Share

Pertemuan

"Sedang apa Kak Jati di sini?" tanya Aira dingin. "Dengan siapa?" cecarnya sembari menyapu pandangan ke sekitar. Aira harus waspada seandainya Jati datang bersama istri, sebab dia pasti tak akan sanggup melihat kemesraan sang mantan suami bersama pasangannya.

"Aku ingin menitipkan oleh-oleh dari Ibu," jawab Jati sambil tersenyum kaku.

"Darimana Kak Jati tahu aku tinggal di sini?" tanya Aira lagi. Dia seolah tak memedulikan kalimat Jati sebelumnya.

"Suami Mbak Sinta yang memberitahuku," sahut Jati.

"Ck!" Aira berdecak kesal. Kakak iparnya itu tak pernah bisa menyimpan rahasia, terlebih pada Jati. Aira sedikit memaklumi sebab Jati dan sang kakak ipar memang bersahabat sejak lama.

"Kenapa mesti repot-repot? Tante Andini kan bisa menitipkannya pada Mama atau Mbak Sinta," dengkus Aira.

"Maaf, Ra. Kalau kedatanganku kemari membuatmu tidak nyaman. Tapi, Ibu yang memaksa. Bingkisan ini harus diterima langsung olehmu." Jati menyodorkan sebuah paperbag pada Aira.

Ragu-ragu, Aira menerima bingkisan itu.

"Bukalah," pinta Jati. "Biar aku merekammu. Akan kukirim videonya ke Ibu."

"Kubuka di dalam saja deh, Kak," tolak Aira.

"Tolong, Ra." Jati menangkupkan kedua tangannya di dada. "Ibu sangat merasa bersalah padamu. Dia sekarang sakit-sakitan karena terus kepikiran dengan perceraian kita," ungkapnya.

"Ibu memberikan hadiah ini hanya untuk mengurangi rasa bersalahnya. Kumohon, jangan tolak keinginan Ibu," desak Jati.

Aira menghela napas panjang. Dia sebenarnya ingin menolak. Namun, melihat raut memelas Jati, dan iba dengan kondisi sang mantan mertua, dirinya pun luluh. "Apa salahnya hanya sekadar membuka hadiah," batin Aira.

"Ya, sudah," putus Aira sambil memaksakan senyum. Dia pasrah saat Jati merekam momen saat Aira membuka bungkusan yang berada di dalam paperbag, lalu mengeluarkan isinya.

"Apa ini?" desis Aira saat meraih sebuah kotak beludru berukuran sedang. Pelan dan hati-hati, dia membuka kotak berwarna biru itu. "Ka-kalung?" gumam Aira, setengah tak percaya.

"Biar kubantu memakaikan," tawar Jati. Pria tinggi tegap itu tak menunggu jawaban Aira. Segera saja dia meletakkan ponsel yang masih dalam posisi merekam, ke pagar teras.

Jati bergegas mengambil kalung berlian yang dipercantik dengan liontin berbentuk huruf A. Dia kemudian memasangkannya di leher jenjang Aira. Sejenak, napas Jati tertahan, tatkala matanya tak sengaja memperhatikan tengkuk putih mulus itu.

"I-ini terlalu berlebihan, Kak," ucap Aira tak enak.

"Ini bahkan tidak cukup untuk mengganti kesedihanmu gara-gara aku," timpal Jati. "Aku minta maaf, Ra ...."

"Sudahlah, Kak. Aku bosan mendengar kata-kata itu terus. Kak Jati lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja di sini. Aku bahagia!" tegas Aira.

"Benarkah?" Jati menatap mantan istrinya itu lekat-lekat dengan sorot yang tak dapat diartikan.

"Iya! Aku bahkan sudah dekat dengan seseorang," sahut Aira jumawa.

"Oh, ya? Siapa?" Jati memicingkan mata. Tampak jelas jika dia tak menyukai apa yang Aira katakan.

"Siapapun itu, bukan urusan Kak Jati. Yang jelas, dia laki-laki baik dan menerimaku apa adanya," beber Aira. Terbersit rasa bersalah karena telah membohongi pria tampan di hadapannya itu. Namun, Aira harus memberikan batas yang tegas pada Jati yang berstatus suami orang.

Sementara Jati hanya diam mematung setelah mendengarkan kalimat Aira, membuat suasana berubah canggung.

"Di mana istrimu?" tanya Aira, memecah keheningan.

"Ada di hotel," jawab Jati singkat.

"Kenapa tidak diajak sekalian?" pancing Aira.

Jati terkekeh, lalu menggeleng. "Dia masih mengalami jetlag."

"Oh, oke. Kalau begitu aku masuk dulu, ya. Maaf aku tidak menawari Kak Jati masuk. Kasihan istrimu nanti kalau ditinggal terlalu lama," pamit Aira. Dia melenggang ke dalam rumah, tanpa menoleh lagi. Tak dipedulikannya Jati yang terus memperhatikan dirinya lekat-lekat.

Aira langsung menutup pintu rapat-rapat dan menyandarkan punggungnya di daun pintu. Beberapa detik lamanya dia mengatur napas, untuk menghilangkan sesak dalam dada.

"Apa katanya?" Terdengar suara Mira, membuat Aira berjingkat saking kagetnya.

"Ta-tante!" seru Aira sembari mengusap dada. "Kupikir Tante belum pulang!"

"Aku ada di rumah sejak siang. Mantanmu itu sudah dua jam mondar-mandir di depan halaman. Sengaja aku bersembunyi, biar dikira tidak ada orang di rumah," papar Mira.

"Ya, ampun! Kenapa tidak dibukakan pintu?" Aira terbelalak tak percaya.

"Aku malas ketemu dia, Ra. Sakit hatiku masih belum hilang rasanya," gerutu Mira.

"Tante ...." Kata-kata Aira terjeda oleh bunyi ketukan di pintu.

"Astaga! Belum pulang juga si Jati itu!" omel Mira.

Sedangkan Aira malas-malasan membuka pintu. Dia sudah bersiap mengeluarkan kalimat nasihat untuk Jati. Namun, hal itu urung dilakukan, sebab yang berdiri di hadapan Aira saat ini bukanlah mantan suaminya, melainkan Senja, istri Jati.

"Kamu?" Aira mengernyitkan dahi.

"Kumohon, jangan ganggu rumah tangga kami!" pinta Senja dengan berurai air mata.

"Nja!" sela Jati tak terima. Sedikit kasar dia menarik tangan sang istri supaya mundur dan menjauh dari Aira. "Jangan bicara sembarangan! Aku hanya mengantarkan pesanan Ibu untuk Aira!" tegur Jati.

"Jadi, ini alasanmu mengajakku bulan madu ke Australia? Kamu jadikan aku tameng, hanya untuk bertemu Aira. Begitu, kan!" sentak Senja, tanpa mau mendengarkan penjelasan Jati.

"Hentikan!" potong Aira yang terganggu oleh keributan sepasang suami istri itu. "Tolong, jangan bikin ribut di depan rumah orang!" hardiknya keras.

"Dengar ya, Senja! Aku tidak terima dituduh macam-macam! Harusnya kamu salahkan suamimu yang tiba-tiba muncul di depan rumah, dan memaksa bertemu!" geram Aira.

"Lagipula, aku sama sekali tidak punya urusan apapun dengan Kak Jati, karena sebentar lagi aku akan menikah dengan pacarku!" tegasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status