"Sedang apa Kak Jati di sini?" tanya Aira dingin. "Dengan siapa?" cecarnya sembari menyapu pandangan ke sekitar. Aira harus waspada seandainya Jati datang bersama istri, sebab dia pasti tak akan sanggup melihat kemesraan sang mantan suami bersama pasangannya.
"Aku membawakanmu oleh-oleh dari Ibu," jawab Jati sambil tersenyum kaku. "Darimana Kak Jati tahu aku tinggal di sini?" Aira memicingkan mata sinis, seolah tak memedulikan kalimat Jati sebelumnya. "Suami Mbak Sinta yang memberitahuku," sahut Jati. "Ck!" Aira berdecak kesal. Kakak iparnya itu tak pernah bisa menyimpan rahasia, terlebih pada Jati. Aira sedikit memaklumi sebab Jati dan sang kakak ipar memang bersahabat sejak lama. "Kenapa mesti repot-repot? Tante Andini kan bisa menitipkannya pada Mama atau Mbak Sinta," dengkus Aira. "Maaf, Ra. Kalau kedatanganku kemari membuatmu tidak nyaman. Tapi, Ibu yang memaksa. Bingkisan ini harus diterima langsung olehmu." Jati menyodorkan sebuah paperbag pada Aira. Ragu-ragu, Aira menerima bingkisan itu. "Bukalah," pinta Jati. "Biar aku merekammu. Akan kukirim videonya ke Ibu." "Kubuka di dalam saja deh, Kak," tolak Aira. "Tolong, Ra." Jati menangkupkan kedua tangannya di dada. "Ibu sangat merasa bersalah padamu. Dia sekarang sakit-sakitan karena terus kepikiran dengan perceraian kita," ungkapnya. "Ibu memberikan hadiah ini hanya untuk mengurangi rasa bersalahnya. Kumohon, jangan tolak keinginan Ibu," desak Jati. Aira menghela napas panjang. Dia sebenarnya ingin menolak. Namun, melihat raut memelas Jati, dan iba dengan kondisi sang mantan mertua, dirinya pun luluh. "Apa salahnya hanya sekadar membuka hadiah," batin Aira. "Ya, sudah," putus Aira sambil memaksakan senyum. Dia pasrah saat Jati merekam momen saat Aira membuka bungkusan yang berada di dalam paperbag, lalu mengeluarkan isinya. "Apa ini?" desis Aira saat meraih sebuah kotak beludru berukuran sedang. Pelan dan hati-hati, dia membuka kotak berwarna biru itu. "Ka-kalung?" gumam Aira, setengah tak percaya. "Biar kubantu memakaikan," tawar Jati. Pria tinggi tegap itu tak menunggu jawaban Aira. Segera saja dia meletakkan ponsel yang masih dalam posisi merekam, ke pagar teras. Jati bergegas mengambil kalung berlian yang dipercantik dengan liontin berbentuk huruf A. Dia kemudian memasangkannya di leher jenjang Aira. Sejenak, napas Jati tertahan, tatkala matanya tak sengaja memperhatikan tengkuk putih mulus itu. "I-ini terlalu berlebihan, Kak," ucap Aira tak enak. "Ini bahkan tidak cukup untuk mengganti kesedihanmu gara-gara aku," timpal Jati. "Aku minta maaf, Ra ...." "Sudahlah, Kak. Aku bosan mendengar kata-kata itu terus. Kak Jati lihat sendiri, kan? Aku baik-baik saja di sini. Aku bahagia!" tegas Aira. "Benarkah?" Jati menatap mantan istrinya itu lekat-lekat dengan sorot yang tak dapat diartikan. "Iya! Aku bahkan sudah dekat dengan seseorang," sahut Aira jumawa. "Oh, ya? Siapa?" Jati menatap tak suka. "Siapapun itu, bukan urusan Kak Jati. Yang jelas, dia laki-laki baik dan mau menerimaku apa adanya," beber Aira. Terbersit rasa bersalah karena telah membohongi pria tampan di hadapannya itu. Namun, Aira harus memberikan batas yang tegas pada Jati yang kini sudah berstatus sebagai suami orang. Sementara Jati hanya diam