapi, Aira tak menghiraukan sang tante. Dia terlalu fokus pada wajah cantik Senja yang tampak pias.

"Apa maumu, Senja? Kamu sudah berhasil merebut Kak Jati, kan? Sudah kurelakan biduk rumah tangga kami hancur, supaya kalian bisa bersatu. Apa masih kurang pengorbananku?" cerca Aira dengan napas menderu.

"Bukan aku yang merebut Mas Jati, tapi kamu!" Senja tak mau kalah. "Aku yang lebih dulu mengenalnya. Kami saling mencintai!"

"Baguslah, kalau begitu. Kuucapkan selamat untuk kalian. Semoga kalian berdua selalu bahagia. Sekarang, cepat pergi dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!" titah Aira.

Bukannya tersinggung, Jati malah berjalan mendekat ke arah Aira. Sontak, dada Senja semakin bergemuruh melihatnya.

"Apa benar kamu akan menikah, Ra?"Jati melayangkan tatapan sendu. Seolah tak ada hal lain yang lebih penting selain perkataan Aira tadi.

"Iya!" Aira mengangguk yakin.

"Siapa laki-laki itu?" Sudut bibir Jati bergetar saat berucap demikian.

"Kenapa? Apa itu penting untukmu?" desis Aira.

"Sudahlah, Mas. Kita pulang saja! Sampai kapan kamu mempermalukan aku seperti ini?" keluh Senja. Sebulir air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. Dia kini tak bisa lagi menahan cemburu dan sakit hati, akibat sikap Jati.

"Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu mendapatkan pria yang tepat dan baik," kilah Jati.

Mendengar hal itu, Aira tertawa. "Serius, Kak Jati ngomong begini?" ejeknya. "Pria pilihanku jelas jauh lebih baik dibanding kamu. Setidaknya dia tak ada niat untuk menduakanku di awal pernikahan," sindir Aira.

"Ini bukan akal-akalan kalian saja, kan?" sela Senja lirih. Satu tangannya sibuk mengusap air mata yang terus mengalir. "Bisa saja kalian bersandiwara, seakan-akan tidak memiliki hubungan apapun. Tapi di belakang ...."

"Astaga! Jauh sekali pikiranmu, Nja!" Jati mengacak-acak rambutnya kasar. "Dengar, ya! Seharusnya kamu juga merasa bersalah pada Aira, sama sepertiku dan Ibu! Kita ini sudah menghancurkan hidupnya!"

Entah mengapa, hati Aira seperti teriris mendengar perkataan itu. Sekarang, dia baru memahami arti dari sikap lembut dan perhatian Jati. Tidak lebih hanya karena perasaan bersalah serta kasihan. Sedangkan Aira paling benci dikasihani.

"Sebenarnya, aku tidak peduli. Mau kamu percaya atau tidak. Tapi, ucapanmu tadi sungguh mengusik harga diriku! Aku bukan pembohong seperti Kak Jati, Senja!" geram Aira.

"Kamu mau bukti, kan? Oke, kubuktikan sekarang!" Dengan penuh percaya diri, Aira merogoh ponsel dari dalam ransel, lalu menekan kontak Manggala.

Namun, belum sempat nada sambung berbunyi, sebuah mobil Jeep Wrangler berwarna hitam metalik, berhenti tepat di depan halaman rumah Mira.

Tak berselang lama, seorang pria berparas sangat menawan, turun dari sana. Rambut gondrong serta outfit kasual yang dipakai, sama garangnya dengan kendaraan yang dia naiki.

Pria yang tak lain adalah Manggala itu, berjalan gagah ke arah Aira sambil memasang senyuman lebar. "Hai, apa aku mengganggu?" sapanya ramah.

Aira tertegun untuk sesaat. Setelah sadar, dia segera mematikan panggilannya dan berlari menyambut Manggala. "Sayang! Baru saja mau kutelepon!" seru Aira manja.

Dengan percaya diri, dia menggelayut di lengan kekar Manggala. Beberapa kali Aira mengedipkan mata penuh teka-teki, seperti tengah memberikan isyarat pada atasan sekaligus mantan kekasihnya itu.

"Sayang?" ulang Manggala seraya mengernyit kebingungan. Sesaat kemudian, dia mengarahkan tatapan pada Jati dan Senja secara bergantian. Barulah Manggala menyadari bahwa Aira pasti tengah bersandiwara.

"Siapa mereka, Aira?" tanya Manggala penuh selidik.

"Kenalkan, Sayang. Dia mantan suamiku, beserta istrinya. Mereka tak percaya kalau kita akan segera menikah!" Lagi-lagi, Aira mengedip-ngedipkan kedua matanya.

"Oh!" Manggala tergelak. Dia harus bisa mengimbangi drama Aira. Satu tangannya kemudian melingkar di pinggang ramping wanita cantik itu, lalu menariknya mendekat. Tubuh keduanya kini benar-benar menempel, tak ada lagi jarak.

"Minggu depan kami menikah. Kuharap kalian bisa hadir. Hanya resepsi sederhana saja, kok," ujar Manggala dengan percaya diri.

Sementara, Aira melotot. "Minggu depan?" desisnya teramat lirih. Ingin rasanya dia protes, tapi segera diurungkan karena Jati terus memperhatikannya. "Eh, iya! Bulan depan!" celetuk Aira kemudian.

"Kebetulan Mas Jati berada di sini sampai dua minggu ke depan. Selain bulan madu, rencananya suamiku juga akan meninjau lokasi pembangunan peternakan sapi hasil kerjasama dengan rekannya yang ada di sini," terang Senja. "Iya kan, Mas!"

Jati tampak salah tingkah. Namun, secepat mungkin dia menguasai diri. "Iya, benar!" ujarnya sambil mengembuskan napas panjang.

"Tidak apa-apa kan, kalau kami hadir di pernikahan kalian? Maaf jika aku terkesan mengganggu. Aku hanya ingin memastikan bahwa Aira sudah benar-benar lepas dari Mas Jati," tutur Senja.

"Senja!" hardik Jati. Dia sungguh tak paham dengan jalan pikiran istrinya itu.

"Oh, tidak masalah. Kalian datang saja! Menambah dua undangan tidak akan menjadi masalah besar bagi kami. Iya kan, Sayang!" Kini, giliran Manggala yang mengedipkan sebelah matanya.

Lain halnya dengan Aira yang mendadak pias. Bagaimana mungkin Manggala menyanggupi sebuah resepsi jika sebenarnya pernikahan itu tak pernah ada. Bahkan pria itu dengan percaya dirinya mengundang Jati dan Senja agar turut hadir.

"Tenang saja. Percayalah padaku. Kita beri mereka pernikahan palsu yang akan terlihat sangat nyata," bisik Manggala tepat di telinga Aira. Dia juga menggigit kecil daun telinga berhias anting emas itu.

Deg!

'Apa-apaan ini?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status