Hari pertama bekerja, dilalui Aira dengan lancar, walaupun diwarnai insiden memalukan. Kini, saatnya bagi Aira untuk membereskan peralatan memotretnya dan bersiap pulang.
Namun, baru saja dirinya hendak meninggalkan studio, salah satu asisten fotografer tiba-tiba menghampiri Aira. "Maaf, Nona. Mr. Naradipta berpesan agar Anda bersedia ke ruangannya sebelum pulang," ujar kru itu. "Oh, baiklah." Aira mendengkus pelan. Itu artinya, dia harus kembali naik ke lantai teratas. Dengan langkah gontai, Aira memasuki lift dan menekan tombolnya. Beberapa saat kemudian, dirinya tiba di ruangan Manggala. Di sana, sudah menunggu sang atasan bersama sekretarisnya. Aira sempat mencuri-curi pandang ke arah wanita cantik berambut pirang yang berdiri di samping tempat duduk Manggala. Wanita itu tampak mengusap-usap bahu lebar Manggala sebelum berlalu meninggalkan ruangan. "Apa ada masalah, Sir?" tanya Aira setelah Helen menghilang di balik pintu. "Tidak ada. Aku hanya ingin memuji hasil jepretanmu tadi." Manggala tersenyum penuh arti seraya melemparkan beberapa lembar foto serigala ke atas meja kerja. "Pencahayaan, sudut pengambilan gambar, semuanya bagus," sanjungnya. "Terima kasih, Sir!" ucap Aira berbunga. "Jangan senang dulu. Itu artinya, selama sebulan ke depan, kamu harus siap bekerja penuh waktu. Bahkan lembur jika dibutuhkan. Kamu juga mesti siap seandainya aku memanggilmu sewaktu-waktu, malam hari sekalipun," tegas Manggala. "Tentu, tidak masalah bagi saya." Jawaban Aira tersebut, membuat Manggala mengernyitkan dahi. "Sungguh?" tanyanya tak percaya. "Lalu, bagaimana suamimu? Apa dia tidak keberatan kalau sebagian besar waktumu dihabiskan untuk bekerja?" "Saya sudah tidak memiliki suami," timpal Aira pelan. Sontak Manggala membelalakkan mata. "Jadi, kamu sudah bercerai?" selidiknya. "Begitulah." Aira tersenyum lebar, bersikap seolah baik-baik saja, meskipun hatinya berdenyut nyeri. "Oh, aku sungguh tidak menyangka. Kamu membuangku demi menikah dengan pria lain, lalu sekarang bercerai dari pria itu?" Manggala tertawa meremehkan. "Maaf, saya kira perkataan Anda tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Jadi, saya rasa, saya tidak perlu menjawabnya," sahut Aira dengan nada tak suka. Manggala menanggapinya dengan mengangkat kedua bahu. "Terserah kamu. Yang jelas, aku selalu siap kapanpun kamu membutuhkan," ujar pria tampan itu. "M-maksudnya?" Aira menggeleng tak mengerti. "Aku ingin kembali padamu, Aira," jawab Manggala. Aira seketika terpaku. Pikirannya mendadak kosong setelah mendapatkan pernyataan cinta yang sama sekali tak dia sangka. Untuk sesaat, Aira menerka-nerka, apakah pria di hadapannya ini tengah serius atau sedang bercanda. "Aku masih mencintaimu. Dari dulu, hingga sekarang, sama sekali tak pernah berubah. Meskipun hatiku sakit akibat pengkhianatanmu, tapi aku telah memaafkan semuanya," ungkap Manggala. "Ta-tapi, Sir ...." Aira gugup. Tanpa sadar dia meremas bagian depan dressnya. "Aku ingin mewujudkan cita-cita yang belum tergapai sejak dulu, yaitu mempersuntingmu," ujar Manggala pelan, tapi penuh penekanan. Mata indah Aira membulat sempurna. "Anda jangan menggoda saya, Sir!" protesnya. "Aku serius, Aira. Tidak ada niatan sama sekali untuk menggodamu. Aku sungguh-sungguh ingin menikah denganmu," ujar Manggala. "Sa-saya ...." Aira menelan ludahnya kasar. Untuk sesaat, dia menatap paras tampan beralis tegas itu. Entah perasaan apa yang dia miliki untuk sang mantan kekasih. Masih adakah rasa cinta untuk Manggala? "Tidak perlu dijawab sekarang. Pulanglah, dan pikirkan matang-matang. Jangan terburu-buru," tutur Manggala. Aira menjadi sedikit tenang tatkala mendengar kalimat itu. "Baik, Sir. Terima kasih," ucapnya sembari mengangguk ragu. Sepanjang perjalanan pulang, kalimat lamaran Manggala terus terngiang di telinga Aira. Ingin dirinya bersikap biasa, seakan tak terjadi apapun, tapi tak bisa. Semudah itukah menerima lamaran seseorang, seperti halnya dia menerima lamaran Jati dulu? Benarkah Manggala masih mencintainya? Bagaimana jika akhirnya dia gagal lagi dalam berumah tangga? