Hari ini aku melihat gadis ku berdiri gelisah di barisannya. Aahh.. Bukan gadis lagi, tapi wanitaku. Wanita yang sekarang sedang mengandung anak ku.
Wajah yang setiap harinya selalu berseri dan ceria nampak begitu pucat dan berkeringat. Sesekli dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung telapak tangannya. Aku pikir karena terpapar sinar mentari pagi yang membuatnya seperti itu, tapiii...
Bruuukk ...
"Aaaaa...."
Pekikan kaget dari beberapa orang yang berada di dekatnya mengalihkan perhatian semua peserta upacara yang sedang berlangsung."Rinda ..." Gumam ku
Aku berlari menghampirinya yang sedang diangkat oleh Ridhova Akbar, anak kelas VIII, anggota osis yang aku tau dia adalah mantannya.
Darah serasa mendidih ketika dia melewatiku dengan menggendong Rinda, diikuti guru bk dan petugas uks dibelakangnga.
Tanpa pikir panjang aku langsung mengikutinya untuk menju UKS..15 menit kemudian Rinda sadar dengan meringis memegang pinggangnya.
"Sak..kit" rintihnya dengan mata yang terpecam
Aku, Dova dan Ella, petugas uks kelas VIII langsung dengan sigap mendekat kearahnya.
Aku mengenggam tangan kirinya, mengelus punggu telapak tangannya. Mata Rinda terbuka dan menoleh kearah ku."Apa kamu belum makan Rin" tanya Ella
Rinda mengalihkan pandangannya ke Ella
"Belum kak Ella, aku lagi tak enak badan dan mungkin magh ku kambuh" jawabnya
"Makan lah dulu. Mau aku belikan makan dikantin?" Tanya nya seraya menyodorkanku segelas teh hangat
Rinda menggelengkan kepala dan menatapku.
"Temani aku disini ya" pintanya kepadaku, aku mengangguk dan mengusap pucuk kepalanya.
"Memang sepertinya magh mu kambuh, sebaiknya kamu harus segera makan, agar tak lebh parah lagi"
**
Satu minggu kemudianRs. Hasan Sadikin Bandung
"Kan saya sudah bilang, kunci dari mempertahankan janin yang anak ibu dan bapak kandung hanya tiga. Jangan stres, istirahat cukup dan jaga pola makan." Kata dokter Era mengingatkan memandang mami dan papi Arinda
"Arinda.. Apa kamu melakukan aktifitas yang berlebihan?" Arinda menggeleng "Apa kamu menjaga pola makan kamu?" Arinda kembali menggeleng "Dan pasti kamu terlalu banyak memikirkan hal-hal yang menganggu pikiran kamu kan?" Lanjutnya memastikan, dan kali ini Arinda mengangguk kan kepalanya.
Terdengar helaan nafas kasar dari dokter Era. Dia sedikit memijat pangkal hidungnya.
Tadi saat sepulang sekolah Rinda memang mengeluhkan sakit di pinggang dan perutnya serasa diremas-remas. Karena panik, aku langsung membawanya ke rumah sakit yang beberapa minggu lalu telah aku dan keluarga Rinda sambangi. Sesampainya disana, saat Rinda ditangani oleh dokter aku menghubungi orang tua Rinda dan ibu ku. Memberi kabar kalau Rinda aku bawa kemari."Sebaiknya kalain mengunjungi Psikiater, karena... " ucapan Dokter Era terpotong oleh teriakan Rinda
"Tapi Rinda gak gila.." Jeritnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca
"Rinda.. Tante, tidak bilang kamu gila. Psikiater bukan hanya untuk orang gila saja. Psikiater itu juga dokter yang bisa menangani kegelisahan kamu. Bisa mendengar cerita dan keluh kesah kamu, memberi solusi yang terbaik untuk apa yang kamu rasakan. Kalau kamu tidak mau berbagi cerita dengan mami atau papi kamu, atau orang-orang yang disekeliling kamu, kamu bisa cerita sama seorang Psikiater untuk membantu mu" Jelas dokter Era dengan nada yang sangat lembut
Aku menggengam tangan Rinda dan sedikit meremasnya, menguatkan hatinya, memberi ketenangan kalau semua akan baik-baik saja. Tapi Rinda tetap menggeleng kan keplanya dan tangisnya pun pecah.
