“Trus, kita harus gimana nih, Pak?” tanya Sandra setelah tawanya mereda.Barra mengedikkan bahu. “Mau gimana lagi? Kita harus lanjut.” Dia menunjuk ke arah jembatan yang menunggu untuk dilewati.Sandra cemberut. “Nggak bisa balik aja ya, Pak?” tanyanya penuh harap.“Bisa, tapi di depan jembatannya lebih pendek.”Wanita itu mengamati kedua jembatan dan membandingkannya. Benar kata atasannya. Jembatan di depan lebih pendek ketimbang jembatan yang barusan ia lewati.Sebuah ide meluncur dari bibirnya, “Gimana kalau kita teriak aja, Pak. Minta tolong penjaga hutan.”Bara menaikkan alisnya satu. Ia memandang Sandra seolah mengatakan bahwa idenya amat buruk. Namun, yang keluar dari bibirnya adalah, “Coba aja.”Wanita itu kecewa. Ia tak memiliki pilihan selain menghadapi jembatan gantung. Bahunya melorot lesu. Ia ikut duduk bersama Barra, menyandarkan punggungnya ke batang pohon, berhadapan dengan lelaki itu.“Loh, kok malah duduk?” Mata cokelat Barra mengamati. “Katanya mau teriak minta tolo
Keesokan harinya, Sandra izin tidak masuk kerja. Ia kelelahan. Barra pun datang setelah makan siang. Di kantor hanya ada Wuri. Wanita itu tampak sibuk merevisi notulen yang dikirim Sandra tadi pagi ke email-nya.Teleponnya berdering ketika ia memperbaiki susunan kalimat dalam laporan.“Ya, Pak?” sapanya ketika tahu lampu interkom yang berkedip.“Kamu sudah baca e-mail yang dikirim oleh seketaris dewan ireksi?” Suara Barra terdengar lelah.“Wah, belum tuh, Pak,” sahutnya dengan kening mengernyit. Tangannya sibuk menekan tetikus, menutup lembar kerjanya sementara dan berpindah membuka surat elektronik. Ia mengeklik surat yang baru masuk, membacanya singkat dan ternganga. “Rapat tahunan dipercepat, Pak?”“Yup! Aku juga kaget. Pasti ada sesuatu.” Suara bosnya membuat Wuri penasaran.“Jangan-jangan ....” Wanita itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya.“Nggak usah suudzon. Yang penting laporan untuk presentasi kita sudah selesai, kan?”Sang seketaris pun sedikit panik. “Masih 75% sih, Pak.”
“Maksudnya apa nih, Pak?” Sandra mengirimkan pesan ke atasannya. “Kok pakai minta maaf segala?”Wanita itu mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja dengan gelisah. Ia menunggu balasan. Namun, sekian menit berlalu, tak ada jawaban dari bosnya. Mungkin bosnya sedang fokus bekerja, pikirnya. Jadi, tak memperhatikan ponsel. Nanti kalau ada kesempatan bersama ia akan bertanya secara langsung, putusnya kemudian.Ia kembali merevisi notulennya.Mendadak, interkom berdering. Sandra memencet tombol speaker dan suara Barra terdengar jelas dari sana. “Hari ini ada jadwal bertemu klien, kan?”“Iya, Pak!” Sandra dan Wuri menjawab bersamaan. Mereka berpandangan sekilas sebelum kembali fokus pada telepon.“Bisa nggak minta dipercepat? Soalnya aku ada acara makan siang nanti,” lanjut suara dari interkom.“Saya hubungi klien dulu, Pak,” jawab Sandra kemudian. Setelah memutus sambungan, ia menelepon klien dan mengonfirmasi permintaan bosnya. Seusai mendapat jawaban, ia menelepon bosnya. “Bisa, Pak. Jadwal
Bak disambar petir di siang bolong, Barra terkejut bukan main. Tadinya ia sengaja tak langsung membalas pesan Sandra. Bukan berarti ia kejam. Hanya saja, ia tak tahu harus berkata apa. Ia malu mengungkit-ungkit peristiwa di atas jembatan gantung kemarin.Sebenarnya ia berencana mengajak Sandra makan siang tadi, untuk ganti ucapan permintaan maafnya. Maka dari itu ia meminta jadwal pertemuannya dimajukan. Namun rupanya, pertemuan itu sedikit alot. Kliennya meminta hal yang mustahil, sehingga Barra harus mencari jangan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak. Alhasil, ia baru kembali saat jam makan siang. Ditambah orang yang mendampinginya bukan Sandra, jadilah ia mengajak Wuri makan siang sekalian sebelum kembali ke kantor.Barra tak menyangka bahwa kelambatannya dalam membalas pesan dan kegagalannya mengajak Sandra makan siang membuat wanita itu tersakiti sampai-sampai menangis di balik pintu kantor. Tak hanya itu, Sandra juga mengucapkan keinginannya untuk resign dari perusahaan.