mematung setelah mendengarkan kalimat Aira, membuat suasana berubah canggung. "Di mana istrimu?" tanya Aira, memecah keheningan. "Ada di hotel," jawab Jati singkat. "Kenapa tidak diajak sekalian?" pancing Aira. Jati terkekeh, lalu menggeleng. "Dia masih mengalami jetlag." "Oh, oke. Kalau begitu aku masuk dulu, ya. Maaf aku tidak menawari Kak Jati masuk. Kasihan istrimu nanti kalau ditinggal terlalu lama," pamit Aira. Dia melenggang ke dalam rumah, tanpa menoleh lagi. Tak dipedulikannya Jati yang terus memperhatikan dirinya lekat-lekat. Aira langsung menutup pintu rapat-rapat dan menyandarkan punggungnya di daun pintu. Beberapa detik lamanya dia mengatur napas, untuk menghilangkan sesak dalam dada. "Apa katanya?" Terdengar suara Mira, membuat Aira berjingkat saking kagetnya. "Ta-tante!" seru Aira sembari mengusap dada. "Kupikir Tante belum pulang!" "Aku ada di rumah sejak siang. Mantanmu itu sudah dua jam mondar-mandir di depan halaman. Sengaja aku bersembunyi, biar dikira tidak ada orang di rumah," papar Mira. "Ya, ampun! Kenapa tidak dibukakan pintu?" Aira terbelalak tak percaya. "Aku malas ketemu dia, Ra. Sakit hatiku masih belum hilang rasanya," gerutu Mira. "Tante ...." Kata-kata Aira terjeda oleh bunyi ketukan di pintu. "Astaga! Belum pulang juga si Jati itu!" omel Mira. Sedangkan Aira malas-malasan membuka pintu. Dia sudah bersiap mengeluarkan kata-kata nasihat untuk Jati. Namun, hal itu urung dilakukan, sebab yang berdiri di hadapan Aira saat ini bukanlah mantan suaminya, melainkan Senja, istri Jati. "Kamu?" Aira mengernyitkan dahi. "Kumohon, jangan ganggu rumah tangga kami!" pinta Senja dengan berurai air mata. "Nja!" sela Jati tak terima. Sedikit kasar dia menarik tangan sang istri supaya mundur dan menjauh dari Aira. "Jangan bicara sembarangan! Aku hanya mengantarkan pesanan Ibu untuk Aira!" tegur Jati. "Jadi, ini alasanmu mengajakku bulan madu ke Australia? Kamu jadikan aku tameng, hanya untuk bertemu Aira. Begitu, kan!" sentak Senja, tanpa mau mendengarkan penjelasan Jati. "Hentikan!" potong Aira yang terganggu oleh keributan sepasang suami istri itu. "Tolong, jangan bikin ribut di depan rumah orang!" hardiknya keras. "Dengar ya, Senja! Aku tidak terima dituduh macam-macam! Harusnya kamu salahkan suamimu yang tiba-tiba muncul di depan rumah, dan memaksa bertemu!" geram Aira. "Lagipula, aku sama sekali tidak punya urusan apapun dengan Kak Jati, karena sebentar lagi aku akan menikah dengan pacarku!" tegasnya.Bukan hanya Jati yang terkejut atas pernyataan Aira itu, melainkan Mira juga. Wanita paruh baya yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu, langsung melotot pada Aira. "Yang benar, Ra?!" bisik Mira pada Aira yang masih bergeming di ambang pintu. Akan tetapi, Aira tak menghiraukan sang tante. Dia terlalu fokus pada wajah cantik Senja yang tampak pias. "Apa maumu, Senja? Kamu sudah berhasil merebut Kak Jati, kan? Sudah kurelakan biduk rumah tangga kami hancur, supaya kalian bisa bersatu. Apa masih kurang pengorbananku?" cerca Aira dengan napas menderu. "Bukan aku yang merebut Mas Jati, tapi kamu!" Senja tak mau kalah. "Aku yang lebih dulu mengenalnya. Kami saling mencintai!" "Baguslah, kalau begitu. Kuucapkan selamat untuk kalian. Semoga kalian berdua selalu bahagia. Sekarang, cepat pergi dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!" titah Aira. Bukannya tersinggung, Jati malah berjalan mendekat ke arah Aira. Sontak, dada Senja semakin bergemuruh melihatnya. "Apa benar kam
