Setelah kejadian penyelamatan itu, Dante mengetahui bahwa NEXUS telah berhasil mempertahankan rekaman dari semua CCTV di area kejadian, meskipun rekaman itu sengaja di hilangkan atas perintah seseorang. NEXUS, dengan kemampuan canggihnya, merekam setiap detail dari kejadian, termasuk wajah-wajah para penyerang dan aksi heroik Dante.
Ketika rekaman itu akhirnya diputar oleh otoritas penjara, tidak ada keraguan mengenai identitas para pelaku. Setiap tahanan yang terlibat dalam serangan terhadap Lorenzo dikenali dengan jelas. Mereka tidak bisa mengelak, dan sanksi hukuman segera menimpa mereka. Namun, malam itu juga, keadilan yang lebih kelam datang menjemput mereka. Di tengah kegelapan malam, masing-masing tahanan yang terlibat dalam serangan terhadap Lorenzo ditemukan tewas di dalam sel mereka. Mereka tidak dibiarkan mati dengan cara yang mudah, beberapa di antaranya dicekik, sementara yang lain menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang brutal. Investigasi awal tidak menemukan tanda-tanda perlawanan atau keterlibatan penjaga, yang berarti pembunuhan ini dilakukan oleh orang-orang yang sangat terampil, orang-orang yang setia pada Lorenzo. Kabar tentang kematian para penyerang menyebar dengan cepat di dalam penjara. Semua orang tahu siapa yang bertanggung jawab, meskipun tidak ada yang berani mengatakannya secara terbuka. Itu adalah peringatan keras bagi siapa saja yang berniat melawan Lorenzo, bahkan di balik jeruji besi, kekuasaan dan pengaruhnya tidak bisa diabaikan. Setelah kejadian itu, Lorenzo mulai memandang Dante dengan cara yang berbeda. Apalagi setelah dia secara diam-diam menyelidiki asal usul dan riwayat hidup Dante sebagai seorang jaksa yang berakhir di penjara. Karena sebuah skema. Bukan hanya sekadar seorang tahanan atau teman satu sel, Lorenzo kini menganggap Dante sebagai adiknya. Keberanian dan kemampuan yang ditunjukkan Dante dalam situasi berbahaya tersebut membuat Lorenzo yakin bahwa Dante adalah seseorang yang bisa dipercaya dan diandalkan. Pengaruh Dante tidak hanya dirasakan oleh Lorenzo, tetapi juga oleh semua tahanan yang setia kepadanya. Secara bertahap, mereka mulai menunjukkan sikap hormat kepada Dante, mengakui bahwa dia bukanlah seseorang yang bisa diremehkan. Dalam waktu singkat, Dante yang sebelumnya dianggap lemah dan tidak berdaya, kini dipandang sebagai bagian dari lingkaran dalam Lorenzo. Dengan NEXUS di sisinya semua akan lebih mudah. Kekuatannya terus tumbuh, begitu pula pengaruhnya di dalam penjara. *** Malam itu, suasana di dalam penjara berbeda dari biasanya. Penjaga-penjaga yang biasanya ketat dan dingin, terlihat lebih longgar, seolah ada sesuatu yang membuat mereka lebih santai. Di sudut penjara, di sebuah ruangan yang lebih bersih dan luas daripada sel-sel biasa, Lorenzo duduk di atas sofa kulit yang terlihat mewah untuk ukuran penjara. Dua gadis cantik dengan gaun yang memukau dan sexy tampak sedikit canggung di tengah lingkungan yang asing. Di ruangan itu hanya ada mereka berempat. Seorang gadis berada di pelukan Lorenzo, dan satu orang lagi berdiri di samping mereka. Lorenzo menatap Dante yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu dengan tatapan penuh penghargaan. "Dante saudaraku, aku belum sempat mengucapkan terima kasih yang pantas untukmu," ujar Lorenzo dengan suara berat namun hangat. "Kau telah menyelamatkan hidupku, dan untuk itu, aku ingin memberikan sesuatu yang spesial." Dante memandang gadis