Sandra bingung harus senang atau sedih diperebutkan dua lelaki tampan. Satu sisi ia senang ada orang yang menginginkannya, namun di sisi lain ia sadar mereka merebutkannya bukan karena prestasi. Mereka hanya saling membenci dan entah bagaimana berhasil membuat Sandra bekerja di bawah wewenang mereka merupakan sebuah kemenangan.Wanita itu tak tahu sifat Brian. Pasalanya ia hanya sempat mengobrol selama lima menit, dan obrolannya pun hanya tentang nama. Meski Barra berkata bahwa dia bukan lelaki baik, tetap saja Sandra belum merasakan sendiri bekerja di bawah lelaki itu. Namun demikian, bukan berasti ia mau bekerja di bawah naungan Brian. Ia lebih suka menjadi asisten Wuri. Apalagi wanita itu kini bersikap baik kepadanya. Jadi ketika Brian memintanya menjadi seketaris, ia menolak. Ia juga tak yakin lelaki itu dapat melaksanakan ancamannya. Pasalanya, Barra lebih berkuasa. Dia CEO. Dan dengan tegas, dia berkata bahwa yang dapat memecat Sandra hanya Barra. Namun rupanya ia keliru.Esokn
Sandra harap ia dapat mengetahui rancangan rencana Brian dalam memajukan perusahaan untuk menyaingi Barra. Ia bertekad membantu Barra. Ia tak mau perusahaan itu jatuh je tangan Brian. Sebab, ia percaya perusahaan itu bakal bangkrut kalau hal itu sampai terjadi.Namun, setelah seminggu bersama lelaki itu, Sandra tak mendapatkan apa-apa. Kegiatan Brian bisa dibilang hanya foya-foya saja. Kalau siang selain ngegim di kantor, lelaki itu keluar menghadiri pesta amal. Malamnya pun ia bersenang-senang ke pesta para kenalan. Dan dalam kegiatannya, ia menggeret Sandra bersamanya.Pernah suatu ketika wanita itu menolak.“Mas (Brian acapkali memaksa Sandra memanggilnya Mas, bahkan menskors Sandra sehari karena nekat memanggilnya Pak sampai wanita itu menyerah dan akhirnya menurut memanggilnya Mas), saya capek banget. Malam ini saya nggak bisa menemani.”“Kamu mau diskors lagi?”Terpaksa Sandra mengikuti bos barunya itu. Dan setiap pesta, Brian berakhir dengan mabuk-mabukan. Sandra jugalah yang
Pesta itu bukan pesta biasa. Diselenggarakan di rooftop sebuah hotel bertingkat puluhan. Malam itu cuaca bersahabat, tak ada mendung. Awan pun tak ada. Alhasil bintang-bintang tampak bergemelapan di atas gedung.Sebelum tiba pada waktu yang dijanjikan, Brian menelepon Sandra. Ia berniat menjemput wanita itu tetapi Sandra menolak.“Tapi aku udah di depan gang rumahmu.”Sandra mendengkus kesal. Ia ketahuan tak mengenakan gaun yang dibelikan Brian, sehingga membuat lelaki itu kecewa.“Ya sudah, nggak usah berangkat aja. Biar kukirim fotomu dan Barra ke Dad.”Terpaksa, Sandra berganti pakaian. Setelah masuk ke mobil, wanita itu menggerutu. Ia meminta Brian menepati janji dan laki-laki itu pun menurut. Ia menyerahkan sebuah kartu MicroSD, laptop, dan ponsel untuk dicek Sandra.“Bener nih, nggak ada yang lainnya?” tanya wanita itu menekan tombol hapus permanen dan mengosongkan file.Brian mendengkus. “Aku memang licik, tetapi aku adalah lelaki yang pantang ingkar janji.”Setelah yakin semua
Hal yang paling ditakuti Sandra adalah teror. Seperti halnya hantu yang tak berwujud tetapi mampu memberikan teror paling kejam. Namun kini bukan hanya hantu yang membuatnya takut. Orang mabuk pun. Sebab, terkadang mereka memiliki kekuatan yang tak disangka-sangka. Juga kenekatan.Seperti yang terjadi pada Brian. Lelaki itu memanggulnya dengan enteng. Meski sekuat tenaga Sandra memberontak, Brian tetap tak menurunkannya. Bahkan ketika memasuki lift.“Lepaskan! Aku tuntut kamu!” Sandra berteriak.“Ssst!” Brian malah tertawa. “Kau pikir siapa aku? Hukum nggak bakal bisa menyentuh orang yang memiliki uang sepertiku.”Sandra hampir-hampir putus asa. Air matanya menetes deras. Ia bahkan memohon pada Brian yang sudah gelap mata. Sebab, berseru minta tolong pun tak gunanya. Orang-orang mengabaikannya. “Tolong, jangan lakukan ini.”Mereka kini sudah masuk ke kamar. Brian mengempaskan tubuh Sandra ke ranjang. Sepatu wanita itu sampai terlepas satu.“Lepas!” Wanita itu menendang. Namun dengan