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi benak Aira, sampai membuat gadis cantik itu pusing. Dia merasa tak mampu memutuskan sendiri, sehingga Aira memilih untuk berkeluh kesah pada sang tante, sesaat setelah tiba di rumah. "Nggak perlu tergesa-gesa, Ra. Buktikan dulu, apa memang benar Manggala masih cinta sama kamu, atau cuma bualan dia saja!" Nasihat dari Mira, membuat Aira tercenung. "Biasa kan, cowok kalau lihat janda muda dan fresh, matanya jelalatan," imbuh Mira. "Aku takut memulai hubungan baru dalam waktu dekat ini, Te. Takut terluka lagi," beber Aira. "Ya, sudah kalau begitu tolak saja lamarannya," timpal Mira. "Aku juga tak tega menolak Manggala." Aira menggeleng. "Kasihan dia kalau harus patah hati lagi gara-gara aku." "Lah, terus mau kamu gimana, Aira?!" Mira mulai gemas menghadapi tingkah keponakannya. "Mungkin, seperti yang Tante bilang tadi. Aku harus membuktikan apakah Manggala benar-benar cinta aku atau tidak, sebelum memberi jawaban atas lamarannya," cetus Aira. "Terserah kamu deh, Ra. Yang penting jangan merasa terbebani. Ingat, kedatanganmu ke sini adalah untuk menenangkan diri." Mira membelai puncak kepala Aira dengan penuh kasih sayang. Dalam hati, Aira membenarkan ucapan sang tante. Dia sengaja menepi dari kehidupannya di Jakarta, untuk menyembuhkan hati. Dengan keyakinan itu, Aira pun membulatkan tekad. Dia menelepon Manggala dan meminta waktu tiga bulan untuk berpikir. Manggala pun tak memaksakan kehendak. "Aku akan tetap menunggu sampai kamu siap," ujarnya. Sejak saat itu, Aira menjalani hari-hari seperti biasa. Kesibukan sebagai fotografer di perusahaan media sebesar 'Nature Perfect', membuat dirinya lupa akan permasalahan dengan Jati, serta lamaran Manggala. Akan tetapi, kedamaian itu tak berlangsung lama. Di suatu sore, saat Aira baru pulang bekerja, dia mendapati seseorang yang paling tidak ingin ditemui. Pria yang tak lain adalah Jati itu, berdiri menunggunya di tangga teras rumah Mira."Sedang apa Kak Jati di sini?" tanya Aira dingin. "Dengan siapa?" cecarnya sembari menyapu pandangan ke sekitar. Aira harus waspada seandainya Jati datang bersama istri, sebab dia pasti tak akan sanggup melihat kemesraan sang mantan suami bersama pasangannya. "Aku membawakanmu oleh-oleh dari Ibu," jawab Jati sambil tersenyum kaku. "Darimana Kak Jati tahu aku tinggal di sini?" Aira memicingkan mata sinis, seolah tak memedulikan kalimat Jati sebelumnya. "Suami Mbak Sinta yang memberitahuku," sahut Jati. "Ck!" Aira berdecak kesal. Kakak iparnya itu tak pernah bisa menyimpan rahasia, terlebih pada Jati. Aira sedikit memaklumi sebab Jati dan sang kakak ipar memang bersahabat sejak lama. "Kenapa mesti repot-repot? Tante Andini kan bisa menitipkannya pada Mama atau Mbak Sinta," dengkus Aira. "Maaf, Ra. Kalau kedatanganku kemari membuatmu tidak nyaman. Tapi, Ibu yang memaksa. Bingkisan ini harus diterima langsung olehmu." Jati menyodorkan sebuah paperbag pada Aira. Ragu-ragu, A
