Nada dering telpon mengalihkan perhatian Ibu Lulu yang sedang memasak sarapan.
Siapa yang telpon pagi-pagi seperti ini, batinya.
"Kakak, tolong ambilkan hp ibu, Nak, di meja dekat tv" ia sedikit berteriak memanggil Miftah yang sedang memakai sepatu di sofa ruang tamu.
"Dari Bapak, bu" kata mIftah sambil mengulurkan ponsel sang ibu.
Bapak, tumben sekali beliau telpon di pagi hari seperti ini. Apa ada sesuatu yang penting, ya, pikir Bu Lulu.
"Ya Pak, Assalamualaikum. " Sapa Bu Lulu.
"..."
"Sudah di jalan pulang? Tumben sekali, Pak."
"..."
"Loh loh... Ada apa memang nya, pak?" Tanya nya
"..."
"Ah, bapak ini. Bikin ibu takut saja loh. Ada apa sih, pak? "
"..."
"Iya sudah, iya. Nanti Ibu sampaikan ke Midtah. Iya, Waalaikumsalam. "
Ada apa ini, kenapa nada suara bapak di telepon sangat berbeda dari biasanya. Apa ada masalah besar yang di perbuat Miftah...
**
Bu Lulu menghampiri anak lelakinya, Miftah yang sedang menemani Nadjwa di ruang tamu.
"Kak, hari ini kamu ada ulangan atau les tambahan, nggak?" Tanya Bu Lulu.
"Enggak, ada, Bu. Hari ini pelajaran biasa. Memangnya kenapa?"
"Kalau gitu, kamu ganti baju deh. Pake baju rumah. Ada yang mau dibicarakan Bapak sama kamu. Biar ibu, telepon Bu Siwi buat minta izin hari ini. " Perintah Bu Lulu.
"Loh, ini kan masih hari Kamis, Bu? Emangnya bapak udah mau pulang? " Tanya Miftah.
"Tadi sih, kata bapak udah dijalan. Paling tiga puluh sampai satu jam lagi udah sampai, kalau nggak macet. Tapi kayaknya juga nggak macet, wong masih jam segini. " Kata Bu Lulu.
"Kamu bikin masalah, ya di sekolah, Mif? Ikut tawuran? " Tanya Ibu Lulu.
"Eh, enggak lah, Bu. Aku mana pernah ikut tawuran. Apa lagi ini udah mendekati ujian, babak belur, nggak bisa ikut UNAS... " Jawab Miftah.
Miftah, memang tidak pernah ikut tawuran seperti teman-teman seangkatannya. Katanya, itu malah mencelakai dirinya sendiri. Menang nggak dapat hadiah, kalahpun kita sendiri yang kesakitan. Iya, kalau hanya luka-luka, lah kalau sampai mati? Ih, amit-amit....
"Terus kenapa, ya, Bapakmu sampai pulang mendadak dan nyuruh kamu izin sekolah? Duh, Ibu jadi khawatir. " Kata Bu Lulu
"Ya, sudah, sana kamu ganti baju. Terus sarapan. Ayam gorengnya sudah siap itu. " Lanjut Bu lUlu ynag dijawab anggukan oleh Miftah.
Miftah berjalan perlahan menuju lantai dua, dimana kamarnya berada. Dia memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh sang ayah.
Membuat kesalahan? Kesalahan apa, ya...
Miftah terus mengingat-ingat, tapi dia merasa tidak melakukan apapun yang akan membuat orang tuanya, apa lagi bapak sampai marah.
Eh, tapi belum tentu juga bapak mau marah. Kan tadi kata Ibu, bapak cuma mau ada yang dibicarakan saja denganku, tapi apa, ya...
Terlintas dipikirannya tentang janin yang sekarang dikandung sang kekasih, Arinda.
"Masa, iya, karena kehamilan... " Gumam, Miftah.
Mifath menggelengkan kepalanya kuat- kuat.
"Mana mungkin masalah itu. Kan yang tau cuma aku, arinda dan Rio..." Pikir Miftah.