Di rumah sakit, Barra tak pernah meninggalkan Sandra. Ia juga tak pernah melepas genggamannya. Bahkan, ketika dokter memeriksa pun, dengan setia ia di sampingnya sampai-sampai dokter mengira bahwa ia suami Sandra. Maka dari itu, ketika ia berbisik, meminta agar Sandra divisum tanpa ketara pun, sang dokter bersedia.Sandra sendiri tak mengerti ketika sang dokter bertanya hal-hal yang detail kepadanya. Namun, karena ia percaya secara penuh kepada sang ahli kesehatan, ia menjawab dengan jujur. Termasuk pertanyaan tentang kronologi luka-luka yang didapat wanita itu.Setelah selesai, masih menggunakan selimut untuk menutupi tubuh, Sandra masuk ke mobil Barra. Ia kepikiran tentang adiknya. Andai sang adik melihat keadaannya yang sekarang, sudah pasti ia akan mengamuk, menyalahkan Barra atas sesuatu yang menimpanya. Padahal bukan lelaki itu yang menyakitinya.“Pak,” panggil Sandra malu-malu. Ia menggigit bibirnya sebentar sebelum berkata, “Tolong turunkan saya ke depan hotel. Hotel mana saja
Sandra berharap bosnya berhasil meyakinkan personalia utnuk memindahkannya kembali bersama Wuri. ia tak sanggup bekerja di bawah naungan Brian. Bahkan untuk satu hari. Maka, dengan jantung berdegup, ia bertanya, "Trus gimana, Mbak?" Dalam hati ia berdoa supaya harapannya terkabul.“Ya nggak ada terusannya. Besok kamu bisa kembali ke sini.” Jawaban Wuri membuat Sandra lega setengah mati.“Kalau nanti Brian atau Pak Romi marah gimana?” tanya wanita itu ragu-ragu.“Udah, nggak usah mikir macem-macem. Yang penting kamu besok nggak usah ke kantor si Bocah Manja lagi.”Setelah mengiayakan, Sandra melompat senang. Tak lama Pak No datang. Ia datang untuk mengantar Sandra ke mana pun wanita itu ingin pergi. Namun, yang diinginkannya hanya pulang.Chandra sudah berangkat kuliah saat wanita itu sampai di rumah. Jadi, ia tak perlu menjelaskan apa-apa kepada adiknya itu. Ia masih mengenakan kemeja Barra.Ia berniat mengirimnya kembali setelah dari penatu nanti, tetapi ketika memasukkannya ke dalam
Suasana dalam ruangan itu mendadak keruh. Masing-masing orang berbicara dengan teman di sebelahnya. Mereka mempertanyakan maksud sang CEO, yang mengumumkan pengunduran dirinya secara mendadak.“Kenapa? Apa yang salah dengannya?”“Mendadak sekali.”“Bagimana dengan perusahaan?”“Wah, kacau.”Wuri yang berdiri di belakang atasannya pun mendekat satu langkah. “Pak? Apa tidak terlalu terburu-buru?”“Saya belum selesai bicara,” katanya yang terdengar lantang oleh mikrofon di depan bibirnya, sehingga membuat para anggota dewan pemegang saham terdiam. Mereka kembali memusatkan perhatiannya kepada Barra yang berdiri di belakang meja tinggi.“Saya tahu Anda sekalian pasti khawatir terhadap jalannya perusahaan. Maka dari itu, saya mengusulkan untuk menerima saran dari Ketua Dewan kemarin,” tambahnya.Pak Romi berdeham. Ia menegakkan punggungnya dengan kaku. Orang-orang memandangnya sejenak, kemudian mulai berbisik dengan teman sebelahnya lagi.Barra melanjutkan, “Saya akan dengan senang hati me
Cinta bukan hal baru Sandra. Dia pernah mengalaminya dulu. Dia juga pernah merasakannya. Dia mencintai seseorang sampai-sampai rela berkoban untuknya, membuang segalanya untuk cinta itu. Namun, apa yang dia dapat kemudian? Tak ada.Meskipun demikian, bukan berarti Sandra tidak percaya lagi akan cinta. Dia hanya takut mencintai lagi. Maka dari itu, ketika sang bos mengungkapkan isi hatinya yang ingin melindungi, Sandra tak mau berharap. Ia tak mau sakit hati lagi.Hari masih sore ketika Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Saat melewati meja informasi, Gladis memanggilnya.“Ada apa, Dis?” tanya Sandra mendekat.Dengan senyum ramah, gadis itu mengeluarkan sebungkus kotak kecil dengan pita menghiasi atasnya dari laci. Ia mengulurkan kotak tersebut kepada Sandra. “Selamat ulang tahun, Mbak.”“Oh!” Saking sibuknya, Sandra sendiri lupa hari ini adalah ulang tahunnya. Ia menerima kotak itu dengan haru. “Makasih.”“Tapi ini bukan dari saya.” Gladis terkikik.Sandra mengernyit. Ia mengamati