yang sedang berdiri dengan sedikit bingung. "Tuan Lorenzo apa maksud anda?" Tanya Dante sambil sedikit terbatuk dan memegang dadanya. Wajahnya terlihat menahan sakit. Dia harus berakting menjadi seorang penyakitan, karena rusuknya yang retak dan belum diobati. Semua orang menganggap itu suatu keajaiban. Tapi terkadang Dante lupa jika dia harus terlihat sakit. Selalu Nexus yang mengingatkannya. Lorenzo menghisap cerutunya dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Dante, kita sudah bersumpah sebagai saudara. Kenapa kau masih memanggilku Tuan?” “Maaf kak, aku hanya belum terbiasa,” jawab Dante sedikit terbatuk. Lorenzo tersenyum lebar, matanya berbinar dengan kesenangan. "Baiklah aku mengerti. Aku sudah memesan obat untukmu, aku yakin kau bisa sembuh,” Lorenzo mengetuk abu pada asbak. “Tapi bagaimanapun juga kau harus menerima hadiahku, Dante. Gadis cantik ini aku memesannya sendiri dari ibukota. Jangan kuatir, dia masih bersegel. Aku tidak mungkin memberikan barang bekas kepada adik sekaligus penyelamatku. Dia di sini untuk menghiburmu, menghilangkan sedikit beban di bahumu. Malam ini, dia milikmu. Nikmatilah.” Lanjut Lorenzo. Gadis itu mendekat, dia memeluk lengan Dante dengan lembut. Meski sedikit ragu, Dante bermaksud untuk menolak secara halus. Namun, aura ketulusan dari gadis itu, Dante bisa merasakannya. Dia di sini bukan atas kemauan sendiri, tapi karena dia mengerti siapa yang sedang dilayani. “Tapi kak, aku…” Dante terbatuk. “Kakak tahu bagaimana keadaan fisikku, bukan aku tidak mau…” “Sst…” Lorenzo meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri. “Gadis cantik, malam ini layani adikku dengan baik. Kau yang harus bekerja keras, jangan sampai adikku kelelahan, kau mengerti?” Gadis itu mengangguk dengan patuh. Lorenzo melambaikan tangannya, dan penjaga yang baru saja masuk mengantar Dante dan gadis itu ke sebuah pintu di belakang mereka. "Ruangan ini telah aku siapkan khusus untukmu. Aman, nyaman, dan jauh dari gangguan. Nikmatilah, Saudaraku. Ini hanya bagian kecil dari rasa terima kasihku." Kata Lorenzo Dante terdiam sejenak, memikirkan tawaran yang ada di depannya. Dia tahu apa yang dilakukan Lorenzo, mencoba membangun ikatan dan kepercayaan yang lebih dalam antara mereka. Dan meskipun hatinya masih penuh dengan amarah dan keinginan untuk balas dendam, Dante mengerti permainan ini. Dia tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Kau benar-benar tahu cara memberi hadiah, kak Lorenzo," jawab Dante dengan suara rendah, akhirnya memutuskan untuk menerima tawarannya. Gadis itu tersenyum, sementara Lorenzo tertawa kecil, merasa puas karena telah memperlakukan Dante dengan cara yang sesuai dengan caranya. Ruangan itu memiliki satu tempat tidur queen size, dengan fasilitas lengkap, dengan kamar mandi. Hanya ada mereka berdua. Dante merasa gugup. Selama 26 tahun hidupnya hanya fokus diisi dengan belajar dan mengejar karir. Tidak ada waktu untuk pacaran dan mengejar para gadis. Singkatnya, dia belum pernah melakukannya. “Ruangan ini bersih Dante, tidak ada kamera tersembunyi.” Jelas Nexus. “Apa kau ingin privasi? Aku bisa mematikan sistem dan membiarkan kalian berdua.” “Apa maksudmu?” Saat Dante berbalik, dia terkejut, “Tunggu sebentar, eh, bagaimana kalau kita ngobrol dulu?” Kata Dante gugup sambil memalingkan wajah, ini pertama kalinya dia melihat seorang gadis hanya memakai handuk. Gadis itu teringat pesan bos besar, jadi dia mulai bertindak