**
07.05Pak Aryo, ayahnya Miftah, sudah tiba di rumah dengan disambut hangat oleh istri dan kedua anaknya.
Wajah tegang Pak Aryo tidak bisa ditutupi. Air mukanya keruh, menandakan ada emosi yang dia tahan.
"Bu, kamu bawa Wilma masuk kamar, ya. Kalau bisa diajak Bobo dulu. " Perintah, sang suami.
"Bapak tuh aneh, loh. Ini baru jam tuhuh, pak. Mana ada anak perempuanmu ini tidur jam segini. Ada-ada saja. Lagian, masa baru pulang, ketemu sama anak dan istrinya, malah anaknya di suruh tidur? " Kata bu Lulu heran.
Pak Aryo, tidak memperdulikan omongan Bu Luli, pandangannya, masih menatap anak lelakinya yang selalu di bangga-banggakan. Anak lelaki penerus semua usaha yang telah dia bangun. Anak lelaki yang kelak, akan menjadi pemimpin yang jauh lebih baik dan tinggi derajatnya dari sang Bapak.
"Ya, Ibu, masuk dulu ke kamar ajak, Will make. Atau Willma dikasih mainan dulu di kamar yang penting tidak disini. " Kata bapak memaksa.
Ibu Lulu, walaupun cemberut, tapi tetap melakukan totah pak Aryo. Mengendong Najwa dan memasukkannya ke box tidur dan diberinya mainan kesukaannya. Setelah memastikan keadaan putrinya aman, Bu Lulu kembali ke ruang tengah. Menyusul anak dan suaminya yang sepertinya sedang membicarakan masalah serius.
"Ada apa sebenarnya, pak? " Tanya Bu Lulu.
"Miftah, jujur sama Bapak. Apa yang sudah kamu perbuat selama ini? " Tanya pak Aryo, tidak memperdulikan pertanyaan dari sang istri..
"Maksud Bapak, perbuatan apa? Tawuran? Miftah enggak pernah ikut tawuran, pak." Kata Miftah.
"Apa yang sudah kamu perbuat dengan anak gadisnya Om Indra? " Tanya pak Aryo geram, dengan menahan volume suaranya agar tidak berteriak.
Detak jantung Mifath, berdetak lebih cepat. Ternyata benar yang dipikirkannya. Maslah kehamilan Arinda, secepat ini sampai di telinga Bapak. Tapi dari mana Bapak tau...
"Arinda, maksudnya, pak? Tanya Bu Lulu.
Pak Aryo masih diam, tidak menanggapi pertanyaan dari istrinya. Mata tajamnya yang berkilat marah, tetap terfokus kepada Miftah.
Sedangkan Miftah, dia sekarang diam dengan menundukkan kepalanya dalam. Tidak berani memandang ibu apa lagi bapaknya. Nyalinya ciut, tidak segagah dan seberani saat melakukan perbuatan terkutuk itu bersama Arinda.
Tangan Pak Aryo mengepal kuat, di memukul sofa dengan cukup keras. Melampiaskan marah yang sedari subuh dia tahan.
"Jawab pertanyaan Bapak, Miftah! "
"Maafin, Miftah, Pak. Miftah... Khilaf. " Lirih Miftah.
Satu tinjuan mendarat sempurna di pipi kiri sang anak lelaki, hingga membuat sudut bibir anak itu mengeluarkan darah. Bu Lulu menjerit dan memegangi lengan pak Aryo.
"Pak, sebenarnya ada apa ini? " Kenapa Bapak mukul Miftah, pak? Kenapa sama Arinda? Ada apa sebenarnya? " Tanya Bu Lulu dengan linangan airmata.
"Miftah, menghamili Arinda. " Kata pak Aryo dengan masih menatap nyalang Miftah.
"Ha... Hamil, pak? " Lirih Bu Lulu.
"Ya, hamil... Dan apa saja yang kamu lakukan di rumah, sehingga tidak bisa mendidik dan mengawasi anakmu ini, Bu?! " Teriak pak Aryo. Habis sudah kesabarannya. Emosinya meledak begitu saja
"Pak, ini bukan salah ibu. Ini salah Miftah, pak. " Miftah membela ibunya, tidak mau sang ibu yang begitu baik dipersalahkan karena kesalahannya.