Bukan hanya Jati yang terkejut atas pernyataan Aira itu, melainkan Mira juga. Wanita paruh baya yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu, langsung melotot pada Aira. "Yang benar, Ra?!" bisik Mira pada Aira yang masih bergeming di ambang pintu. Akan tetapi, Aira tak menghiraukan sang tante. Dia terlalu fokus pada wajah cantik Senja yang tampak pias. "Apa maumu, Senja? Kamu sudah berhasil merebut Kak Jati, kan? Sudah kurelakan biduk rumah tangga kami hancur, supaya kalian bisa bersatu. Apa masih kurang pengorbananku?" cerca Aira dengan napas menderu. "Bukan aku yang merebut Mas Jati, tapi kamu!" Senja tak mau kalah. "Aku yang lebih dulu mengenalnya. Kami saling mencintai!" "Baguslah, kalau begitu. Kuucapkan selamat untuk kalian. Semoga kalian berdua selalu bahagia. Sekarang, cepat pergi dari sini dan jangan pernah ganggu aku lagi!" titah Aira. Bukannya tersinggung, Jati malah berjalan mendekat ke arah Aira. Sontak, dada Senja semakin bergemuruh melihatnya. "Apa benar kam
Aira begitu lega ketika akhirnya dapat memasuki rumah sang tante. Tubuhnya kini terasa ringan, karena sudah terlepas dari drama picisan yang diciptakan oleh Senja dan pasangannya. Kini, Manggala, Jati dan Senja kembali ke tempat masing-masing. Sejenak, terukir senyuman di bibir ranum Aira tatkala teringat tangan Manggala yang melingkar di pinggang rampingnya, beberapa saat yang lalu. "Kamu gila ya, Ra!" sentak sebuah suara yang membuat Aira terkejut setengah mati. "Tante, ih! Ngagetin terus dari tadi!" gerutu Aira sembari mengusap-usap dadanya. "Dia Manggala, mantan kamu dulu, kan? Apa yang kalian rencanakan!" cecar Mira. Namun, sesaat kemudian wanita paruh baya itu meralat kata-katanya. " Ah, pertanyaanku salah! Maksudku, apa yang Manggala rencanakan?" "Dia cuma mau membantuku, Te. Tenang saja," tepis Aira. Dia mengibaskan tangan, lalu beranjak menuju lantai dua. "Ingat, Ra! Kamu mesti waspada! Jangan sampai kamu lupa siapa Manggala!" Mira terus mengikuti langkah keponakan
"Ayo!" Manggala menarik tangan Aira, sedikit memaksa sang mantan kekasih yang hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu masuk masjid, agar bersedia mengikuti langkahnya. "Aku sudah membuat janji dengan ketua pengurus Masjid. Beliau mau meluangkan waktu untuk menikahkan kita hari ini," terang Manggala. "Ta-tapi ...." Keringat dingin membasahi dahi Aira. Kepalanya terasa pening dan berat, memikirkan bagaimana caranya menolak ajakan tak masuk akal ini. "Aku belum bicara pada Mama dan Mbak Sinta," kilah Aira. Hanya itu alasan yang terbersit di benaknya. "Tidak masalah, kan? Nanti setelah dokumen lengkap, kita bisa menikah ulang," desak Manggala. "Ini cuma pernikahan sandiwara, Ngga. Kamu nggak perlu bertindak sampai sejauh ini," tolak Aira. "Kita cuma perlu berpura-pura mengadakan resepsi, tanpa ada akad. Gampang, kan?" sarannya. Genggaman tangan Manggala pada jemari Aira yang awalnya kuat, seketika mengendur dan terurai sempurna. Pria tampan berhidung mancung itu menatap Aira
Aira tidak mampu lagi mengelak. Dia pasrah ketika Manggala terus menggandengnya, memasuki bangunan bercat putih dua lantai yang tak terlalu besar. Setelah melewati pintu masuk, Manggala mengarahkan Aira untuk berbelok ke kiri. Di sana, dia memberi contoh agar wanita cantik di sampingnya itu melepas alas kaki dan menyimpannya di salah satu dari sekian deret loker yang berjajar rapi. "Kita ke ruang operasional." Manggala kembali menyeret pelan tubuh ramping Aira, tanpa menunggu persetujuan. Ragu-ragu, Aira mengikuti langkah pria tinggi tegap di depannya itu. Mereka memasuki sebuah ruangan yang berjarak belasan meter dari ruang loker. Seorang pria paruh baya berjenggot tebal, berdiri menyambut Manggala seraya tersenyum lebar. "Selamat datang, Nak. Kau terlambat beberapa menit," ujarnya dalam bahasa Inggris yang terdengar kaku. "Maafkan kami, Syaikh. Ada halangan yang tak dapat kami hindari tadi," dalih Manggala. Diam-diam Aira menoleh dan memperhatikan mantan kekasihnya itu.