agresif. Tubuh Dante di dorong ke belakang, membuat kasur bergoyang. Lalu dia merangkak di atasnya. “Dengar Tuan, jika kau menolak, maka mereka tidak akan membayarku. Saat ini aku sedang butuh uang,” kata gadis itu sambil meletakkan jarinya di bibir Dante mencegahnya untuk bicara.Lorenzo pemimpin organisasi mafia internasional, selain memiliki kekayaan yang luar biasa, dia juga mempunyai pengaruh yang besar di dalam penjara. Tidak hanya sebatas pada orang-orang kepercayaan dan yang setia padanya saja, tapi para sipir penjara yang sudah sering menikmati uang pelicin darinya. Karena hal itu ia bisa dengan mudah mendapatkan berbagai ‘fasilitas’ untuk menjaga kenyamanan dirinya dan semua orang kepercayaannya. Salah satu fasilitas tersebut adalah bisa mendatangkan wanita penghibur terbaik yang dipilih khusus dari luar penjara. Lorenzo dan orang-orangnya juga mendapatkan fasilitas kamar mewah layaknya hotel di dalam penjara sebagai tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis mereka. Tentu saja semua fasilitas tersebut tidak didapat dengan cuma-cuma. Lorenzo harus membayar sejumlah besar uang kepada pihak penjara. Dan hari ini, Lorenzo menghadiahkan seorang wanita penghibur untuk menemani Dante. Ruangan sudah diatur sebaik mungkin agar aman dan nyaman. Walaupun
Dante Corsetti adalah pria yang bisa membuat siapapun terhenti sejenak hanya dengan melihatnya. Tubuhnya adalah perpaduan sempurna antara kekuatan dan ketegasan, seperti pahatan marmer yang dibuat dengan keahlian luar biasa. Tingginya sekitar 190 cm dengan otot yang terbentuk sempurna, setiap lekuk tubuhnya menunjukkan dedikasi yang tak tertandingi terhadap disiplin dan latihan fisik. Bahunya lebar, punggungnya kuat dan kokoh, sementara perutnya berotot dengan guratan otot yang tampak jelas, seperti potongan garis halus pada tubuh seorang dewa kuno. Kulitnya kecoklatan, hasil dari aktivitas luar yang mempertegas aura maskulinnya. Wajah Dante adalah karya seni tersendiri, rahangnya tegas dengan garis yang tajam, memberikan kesan pria yang dominan namun penuh kendali. Hidungnya lurus, seolah menambah proporsi sempurna pada wajahnya, sementara bibirnya tipis namun terbentuk dengan baik, memberikan sedikit senyuman misterius yang membuat orang lain ingin lebih mengenalnya. Yang palin
“Melakukannya langsung lebih sulit dari yang terlihat di film-film. Apa tidak ada cara lain?” Tanya Dante sambil terus berusaha menaklukan Sofia dengan ciumannya. “Kau bisa mengorek mulutnya dan mengeluarkan benda itu dengan tanganmu?” “Terima kasih atas sarannya.” “Sama-sama.” Dante tidak pernah punya pengalaman dalam hal-hal intim semacam itu. Keinginannya untuk tetap memegang kendali membuatnya enggan melakukan sesuatu yang tidak ia kuasai. Namun, dalam situasi ini, Dante tidak punya pilihan lain. "Nexus, segera tambahkan program seni berciuman," bisik Dante dalam pikirannya. "Aku butuh kemampuan untuk bisa melakukannya dengan sempurna. Membuat orang yang melakukannya denganku merasa seperti terhipnotis." Hitungan detik, Nexus merespons. "Program tersinkronisasi. Kamu sekarang memiliki pengetahuan dan keterampilan teknik ciuman yang diinginkan." Dante merasa aliran informasi yang tiba-tiba mengisi otaknya, tentang teknik-teknik, nuansa sentuhan, dan cara membuat seseorang s