Entah kekuatan dari mana, aku dengan beraninya memeluknya erat. Tak ku perdulikan tatapan tajam yang dilayangkan mami dan papi Arinda kepada ku.
Karena tak ada yang bisa membujuknya untuk mau mengunjungi Psikiater, akhirnya kami semua pulang kerumah Arinda. Di dalam mobil semua hening, hanya sesekali isak tangis dari Arinda yang memecah keheningan. Arinda tidur dalam dekapan ku, dengan masih ada sesenggukan dalam tidurnya.
Hatiku teriris melihat Rinda seperti ini. Aku merasa bodoh dan jahat karena sudah menghancurkan kehidupannya, menghancurkan masa depannya. Dan bodohny aku, kita melakukan itu tak hanya sekali dua kali dan. Kita melakukan itu hampir setiap hari dalam dua bulan ini. Semua itu pasti aku yang memaksanya, walau pada akhirnya dia pun menikmati.
Hanya karena mendengar cerita dari Rio yang menceritakan suasana hingar-bingar club malam, cerita nikmatnya surga dunia yang ada dalam lubang sempit wanita, semua jadi seperti ini. Tak hanya masa depan Rinda yang hancur, masa depanku juga hancur.Satu tetes air mata lolos dari mataku, dan segera aku hapus. Tak ingin aku terlihat lemah dimata mereka semua. Terutama keluarga Rinda. Aku memang tak menginginkan adanya anak dalam perut Rinda ini, tapi aku pun tak terima kalau Om Indra tak mengijinkan ku untuk menikahi Rinda, apa lagi saat dia bilang kalau anak yang dikandung Rinda adalah anak haram.
Sungguh kata-kata itu adalah kata-kata kasar dan serasa benar-benar menusuk lalu merobek hati ku. Aku memeluk Rinda lebih erat lagi, mencari sumber kekuatan untuk ku.**
"Kamu mikirin apa sih yank? Kalau kamu memang gak siap buat mempertahankan dia, kamu bilang sama aku. Kita bisa mencari jalan keluarnya. Jangan kamu pendam sendiri." Kataku dengan tangan kanan yang mengelus-elus perutnya.Aku dan Rinda sekarang ada di taman belakang rumahnya. Masih menemaninya dengan tangan kiri ku yang memegang semangkuk sup ayam yang tak mau sedikit pun dimakan olehnya. Aku benar-benar frustasi menghadapi ini.
"Aku sedih.." Cicitnya
"Sedih kenapa? Kamu bisa bagi semua kesedihan kamu sama aku. Aku sayang banget sama kamu, dari dulu. Dari kita masih sama-sama kecil Rin. Kamu tau pasti itu."
"Aku sedih mami masih nyuekin aku, aku sedih mami selalu nangis dibelakang aku, aku sedih papi dan bang Hendi sekarang diemin aku, aku merasa udah gak dianggap dikeluarga ini. Hanya bang Andi yang kadang nemenin aku, itu pun hanya bicara seperlunya saja. Aku sedih kluarga aku dan keluarga kamu yang berteman baik jadi berantem gini gara-gara aku." Tangis Arinda kembali pecah saat dia mengungkapkan rasa yang dia rasakan.
Jadi itu yang dia rasakannya selama hampir 2 minggu ini, setelah kehamilan Arinda terbongkar.
"Ini bukan salah kamu. Ini salah aku. Semua salah aku. Kamu gak salah apa-apa. Udah gak usah nangis lagi" aku menghapus air matanya dengan tangan kanan ku "Kamu tinggal dirumah aku ya ?" Lanjutku
Arinda langsung menatapku, entah sorot mata apa yang dia tunjukkan kepadaku saat ini.
"Aku gak mau, aku takut Tante lulu dan Om Aryo gak nerima aku juga." Lirihnya
"Aku janji. Bapak, apa lagi ibu pasti bakal nerima kamu dengan baik dan senang hati. Mereka sayang sama kamu, apa lagi ada cucu mereka didalam sini" aku memberikan senyum termanis yang aku punya dengan menaruh tangan kananku di perutnya
"Tapi pasti gak bakal boleh sama mami dan papi. Apa lagi sama bang Hendi." Dia memalingkan wajahnya
"Biar nanti aku yang ngomong sama mereka" kataku. Aku kembali memeluknya, mencium pucuk kepalanya
**
"Assalamulaikum.. Pak" sapaku pada Bapak di sebrang telpon"Waalaikumsalam.. Ada apa Mif, ada masalah dengan Rinda?" Tanya bapak cemas
"Tadi siang Rinda kram perut pak, dan kata dokter Era, Rinda terlalu stres. Lalu dokter era menyarankan untuk membawa Rinda ke Psikiater, tapi Rinda tak mau." Adu ku kepada bapak.