"Ini memang salah kami, anak bodoh!" Umpat pak Aryo.
"Miftah, katakan sama ibu, ini nggak bener kan, nak? " Tanya Bu Lulu dengan lirih, sambil memegang pipi Miftah.
"Maaf, Bu. Miftah Khilaf." Lagi, kata maaf dan juga khilaf, itulah yang mampu di ucapkan.
"Ya, Allah, Gusti Nu Agung... " Lirih, Bu Lulu, sebelum tubuhnya terjatuh pingsan.
**
"Astaghfirullah hal adzim... Astaghfirullah... " Ucapan istighfar berulangkali Bu Lulu ucapkan setelah beluaubl sadar dari pngsannya.
Rasa kaget dan kecewa begitu menusuk dan melukai hatinya. Bagaimana tidak kaget, pagi hari kegiatan masaknya diganggu oleh telpon dari suaminya yang mengabarkan kalau beliau akan pulang mendadak dan memberi perintah agar anak pertamanya izin sekaolah. Sekarang Bu Lulu harus menghadapi kenyataan, kalau Miftah, anak lelakinya telah menghamili anak gadis orang. Masa depan anak lelakinya sebentar lagi akan hancur.
"Kamu masih kecil, Mif, baru 15 tahun. Apa lagi Arinda, nak! dia baru 13 tahun! Bagaimana bisa kalian lakukan hal seperti itu, Nak?! YAALLAH" Ucap Bu Lulu. Ari matanya terus berlinang.
Hati ibu mana yang tak terluka ketika mendapati anak lelakinya yang selalu dibanggakan malah menorehkan aib yang mencoreng moreng keluarga. Bagai dilempar kotoran dan tepat mengenai wajah. Jijik dan memalukan.
**Beberapa jam yang lalu di rumah Arinda**
"Assalamualaikum.." sapa Indra, papi Arinda di telpon
"Waalaikumsalam, Ndra.. ada apa nih tumben sekali subuh-subuh sudah telpon?" Tanya Aryo yang keheranan, tak biasanya sahabatnya ini menghubunginya sepagi ini.
"Sedang apa kau, Ar? Sudah sholat subuh?" Tanya Indra basa-basi
"Sudah, baru saja aku pulang dari masjid, gimana, gimana?" Tanya Aryo
"Kau dimana? Dirumah atau di tempat dinasmu?" Tanya Indra
"Aku di tempat dinas ini. Ini kan masih hari Kamis, aku baru pulang besok malam. Ada apa sih ? Kamu membuatku penasaran" kata Aryo
"Anakmu.." kata Indra. Dia menjeda ucapannya, bingung, bagaimana menjelaskannya.
"Anakku ? Anakku kenapa ?!" Tanya Aryo cemas, takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada kedua anaknya
"Anakmu, Miftah, menghamili anakku, Arinda" jawab Indra pelan tapi tegas
Hening ..
Tak ada jawaban apapun dari Aryo, hanya helaan napas berat dari keduanya yang menandakan ini masalah besar yang mereka hadapi.Setelah hampir 5 menit mereka diam, akhirnya Aryo kembali bersua."Aku akan pulang ke Bandung sekarang. Kita selesaikan dirumah, biar aku dan Miftah ke rumahmu." Kata Aryo setelah beberapa saat terdiam
"Hati-hati dijalan. Anak-anak kita membutuhkan bimbingan." Kata Indra menenangkan.
**
"Maafkan Miftah, Bu, Miftah khilaf. Miftah salah. Miftah menyesal" lirihnya
"Kamu harus pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat! Ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan, kita kerumah Arinda sekarang!" Kata Aryo dan berlalu keluar terlebih dahulu.
Miftah masih diam dan menundukkan kepala, penyesalah kini hinggap di relung hatinya.
"Bu..." lirihnya menatap Lulu yang masih sesenggukan sambil mendekap kenzi, adiknya.
"Ibu nggak mau degar penjelasan mu. Cepat ganti baju." jawab lulu dingin.
