Dua jam kemudian!
Pukul 14.15..
Arinda baru saja sampai ke rumah setelah diantar pulang oleh Miftah. Tadi mereka hanya ngobrol dan bermesraan di kost milik Anggun.
Arinda jadi berfikir, kenapa uang tabungannya tidak untuk menyewa kamar kost saja seperti Anggun. Toh juga cuma untuk nongkrong, untuk kumpul, untuk bersantai jika penat dirumah, atau bahkan bisa untuk berduaan sama Miftah. Sama seperti Anggun, kostnya itu hanya untuk hal-hal seperti itu. Apa lagi tempat itu sangat berguna jika Anggun di kunciin oleh orang tuanya kalau pulang terlalu malam. Sepertinya menarik, pikir Arinda.
"Assalamualaikum" sapa Arinda saat membuka pintu utama rumahnya.
"Waalaikumsalam" jawab Mami tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi
Ada rasa sesak tersendiri merasakan sikap mami terhadapnya. Mami yang selalu menyambut dengan ceria sekarang berubah menjadi dingin dan terkesan tidak perduli.
Arinda tersenyum getir saat maminya menolak uluran tangannya untuk bersalaman. Arinda mengundurkan diri dan berjalan pelan menuju kamarnya.Sesampainya di kamar, Arinda segera melepaskan seragamnya dan masuk ke kamar mandi. Arinda merasakan pening di di keplanya dan dia juga merasakan kalau suhu tubuhnya naik..
Setelah selesai mandi dan memakai pakaian, Arinda merebahkan dirinya di ranjang. Mengistirahatkan tubuhnya yang terasa benar-benar lemas. Lima menit setelah itu Arinda pun terlelap dalam tidurnya.Pukul 16.45, tidur Arinda terusik dengan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya, terutama bagian perut. Perutnya seperti diremas dan di pelintir secara bersamaan. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi kening dan juga seluruh badannya, di tambah rasa pening yang dirasakan sejak pulang tadi pun bukannya menghilang tapi malah semakin menjadi.
Arinda merasakan kemaluannya seperti di tekan dan didorong dengan kuat, Arinda meringis menahan sakit yang dia rasakan."Mamiiiii" jerit Arinda dengan sisa tenaga yang dia punya
"Mamiii..." Panggilnya untuk yang ke dua kali, tapi masih tak ada orang yang menghampirinya.
"Mamii..." Lirihnya sebelum mata indah itu terpejam.
**
17.58Cklek..
Seorang wanita paruh baya menatap sendu anak perempuan semata wayangnya. Anaknya perempuan yang sangat dia sayangi dan dia cintai menggoreskan luka yang begitu dalam dihatinya. Mencoreng-moreng seluruh keluarga besarnya. Melakukan hubungan diluar batas dan sekarang telah mengandung anak diluar ikatan pernikahan di umurnya yang baru saja menginjak angka tiga belas. Sunggu, ibu mana yang tak akan sakit dan kecewa jika menerima kenyataan seperti itu.
Maura Ignasia, mendekati ranjang anaknya. Mengamati wajah anaknya yang begitu cantik dan manis dalam tidurnya. Wajah damainya begitu menetramkan hatinya..
"Apa kau sudah tidak ingat punya ALLAH, sampai-sampai kau juga melalaikan perintahnya?!" Tanya Maura dengan nada dingin sambil menepuk pelan pipi anaknya itu.
Terasa sangat dingin dan basah karena keringat di kulit pipi anaknya itu. Maura mengerutkan dahinya dan kembali menepuk pipi itu dengan sedikit kencang, tapi tetap tidak ada pergeraka apa pun dari putri kecilnya itu.
"Arindaa..bangun..heyy.." Maura kembali membangunkannya seraya duduk di ranjang samping anaknya itu terbaring.
"Arindaa..." Karena merasa jengkel Maura menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Arinda lalu detik berikutnya matanya terbelalak melihat darah yang cukup bayak membasahi sprei bermotif litelponi itu.
"Arinda..hey.. Bangun nak.." Suara Maura bergetar masih mencoba membangunkan Arinda.
"Papiiii....... Abang......." Jerit Maura memanggil suami dan kedua anak lelakinya yang sedang menunggunya memanggil Arinda untuk sholat magrib berjamaah.
Dengan tergesa ketiga lelaki yang berada di mushola keluarga lantai satu pun berjalan cepat, sampai terpogoh-pogoh menghampiri istri sekaligus ibu dari ketiga anaknya.