Aira begitu lega ketika akhirnya dapat memasuki rumah sang tante. Tubuhnya kini terasa ringan, karena sudah terlepas dari drama picisan yang diciptakan oleh Senja dan pasangannya. Kini, Manggala, Jati dan Senja kembali ke tempat masing-masing. Sejenak, terukir senyuman di bibir ranum Aira tatkala teringat tangan Manggala yang melingkar di pinggang rampingnya, beberapa saat yang lalu. "Kamu gila ya, Ra!" sentak sebuah suara yang membuat Aira terkejut setengah mati. "Tante, ih! Ngagetin terus dari tadi!" gerutu Aira sembari mengusap-usap dadanya. "Dia Manggala, mantan kamu dulu, kan? Apa yang kalian rencanakan!" cecar Mira. Namun, sesaat kemudian wanita paruh baya itu meralat kata-katanya. " Ah, pertanyaanku salah! Maksudku, apa yang Manggala rencanakan?" "Dia cuma mau membantuku, Te. Tenang saja," tepis Aira. Dia mengibaskan tangan, lalu beranjak menuju lantai dua. "Ingat, Ra! Kamu mesti waspada! Jangan sampai kamu lupa siapa Manggala!" Mira terus mengikuti langkah keponakan
"Ayo!" Manggala menarik tangan Aira, sedikit memaksa sang mantan kekasih yang hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu masuk masjid, agar bersedia mengikuti langkahnya. "Aku sudah membuat janji dengan ketua pengurus Masjid. Beliau mau meluangkan waktu untuk menikahkan kita hari ini," terang Manggala. "Ta-tapi ...." Keringat dingin membasahi dahi Aira. Kepalanya terasa pening dan berat, memikirkan bagaimana caranya menolak ajakan tak masuk akal ini. "Aku belum bicara pada Mama dan Mbak Sinta," kilah Aira. Hanya itu alasan yang terbersit di benaknya. "Tidak masalah, kan? Nanti setelah dokumen lengkap, kita bisa menikah ulang," desak Manggala. "Ini cuma pernikahan sandiwara, Ngga. Kamu nggak perlu bertindak sampai sejauh ini," tolak Aira. "Kita cuma perlu berpura-pura mengadakan resepsi, tanpa ada akad. Gampang, kan?" sarannya. Genggaman tangan Manggala pada jemari Aira yang awalnya kuat, seketika mengendur dan terurai sempurna. Pria tampan berhidung mancung itu menatap Aira
Aira tidak mampu lagi mengelak. Dia pasrah ketika Manggala terus menggandengnya, memasuki bangunan bercat putih dua lantai yang tak terlalu besar. Setelah melewati pintu masuk, Manggala mengarahkan Aira untuk berbelok ke kiri. Di sana, dia memberi contoh agar wanita cantik di sampingnya itu melepas alas kaki dan menyimpannya di salah satu dari sekian deret loker yang berjajar rapi. "Kita ke ruang operasional." Manggala kembali menyeret pelan tubuh ramping Aira, tanpa menunggu persetujuan. Ragu-ragu, Aira mengikuti langkah pria tinggi tegap di depannya itu. Mereka memasuki sebuah ruangan yang berjarak belasan meter dari ruang loker. Seorang pria paruh baya berjenggot tebal, berdiri menyambut Manggala seraya tersenyum lebar. "Selamat datang, Nak. Kau terlambat beberapa menit," ujarnya dalam bahasa Inggris yang terdengar kaku. "Maafkan kami, Syaikh. Ada halangan yang tak dapat kami hindari tadi," dalih Manggala. Diam-diam Aira menoleh dan memperhatikan mantan kekasihnya itu.