Dante merasa simpati yang samar. Meskipun Sofia adalah agen, ia tidak bisa menampik bahwa Sofia tampak seperti seseorang yang juga terjebak dalam permainan yang lebih besar dari yang terlihat.Dante menghentikan ciumannya dengan anggun dan membuat Sofia tetap dalam pesona Dante, pikirannya berputar dengan cepat memikirkan langkah berikutnya. Alat penyadap itu kini menjadi kunci, bukan hanya untuk mengungkap Sofia sebagai agen, tetapi juga untuk menguak siapa sebenarnya yang menarik tali di balik layar.=====Sofia tidak ingin ciuman mereka berakhir. Saat mereka berdua terus berinteraksi, Nexus tak henti-hentinya mengirimkan data rinci ke otak Dante. "Analisis lanjutan terhadap perangkat penyadap sedang berlangsung," kata Nexus di dalam pikiran Dante, memberikan peringatan tanpa suara. Karena informasi atau Sofia yang semakin agresif, Dante merasakan detak jantungnya semakin cepat. Wajahnya tetap tenang, tak memperlihatkan apapun kepada Sofia. Tangan Dante menyelinap masuk ke dalam
Namun sekarang bukan waktunya untuk menikmati keindahan! Karena waktu terus berjalan. “20 menit lagi, Dante kau harus fokus!” Nexus mengingatkan. “Aku sudah tahu, dasar cerewet.” Sedetik kemudian Dante dengan sengaja menyentuh daun telinga Sofia dengan bibirnya, lalu meluncur turun dari telinga ke leher lalu berhenti di bawah tulang selangka, dimana terletak alat penyadap pertama. Prosesnya sedikit rumit karena kedua dada Sofia memiliki bentuk bulat sempurna. Dante berusaha menghindari kedua benda berbahaya itu, namun, sentuhan dan gesekan selalu terjadi. Sebagai pria normal, Dante berulang kali gagal fokus. Nexus yang selalu berteriak di dalam kepalanya. Suaranya seperti seorang pacar yang sedang cemburu, sangat berisik. Sentuhan bibir Dante menimbulkan sensasi tidak terduga untuk Sofia hingga membuatnya mendesah. Dan saat Dante menggigit alat penyadap yang tertanam di bawah kulit Sofia, gadis itu mengerang pelan. Setelah berhasil mengeluarkan alat penyadap pertama, bi
“Tuan tenang saja, bos besar menyuruhku untuk melayanimu, jadi… itu yang akan aku lakukan. Tuan cukup berbaring dengan manis dan menikmatinya.” Ucap Sofia dengan suara yang bisa membuat tubuh pria manapun yang mendengarnya menjadi jelly.“Tapi Nona…”Telunjuk Sofia menekan bibir Dante menahannya bicara. “Bos besar sedang menguping di balik pintu, jadi sebaiknya Tuan patuh.”“Nexi, apa itu benar?”“Benar. Lorenzo sudah berada di sana sejak sepuluh menit yang lalu. Sofia mengetahuinya mungkin karena melihat bayangan yang bergerak di bawah pintu.”“Tapi, bagaimana kau tahu jika Lorenzo yang berada disana? Kau hanya ingin membuatku takut.”“Menurutmu… siapa yang cukup punya nyali untuk menguping orang yang sedang bercinta, dan orang itu dipanggil ‘adik’ oleh bos besar? Selain bos besar itu sendiri. Para petugas, hanya tertarik pada uang, agar bisa bermain dengan wanita mereka sendiri.”“Analisa yang hebat.” Pikir Dante.“Bagaimana jika kita pura-pura saja, kau tidak ingin benar-benar mela
Suatu hari, Dante sedang menjalani tugas rutinnya di penjara, membersihkan lorong-lorong suram dan ruang-ruang kecil di sudut-sudut penjara yang jarang dilewati. Meskipun tampak seperti tahanan biasa yang menjalani hukuman, dia selalu waspada. Kecanggihan Nexus memberinya kemampuan untuk memantau setiap situasi dengan detail, dan dia sering memanfaatkan momen kerja bakti seperti ini untuk mendengarkan percakapan dan mempelajari gerak-gerik para tahanan lainnya.Saat sedang menyapu di salah satu lorong dekat ruang pertemuan yang biasanya kosong, Dante melihat beberapa orang yang dikenalnya sebagai orang-orang Lorenzo berkumpul di sudut yang sepi, tampak berbicara dengan serius. Mereka adalah Franco, Rico, dan Sergio, orang-orang kepercayaan Lorenzo yang biasanya menjalankan perintah dengan setia. Tapi hari itu, Dante merasakan ada sesuatu yang berbeda.Biasanya, mereka selalu bergerak bersama Lorenzo atau mengikuti perintah langsung darinya. Namun kali ini, mereka melakukan pertemuan