"Apa keadaannya separarah itu Mif? Perlu bapak pulang kebandung sekarang?" Tanyanya
"Gak perlu pak. Keadaan Rinda sudah lebih baik sekarang. Tapi.." Aku menggantungkan kalimat-kalimat yang akan aku ucap, aku bingung harus bilang bagaimana, sebenarnya aku juga takut meminta ini ke bapak.
"Tapi apa Mif? Tak terjadi apa-apa kan dengan kandungannya?!" Tanya bapak sedikit meninggikan suaranya
"Tidak pak.. Tidak.." Sahutku cepat
"Lalu tapi apa? " tanyanya lagi
"Boleh gak, kalau Rinda tinggal bersamaku, di rumah Bapak. Bersama ku, ibu dan Willma?" Tanyaku ragu
Hening.
Bapak diam tak menjawab.."Halo.. Pak.. Bapak masih disana?" Tanyaku memastikan
"Iya, bapak masih disini. Bapak telpon ibu mu dulu dan bapak akan coba bicara dengan papinya Rinda.
Menit berganti jam, jam berganti hari dan hari berganti bulan. Usia kandungan ku sekarang sudah memasuki usia 3 bulan. Belum ada banyak perubahan dalam bentuk tubuh ku. Mungkin hanya lebih terlihat berisi terutama pada payudara ku.Hubungan ku dengan Miftah pun belum ada titik terang, masih menggantung karena keegoisan papi. Jangankan untuk tinggal bersama, keinginan untuk menikah dengan Miftah pun masih ditentang keras oleh papi.Terkadang aku mulai lelah untuk semua ini, sikap Miftah pun sekarang menjadi berubah. Dia lebih terkesan cuek terhadap ku. Mungkin Miftah lelah untuk memperjuangkan ku. Entah lah ..."Woyy.. Ngelamun aja kamuu.. Ke kantin yukk" ajak Mira, teman sekelas ku"Males ah, Mir" jawab ku, aku menenggelamkan kepalaku dilipatan tangan"Males muluk kalau diajakin ke kantin. Tapi badan perasaan makin melar" sindirnyaIni bukan pertama kalinya ada yang bilang badanku makin gendut, jadi lebih terlihat cuek dan diam untuk menghin
Dua jam kemudian!Pukul 14.15..Arinda baru saja sampai ke rumah setelah diantar pulang oleh Miftah. Tadi mereka hanya ngobrol dan bermesraan di kost milik Anggun.Arinda jadi berfikir, kenapa uang tabungannya tidak untuk menyewa kamar kost saja seperti Anggun. Toh juga cuma untuk nongkrong, untuk kumpul, untuk bersantai jika penat dirumah, atau bahkan bisa untuk berduaan sama Miftah. Sama seperti Anggun, kostnya itu hanya untuk hal-hal seperti itu. Apa lagi tempat itu sangat berguna jika Anggun di kunciin oleh orang tuanya kalau pulang terlalu malam. Sepertinya menarik, pikir Arinda."Assalamualaikum" sapa Arinda saat membuka pintu utama rumahnya."Waalaikumsalam" jawab Mami tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisiAda rasa sesak tersendiri merasakan sikap mami terhadapnya. Mami yang selalu menyambut dengan ceria sekarang berubah menjadi dingin dan terkesan tidak perduli.Arinda tersenyum getir saat maminya menolak uluran tan
"Arinda sudah tidak mengandung anak dari putra ku! Tidak terlalu harus di perjelas dalam status mereka! Setelah Arinda lulus SMA, mereka baru nikah secara resmi." Kata Aryo "Apa kalau gila?! HAH?! Kau tau pasti, jika nikah siri itu yang pasti di rugi kan adalah pihak perempuan! Apa kau mau menghancurkan anak ku lebih hancur lagi?!" Kata Indra berang, tak terima atas keinginan Aryo "Apa kabar nasip calon cucu ku yang dibiarkan luruh begitu saja?" Kata Aryo dengan alis terangkat setengah "Itu bukan keinginan ku! Salah kan juga anak mu yang membiarkan anak ku meminum obat itu! Salah kan juga anak mu yang malah mendukung aksi bodoh Arinda!" Desis Indra tajam "ITU SALAH MU! Arinda tertekan tinggal di rumah mu ini! Kau tak mengijinkan Arinda tinggal bersama ku, kau pula yang dulu menentang untuk menikah kan secara resmi, dan kau malah mengancam tidak mau menikah kan mereka!" Bentak Aryo "Kau kan tau, nikah dibawah umur itu syaratnya ribet! Har