"Ayo!" ajak Aira saat Manggala masih tetap bergeming di sofa sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Eh! Sudah selesai?" Manggala tergagap. Dilihatnya Aira telah siap dengan satu koper besar dan ransel hitam kesayangan yang tersampir di pundak. "Tante melarang Aira membawa terlalu banyak baju, karena dia harus sering-sering kemari," tegas Mira. "Tentu, Tante! Tidak masalah." Manggala menyunggingkan senyuman cerah. "Sini, biar kubawakan," ujarnya seraya merebut pegangan koper Aira dan membawanya menuju mobil. Saat Aira hendak mengikuti langkah suaminya, Mira langsung mencekal lengan keponakan tersayangnya itu. "Kenapa, Tante?" tanya Aira heran. "Nggak tahu, tapi hati Tante nggak nyaman," ungkap Mira dengan sorot sendu. "Mungkin karena terlalu terkejut," hibur Aira. Diusapnya lembut bahu sang tante. "Mungkin. Semoga saja ini hanya perasaanku saja." Mira mengempaskan napas pelan. "Aku tidak bisa menilai karakter dan kejujuran atasanmu itu. Rautnya misterius sekali," keluhn
"M-maksudnya? Bukankah pernikahan kita ini cuma sandiwara?" Aira menelan ludah. Keringat dingin muncul membasahi dahi saat melihat tatapan dan mimik Manggala yang seakan ingin memakannya. "Ya, ampun!" Manggala tergelak. "Kamu mikir apa, Ra? Aku cuma bercanda. Lagian, kewajiban istri kan macam-macam. Nggak cuma di ranjang. Ternyata, pikiran kamu mesum juga, ya," ledeknya. "Angga!" seru Aira tak terima. Manggala tertegun sejenak mendengar panggilan kesayangan yang pernah disematkan Aira untuknya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, dia kembali tertawa renyah. Manggala menyembunyikan segala gundah dan kecewa dalam hati. Sebenarnya, perkataannya tadi serius. Namun, melihat bahasa tubuh Aira yang sama sekali tak menampakkan kenyamanan, membuat Manggala paham bahwa sepertinya sudah tak tersisa sedikit pun rasa cinta untuknya. "Kamu siap-siap, deh. Kita berangkat ke kantor sama-sama," titah Manggala. "Sama-sama? Memangnya tidak apa-apa?" tanya Aira ragu. "Sekadar berangkat ba
"Mr. Naradipta?" Tidak mungkin!" Aira terkekeh. "Kenapa tidak? Dia tampan dan mapan," sanggah Brandon. "Tapi dia ...." Aira buru-buru membungkam bibirnya sendiri. Jangan sampai dia kelepasan memberitahu Brandon bahwa Manggala telah menikah dengannya. "Apa?" Brandon mengernyitkan dahi curiga. "Tidak ada. Lupakan!" Aira mengibaskan tangan. Gugup sebenarnya, tapi dia harus berpura-pura santai supaya rekannya itu tak curiga. "Nanti makan siang sama-sama, ya. Di restoran depan kantor," ajak Brandon sebelum memulai kesibukannya di studio sebelah, yang hanya terpisah oleh sekat dinding berbahan kaca. Aira mengacungkan dua jempol sebagai isyarat jika dirinya setuju. Sama sekali tak terbersit dalam pikiran Aira untuk meminta izin atau mengabari Manggala. Toh, suaminya sendiri yang meminta untuk merahasiakan pernikahan ini. Dua jam berkutat dengan pekerjaan, kini saatnya Aira harus beristi