Dante tersenyum puas, tetapi rencananya belum selesai. Dia memiliki satu kartu lagi yang akan membuat rencana ini semakin sempurna. "Nexi, sekarang gunakan alat penyadap Sofia. Kirimkan informasi yang sama kepada organisasi intelijen yang mempekerjakannya," kata Dante. "Katakan bahwa Lorenzo terlibat dalam transaksi obat terlarang berskala besar. Buat mereka percaya bahwa ini adalah momen untuk menangkap dan menghancurkan organisasi Lorenzo." Nexus langsung mengaktifkan alat penyadap Sofia yang sekarang berada di tangan Dante. Informasi yang sama, transaksi besar Lorenzo, segera dikirimkan ke jaringan intelijen Sofia. Dengan ini, Dante berhasil membuat tiga kekuatan besar, Matteo dan dua organisasi intelijen, bergerak menuju satu tempat yang sama, masing-masing percaya bahwa mereka akan menggagalkan transaksi Lorenzo. “Informasi telah dikirimkan. Intelijen Sofia juga akan mengirimkan tim untuk menggagalkan transaksi ini,” lapor Nexus. Dante menunggu dengan sabar, yakin bahwa
Matteo menghentikan gerakannya, menoleh dengan alis terangkat. Dari kerumunan, seorang pria berlari dengan langkah tidak stabil ke tengah alun-alun. Rambutnya panjang, kusut, menutupi sebagian wajahnya yang kotor. Tapi saat dia mendekat, Matteo terkejut."Lorenzo? Kau masih hidup?" Gumam Matteo dengan nada tidak percaya. Lorenzo berdiri di depan Dante, kedua lengannya terbuka lebar, seperti ingin melindungi sahabatnya. Wajahnya tampak polos, bahkan matanya menunjukkan kebingungan seperti anak kecil. "Tidak! Jangan pukul temanku!" Katanya dengan suara melengking. Dante yang sudah setengah sadar mengangkat kepalanya perlahan, melihat Lorenzo berdiri di depannya. "Enzo…?" Bisiknya pelan, matanya melebar. Matteo menatap Lorenzo dengan ekspresi bingung, lalu tiba-tiba tertawa keras, penuh kemenangan. "Jadi ini benar kau, Lorenzo? Pemimpin besar Serigala Malam? Lihat dirimu sekarang, tidak lebih dari seorang idiot yang bahkan tidak tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri!" Lorenzo
Warga desa menjerit dan menangis, beberapa mencoba berlutut dan memohon kepada Matteo. "Kami tidak tahu apa-apa! Tolong lepaskan kami" Seru seorang pria tua dengan suara bergetar. "Diam!" Bentak Matteo, menendang pria tua itu hingga jatuh ke tanah. Dante, yang bersembunyi di balik tumpukan karung jerami, menahan emosi. Dia mengatur napas, matanya menyipit memandang Matteo dari kejauhan. "Nexus, beri aku rute terbaik untuk mendekatinya, tanpa membahayakan warga desa," bisik Dante dalam hati. "Aku akan mengalihkan perhatian penjaga terdekat," jawab Nexus. "Bersiaplah." Sementara Matteo terus mengancam, Dante memanfaatkan keributan itu untuk melumpuhkan dua penjaga lainnya dengan cepat. Dia bergerak seperti bayangan, melumpuhkan setiap target tanpa suara. Ketika Matteo sadar bahwa hampir semua anak buahnya lenyap, dia menjadi semakin panik dan marah. "Keluar kau, pengecut!" Teriaknya lagi, kali ini sambil melepaskan tembakan ke udara. "Aku pasti akan menangkap dan mencincang