Miftah menghela nafas dan mulai beranjak dari tempatnya berdiri menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, miftah mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Arinda, tapi sayang nor Arinda tidak aktif.
"Aaagh... Sial! Kenapa isi sampai ketahuan sih! Goblok! Goblok!" miftah mengumpat dan meremas kuat rambutnya. Sesekali menonjokkan kepalan tangannya ke tembok.
Suara klakson mobil ayahnya membuat miftah segera Menganti pakaian dengan memakai celana panjang berwarna krem, kemeja putih dan sepatu yang senada. Sempat menatap pantulan dirinya di cermin, membayangkan kalau dirinya sebentar lagi akan bertemu dengan Arinda sekaligus orang tuanya. Oh, jangan lupakan kedua kakak lelakinya yang galak itu.
Aku menangis meraung didalam kamar. Segala sesal mengungkum hidupku. Bayang-bayang wajah sedih mami dan papi serasa merasuk hingga ke nadiku. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Aku menyesal. Bisa dipastikan aku akan putus sekolah, lalu bagaimana dengan semua cita-citaku, bagaimana dengan impianku yang ingin menjadi Desainer terkenal, bagaimana caranya aku membahagiakan dan membanggakan mami dan papi? Aku pasti telah melukai hati mereka, mereka pasti membenciku, mereka pasti tak mau memaafkan dan menerimaku lagi. Cklek. "Persiapkan dirimu, setelah ini kita ke Rumah Sakit." Kata Papi menginterupsi kegiatan menangisku Aku menegang mendengar kata Rumah Sakit. Apa mereka juga ingin menggugurkan kehidupan yang ada di dalam perutku ini, atau mereka akan memeriksakan ku dan mempertahankan janin ini, tapi aku malu, aku masih sangat terlihat seperti anak dibawah umur "Apa papi akan menggugurkannya" tanyaku hati-hati masih dengan isak tangis
Hari ini aku melihat gadis ku berdiri gelisah di barisannya. Aahh.. Bukan gadis lagi, tapi wanitaku. Wanita yang sekarang sedang mengandung anak ku. Wajah yang setiap harinya selalu berseri dan ceria nampak begitu pucat dan berkeringat. Sesekli dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung telapak tangannya. Aku pikir karena terpapar sinar mentari pagi yang membuatnya seperti itu, tapiii... Bruuukk ... "Aaaaa...."Pekikan kaget dari beberapa orang yang berada di dekatnya mengalihkan perhatian semua peserta upacara yang sedang berlangsung. "Rinda ..." Gumam ku Aku berlari menghampirinya yang sedang diangkat oleh Ridhova Akbar, anak kelas VIII, anggota osis yang aku tau dia adalah mantannya. Darah serasa mendidih ketika dia melewatiku dengan menggendong Rinda, diikuti guru bk dan petugas uks dibelakangnga.Tanpa pikir panjang aku langsung mengikutinya untuk me
Menit berganti jam, jam berganti hari dan hari berganti bulan. Usia kandungan ku sekarang sudah memasuki usia 3 bulan. Belum ada banyak perubahan dalam bentuk tubuh ku. Mungkin hanya lebih terlihat berisi terutama pada payudara ku.Hubungan ku dengan Miftah pun belum ada titik terang, masih menggantung karena keegoisan papi. Jangankan untuk tinggal bersama, keinginan untuk menikah dengan Miftah pun masih ditentang keras oleh papi.Terkadang aku mulai lelah untuk semua ini, sikap Miftah pun sekarang menjadi berubah. Dia lebih terkesan cuek terhadap ku. Mungkin Miftah lelah untuk memperjuangkan ku. Entah lah ..."Woyy.. Ngelamun aja kamuu.. Ke kantin yukk" ajak Mira, teman sekelas ku"Males ah, Mir" jawab ku, aku menenggelamkan kepalaku dilipatan tangan"Males muluk kalau diajakin ke kantin. Tapi badan perasaan makin melar" sindirnyaIni bukan pertama kalinya ada yang bilang badanku makin gendut, jadi lebih terlihat cuek dan diam untuk menghin