"Ada apa sih Mih, teriak-ter.." Ucapan Indra kembali ditelannya ketika melihat darah tercetak banyak dari tubuh anaknya.
Dengan cepat Indra mendekati Arinda dan menyentuh pergelangan tangannya.
"Arinda masih hidup, tapi denyut nadinya melemah" kata Indra dengan sura paru
Indra langsung menaiki ranjang dan menggendong Arinda.
"Siapkan mobil Hendi!!" Seru Indra yang sudah berdiri dengan menggendong ArindaMaura menangis histeris, sungguh dia ketakutan dengan apa yang akan terjadi nantinya. Lalu Andi segera menyentuh pundak Maminya dan menuntutnya untuk segera menyusul papinya yang sudah berada di anak tangga terahir.
**Didalam mobil"Hendi cepat!! Arinda bisa mati kalau kamu lama seperti ini bawa mobilnya!!" Jerit Maura yang berada di bangku penumpang belakang mendampingi Arinda yang berada di dekapannya. Disamping kiri Arinda ada Andi yang tak kalah khawatirnya mencemaskan keadaan adik kecilnya itu. Andi dan Hendi terlalu syhok melihat Adik kesayangannya itu, sampai-sampai tak tau harus berkata apa untuk sekedar menenangkan kedua orang tuanya.
Sesampainya di Rumah sakit, Arinda langsung dibawa ke UGD dan langsung ditangani oleh dokter. Indra menghubungi dokter Era memberi kabar bahwa Arinda mengalami pendarahan.
"Hubungi Miftah, Andi!" Kata Indra tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang dia genggam. Andi mengangguk dan segera menghubungi bocah sialan yang telah merusak adiknya itu.
"Haloo, Ar! Arinda mengalami pendarhan dan sekarang masih ditangani dokter!" Beritahu Indra pada Aryo.
"Apa?! Kenapa bisa terjadi?!" Bentak Aryo yang terlalu syok mendengar berita itu. "Aku pulang ke Bandung sekarang! Apa kamu sudah menghubungi Miftah?" Tanya Aryo
"Sedang di hubungi Andi." Kata Indra
"Ya sudah, aku hubungi Lulu juga dan aku akan segera berangkat. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Hening...
Sudah hampir empat puluh lima menit Arinda di dalam tapi belum ada dokter atau suster yang keluar untuk memberi tahu keadaan putri kecilnya itu.Hanya ada isak tangis Maura yang terdengar di depan ruang IGD tersebut.Suara langkah kaki tergesa-gesa mengalihkan pandangan Indra dan Andi.
Disana ada Miftah dan Aryo yang berjalan cepat menghampiri keluarga Arinda. Di saat itu juga pintu ruang IGD terbuka dan menampilkan dokter Era disana.Semua langsung berdiri dan mengerubungi dokter muda tersebut.
"Bagaimana keadaan anak ku Era?" Tanya Maura
"Aku pastikan anakmu habis minum obat yang menyebabkan dia mengalami pendarahan hebat. Kondisi anakmu saat ini bisa dibilang kritis karena dia kekurangan banyak sekali darah." Jelas dokter Era pada keluarga Maura, teman sekolahnya dulu saat masih duduk di bangku SMA.
Semua mata terbelalak mendengar penjelasannya, dan detik berikutnya bogem mentah tak terduga di dilayangkan Andi kepada Miftah. Miftah hanya diam mendapat pukulan bertubi-tubi di wajahnya. Indra pun langsung menarik Anak keduanya itu agar tidak melakukan hal yang lebih diluar batas.
"ANJING KAMU! BRENGSEK, UDAH BIKIN ADIK KU RUSAK! DASAR BAJINGAN!" Teriak Andi murka menunjuk wajah Miftah.
Miftah masih diam, belum ada respon apa pun yang dia berikan. Membuat Aryo mencurigainya.
"Apa kamu mengetahui ini Miftah?" Tanya Aryo memicingkan matanya, menatap tajam anaknya itu.
Lagi-lagi Miftah hanya diam, tangannya mengepal kuat dan air matanya pun tiba-tiba menetes tanpa dapat dia cegah.
"YHAALLAH GUSTI NU AGUNG!!!!" Jerit Maura dengan tangis yang menjadi-jadi, Indra langsung menghampiri istrinya yang terlihat begitu terpukul mendengar kondisi putri kesayangan mereka.