"Ayo!" ajak Aira saat Manggala masih tetap bergeming di sofa sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Eh! Sudah selesai?" Manggala tergagap. Dilihatnya Aira telah siap dengan satu koper besar dan ransel hitam kesayangan yang tersampir di pundak. "Tante melarang Aira membawa terlalu banyak baju, karena dia harus sering-sering kemari," tegas Mira. "Tentu, Tante! Tidak masalah." Manggala menyunggingkan senyuman cerah. "Sini, biar kubawakan," ujarnya seraya merebut pegangan koper Aira dan membawanya menuju mobil. Saat Aira hendak mengikuti langkah suaminya, Mira langsung mencekal lengan keponakan tersayangnya itu. "Kenapa, Tante?" tanya Aira heran. "Nggak tahu, tapi hati Tante nggak nyaman," ungkap Mira dengan sorot sendu. "Mungkin karena terlalu terkejut," hibur Aira. Diusapnya lembut bahu sang tante. "Mungkin. Semoga saja ini hanya perasaanku saja." Mira mengempaskan napas pelan. "Aku tidak bisa menilai karakter dan kejujuran atasanmu itu. Rautnya misterius sekali," keluhn
"M-maksudnya? Bukankah pernikahan kita ini cuma sandiwara?" Aira menelan ludah. Keringat dingin muncul membasahi dahi saat melihat tatapan dan mimik Manggala yang seakan ingin memakannya. "Ya, ampun!" Manggala tergelak. "Kamu mikir apa, Ra? Aku cuma bercanda. Lagian, kewajiban istri kan macam-macam. Nggak cuma di ranjang. Ternyata, pikiran kamu mesum juga, ya," ledeknya. "Angga!" seru Aira tak terima. Manggala tertegun sejenak mendengar panggilan kesayangan yang pernah disematkan Aira untuknya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dia kembali tertawa renyah. Manggala menyembunyikan segala gundah dan kecewa dalam hati. Sebenarnya, perkataannya tadi serius. Namun, melihat bahasa tubuh Aira yang sama sekali tak menampakkan kenyamanan, membuat Manggala paham bahwa sepertinya sudah tak tersisa sedikit pun rasa cinta untuknya. "Kamu siap-siap, deh. Kita berangkat ke kantor sama-sama," titah Manggala. "Sama-sama? Memangnya tidak apa-apa?" tanya Aira ragu. "Sekadar berangkat ba
"Mr. Naradipta?" Tidak mungkin!" Aira terkekeh. "Kenapa tidak? Dia tampan dan mapan," sanggah Brandon. "Tapi dia ...." Aira buru-buru membungkam bibirnya sendiri. Jangan sampai dia kelepasan memberitahu Brandon bahwa Manggala telah menikah dengannya. "Apa?" Brandon mengernyitkan dahi curiga. "Tidak ada. Lupakan!" Aira mengibaskan tangan. Gugup sebenarnya, tapi dia harus berpura-pura santai supaya rekannya itu tak curiga. "Nanti makan siang sama-sama, ya. Di restoran depan kantor," ajak Brandon sebelum memulai kesibukannya di studio sebelah, yang hanya terpisah oleh sekat dinding berbahan kaca. Aira mengacungkan dua jempol sebagai isyarat jika dirinya setuju. Sama sekali tak terbersit dalam pikiran Aira untuk meminta izin atau mengabari Manggala. Toh, suaminya sendiri yang meminta untuk merahasiakan pernikahan ini. Dua jam berkutat dengan pekerjaan, kini saatnya Aira harus beristi