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah.Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Aira bersimpuh di samping pusara Manggala. Dia menangis tersedu sambil memeluk nisan berukir nama suaminya. Aira meluapkan segala kesedihan yang menumpuk selama beberapa hari terakhir. Kecelakaan dahsyat yang dia alami, serta kehilangan besar itu benar-benar menghantam jiwanya. Berbeda dari Aira. Mira yang saat itu turut mengantar dan menemani keponakannya, hanya berdiri terdiam, beberapa langkah di belakang Aira. Mira merasakan sesuatu yang janggal. Makam itu tampak baru. Gundukan tanah liatnya pun terlihat basah, seperti baru ditimbun. Padahal jika diperkirakan, kecelakaan itu terjadi dua minggu lalu. Entah pada siapa Mira harus mengutarakan kecurigaannya. Dia tak ingin menyinggung perasaan kedua orang tua Manggala. "Ra, cukup. Kita pulang, yuk," ajak Mira. "Kasihan Enzo, sudah kamu tinggal terlalu lama." Aira terkesiap untuk sesaat. "Enzo?" ulangnya. "Iya, Sayang. Dia buah hatimu bersama Manggala. Suamimu tentu tak ingin putranya terlantar. Bagaimanapun, Enzo adalah wa
Perlahan, kelopak mata Aira terbuka. Yang dilihatnya pertama kali adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Aroma obat bercampur pewangi antiseptik terasa menusuk hidung. Lemah, Aira menoleh ke samping. Wajah sang ibu lah yang dilihatnya pertama kali. Mata Kartika tampak sembab, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Kemudian, Aira mengalihkan pandangan pada Sinta dan Imelda yang tengah menggendong Enzo. "Suster! Panggilkan dokter dan suster! Aira sudah sadar!" seru Sinta panik. Sedangkan Kartika langsung memencet tombol yang tersedia di atas kepala ranjang rumah sakit sambil terus menyeka air mata. Tak berselang lama, seorang dokter jaga bersama perawat datang memeriksa. "Silakan keluar dulu, Ibu-ibu," pinta dokter itu sopan. Tak bisa menolak, tiga wanita tersebut terpaksa meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang tunggu, sampai dokter menghampiri Kartika. "Tanda-tanda vital pasien normal. Responnya juga normal," ujar sang dokter. "Putri Ibu sudah melewati masa kritisnya."
"Kalian biarkan aku pergi, atau aku akan menyakiti Bos kalian ini!" ancam Manggala. "Kau serius, Nak?" Bukannya takut atau khawatir, Frederick malah terkekeh. "Aku bukanlah pria sembarangan. Kau tahu sendiri bahwa nama Larson sangat berpengaruh di negara ini. Uang dan kekuasaanku mampu membeli segalanya," ujarnya balik mengancam. Manggala sama sekali tak gentar. "Aku tak peduli. Apapun akan kulakukan supaya bisa membawa Aira dan putraku pergi dari sini." "Begitukah? Kau ingin mereka bisa keluar dari kota ini dengan selamat?" Manggala mengernyit menanggapi ucapan aneh Frederick. "Tentu saja!" sahutnya. "Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan," putus Frederick. Mendengar hal itu, Manggala malah semakin waspada. Setelah semua yang mereka lalui, tentu tak akan semudah itu Frederick melepaskannya. Namun, kenapa pria tua itu sekarang terkesan menyerah? "Apalagi yang Anda rencanakan, Om Frederick?" desis Manggala curiga. "Tidak ada," jawab Frederick dengan segera. "Kuras
Sudah semalam berlalu sejak pertemuan dengan Cynthia dan ayahnya. Aira merasa ada yang aneh dengan wanita itu. "Jadi, seperti itu ya keadaan orang depresi?" tanyanya. "Aku juga tidak mengira bahwa apa yang kulakukan padanya bisa berpengaruh sebesar ini pada Cynthia," jawab Manggala. Tatapannya kosong menerawang ke lantai apartemen. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, Ngga? Apa kita tetap akan di sini sambil menunggu keputusan Tuan Larson?" Aira mulai was-was. Terus terang, dia merasa curiga dengan sikap Frederick yang tiba-tiba menyuruh dirinya dan Manggala untuk pulang. "Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh orang berpengaruh seperti keluarga Larson pada kita, Ngga?" tanya Aira lagi. "Bukan pada kita, Ra. Tapi aku, hanya kepadaku," ujar Manggala meluruskan. "Semua yang terjadi padamu, tentu akan berimbas padaku, Ngga. Kalau kamu merasakan sakit, maka aku juga ...." Kalimat Aira terhenti saat mendengar ketukan pelan di pintu apartemen. "Siapa?" desis Manggala lirih. Raut