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah.Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya."Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya.Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu."Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya."Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohonEntah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang. Mi
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah. Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya. "Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya. Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu. "Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya. "Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohon Entah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang
CacaEntah permainan apa yang di lakukan oleh Miftah dan Caca di sebuah kamar mandi yang berada di dalam club tersebut. Yang jelas Miftah keluar dari bilik kamar mandi dengan sibuk menaik kan resleting celana jensnya serta memakai kembali sabuknya dan Caca yang sibuk dengan merapikan rok mini yang dia kenakan, serta rambut panjangnya yang berantakan."Permainan mu enak" bisik Caca dengan meninggal kan kecupan singkat di bibir Miftah.Miftah hanya diam, tidak menanggapi omongan Caca, yang ada dipikirannya hanya lah jangan sampai Arinda apa lagi orang tuanya tau. Bisa habis dia.Miftah mengedarkan pandangannya, mencari sosok Rio yang tidak terlihat lagi di kursi bar yang tadi di dudukinya.Masih sibuk mencari sahabatnya itu, Miftah di kejutkan dengan tepukan di pundaknya."Bengong kamu! Keenakan nih pasti" goda Rio yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.Miftah menoleh dan mengusap dadanya, kaget. Dia melihat Rio yang merangkul bahu pe
Setelah kejadiam itu, Miftah sama sekali tidak tidur. Dia memilih berdiam diri di balkon kamarnya, menatap kosong ke depan."Kau mau sekolah tidak? Kalau tidak, aku akan meminta bang Andi untuk menjemput ku?" Tanya Arinda yang berdiri di depan pintu balkon.Miftah, tersentak dengan suara istrinya itu.Istri? Masih boleh kah Miftah memanggilnya istri ketika di hari pertama mereka menikah, dia malah bercinta dengan seorang jalang diluar sana?"Aku sekolah kok. Tunggu, biar aku mandi dulu." Jawab MiftahArinda mengangguk dan melenggang masuk untuk berganti seragam.Hari ini adalah hari Rabu. Hari pertama Arinda masuk sekolah lagi setelah 3 minggu lamanya Arinda ijin sakit. Orang tuanya mengabarkan ke pihak sekolah kalau Arinda mengalami kecelakaan dan harus mendapatkan perawatan intensif. Jadi pihak sekolah tidak di perkenankan untuk menjenguk.Indra hanya memberikan foto-foto perkembangan kesehatan Arinda saat dirinya
Miftah mencengkram kuat pergelangan tangan Arinda, menariknaya menuju gerbang sekolah karena tadi Aryo menghubunginya kalau supir suruhan keluarga Arinda sudah berada di depan sekolah.Selama perjalanan Miftah dan Arinda sama-sama diam. Miftah masih setia membuang pandangannya ke jendela luar.Sedangkan Arinda, dia memilih untuk bermain game di ponselnya. Cuek saja dengan sikap merajuk Miftah.**Rumah Miftah.Rumah masih sepi, pasti ibu masih berada di warung. Ini kesempatan untuknya memberi pelajaran untuk Arinda yang berani-beraninya main api bersama Lelaki sok sempura itu.Setelah menutup pintu dan mengunci pintu utama rumahnya, Miftah mencabut kunci itu dan meletakkannya di gantungan, agar nanti Ibu bisa membuka kunci pintu dari luar.Miftah masuk ke kamarnya, mendapati Arinda bermain ponselnya sambil tengkurap tanpa melepas seragam sekolah yang dia kenakan. Seketika emosi Miftah naik dan serasa mencapai ke ubun-ubun.