Pagi itu, Lorenzo masih belum sadarkan diri. Alfonso seperti biasa mengganti perban dengan telaten."Dia sangat kuat," ujar Alfonso sambil mengikat perban dengan hati-hati. "Tapi kondisinya tetap harus diawasi. Luka barunya cukup dalam." Dante menghela nafas panjang, "Aku tahu Enzo kuat, tapi tetap saja... melihatnya seperti ini membuatku merasa bersalah."Alfonso menoleh, menepuk bahu Dante dengan lembut. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, anak muda. Kadang, kita hanya bisa menunggu dan berharap."Sambil membereskan kotak obat, Alfonso kembali bicara, “Ngomong-ngomong, tadi di pasar, Rose mendengar berita yang sedang hangat dibahas warga desa, yaitu tentang kediaman Ernesto yang terbakar habis bersama semua penghuninya,” Alfonso melirik Dante, “Alex apa kau yang…”“Kakek, apa menurutmu mereka tidak pantas menerima hukuman dari kejahatan mereka terhadap kalian selama ini?”“Tidak, aku tidak bilang begitu. Justru sebaliknya, apa kau tahu jika warga desa menganggap orang yang sudah
Dante mengangkat kedua tangannya perlahan, tapi matanya tetap menatap Ernesto tanpa rasa takut. "Kau lupa satu hal, Ernesto," kata Dante dengan suara rendah. "Untuk menghadapi orang sepertimu, aku tidak pernah bermain adil." Detik berikutnya, lampu di ruangan itu mendadak padam, suasana menjadi gelap gulita, dan suara perintah dari Nexus terdengar di kepala Dante. "Sekarang!" Kemampuan indra penglihatan Dante yang bisa melihat dalam gelap kembali aktif.Pertarungan sengit pun dimulai, Dante bergerak cepat seperti hantu di antara bayangan samar, anak buah Ernesto tumbang satu per satu, sementara Nexus terus memandu langkahnya. Meski kalah jumlah, Dante tidak akan menyerah sampai Lorenzo aman. “Kalian sudah melihat wajah Lorenzo, hanya mayat yang tidak akan banyak bicara. Jadi kalian semua harus mati,” gumam Dante.Dante memanfaatkan amunisi dan bahan peledak yang disimpan di kediaman Ernesto. Setelah memastikan Lorenzo berada di tempat aman, Dante menyalakan sumbu peledak dan me
Langkah Dante dan Mariana terhenti ketika melihat sesuatu yang tidak biasa. Pintu rumah terbuka lebar, dan barang-barang terlihat berserakan di halaman depan. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Tanya Mariana dengan suara gemetar. Dante mempercepat langkahnya, meletakkan belanjaan di teras, dan langsung menuju pintu masuk. "Tetap di belakangku," katanya tegas, melindungi Mariana dari kemungkinan bahaya. Saat mereka masuk, pemandangan di ruang tamu membuat Dante terkejut. Meja kayu kecil terbalik, kursi-kursi berserakan, dan beberapa pecahan gelas berserakan di lantai. Tidak jauh, Alfonso tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka dan napas tersengal. "Kakek!" Dengan panik Mariana berlari mendekat, berlutut di samping Alfonso. Rose, yang duduk di lantai memegangi kepala Alfonso di pangkuannya, menangis tersedu-sedu. "Mereka datang secara tiba-tiba... mereka melukai Alfonso dan mengambil Enzo," katanya dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Tanya Dante sambil mem
"Aku tidak akan ke mana-mana," jawab Dante sambil duduk di kursi dekat kasur.Dalam pikirannya, Dante bertanya lagi pada Nexus. "Apa yang bisa aku lakukan agar dia cepat sembuh?""Beri dia waktu," jawab Nexus. "Semakin sering dia merasa aman, semakin cepat otaknya akan pulih. Tapi ini bukan proses yang instan." Dante menghela napas panjang, menatap Lorenzo yang perlahan tertidur dengan ekspresi damai dan polos. "Kau adalah Lorenzo yang legendaris, kenapa jadi begini?" gumamnya pelan. "Aku janji akan membantumu kembali menjadi dirimu kembali." ***Pagi itu, Dante berdiri di samping Lorenzo, menatap sahabat sekaligus bosnya yang kini tampak begitu berbeda. Lorenzo masih memeluk lututnya, wajahnya menatap ke jendela dengan ekspresi polos, seperti anak kecil yang tidak peduli pada dunia. "Ayo, Enzo," ujar Dante sambil menepuk pundaknya dengan lembut. "Kita perlu membersihkan badanmu hari ini." Lorenzo mengalihkan pandangan, wajahnya terlihat bingung. "Mandi?" Tanyanya dengan suara