Ruang keluarga bernuansa klasik itu menjadi bukti amarah Frederick. "Aku menanggung biaya akomodasi kalian dari Jakarta sampai ke kota ini, bukan untuk cuma-cuma!" ujarnya dengan intonasi tinggi. "Aku ingin istrimu juga melihat bahwa dia turut andil dalam hancurnya kehidupan putriku!" imbuh Frederick. Aira terpaksa menutupi kedua telinga bayinya rapat-rapat agar tidak terkejut dengan teriakan Frederick. Dia juga memeluk Enzo erat-erat. "Oh, jadi itu alasan Om Frederick mengajak Aira kemari? Agar bisa mempermalukannya?" desis Manggala. "Itu pantas dia dapatkan!" balas Frederick tak terima. "Diam!" Suara Manggala menggelegar, menggema di tiap sudut ruangan megah itu. "Anda boleh menghina dan menginjak-injakku, tapi jangan istriku!" sentaknya. Membuat nyali Frederick menciut. "Aku tidak akan rela siapapun merendahkannya! Apapun kesalahanku pada Cynthia, jangan pernah limpahkan pada Aira! Istriku tak bersalah!" tegas Manggala. Sementara, Aira hanya bisa terdiam sambil terus m
Pesawat yang ditumpangi oleh keluarga kecil itu telah tiba di bandara Launceston, Tasmania. Berdebar hati Aira saat membayangkan apa yang mungkin akan dia alami ke depannya. Manggala dapat melihat dengan jelas ketakutan itu. Maka, dengan sigap dirinya meraih tangan Aira dan menggenggamnya lembut. "Kenapa Tuan Larson mengarahkan penerbangan kita ke kota ini?" tanya Aira bingung. "Karena Cynthia dirawat di tempat ini. Dia sengaja diasingkan oleh keluarga besarnya," jelas Manggala. Dia menceritakan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Frederick melalui sambungan telepon semalam. "Nanti kita akan tinggal di mana, Ngga?" Aira tiba-tiba menghentikan langkah seraya mencengkeram erat pegangan kereta bayi Enzo. "Tenang, Sayang. Aku sudah menyewa apartemen untuk ditinggali sementara di sini," tutur Manggala lembut sambil melingkarkan tangan di pundak sang istri tercinta. "Jadi ... kita langsung ke apartemen sekarang?" tanya Aira ragu. "Pasti, dong. Lihat Enzo, dia kelelahan,"
"Aku tidak setuju dengan rencanamu itu, Ra!" tegas Manggala. Aira bermaksud untuk menimpali. Akan tetapi, celotehan dan teriakan Enzo lebih dulu menyela pembicaraan itu. "Sebentar, aku harus memeriksa Enzo. Kamu mandilah dulu," suruh Aira. Manggala tak membantah. Dengan hati kesal, dia menenggelamkan tubuh ke dalam bathup. Kembali terngiang dalam kepalanya, permintaan gila dari istrinya tersebut. Manggala sudah bersusah payah mendapatkan Aira. Mereka bahkan sempat terpisah selama satu tahun lamanya akibat kecelakaan yang dialami oleh Manggala. Tak akan semudah itu dirinya melepaskan Aira. Setengah jam berlalu, Manggala sudah merapikan diri. Dia keluar dari walk in closet dan langsung menghampiri boks Enzo. Sempat Manggala bertanya-tanya, kenapa boks Enzo dipindahkan dari kamar bayi ke kamarnya. Namun, melihat raut murung Aira, dirinya jadi tak mempermasalahkan. "Apa nanti malam Enzo akan tidur di sini?" tanya Manggala basa-basi. "Iya, aku ingin memanfaatkan waktu kita bertiga seba