Aira buru-buru melepas helm Brandon. Rencananya, dia akan segera berlari masuk ke rumah sebelum Mira memergokinya pulang berdua dengan pria selain Manggala. Bukan apa-apa, Aira hanya malas dicecar pertanyaan oleh tante cerewetnya itu. "Ini! Terima kasih tumpangannya, ya." Aira segera menyodorkan pelindung kepala berwarna coklat itu pada Brandon. "Tunggu! Kau tidak mengajakku masuk? Apa tidak ingin menawarkan kopi atau semacamnya?" tuntut Brandon tak tahu malu. Aira langsung melotot. Sepertinya gestur itu sudah menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini. "Aku tidak bisa. Di dalam ada ...." "Aira!" Belum selesai Aira merangkai kalimat, sang tante sudah keluar menghampirinya dengan langkah tergesa. "Siapa lagi ini?" Nada suara Mira semakin meninggi. "Eh, ini .... Di-dia rekan kerjaku, Tante. Kenalkan, namanya Brandon," ucap Aira terbata. Merasa tak ada gerakan apapun dari pria di sampingnya, Aira pun menyenggol lengan Brandon. "Ah, oh, hai! Senang berkenalan dengan anda, Nyonya,"
Aira kembali menemui Jati setelah bayinya tertidur. Dia duduk di samping Catherine, menghadap tepat ke arah pria tampan yang pernah menjadi suaminya selama dua tahun itu. Sementara itu, Brandon memilih untuk pulang ke apartemennya yang terletak di sebelah apartemen Aira dan Catherine. "Bukankah Kak Jati sedang mengembangkan usaha peternakan di Australia? Kenapa sekarang tiba-tiba pindah ke Amerika? Jadi bos pula! Sungguh tidak masuk akal," selidik Aira. Jati tertawa kecil. "Aku membatalkan rencana kerjasama di Australia dan ingin fokus dengan usaha yang telah kurintis bersama dengan rekanku sejak lama," jawabnya. "Apa itu cuma alasan saja?" kejar Aira. "Atau Kak Jati memang sengaja mengikutiku?" ketusnya. "Itu juga menjadi salah satu alasan," jawab Jati enteng. "Astaga!" Aira menepuk dahi, sedangkan Catherine hanya terbengong-bengong. Dia sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. "Apa Kak Jati tidak memikirkan perasaan Senja? Sebagai sesama perempuan, aku paham bagaiman
"Ini. Hadiah untuk bayi kamu, Ra!" Jati menyodorkan beberapa paperbag berukuran besar. "Wildan mengatakan kalau bayimu laki-laki. Jadi, kubelikan barang-barang yang sesuai. Kuharap kamu menyukainya," ucap Jati tulus. "Terima kasih." Aira menerima pemberian dari Jati tersebut lalu meletakkannya di sofa ruang tamu. Sejenak, dia ragu hendak mempersilakan masuk. Namun, mengingat Jati berniat baik, Aira pun terpaksa menawarinya duduk. "Di mana suamimu, Ra?" Jati mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Tatapannya kemudian berhenti pada Brandon yang juga tengah menatapnya tajam. Sementara, Aira juga tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Siapa laki-laki aneh ini?" tanya Jati dalam bahasa Indonesia yang tentu tak dapat dimengerti oleh Brandon. "Dia Brandon, teman sekaligus penolongku. Brandon lah yang membantuku mengurus bayi selama di sini," beber Aira. "Kenapa pria lain yang mengurus bayimu? Memangnya, suamimu ke mana, Ra?" cecar Jati bingung. "Manggala ... pergi." Aira
Sudah seminggu sejak Aira keluar dari rumah sakit. Brandon sampai harus menyewa apartemen tepat di samping apartemen Catherine. Pria itu selalu bersemangat membantu merawat bayi Aira. Terlebih ketika Catherine berangkat kerja dan Aira sendirian. Seperti pagi ini, Brandon membantu memandikan bayi tampan Aira yang belum diberi nama. "Apa kau tidak ada kerjaan lain?" tanya Aira heran. "Kau sekarang pengangguran, ya?" terkanya. Brandon terbahak mendengar hal itu. "No! Aku punya pekerjaan. Sebuah proyek besar," ujarnya sambil memandikan tubuh mungil yang tampak sangat rapuh itu. Brandon sangat berhati-hati menyentuh putra pertama Aira. "Lihatlah. Wajahnya sangat mirip dengan Manggala." "Iya." Aira tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah sendu. "Kenapa dunia selucu ini?" racaunya. "Maksudmu?" "Di saat aku sangat ingin melupakan Manggala dan mencoba melangkah ke depan, Tuhan malah memberikanku seorang bayi yang wajahnya mirip sekali dengan Manggala," desah Aira. "Mu
