Saat ini perasaan Sandra tak dapat ditebak. Ia merasa marah atas perlakuan Wulan yang tidak adil terhadapnya, tetapi juga kasihan karena mendadak dia dipecat seperti itu. Jika ada di posisi wanita itu, ia pasti juga tidak terima dipecat hanya karena tidak memasukan nomor salah satu pegawai ke grup WA kantor. Itu tidak masuk akal. Namun rupanya bukan hanya itu yang menjadi alasan Barra untuk memecatnya.Wulan sendiri, yang kini mengetahui sumber masalahnya pun dengan licik mencari celah untuk membalikkan keadaan. Ia beralih pada Barra dan berkata, "Pak, jangan percaya dengan rubah ini, Pak!” Ia menunjuk Sandra. “Saya nggak tahu dia ngomong apa aja tentang saya, tetapi itu nggak benar."“Saya bukan rubah!” Jelas, Sandra marah dikata hewan.“Trus apa? Anj*ng?” Wulan memelotot.“Sssh .... Jangan bersikap kurang ajar di kantor!” tegur Barra kemudian.“Tapi, Pak, dia—“ Wulan mengadu.“Dia yang—“ Sandra ikut-ikutan.Namun, dengan tegas Barra memotong ucapan mereka berdua. “Tutup mulut kalian
Beberapa waktu lamanya Bara dan Sandra membisu. Kontor itu terasa hening. Dengung dari mesin pendingin terdengar lembut.“Bapak yakin mau memecat Wulan?” tanya Sandra kemudian. Ada sedikit keraguan dalam nada bicaranya.“Aku nggak bisa bekerja dengan orang-orang munafik.”Deg! Jantung Sandra lansung mencelus. Kata munafik yang diucapkan lelaki itu seolah menamparnya. Apa bedanya ia dengan Wulan? Batinnya bertanya-tanya. Kalau dipikir-pikir, Sandra juga munafik. Tapi, tidak. Dia tidak munafik.Sandra tidak sama dengan Wulan. Ia hanya menyembunyikan sesuatu dari Barra. Bukankah setiap manusia memiliki rahasia? Sandra membela diri.“Saya nggak menyangka Wulan menyebar isu tentang Bapak yang gay,” ujarnya lagi.Barra mendesah. “Aku juga nggak tahu. Tetapi kemarin waktu kita ke Kalimantan, seseorang memberitahuku.”Sandra tergoda untuk bertanya siapa, tetapi ia urungkan niatnya mencari tahu. Ia diam, membiarkan Barra bercerita sendiri. Ia tak mau ikut campur urusan yang begitu.Sepertinya
Seminggu lagi telah terlewati hingga sampailah pada hari di mana rapat tahunan berlangsung. Dari pagi, Sandra sudah disibukkan oleh telepon. Bahkan dari kemarin ia sibuk sampai-sampai lupa makan. Malamnya pun ia tidur dengan tak nyenyak. Ia takut lupa melakukan sesuatu. Berulang kali ia meneliti pekerjaannya. Dan begitu yakin semua sudah pada tempatnya ia baru bisa tidur.Berbeda dengannya, Barra tampak sangat tenang. Ia berjalan dengan percaya diri ke tempat rapat itu berangsung. Kacamata terpasang di wajahnya, dengan bingkai emas tipis yang tampak sangat elegan.“Saya nggak tahu Bapak pakai kacamata,” bisik Sandra berjalan di samping bosnya. Mereka baru saja masuk lift, naik ke tempat rapat itu diadakan. Wuri sudah menunggu di sana.“Ini namanya gaya. Biar kelihatan intelek.”Sandra tertawa. Namun, tawanya terdengar gugup karena ia memang tengah gugup. Wanita itu pernah ikut ke dalam rapat tahunan, tetapi bukan rapat tahunan yang dilakukan oleh para dewan. Ia seringnya ikut ke dalam
Perdebatan itu belum juga usai sampai satu jam lamanya. Masing-masing orang mempertahankan pendapatannya.Anggota dewan yang menentang usul untuk mengganti Barra tentu saja Bu Dina dan beberapa dewan yang lain. Mereka merasa puas dengan kinerja Barra selama ini, apalagi dilihat dari grafik laba yang ditampilkannya tadi.“Bapak jangan lihat dari tampilannya, yang penting isinya. Kan sudah dijelaskan secara rinci bahwa dalam beberapa tahun ke belakang, progres pertumbuhan laba di perusahaan menanjak terus,” jelas Bu Dina. “Masalah pakai aplikasi apa dalam presentasi ini kan nggak penting. Yang penting kita mudeng. Ya, nggak?” Dia meminta dukungan. Tak sedikit yang setuju dengannya.“Ini bukan karena Barra anakku lho, ya!” tegasnya kemudian.“Betul. Saya setuju dengan Bu Dina. Sudah lama saya menjadi anggota dewan direksi. Saya tahu dengan pasti perkembangan perusahaan ini. Dan harus saya katakan dengan jujur bahwa setelah dipimpin oleh Barra perusahaan berkembang pesat.” Seorang anggota
Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. Bokongnya bersandar pada pinggiran meja. Ia tampak lelah. Selain itu, ia juga tak habis pikir alasan Wuri nekat menyabotase presentasinya. Bukankah selama ini Wuri selalu berada di belakangnya? Wanita itu selalu mendukungnya, bukan? Apakah dia sudah berkhianat? Barra tak bisa membayangkan hal itu terjadi.Bagaimana tidak? Menurutnya seorang pemimpin yang tidak lagi memiliki kesetiaan anak buah tidak patut disebut pemimpin.“Mengapa kamu melakukan hal ini?” tanyanya menatap Wuri dengan pandangan terluka. Ia menaruh kedua tangannya di bahu wanita itu, berharap mendapatkan kebenaran. “Seketika, wanita itu mendongak. Matanya berkaca-kaca. Ia menggeleng kuat-kuat. “Enggak. Aku nggak bermaksud—““Lalu apa? Coba jelaskan?”Wuri menelan ludah dengan susah payah. “Aku .... Aku nggak mau dipecat.”Barra mengernyit. “Siapa yang ingin memecatmu? Kau itu bekerja di bawah wewenangku. Kalau ada yang memecatmu itu hanya aku. Sama seperti Sandra.”“Itu
Sandra bingung harus senang atau sedih diperebutkan dua lelaki tampan. Satu sisi ia senang ada orang yang menginginkannya, namun di sisi lain ia sadar mereka merebutkannya bukan karena prestasi. Mereka hanya saling membenci dan entah bagaimana berhasil membuat Sandra bekerja di bawah wewenang mereka merupakan sebuah kemenangan.Wanita itu tak tahu sifat Brian. Pasalanya ia hanya sempat mengobrol selama lima menit, dan obrolannya pun hanya tentang nama. Meski Barra berkata bahwa dia bukan lelaki baik, tetap saja Sandra belum merasakan sendiri bekerja di bawah lelaki itu. Namun demikian, bukan berasti ia mau bekerja di bawah naungan Brian. Ia lebih suka menjadi asisten Wuri. Apalagi wanita itu kini bersikap baik kepadanya. Jadi ketika Brian memintanya menjadi seketaris, ia menolak. Ia juga tak yakin lelaki itu dapat melaksanakan ancamannya. Pasalanya, Barra lebih berkuasa. Dia CEO. Dan dengan tegas, dia berkata bahwa yang dapat memecat Sandra hanya Barra. Namun rupanya ia keliru.Esokn
Sandra harap ia dapat mengetahui rancangan rencana Brian dalam memajukan perusahaan untuk menyaingi Barra. Ia bertekad membantu Barra. Ia tak mau perusahaan itu jatuh je tangan Brian. Sebab, ia percaya perusahaan itu bakal bangkrut kalau hal itu sampai terjadi.Namun, setelah seminggu bersama lelaki itu, Sandra tak mendapatkan apa-apa. Kegiatan Brian bisa dibilang hanya foya-foya saja. Kalau siang selain ngegim di kantor, lelaki itu keluar menghadiri pesta amal. Malamnya pun ia bersenang-senang ke pesta para kenalan. Dan dalam kegiatannya, ia menggeret Sandra bersamanya.Pernah suatu ketika wanita itu menolak.“Mas (Brian acapkali memaksa Sandra memanggilnya Mas, bahkan menskors Sandra sehari karena nekat memanggilnya Pak sampai wanita itu menyerah dan akhirnya menurut memanggilnya Mas), saya capek banget. Malam ini saya nggak bisa menemani.”“Kamu mau diskors lagi?”Terpaksa Sandra mengikuti bos barunya itu. Dan setiap pesta, Brian berakhir dengan mabuk-mabukan. Sandra jugalah yang
Pesta itu bukan pesta biasa. Diselenggarakan di rooftop sebuah hotel bertingkat puluhan. Malam itu cuaca bersahabat, tak ada mendung. Awan pun tak ada. Alhasil bintang-bintang tampak bergemelapan di atas gedung.Sebelum tiba pada waktu yang dijanjikan, Brian menelepon Sandra. Ia berniat menjemput wanita itu tetapi Sandra menolak.“Tapi aku udah di depan gang rumahmu.”Sandra mendengkus kesal. Ia ketahuan tak mengenakan gaun yang dibelikan Brian, sehingga membuat lelaki itu kecewa.“Ya sudah, nggak usah berangkat aja. Biar kukirim fotomu dan Barra ke Dad.”Terpaksa, Sandra berganti pakaian. Setelah masuk ke mobil, wanita itu menggerutu. Ia meminta Brian menepati janji dan laki-laki itu pun menurut. Ia menyerahkan sebuah kartu MicroSD, laptop, dan ponsel untuk dicek Sandra.“Bener nih, nggak ada yang lainnya?” tanya wanita itu menekan tombol hapus permanen dan mengosongkan file.Brian mendengkus. “Aku memang licik, tetapi aku adalah lelaki yang pantang ingkar janji.”Setelah yakin semua