"Apa salah hamba YaAllah?! Apa?!" Jerit Maura di dalam dekapan Indra. Maura melepas pelukan itu dan menatap sendu suaminya
"Papi.. Papi beri kami semua rejeki yang Hallal kan pih?! Iya kan pih?! Tapi kenapa pih?! Kenapa anak kita jadi begini?!" Kembali Maura menjerit dan meracau melampiasan emosinya
"Arinda harus segera di oprasi untuk membersihkan sisa-sisa gumpalan janin yang masih tertinggal, juga untuk menghentikan pendarahannya." Beritahu Dokter Era
"Dan satu lagi. Saya membutuhkan sekiranya 4 kantung darah golongan O resus negatif untuk tambahan, karena stok PMI kosong. Tolong yang golongan darahnya sama bisa ikut suster Riska" lanjutnya dan menunjuk seorang suster yang berdiri di belakangnya.
"Saya dok. Golongan darah saya sama dengan adik saya" untuk pertama kalinya Hendi bersuara setelah diam sejak ditemukannya adiknya yang bersimbah darah di kamar tadi.
Doktwr Era mengangguk dan berjalan tergesa menuju ruang oprasi, begitu pun dengan Hendi yang mengikuti suster Riska ke sebuah ruangan dimana darahnya akan diambil untuk kelangsungan hidup adiknya.
**"Mami sudah menjaganya dengan baik Pih, mami sudah memberi segala yang dia butuh kan, mami sudah lakukan semua pih." Luruh sudah tubuh Maura terduduk dilantai
"Papi, tau semua itu kan..." Lirihnya sebelum dia kehilangan kesadarannya.
Disisi lain, Miftah merenungi kebodohannya membiarkan dan malah mengizinkan kekasihnya meminum obat itu tadi siang. Andai saja dia bisa mencegahnya..
Suara brangkar rumah sakit terdengar, lalu muncul lah Arinda dengan wajah pucatnya seperti wajah yang tak berdarah.
Maura langsung berdiri dan mengenggam tangan Arinda yang bebas infus, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Arinda dan mencium keningnya lama, sampai air matanya membasahi mata tertutup Arinda.
"Maafin mami nak. Maaf.. Kamu harus bertahan. Kamu harta mami yang berharga nak. Mami mohon" bisiknya
Keluarga Arinda dan Mifah masih setia menunggu di depan pintu ruang operasi. Di dalam sana, putri kesayangan dari keluarga Indra Sarifudin itu masih berjuang melawan sakitnya. Sakit yang dia datangkan sendiri dengan cara meminum obat untuk mengugurkan kandungannya.Sudah 3 jam lebih mereka dibuat harap-harap cemas akan kondisi Arinda di dalam. Mereka hanya bisa memanjatkan doa kepada Allah agar putri mereka diberikan kekuatan, di berikan kesempatan untuk hidup dan bertaubat.
Cklek..
Seorang suster keluar dan sedikit berlari untuk menuju suatu ruangan tapi di hadang oleh orang-orang yang cemas menunggu kabar Arinda.
"Suster... Bagaimana dengan keadaan anak saya?" Tanya Indra
"Maaf, saya terburu-buru" kata suster itu dan langsung melanjutkan langkahnya
Semua di buat menegang dengan respon dari suster tersebut. Lalu beberpa menit berikutnya, suster tersebut berlari bersama seorang dokter lelaki paruh baya.
Lagi-lagi perasaan was-was dan takut bercampur menjadi satu.Miftah, sedaritadi hanya diam, menatap nanar lampu di atas pintu ruang operasi yang berwarna merah. Menunjuk kan di dalam sana, operasi masih berlangsung.
Miftah hanya berharap untuk kekasih kecilnya itu agar bisa melewati masa kritisnya dan bisa sehat seperti sedia kala.**
1 jam kemudian. Tepat pukul 23.50, lampu merah diatas pintu operasi padam. Dan detik berikutnya dua orang dokter keluar secara bergantian, diikuti empat orang suster di belakangnya.
"Era.. Bagaimana Arinda?!" Tanya Maura
Dr. Era membuka masker yang menutupi bagian mulut dan hidungnya lalu membuang nafas kasar. Cukup lelah setelah berjuang lebih dari empat jam di meja besar operasi. Apa lagi yang di tangani bukan lah wanita dengan umur matang yang sedang mengalami keguguran, melainkan wanita kecil yang umurnya saja baru menginjak angka 13 dengan berat badan 45 kg, dan tinggi 158cm, serta lingkar panggul yang sungguh sangat kecil.
