Fgd
Kondisi psikis Arinda saat ini membuat Indra harus berpikir keras. Indra, tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat kejiwaan Arinda semakin terguncang. Langkah aman yang dia ambil saat ini adalah bersikap lunak untuk tetap menjaga kewarasan putri kecilnya.
Ternyata keputusannya menikahkan Arinda dengan Miftah adalah keputusan yang salah. Apa lagi membiarkan putrinya keluar dari jangkauan pengawasan itu adalah kesalahan yang paling fatal.Maka dari itu, sikap Indra menjadi terkesan lebih mudah memaafkan ketimbang mengikuti keinginan istrinya yang ingin memperkarakan kasus kemarin.--Flasback on!Malam itu juga, kedua keluarga itu membawa Arinda ke Rs. Hasan Sadikin Bandung. Mereka meminta tolong kepada Dokter Era, untuk menembuskan mereka ke psikolog atau psikiater yang terbaik dan bisa ditemuinya malam itu juga."Arinda mengalami 'Amnesia Lakunar' " Beritahu dokter Syifa"Pengidappdate ulang!Baca lagi!Jangan lupa vote!Jangan lupa koment!"Brengsek!" Umpat Miftah dan kembali melayangkan tinju ke wajah Dova dengan membabi buta.Teriakan histeris dari murid-murid perempuan menghiasi kelas VII A tersebut. Beberapa murid laki-laki mencoba melerai pertiaian mereka. Dova yang sudah kehabisan kesabaran pun ikut menghajar Miftah, tapi sayang, Miftah yang tengah kesetanan tetap memimpim adu jotos yang mereka lakukan.Arinda panik dan begitu merasa ketakutan. Ditambah, kepalanya berdenyut nyeri, seakan kepalanya itu mengeluarkan asap dan siap akan meledak."Miftah, Jangan!""Miftah, ampun!" Jerit Arinda tiba-tiba.Seketika, Miftah menghentikan aksi brutalnya dan menoleh ke belakang. Melihat tepat dimana Arinda berdiri dengan memegangi kepalanya. Arinda menangis tergugu dan berulang kali meneriakkan kata ampun dan menyebut-nyebut nama Miftah. Miftah dengan cepat memegan
Update ulang!!Baca lagi!!Lebih panjang!!Jangan lupa kasih vote!Jangan lupa koment!Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Berjalan tergesa, aku menuju lantai dua sekolahku. Melewati koridor yang masih ramai, penuh dengan siswa siswi berseragam putih biru. Menaiki lantai dua sekolahku, aku menuju kelas paling ujung. Disanalah kelas kekasihku berada. Miftah Aryoda. Lelaki yang sudah enam bulan ini mengisi hari-hariku dengan status 'pacar'. Setelah mata ini melihat sosoknya yang sedang bersenda gurau bersama teman-temanya, aku langsung menghampirinya dan mengajaknya sedikit menjauh. "Kenapa, sayang? Tumben nyamperin sampai Kelas? " Tanyanya heran. "Aku belum haid, Mif" bisikku padanya. Terlihat, Miftah menyergit dan menatapku bingung. "Maksudnya? " Tanyanya. "Iya, aku belum datang bulan. Belum halangan. Belum dapat jatah bulanan ku. " Kataku dengan menekan setiap kata-kata yang aku ucapkan. "Terus
Jangan heran kalau anak jaman sekarang sudah banyak yang pacar-pacaran. Anak SD saja sekarang sudah ayah bunda-an.Jaman memang sudah semakin 'edan'.Ini kisah antara Miftah Aryoda, seorang siswa kelas sembilan dan Arinda Mutiara. Gadis cantik berlesum pipi yang baru saja duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mereka berdua sekolah di sekolah yang sama, SMP Harapan Bangsa, kota Bandung.Dulunya, rumah Miftah dan Arinda hanya berhadap-hadapan. Tetapi karena Pak Aryo dipindah tugaskan di Jogja, akhirnya keluarga Miftah pun pindah. Mereka menetap di Kota Gudek itu selama hampir empat tahun. Pada tahun yang akan memasuki tahun ke empat, Pak Aryo kembali mendapat proyek di Bandung, dan mereka semua memutuskan untuk kembali.Rumah yang dulu, masih dalam masa sewa orang lain, karena selama di Jogja, rumah Pak Aryo di sewakan. Akhirnya keluarga Pak Aryo untuk sementara waktu menempati ru