Sudah dua bulan sejak Kartika pulang ke Indonesia. Kini, Aira menjalani kehamilannya seorang diri. Meskipun ada Catherine, tetapi perempuan cantik itu tak bisa 24 jam di samping Aira, karena Catherine juga bekerja. Di satu sisi, Aira juga mengkhawatirkan keadaan sang kakak. Akibat insiden jatuh di kamar mandi waktu itu, Sinta terpaksa melahirkan prematur. Beruntung, Sinta dan bayinya berada dalam kondisi baik. Namun demikian, bayi prematur harus mendapatkan perawatan dan penanganan yang lebih intens. Itulah sebabnya Kartika tetap tinggal di Jakarta untuk mengawasi perkembangan cucu pertamanya. "Aira, kau tidak apa-apa kan, kutinggal sendiri?" tanya Catherine, membuyarkan lamunan Aira. "Memangnya kau mau ke mana?" Aira yang tengah sibuk menyiapkan peralatan memotretnya, langsung menoleh ke arah Catherine. "Aku harus mendampingi atasanku. Kami ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk dua hari ke depan," jelas Catherine. "Oh, tidak masalah. Aku tidak selemah yang kau kira," k
Ditemani oleh Catherine, Arunika mendatangi seorang dokter kandungan. "Usia janin diperkirakan sembilan minggu," jelas sang dokter sembari mengusapkan tranducer pada perut Aira. Air mata mulai mengembun. Haru sekaligus bahagia Aira rasakan saat pertama kali mendengarkan detak jantung janinnya. Tanpa bisa berkata-kata, dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangan. Begitu pula Catherine yang ikut terharu. "Kita harus memberitahukan berita gembira ini pada keluargamu," cetus Catherine saat mereka berada dalam perjalanan pulang. "Entahlah. Aku ragu, apakah harus mengatakan kehamilanku atau tidak," gumam Aira lirih. "Apa maksudmu? Tentu saja kau harus mengatakannya!" timpal Catherine. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya Aira memutuskan untuk menelepon sang ibu. Setibanya di apartemen dan membersihkan diri, Aira meraih ponsel. Bergetar jemarinya saat menekan kontak Kartika. Tak membutuhkan waktu lama sampai sang ibunda mengangkat telepon. "Halo, Sayang. Apa k
Aira terpaksa mengajukan cuti dua hari. Dirinya sedang kacau. Pikiran kalut dan mental sedang tidak baik-baik saja. Dipaksa bekerja pun tak akan bagus hasilnya. "Hei, apa kau mau kuantarkan ke rumah sakit?" tawar Catherine. "Tidak usah, Cat. Aku baik-baik saja," tolak Aira halus. "Tapi, kupikir kau harus memeriksakan kandunganmu," saran Catherine khawatir. Aira terdiam. Diusapnya perut yang masih rata itu. Hatinya bimbang. Haruskah dia menghubungi Manggala dan memberitahukan kehamilannya, atau menyembunyikan semua dari pria yang masih menjadi suaminya tersebut. "Aira?" panggil Catherine. Dia sedikit was-was karena teman satu apartemennya itu tak menimpali, dan malah menatap kosong ke lantai. "Ya?" Aira baru tersadar. Dia segera menoleh ke arah Catherine. "Kau dengar kan, apa yang kukatakan barusan? Kita harus pergi ke dokter dan memeriksakan kandunganmu," ulang Catherine. "Ah, aku harus menelepon Manggala!" cetus Aira tiba-tiba. Lincah jemarinya mengetikkan nomor Mangga