Pria itu mendengus kesal, lalu memutar badan dan pergi, meninggalkan kedua anak buahnya yang masih tergeletak. "Bawa mereka!" Perintahnya kepada anak buah lain yang menunggu di pinggir desa. Setelah para preman pergi, Dante mengikuti keluarga Alfonso masuk ke dalam rumah. Kakek mengunci pintu dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kekhawatiran. Di ruang tengah, mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil. "Bisakah kakek memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Dante. Alfonso menghela napas panjang, menatap Mariana yang masih menangis ketakutan di pelukan neneknya. "Mereka adalah anak buah Don Ernesto, seorang saudagar kaya yang memiliki banyak kekuasaan di desa ini." "Don Ernesto?" Dante mengernyit. "Kenapa dia ingin membawa Mariana?" Rose, mulai berbicara dengan suara sedih. "Semua ini dimulai dua tahun lalu," katanya sambil menggenggam tangan Mariana. "Ernesto datang ke Alfonso dengan tawaran uang untuk membantu perkebunan kami yang hampir bangkrut. Dia bilang itu hadiah
Suasana makan malam di rumah Alfonso terasa hangat, meski hujan deras masih mengguyur di luar. Dante duduk di meja makan, menikmati sup ayam lezat yang membuat perutnya hangat."Dari mana asalmu, Alex?” Tanya Alfonso sambil menyeruput supnya. "Aku... dari kota," jawab Dante singkat. Identitas mereka harus di rahasiakan.Mariana tersenyum kecil, menatap Dante dengan rasa ingin tahu. "Kota itu seperti apa? Aku ingin sekali pergi ke kota, tapi kakek tidak pernah memberikan izin,” katanya pelan. Sebelum Dante menjawab, terdengar ketukan di pintu depan. "Siapa yang datang malam-malam begini?" Gerutu Alfonso sambil bangkit dari kursinya. Dengan kewaspadaan seperti biasa, Alfonso membuka pintu, dan seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya terlihat ramah. Dia memegang sebuah keranjang kecil yang tertutup kain, dengan senyuman di wajahnya. "Bukankah aku sudah katakan padamu untuk pulang besok pagi?” Kata Alfonso dengan
Di dalam rumah sederhana namun terasa hangat itu, kakek Alfonso duduk di samping Lorenzo, tangannya yang tua dan berkeriput masih cekatan membalut luka Lorenzo menggunakan kain yang dicelupkan ke dalam ramuan herbal berwarna kehijauan. “Tuan, anda mengerti pengobatan?” Tanya Dante matanya tidak lepas dari berbagai ramuan yang di pegang Alfonso. Dia tidak bisa membiarkan orang yang baru mereka kenal memberikan sembarang obat pada Lorenzo.“Aku tahu sedikit.”Dante duduk di dekat perapian, memperhatikan dengan cemas setiap gerakan kakek. "Lukanya dalam," kata Alfonso tanpa menoleh. "Aku sudah melakukan usaha terbaik dengan memberikan ramuan obat yang aku buat sendiri. Sekarang semua tergantung padanya." Dante mengernyit. "Maksud Anda?"Alfonso menghela napas panjang, lalu menatap Dante dengan tatapan mata yang serius. "Kalau dia bisa melewati malam ini, dia akan selamat. Tapi kalau demamnya semakin parah…" Alfonso menggeleng pelan, tidak meneruskan kalimatnya, namun Dante mengerti