"Alhamdulillah... Putri mu sudah melewati masa kritisnya. Nanti akan di pindah kan ke ruang perawatan dan kalian bisa menjenguknya nanti." kata dokter Era
Semua menghela nafas lega mendengar kabar bahagia itu.
Maura, mengucap syukur, begitu pun yang lainnya.**
Satu minggu kemudian.Kondisi Arinda sudah berangsur-angsur pulih. Dan hari ini, Arinda sudah di perbolehkan untuk pulang.
**
Rumah Arinda."Bagaimana kalau pernikahan Arinda di laksana kan besok pagi?" Tanya Indra kepada Aryo.
Aryo dan Indra, mereka sekarang sedang duduk di ruang kerja rumah Indra. Membahas kelanjutan akan hubungan Arinda dan Miftah.
"Aku setuju. Lebih cepat lebih baik." Kata Aryo mantap
"Kau sebaiknya siap kan berkas-berkas untuk mereka menikah dan aku akan mengurus masalah di KUA dan Pengadilan Agamanya" kata Indra
"Tidak! Mereka sebaiknya 'nikah siri' dulu saja!" Kata Aryo
Indra tercengang mendengar permintaan gila dari sahabatnya itu.
"Arinda sudah tidak mengandung anak dari putra ku! Tidak terlalu harus di perjelas dalam status mereka! Setelah Arinda lulus SMA, mereka baru nikah secara resmi."
"Arinda sudah tidak mengandung anak dari putra ku! Tidak terlalu harus di perjelas dalam status mereka! Setelah Arinda lulus SMA, mereka baru nikah secara resmi." Kata Aryo "Apa kalau gila?! HAH?! Kau tau pasti, jika nikah siri itu yang pasti di rugi kan adalah pihak perempuan! Apa kau mau menghancurkan anak ku lebih hancur lagi?!" Kata Indra berang, tak terima atas keinginan Aryo "Apa kabar nasip calon cucu ku yang dibiarkan luruh begitu saja?" Kata Aryo dengan alis terangkat setengah "Itu bukan keinginan ku! Salah kan juga anak mu yang membiarkan anak ku meminum obat itu! Salah kan juga anak mu yang malah mendukung aksi bodoh Arinda!" Desis Indra tajam "ITU SALAH MU! Arinda tertekan tinggal di rumah mu ini! Kau tak mengijinkan Arinda tinggal bersama ku, kau pula yang dulu menentang untuk menikah kan secara resmi, dan kau malah mengancam tidak mau menikah kan mereka!" Bentak Aryo "Kau kan tau, nikah dibawah umur itu syaratnya ribet! Har
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah.Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya."Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya.Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu."Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya."Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohonEntah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang. Mi
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah. Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya. "Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya. Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu. "Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya. "Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohon Entah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang
CacaEntah permainan apa yang di lakukan oleh Miftah dan Caca di sebuah kamar mandi yang berada di dalam club tersebut. Yang jelas Miftah keluar dari bilik kamar mandi dengan sibuk menaik kan resleting celana jensnya serta memakai kembali sabuknya dan Caca yang sibuk dengan merapikan rok mini yang dia kenakan, serta rambut panjangnya yang berantakan."Permainan mu enak" bisik Caca dengan meninggal kan kecupan singkat di bibir Miftah.Miftah hanya diam, tidak menanggapi omongan Caca, yang ada dipikirannya hanya lah jangan sampai Arinda apa lagi orang tuanya tau. Bisa habis dia.Miftah mengedarkan pandangannya, mencari sosok Rio yang tidak terlihat lagi di kursi bar yang tadi di dudukinya.Masih sibuk mencari sahabatnya itu, Miftah di kejutkan dengan tepukan di pundaknya."Bengong kamu! Keenakan nih pasti" goda Rio yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.Miftah menoleh dan mengusap dadanya, kaget. Dia melihat Rio yang merangkul bahu pe