Sengaja Aira memilih penerbangan malam untuk berjaga-jaga supaya tidak dibuntuti oleh Manggala. Aira takut, bisa saja pria itu masih bersembunyi di sekitaran rumahnya. Meskipun kamera CCTV di sekeliling rumah menunjukkan sebaliknya. Manggala sudah tak ada lagi di sana. Sejak diusir oleh Mira, dia pergi menggunakan mobil dan tak kembali lagi. "Ah," desah Aira lirih. Setiap kali dirinya memikirkan pria tampan berambut gondrong itu, kepalanya selalu terasa pening. Ada rasa yang mengganjal dalam hati. Sedih, kecewa dan marah, bercampur menjadi satu. Sampai detik ini, adegan percintaan yang dilakoni oleh Manggala bersama Cynthia, terus membayangi benak Aira. Dan yang lebih menyakitkan, mereka melakukan itu saat dirinya terlibat kecelakaan. Terlepas dari apapun alasan Manggala, Aira tak bisa membenarkan hal itu. Daripada pikirannya semakin kalut, Aira pun memutuskan untuk tidur, sebab 22 jam perjalanan udara, sangatlah berat. Hingga waktu berlalu tanpa terasa. Setelah mengalami transit
Aira hanya bertahan selama seminggu di rumahnya. Dia sudah bertekad bulat untuk mengejar kesempatan bekerja di New York, Amerika. Setelah menyiapkan semua dokumen dan persyaratan, kini Aira disibukkan dengan berburu tiket pesawat termurah. Beruntung, dia mendapatkan satu tiket kelas ekonomi. "Dua hari lagi Aira berangkat, Ma," ucap Aira saat menghampiri sang ibu yang tampak serius merawat tanaman hias di halaman belakang. Kartika langsung menghentikan kegiatannya dan membalikkan badan. "Mama akan selalu mendukungmu, Sayang. Mama tidak akan pernah memaksakan kehendak lagi." "Ma ...." Air mata haru, luruh tanpa bisa ditahan. Aira menghambur ke pelukan ibunya. Dari dulu, usapan penuh kasih sayang dan kecupan lembut di pucuk kepala, selalu menjadi obat mujarab bagi kesedihan Aira. "Apa Mama percaya dengan keputusan Aira?" tanyanya pilu. "Mama akan selalu percaya dan mendukungmu, Nak," jawab Kartika sambil membelai lembut punggung putri bungsunya. "Tapi, Tante Mira dan Kak Sint
Aira diam-diam menaiki loteng. Sebuah ruangan kecil terbuat dari kayu yang menjadi tempat favoritnya untuk bermain sejak kecil dulu. Langit-langit loteng itu tak seberapa tinggi. Hanya cukup untuk digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Meskipun kecil dan sesak, tapi ruangan itu selalu menjadi tempat yang dituju oleh Aira setiap kali dirinya bersedih. Biasanya dia akan meringkuk di sana dan duduk menghadap ke jendela kaca yang berbentuk bulat. Seperti saat ini. Aira duduk memeluk lutut sambil menerawang menatap pemandangan halaman depan melalui jendela itu. Tanpa sengaja, ekor matanya menangkap sosok yang paling dia hindari, berdiri gagah di bawah sana sambil berbincang dengan Wildan. "Untuk apa dia kemari?" gumam Aira tak percaya. "Kenapa dia bisa tahu aku pulang ke sini?" desahnya gelisah. Rasa penasaran mulai mengusik. Niat awal yang ingin bersembunyi, kini terkalahkan oleh rasa ingin tahu. Secepat kilat, Aira merangkak keluar dari loteng lalu turun me