Saat ini perasaan Sandra tak dapat ditebak. Ia merasa marah atas perlakuan Wulan yang tidak adil terhadapnya, tetapi juga kasihan karena mendadak dia dipecat seperti itu. Jika ada di posisi wanita itu, ia pasti juga tidak terima dipecat hanya karena tidak memasukan nomor salah satu pegawai ke grup WA kantor. Itu tidak masuk akal. Namun rupanya bukan hanya itu yang menjadi alasan Barra untuk memecatnya.Wulan sendiri, yang kini mengetahui sumber masalahnya pun dengan licik mencari celah untuk membalikkan keadaan. Ia beralih pada Barra dan berkata, "Pak, jangan percaya dengan rubah ini, Pak!” Ia menunjuk Sandra. “Saya nggak tahu dia ngomong apa aja tentang saya, tetapi itu nggak benar."“Saya bukan rubah!” Jelas, Sandra marah dikata hewan.“Trus apa? Anj*ng?” Wulan memelotot.“Sssh .... Jangan bersikap kurang ajar di kantor!” tegur Barra kemudian.“Tapi, Pak, dia—“ Wulan mengadu.“Dia yang—“ Sandra ikut-ikutan.Namun, dengan tegas Barra memotong ucapan mereka berdua. “Tutup mulut kalian
Beberapa waktu lamanya Bara dan Sandra membisu. Kontor itu terasa hening. Dengung dari mesin pendingin terdengar lembut.“Bapak yakin mau memecat Wulan?” tanya Sandra kemudian. Ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya.“Aku nggak bisa bekerja dengan orang-orang munafik.”Deg! Jantung Sandra lansung mencelus. Kata munafik yang diucapkan lelaki itu seolah menamparnya. Apa bedanya ia dengan Wulan? Batinnya bertanya-tanya. Kalau dipikir-pikir, Sandra juga munafik. Tapi, tidak. Dia tidak munafik.Sandra tidak sama dengan Wulan. Ia hanya menyembunyikan sesuatu dari Barra. Bukankah setiap manusia memiliki rahasia? Sandra membela diri.“Saya nggak menyangka Wulan menyebar isu tentang Bapak yang gay,” ujarnya lagi.Barra mendesah. “Aku juga nggak tahu. Tetapi kemarin waktu kita ke Kalimantan, seseorang memberitahuku.”Sandra tergoda untuk bertanya siapa, tetapi ia urungkan niatnya mencari tahu. Ia diam, membiarkan Barra bercerita sendiri. Ia tak mau ikut campur urusan yang begitu.Sepertinya
Seminggu lagi telah terlewati hingga sampailah pada hari di mana rapat tahunan berlangsung. Dari pagi, Sandra sudah disibukkan oleh telepon. Bahkan dari kemarin ia sibuk sampai-sampai lupa makan. Malamnya pun ia tidur dengan tak nyenyak. Ia takut lupa melakukan sesuatu. Berulang kali ia meneliti pekerjaannya. Dan begitu yakin semua sudah pada tempatnya ia baru bisa tidur.Berbeda dengannya, Barra tampak sangat tenang. Ia berjalan dengan percaya diri ke tempat rapat itu berangsung. Kacamata terpasang di wajahnya, dengan bingkai emas tipis yang tampak sangat elegan.“Saya nggak tahu Bapak pakai kacamata,” bisik Sandra berjalan di samping bosnya. Mereka baru saja masuk lift, naik ke tempat rapat itu diadakan. Wuri sudah menunggu di sana.“Ini namanya gaya. Biar kelihatan intelek.”Sandra tertawa. Namun, tawanya terdengar gugup karena ia memang tengah gugup. Wanita itu pernah ikut ke dalam rapat tahunan, tetapi bukan rapat tahunan yang dilakukan oleh para dewan. Ia seringnya ikut ke dalam
Perdebatan itu belum juga usai sampai satu jam lamanya. Masing-masing orang mempertahankan pendapatannya.Anggota dewan yang menentang usul untuk mengganti Barra tentu saja Bu Dina dan beberapa dewan yang lain. Mereka merasa puas dengan kinerja Barra selama ini, apalagi dilihat dari grafik laba yang ditampilkannya tadi.“Bapak jangan lihat dari tampilannya, yang penting isinya. Kan sudah dijelaskan secara rinci bahwa dalam beberapa tahun ke belakang, progres pertumbuhan laba di perusahaan menanjak terus,” jelas Bu Dina. “Masalah pakai aplikasi apa dalam presentasi ini kan nggak penting. Yang penting kita mudeng. Ya, nggak?” Dia meminta dukungan. Tak sedikit yang setuju dengannya.“Ini bukan karena Barra anakku lho, ya!” tegasnya kemudian.“Betul. Saya setuju dengan Bu Dina. Sudah lama saya menjadi anggota dewan direksi. Saya tahu dengan pasti perkembangan perusahaan ini. Dan harus saya katakan dengan jujur bahwa setelah dipimpin oleh Barra perusahaan berkembang pesat.” Seorang anggota