Setelah kejadiam itu, Miftah sama sekali tidak tidur. Dia memilih berdiam diri di balkon kamarnya, menatap kosong ke depan."Kau mau sekolah tidak? Kalau tidak, aku akan meminta bang Andi untuk menjemput ku?" Tanya Arinda yang berdiri di depan pintu balkon.Miftah, tersentak dengan suara istrinya itu.Istri? Masih boleh kah Miftah memanggilnya istri ketika di hari pertama mereka menikah, dia malah bercinta dengan seorang jalang diluar sana?"Aku sekolah kok. Tunggu, biar aku mandi dulu." Jawab MiftahArinda mengangguk dan melenggang masuk untuk berganti seragam.Hari ini adalah hari Rabu. Hari pertama Arinda masuk sekolah lagi setelah 3 minggu lamanya Arinda ijin sakit. Orang tuanya mengabarkan ke pihak sekolah kalau Arinda mengalami kecelakaan dan harus mendapatkan perawatan intensif. Jadi pihak sekolah tidak di perkenankan untuk menjenguk.Indra hanya memberikan foto-foto perkembangan kesehatan Arinda saat dirinya
Miftah mencengkram kuat pergelangan tangan Arinda, menariknaya menuju gerbang sekolah karena tadi Aryo menghubunginya kalau supir suruhan keluarga Arinda sudah berada di depan sekolah.Selama perjalanan Miftah dan Arinda sama-sama diam. Miftah masih setia membuang pandangannya ke jendela luar.Sedangkan Arinda, dia memilih untuk bermain game di ponselnya. Cuek saja dengan sikap merajuk Miftah.**Rumah Miftah.Rumah masih sepi, pasti ibu masih berada di warung. Ini kesempatan untuknya memberi pelajaran untuk Arinda yang berani-beraninya main api bersama Lelaki sok sempura itu.Setelah menutup pintu dan mengunci pintu utama rumahnya, Miftah mencabut kunci itu dan meletakkannya di gantungan, agar nanti Ibu bisa membuka kunci pintu dari luar.Miftah masuk ke kamarnya, mendapati Arinda bermain ponselnya sambil tengkurap tanpa melepas seragam sekolah yang dia kenakan. Seketika emosi Miftah naik dan serasa mencapai ke ubun-ubun.
"Maaf, Ibu, siapa?! Kenapa masuk ruangan saya tanpa permisi?!" Tanya Dokter Ratna"SAYA MAMI DARI PASIEN YANG MENAGIS DAN BERTERIAK HISTERIS DI RUANG IGD TADI, DOKTER!! APA ANAK SAYA AKAN GILA?!" bentak Maura.Dokter Ratna diam dan mengalihkan pandangannya ke Lulu."Saya mertuanya" kata Lulu di sela tangisnya"Gadissekecil tadi sudah menikah?!" Tanya dokter Ratna, kaget"Mari, duduk dulu. Akan saya jelaskan kondisi anak, ibu" ajak dokter pada Maura yang masih berdiri menatap tajam Lulu dan dokter tersebutLulu berjalan menghampiri Maura, yang masih diam di tempatnya berdiri. Menatapnya sendu dan penuh penyesalah dari sorot matanya."Maafin saya, Teh. Saya yang gagal mendidik anak. Maafin saya" lirih Lulu yang tiba-tiba bersimpuh di kaki Maura"Saya yang gagal mendidik anak. Saya yang gagal hingga kelakuan anak saya sudah semacam bina
Miftah sedang berada di perjalanan menggunakan Grab, untuk menuju ke rumah sahabatnya, Rio. Walau pun Bapaknya, tak lagi mengijinkan dirinya untuk berteman dengan Rio, Miftah tetap saja membangkang. Hanya Rio lah satu-satunya teman yang bisa Miftah andalkan. Rio, mau menemaninya disaat Miftah benar-benar butuh seorang teman. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Miftah begitu mencemaskan Arinda, istrinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa lepas kontrol tadi siang kepada istrinya itu. Dia benar-benar memperlakukan Arinda dengan kejam. Menyetubuhinya dengan paksa, lewat lubang... "Aggrhh.. Bodohh!" Umpatnya pelan. Kalau saja tadi disekolah Miftah tidak ikut-ikutan mencoba minum pil, apa tadi yang membuat tubuhnya serasa melayang ringan, pasti semua tak akan seperti ini.Kilas balik permainan dengan Caca, gadis club yang di temuinya kemarin memutar di otaknya yang membuat sesuatu di bawah sana bangun dan men