Dua jam kemudian!Pukul 14.15..Arinda baru saja sampai ke rumah setelah diantar pulang oleh Miftah. Tadi mereka hanya ngobrol dan bermesraan di kost milik Anggun.Arinda jadi berfikir, kenapa uang tabungannya tidak untuk menyewa kamar kost saja seperti Anggun. Toh juga cuma untuk nongkrong, untuk kumpul, untuk bersantai jika penat dirumah, atau bahkan bisa untuk berduaan sama Miftah. Sama seperti Anggun, kostnya itu hanya untuk hal-hal seperti itu. Apa lagi tempat itu sangat berguna jika Anggun di kunciin oleh orang tuanya kalau pulang terlalu malam. Sepertinya menarik, pikir Arinda."Assalamualaikum" sapa Arinda saat membuka pintu utama rumahnya."Waalaikumsalam" jawab Mami tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisiAda rasa sesak tersendiri merasakan sikap mami terhadapnya. Mami yang selalu menyambut dengan ceria sekarang berubah menjadi dingin dan terkesan tidak perduli.Arinda tersenyum getir saat maminya menolak uluran tan
"Arinda sudah tidak mengandung anak dari putra ku! Tidak terlalu harus di perjelas dalam status mereka! Setelah Arinda lulus SMA, mereka baru nikah secara resmi." Kata Aryo "Apa kalau gila?! HAH?! Kau tau pasti, jika nikah siri itu yang pasti di rugi kan adalah pihak perempuan! Apa kau mau menghancurkan anak ku lebih hancur lagi?!" Kata Indra berang, tak terima atas keinginan Aryo "Apa kabar nasip calon cucu ku yang dibiarkan luruh begitu saja?" Kata Aryo dengan alis terangkat setengah "Itu bukan keinginan ku! Salah kan juga anak mu yang membiarkan anak ku meminum obat itu! Salah kan juga anak mu yang malah mendukung aksi bodoh Arinda!" Desis Indra tajam "ITU SALAH MU! Arinda tertekan tinggal di rumah mu ini! Kau tak mengijinkan Arinda tinggal bersama ku, kau pula yang dulu menentang untuk menikah kan secara resmi, dan kau malah mengancam tidak mau menikah kan mereka!" Bentak Aryo "Kau kan tau, nikah dibawah umur itu syaratnya ribet! Har
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah.Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya."Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya.Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu."Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya."Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohonEntah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang. Mi
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah. Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya. "Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya. Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu. "Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya. "Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohon Entah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang
CacaEntah permainan apa yang di lakukan oleh Miftah dan Caca di sebuah kamar mandi yang berada di dalam club tersebut. Yang jelas Miftah keluar dari bilik kamar mandi dengan sibuk menaik kan resleting celana jensnya serta memakai kembali sabuknya dan Caca yang sibuk dengan merapikan rok mini yang dia kenakan, serta rambut panjangnya yang berantakan."Permainan mu enak" bisik Caca dengan meninggal kan kecupan singkat di bibir Miftah.Miftah hanya diam, tidak menanggapi omongan Caca, yang ada dipikirannya hanya lah jangan sampai Arinda apa lagi orang tuanya tau. Bisa habis dia.Miftah mengedarkan pandangannya, mencari sosok Rio yang tidak terlihat lagi di kursi bar yang tadi di dudukinya.Masih sibuk mencari sahabatnya itu, Miftah di kejutkan dengan tepukan di pundaknya."Bengong kamu! Keenakan nih pasti" goda Rio yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.Miftah menoleh dan mengusap dadanya, kaget. Dia melihat Rio yang merangkul bahu pe
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Update ulang!!Baca lagi!!Lebih panjang!!Jangan lupa kasih vote!Jangan lupa koment!Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