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Update ulang!!Baca lagi!!Lebih panjang!!Jangan lupa kasih vote!Jangan lupa koment!Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
pdate ulang!Baca lagi!Jangan lupa vote!Jangan lupa koment!"Brengsek!" Umpat Miftah dan kembali melayangkan tinju ke wajah Dova dengan membabi buta.Teriakan histeris dari murid-murid perempuan menghiasi kelas VII A tersebut. Beberapa murid laki-laki mencoba melerai pertiaian mereka. Dova yang sudah kehabisan kesabaran pun ikut menghajar Miftah, tapi sayang, Miftah yang tengah kesetanan tetap memimpim adu jotos yang mereka lakukan.Arinda panik dan begitu merasa ketakutan. Ditambah, kepalanya berdenyut nyeri, seakan kepalanya itu mengeluarkan asap dan siap akan meledak."Miftah, Jangan!""Miftah, ampun!" Jerit Arinda tiba-tiba.Seketika, Miftah menghentikan aksi brutalnya dan menoleh ke belakang. Melihat tepat dimana Arinda berdiri dengan memegangi kepalanya. Arinda menangis tergugu dan berulang kali meneriakkan kata ampun dan menyebut-nyebut nama Miftah. Miftah dengan cepat memegan
FgdKondisi psikis Arinda saat ini membuat Indra harus berpikir keras. Indra, tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat kejiwaan Arinda semakin terguncang. Langkah aman yang dia ambil saat ini adalah bersikap lunak untuk tetap menjaga kewarasan putri kecilnya.Ternyata keputusannya menikahkan Arinda dengan Miftah adalah keputusan yang salah. Apa lagi membiarkan putrinya keluar dari jangkauan pengawasan itu adalah kesalahan yang paling fatal.Maka dari itu, sikap Indra menjadi terkesan lebih mudah memaafkan ketimbang mengikuti keinginan istrinya yang ingin memperkarakan kasus kemarin.--Flasback on!Malam itu juga, kedua keluarga itu membawa Arinda ke Rs. Hasan Sadikin Bandung. Mereka meminta tolong kepada Dokter Era, untuk menembuskan mereka ke psikolog atau psikiater yang terbaik dan bisa ditemuinya malam itu juga."Arinda mengalami 'Amnesia Lakunar' " Beritahu dokter Syifa"Pengidap
Miftah sedang berada di perjalanan menggunakan Grab, untuk menuju ke rumah sahabatnya, Rio. Walau pun Bapaknya, tak lagi mengijinkan dirinya untuk berteman dengan Rio, Miftah tetap saja membangkang. Hanya Rio lah satu-satunya teman yang bisa Miftah andalkan. Rio, mau menemaninya disaat Miftah benar-benar butuh seorang teman. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Miftah begitu mencemaskan Arinda, istrinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa lepas kontrol tadi siang kepada istrinya itu. Dia benar-benar memperlakukan Arinda dengan kejam. Menyetubuhinya dengan paksa, lewat lubang... "Aggrhh.. Bodohh!" Umpatnya pelan. Kalau saja tadi disekolah Miftah tidak ikut-ikutan mencoba minum pil, apa tadi yang membuat tubuhnya serasa melayang ringan, pasti semua tak akan seperti ini.Kilas balik permainan dengan Caca, gadis club yang di temuinya kemarin memutar di otaknya yang membuat sesuatu di bawah sana bangun dan men
"Maaf, Ibu, siapa?! Kenapa masuk ruangan saya tanpa permisi?!" Tanya Dokter Ratna"SAYA MAMI DARI PASIEN YANG MENAGIS DAN BERTERIAK HISTERIS DI RUANG IGD TADI, DOKTER!! APA ANAK SAYA AKAN GILA?!" bentak Maura.Dokter Ratna diam dan mengalihkan pandangannya ke Lulu."Saya mertuanya" kata Lulu di sela tangisnya"Gadissekecil tadi sudah menikah?!" Tanya dokter Ratna, kaget"Mari, duduk dulu. Akan saya jelaskan kondisi anak, ibu" ajak dokter pada Maura yang masih berdiri menatap tajam Lulu dan dokter tersebutLulu berjalan menghampiri Maura, yang masih diam di tempatnya berdiri. Menatapnya sendu dan penuh penyesalah dari sorot matanya."Maafin saya, Teh. Saya yang gagal mendidik anak. Maafin saya" lirih Lulu yang tiba-tiba bersimpuh di kaki Maura"Saya yang gagal mendidik anak. Saya yang gagal hingga kelakuan anak saya sudah semacam bina