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Update ulang!!Baca lagi!!Lebih panjang!!Jangan lupa kasih vote!Jangan lupa koment!Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
pdate ulang!Baca lagi!Jangan lupa vote!Jangan lupa koment!"Brengsek!" Umpat Miftah dan kembali melayangkan tinju ke wajah Dova dengan membabi buta.Teriakan histeris dari murid-murid perempuan menghiasi kelas VII A tersebut. Beberapa murid laki-laki mencoba melerai pertiaian mereka. Dova yang sudah kehabisan kesabaran pun ikut menghajar Miftah, tapi sayang, Miftah yang tengah kesetanan tetap memimpim adu jotos yang mereka lakukan.Arinda panik dan begitu merasa ketakutan. Ditambah, kepalanya berdenyut nyeri, seakan kepalanya itu mengeluarkan asap dan siap akan meledak."Miftah, Jangan!""Miftah, ampun!" Jerit Arinda tiba-tiba.Seketika, Miftah menghentikan aksi brutalnya dan menoleh ke belakang. Melihat tepat dimana Arinda berdiri dengan memegangi kepalanya. Arinda menangis tergugu dan berulang kali meneriakkan kata ampun dan menyebut-nyebut nama Miftah. Miftah dengan cepat memegan
FgdKondisi psikis Arinda saat ini membuat Indra harus berpikir keras. Indra, tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat kejiwaan Arinda semakin terguncang. Langkah aman yang dia ambil saat ini adalah bersikap lunak untuk tetap menjaga kewarasan putri kecilnya.Ternyata keputusannya menikahkan Arinda dengan Miftah adalah keputusan yang salah. Apa lagi membiarkan putrinya keluar dari jangkauan pengawasan itu adalah kesalahan yang paling fatal.Maka dari itu, sikap Indra menjadi terkesan lebih mudah memaafkan ketimbang mengikuti keinginan istrinya yang ingin memperkarakan kasus kemarin.--Flasback on!Malam itu juga, kedua keluarga itu membawa Arinda ke Rs. Hasan Sadikin Bandung. Mereka meminta tolong kepada Dokter Era, untuk menembuskan mereka ke psikolog atau psikiater yang terbaik dan bisa ditemuinya malam itu juga."Arinda mengalami 'Amnesia Lakunar' " Beritahu dokter Syifa"Pengidap
Miftah sedang berada di perjalanan menggunakan Grab, untuk menuju ke rumah sahabatnya, Rio. Walau pun Bapaknya, tak lagi mengijinkan dirinya untuk berteman dengan Rio, Miftah tetap saja membangkang. Hanya Rio lah satu-satunya teman yang bisa Miftah andalkan. Rio, mau menemaninya disaat Miftah benar-benar butuh seorang teman. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Miftah begitu mencemaskan Arinda, istrinya. Bagaimana mungkin dirinya bisa lepas kontrol tadi siang kepada istrinya itu. Dia benar-benar memperlakukan Arinda dengan kejam. Menyetubuhinya dengan paksa, lewat lubang... "Aggrhh.. Bodohh!" Umpatnya pelan. Kalau saja tadi disekolah Miftah tidak ikut-ikutan mencoba minum pil, apa tadi yang membuat tubuhnya serasa melayang ringan, pasti semua tak akan seperti ini.Kilas balik permainan dengan Caca, gadis club yang di temuinya kemarin memutar di otaknya yang membuat sesuatu di bawah sana bangun dan men
"Maaf, Ibu, siapa?! Kenapa masuk ruangan saya tanpa permisi?!" Tanya Dokter Ratna"SAYA MAMI DARI PASIEN YANG MENAGIS DAN BERTERIAK HISTERIS DI RUANG IGD TADI, DOKTER!! APA ANAK SAYA AKAN GILA?!" bentak Maura.Dokter Ratna diam dan mengalihkan pandangannya ke Lulu."Saya mertuanya" kata Lulu di sela tangisnya"Gadissekecil tadi sudah menikah?!" Tanya dokter Ratna, kaget"Mari, duduk dulu. Akan saya jelaskan kondisi anak, ibu" ajak dokter pada Maura yang masih berdiri menatap tajam Lulu dan dokter tersebutLulu berjalan menghampiri Maura, yang masih diam di tempatnya berdiri. Menatapnya sendu dan penuh penyesalah dari sorot matanya."Maafin saya, Teh. Saya yang gagal mendidik anak. Maafin saya" lirih Lulu yang tiba-tiba bersimpuh di kaki Maura"Saya yang gagal mendidik anak. Saya yang gagal hingga kelakuan anak saya sudah semacam bina