pdate ulang!Baca lagi!Jangan lupa vote!Jangan lupa koment!"Brengsek!" Umpat Miftah dan kembali melayangkan tinju ke wajah Dova dengan membabi buta.Teriakan histeris dari murid-murid perempuan menghiasi kelas VII A tersebut. Beberapa murid laki-laki mencoba melerai pertiaian mereka. Dova yang sudah kehabisan kesabaran pun ikut menghajar Miftah, tapi sayang, Miftah yang tengah kesetanan tetap memimpim adu jotos yang mereka lakukan.Arinda panik dan begitu merasa ketakutan. Ditambah, kepalanya berdenyut nyeri, seakan kepalanya itu mengeluarkan asap dan siap akan meledak."Miftah, Jangan!""Miftah, ampun!" Jerit Arinda tiba-tiba.Seketika, Miftah menghentikan aksi brutalnya dan menoleh ke belakang. Melihat tepat dimana Arinda berdiri dengan memegangi kepalanya. Arinda menangis tergugu dan berulang kali meneriakkan kata ampun dan menyebut-nyebut nama Miftah. Miftah dengan cepat memegan
FgdKondisi psikis Arinda saat ini membuat Indra harus berpikir keras. Indra, tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat kejiwaan Arinda semakin terguncang. Langkah aman yang dia ambil saat ini adalah bersikap lunak untuk tetap menjaga kewarasan putri kecilnya.Ternyata keputusannya menikahkan Arinda dengan Miftah adalah keputusan yang salah. Apa lagi membiarkan putrinya keluar dari jangkauan pengawasan itu adalah kesalahan yang paling fatal.Maka dari itu, sikap Indra menjadi terkesan lebih mudah memaafkan ketimbang mengikuti keinginan istrinya yang ingin memperkarakan kasus kemarin.--Flasback on!Malam itu juga, kedua keluarga itu membawa Arinda ke Rs. Hasan Sadikin Bandung. Mereka meminta tolong kepada Dokter Era, untuk menembuskan mereka ke psikolog atau psikiater yang terbaik dan bisa ditemuinya malam itu juga."Arinda mengalami 'Amnesia Lakunar' " Beritahu dokter Syifa"Pengidap
Miftah sedang berada di perjalanan menggunakan Grab, untuk menuju ke rumah sahabatnya, Rio. Walau pun Bapaknya, tak lagi mengijinkan dirinya untuk berteman dengan Rio, Miftah tetap saja membangkang. Hanya Rio lah satu-satunya teman yang bisa Miftah andalkan. Rio, mau menemaninya disaat Miftah benar-benar butuh seorang teman. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Miftah begitu mencemaskan Arinda, istrinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa lepas kontrol tadi siang kepada istrinya itu. Dia benar-benar memperlakukan Arinda dengan kejam. Menyetubuhinya dengan paksa, lewat lubang... "Aggrhh.. Bodohh!" Umpatnya pelan. Kalau saja tadi disekolah Miftah tidak ikut-ikutan mencoba minum pil, apa tadi yang membuat tubuhnya serasa melayang ringan, pasti semua tak akan seperti ini.Kilas balik permainan dengan Caca, gadis club yang di temuinya kemarin memutar di otaknya yang membuat sesuatu di bawah sana bangun dan men
"Maaf, Ibu, siapa?! Kenapa masuk ruangan saya tanpa permisi?!" Tanya Dokter Ratna"SAYA MAMI DARI PASIEN YANG MENAGIS DAN BERTERIAK HISTERIS DI RUANG IGD TADI, DOKTER!! APA ANAK SAYA AKAN GILA?!" bentak Maura.Dokter Ratna diam dan mengalihkan pandangannya ke Lulu."Saya mertuanya" kata Lulu di sela tangisnya"Gadissekecil tadi sudah menikah?!" Tanya dokter Ratna, kaget"Mari, duduk dulu. Akan saya jelaskan kondisi anak, ibu" ajak dokter pada Maura yang masih berdiri menatap tajam Lulu dan dokter tersebutLulu berjalan menghampiri Maura, yang masih diam di tempatnya berdiri. Menatapnya sendu dan penuh penyesalah dari sorot matanya."Maafin saya, Teh. Saya yang gagal mendidik anak. Maafin saya" lirih Lulu yang tiba-tiba bersimpuh di kaki Maura"Saya yang gagal mendidik anak. Saya yang gagal hingga kelakuan anak saya sudah semacam bina