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Update ulang!!Baca lagi!!Lebih panjang!!Jangan lupa kasih vote!Jangan lupa koment!Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
pdate ulang!Baca lagi!Jangan lupa vote!Jangan lupa koment!"Brengsek!" Umpat Miftah dan kembali melayangkan tinju ke wajah Dova dengan membabi buta.Teriakan histeris dari murid-murid perempuan menghiasi kelas VII A tersebut. Beberapa murid laki-laki mencoba melerai pertiaian mereka. Dova yang sudah kehabisan kesabaran pun ikut menghajar Miftah, tapi sayang, Miftah yang tengah kesetanan tetap memimpim adu jotos yang mereka lakukan.Arinda panik dan begitu merasa ketakutan. Ditambah, kepalanya berdenyut nyeri, seakan kepalanya itu mengeluarkan asap dan siap akan meledak."Miftah, Jangan!""Miftah, ampun!" Jerit Arinda tiba-tiba.Seketika, Miftah menghentikan aksi brutalnya dan menoleh ke belakang. Melihat tepat dimana Arinda berdiri dengan memegangi kepalanya. Arinda menangis tergugu dan berulang kali meneriakkan kata ampun dan menyebut-nyebut nama Miftah. Miftah dengan cepat memegan
FgdKondisi psikis Arinda saat ini membuat Indra harus berpikir keras. Indra, tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat kejiwaan Arinda semakin terguncang. Langkah aman yang dia ambil saat ini adalah bersikap lunak untuk tetap menjaga kewarasan putri kecilnya.Ternyata keputusannya menikahkan Arinda dengan Miftah adalah keputusan yang salah. Apa lagi membiarkan putrinya keluar dari jangkauan pengawasan itu adalah kesalahan yang paling fatal.Maka dari itu, sikap Indra menjadi terkesan lebih mudah memaafkan ketimbang mengikuti keinginan istrinya yang ingin memperkarakan kasus kemarin.--Flasback on!Malam itu juga, kedua keluarga itu membawa Arinda ke Rs. Hasan Sadikin Bandung. Mereka meminta tolong kepada Dokter Era, untuk menembuskan mereka ke psikolog atau psikiater yang terbaik dan bisa ditemuinya malam itu juga."Arinda mengalami 'Amnesia Lakunar' " Beritahu dokter Syifa"Pengidap
Miftah sedang berada di perjalanan menggunakan Grab, untuk menuju ke rumah sahabatnya, Rio. Walau pun Bapaknya, tak lagi mengijinkan dirinya untuk berteman dengan Rio, Miftah tetap saja membangkang. Hanya Rio lah satu-satunya teman yang bisa Miftah andalkan. Rio, mau menemaninya disaat Miftah benar-benar butuh seorang teman. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Miftah begitu mencemaskan Arinda, istrinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa lepas kontrol tadi siang kepada istrinya itu. Dia benar-benar memperlakukan Arinda dengan kejam. Menyetubuhinya dengan paksa, lewat lubang... "Aggrhh.. Bodohh!" Umpatnya pelan. Kalau saja tadi disekolah Miftah tidak ikut-ikutan mencoba minum pil, apa tadi yang membuat tubuhnya serasa melayang ringan, pasti semua tak akan seperti ini.Kilas balik permainan dengan Caca, gadis club yang di temuinya kemarin memutar di otaknya yang membuat sesuatu di bawah sana bangun dan men
"Maaf, Ibu, siapa?! Kenapa masuk ruangan saya tanpa permisi?!" Tanya Dokter Ratna"SAYA MAMI DARI PASIEN YANG MENAGIS DAN BERTERIAK HISTERIS DI RUANG IGD TADI, DOKTER!! APA ANAK SAYA AKAN GILA?!" bentak Maura.Dokter Ratna diam dan mengalihkan pandangannya ke Lulu."Saya mertuanya" kata Lulu di sela tangisnya"Gadissekecil tadi sudah menikah?!" Tanya dokter Ratna, kaget"Mari, duduk dulu. Akan saya jelaskan kondisi anak, ibu" ajak dokter pada Maura yang masih berdiri menatap tajam Lulu dan dokter tersebutLulu berjalan menghampiri Maura, yang masih diam di tempatnya berdiri. Menatapnya sendu dan penuh penyesalah dari sorot matanya."Maafin saya, Teh. Saya yang gagal mendidik anak. Maafin saya" lirih Lulu yang tiba-tiba bersimpuh di kaki Maura"Saya yang gagal mendidik anak. Saya yang gagal hingga kelakuan anak saya sudah semacam bina