Share

Terpana

Aira malu tak terkira. Dia kini menjadi bahan tertawaan Manggala dan anak buahnya. Seandainya bisa, dia ingin menenggelamkan diri ke dalam bumi. Tak terasa, air mata Aira menetes. Basah di pipi, juga area tubuh bagian bawahnya, membuat gadis cantik itu semakin tak nyaman.

Melihat hal itu, Manggala menghela napas panjang. Dia merasa sedikit keterlaluan dalam memperlakukan Aira. Hingga tanpa pikir panjang, Manggala langsung melepas blazer, lalu memasangkannya di pinggang ramping sang mantan kekasih.

"Ayo, bersihkan dirimu dulu," ajak Manggala seraya menarik tangan Aira dan menuntunnya masuk ke toilet wanita. "Tunggu sebentar di sini. Akan kusuruh Helen membawakan baju ganti untukmu!"

Tanpa menunggu tanggapan Aira, Manggala bergegas meninggalkan sang mantan kekasih. Tak berselang lama, pria tampan berambut gondrong itu kembali. "Pakailah!" titah Manggala seraya menyodorkan paperbag coklat kepada Aira. "Masukkan pakaian kotormu di paperbag ini."

Aira mengangguk sambil memaksakan senyum. "Terima kasih," ucapnya sembari menutup pintu toilet rapat-rapat.

Dengan tergesa, Aira melepas pakaian, lalu membasuh area bagian bawah tubuh yang terkena air kencing. Dia menggantinya dengan dress yang telah disiapkan oleh Manggala.

Aira sedikit tak nyaman. Pasalnya, dia jarang sekali memakai dress yang membuatnya terlihat begitu feminin. Namun, dirinya tak punya pilihan.

Setelah memasukkan pakaian kotor, termasuk blazer Manggala, ke dalam paperbag. Aira segera keluar dari toilet. Sesaat, dia lupa jika Manggala tengah menunggunya. Membuat Aira terkejut ketika membuka pintu kamar mandi wanita dan mendapati sang mantan kekasih sekaligus atasannya itu berdiri di hadapannya.

Untuk sejenak, dua anak manusia tersebut saling pandang. Aira tak menyangka bahwa dirinya dengan Manggala akan berada dalam jarak yang begitu dekat.

Susah payah Aira menelan ludah. Paras Manggala terlihat sangat menawan. Ditambah dengan rambut gondrong yang diikat a la man bun, semakin menambah pesona pria yang berusia tiga tahun di atas Aira itu.

Begitu pula Manggala yang tak berkedip menatap Aira. Sejak pertama kali mengenal wanita cantik itu, Aira terhitung sangat jarang memakai pakaian feminin, seperti rok atau semacamnya. Akan tetapi kini, makhluk indah di depannya tersebut tampak sempurna dalam balutan dress formal polos berwarna peach.

"A-apa kamu sudah siap untuk kembali bekerja?" tanya Manggala gugup.

"I-iya!" jawab Aira, tak kalah gugup. "Oh, ya. Blazer anda ada di dalam sini. Akan saya cuci dulu sebelum dikembalikan," jelasnya.

"Oke, terserah kamu." Manggala mengangguk pelan sembari membalikkan badan dan berjalan lebih dulu menuju studio.

Tatkala menyusuri koridor, tiba-tiba ponsel Aira yang disimpan di dalam ransel, berdering. Buru-buru dirinya meraih benda pipih itu. Alisnya sempat tertaut ketika menangkap deretan nomor tak dikenal di layar. Namun demikian, Aira tetap mengangkat panggilannya.

"Hei, Ra! Apa kabar?" sapa Jati dari seberang sana. Rupanya pria itu memakai nomor lain untuk menghubungi Aira, mengingat Aira sudah memblokir nomor Jati.

Wanita yang baru saja menyandang predikat janda itu memejamkan mata. Suara berat pria tampan itu begitu menggoda, membelai gendang telinga dan mengantarkan gelenyar aneh sekaligus arus listrik ke seluruh pembuluh darah. "Ada apa, Kak?" tanya Aira sambil berusaha meredam perasaan yang tak karuan.

"Ah, itu .... Aku ... hanya ingin menanyakan kabarmu," jawab Jati gugup.

"Oh, aku baik-baik saja," timpal Aira datar.

"Syukurlah. Kamu lagi ada di mana, Ra?" tanya Jati lagi.

"Kenapa memangnya?" balas Aira ketus.

"Nggak. Nggak apa-apa. Aku cuma sedang ada urusan di dekat kompleks perumahan kamu. Jadi, aku rencana ingin mampir, sekalian Ibu mau nitip oleh-oleh untukmu," jelas Jati.

"Oh, titipkan saja pada orang rumah," sahut Aira yang mulai jengah.

"Kamu ... apa kamu lagi nggak ada di rumah, Ra?"

Aira diam, seolah tak ingin menjawab.

"Jadi ... apa benar berita yang kudengar?" tanya Jati lagi. Dia mulai tak sabar menghadapi kebisuan Aira.

"Berita apa memangnya?" Aira balik bertanya.

"Kamu ... pindah ke Australia," jawab Jati ragu.

Aira menghela napas panjang. "Iya, benar!" balasnya.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?" Aira mengernyit. Dia sama sekali tak paham dengan pertanyaan Jati.

"Kenapa kamu pindah?"

"Astaga!" Aira berdecak kesal. "Ya, suka-suka aku lah, Kak. Mau pindah, kek. Mau diam, kek. Mau nungging juga nggak ada urusan dengan Kak Jati, kan! Ingat, kamu itu sekarang sudah menjadi mantan suami aku!" omelnya.

"Ah, itu, iya. Kamu benar." Jati terkekeh canggung. Mendadak dirinya kehilangan kata-kata.

"Maaf ya, kalau sudah membuatmu tak nyaman. Aku hanya ingin tahu keadaanmu," ucap Jati beberapa saat kemudian.

"Aku baik-baik saja di sini," sahut Aira.

"Syukurlah. Kuharap, kamu selalu bahagia," ucap Jati dengan nada sendu. "Oh, ya. Kudengar di sana sedang musim gugur, ya. Sebaiknya, kamu memakai pakaian tebal, Ra. Jangan lupa minum vitamin juga, supaya kekuatan tubuhmu tetap terjaga," tuturnya panjang lebar.

"Sudah ya, Kak. Nggak enak telepon lama-lama. Apa nanti kata istrimu kalau seandainya tahu kamu ngobrol dengan mantan?" putus Aira, lalu mengakhiri panggilan secara sepihak.

Seketika dadanya terasa sesak. Sikap Jati yang aneh itu sedikit banyak membuat Aira terluka. Bagaimana tidak? Dulu, semasa masih menjadi suaminya, Jati begitu cuek dan terkesan tak peduli.

Namun, kini setelah mereka berpisah, Jati malah menunjukkan perhatian yang agak tak biasa bagi Aira.

Sementara Manggala, sempat membeku di tempatnya setelah tanpa sengaja mendengar percakapan Aira di telepon. "Mantan suami?" gumam Manggala dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status